Anda di halaman 1dari 7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep HIV AIDS
2.1.1 Pengertian
HIV/AIDS adalah singkatan dari Human Immunodefiency Virus yaitu virus
yang menyebabkan AIDS (Acquired Immnune Deficiency Syndrome). AIDS adalah
tahap lanjut dari infeksi HIV yang menyebabkan beberapa infeksi lainnya. Virus akan
memperburuk sistem kekebalan tubuh dan penderita HIV/AIDS akan berakhir dengan
kematian dalam waktu 5-10 tahun kemudian jika tanpa pengobatan yang cukup. HIV
adalah organisme patogen yang menyebabkan AIDS retro virus yang menyebabkan
HIV, menular melalui darah, serum, semen, jaringan tubuh dan cairan tubuh lainnya
(Najmah, 2016).
2.1.2 Etiologi
MenurutManan(2011), penyebab etiologi pada HIV adalah sebagai berikut:
1. Dengan melihat tempat hidup HIV, tentunya bisa diketahui penularan HIV terjadi
kalau ada cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti hubungan seks dengan
pasangan yang mengidap HIV, jarum suntik dan alat-alat penusuk (tato, penindik
dan cukur) yang tercemar HIV dan ibu hamil yang mengidap HIV kepada janin
atau disusui oleh wanita pengidap HIV.
2. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang terkena HIV lebih mungkin tertular.
3. ASI dari ibu yang terinfeksi HIV juga mengandung virus tersebut.
4. Kemungkinan kecil HIV dapat ditemukan dari air liur, air mata, cairan otak,
keringat dan air susu ibu.
2.1.3 Patofisiologi
Menurut Najmah (2016), patofisiologi terjadinya HIV adalah virus masuk ke
dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah, semen dan sekret vagina,
sebagian besar 75% penularan terjadi melalui kontak seksual dan virus ini cenderung
menyerang sel jenis tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen permukaan CD4,
terutama limfosit T yang memegang peranan penting dalam mengatur dan
mempertahankan sistem kekebalan tubuh.
2.1.4 Faktor Resiko
1. Kelompok resiko tertinggi terhadap infeksi HIV adalah homoseksual, pria
biseksual, penyalahgunaan obat-obatan intravena dan penderita hemophilia
yang mendapat transfusi darah.
2. Kaum prostitusi dan mitra homoseksual pria.
3. Semua darah harus di skrining terhadap HIV sebelum ditransfusikan untuk
memperkecil risiko melalui darah.
4. Wanita lebih mudahmendapat virus dibandingkan pria.
5. Transmisi HIV dari ibu ke janin (Alam, 2012).

2.2 Konsep Kepatuhan


Ada beberapa macam terminologi yang biasa digunakan dalam literatur untuk
mendeskripsikan kepatuhan pasien diantaranya compliance, adherence, dan
persistence. Compliance adalah secara pasif mengikuti saran dan perintah dokter
untuk melakukan terapi yang sedang dilakukan (Osterberg & Blaschke, 2005).
Adherence adalah sejauh mana pengambilan obat yang diresepkan oleh penyedia
layanan kesehatan. Tingkat kepatuhan (adherence) untuk pasien biasanya dilaporkan
sebagai persentase dari dosis resep obat yang benar-benar diambil oleh pasien selama
periode yang ditentukan (Osterberg & Blaschke, 2005).
Kepatuhan dalam konteks kesehatan, menurut WHO (2003), merupakan ukuran
sejauh mana pasien mengikuti instruksi atau saran medis. Dalam konteks terapi obat,
kepatuhan pengobatan merupakan sejauh mana perilaku pengobatan sesuai dengan
intruksi dokter (Aspden & Harrison, 2018). Menurut (Kardas, Lewek, &
Matyjaszczyk, 2013), kepatuhan terhadap obat didefinisikan sebagai proses dimana
pasien minum obat sesuai dengan dosis yang diresepkan, yang mencakup tiga
komponen yaitu initiation (dosis pertama dari pengobatan), implementation
( kesesuaian dosis mulai awal pengambilan sampai dengan pengambilan terakhir) dan
discontinuation (akhir dari terapi dan tidak ada lagi dosis yang diambil setelahnya).
Kepatuhan merupakan fenomena multidimensi. Ada lima dimensi yang berpengaruh
terhadap kepatuhan, yaitu faktor pasien, faktor terapi, faktor sistem kesehatan, faktor
lingkungan dan faktor sosial ekonomi. Kelima faktor ini merupakan faktor penting
yang mempengaruhi kepatuhan sehingga tidak ada pengaruh yang lebih kuat dari
faktor lainnya (WHO, 2003).
Dalam konteks pengendalian TB, Kepatuhan terhadap pengobatan didefinisikan
sebagai sejauh mana riwayat pasien dalam pengambilan obat terapeutik sesuai dengan
resep / pengobatan yang ditentukan. Definisi kepatuhan secara luas sebagai salah satu
penyakit dengan pengobatan jangka panjang, kepatuhan pengobatan TB merupakan
perilaku pasien dalam minum obat, mengikuti diit dan gaya hidup lainnya sesuai
dengan anjuran klinis yang berkaitan dengan pencapaian dari tujuan pengobatan
(WHO, 2003).
Kepatuhan rata-rata pasien pada pengobatan jangka panjang terhadap penyakit
kronis di negara maju hanya sebesar 50% sedangkan di negara berkembang, jumlah
tersebut bahkan lebih rendah (WHO, 2015). Peningkatan kepatuhan pengobatan
Mencapai keberhasilan pengobatan, bukan semata-mata menjadi tanggung jawab
pasien, namun harus dilihat bagaimana faktor-faktor lain yang mempengaruhi
perilaku seseorang dalam melengkapi pengobatannya dan mematuhi pengobatan
mereka. Secara umum, hal-hal yang perlu dipahami dalam meningkatkan tingkat
kepatuhan adalah bahwa (WHO, 2015):
1. Pasien memerlukan dukungan,bukan disalahkan.
2. Konsekuensi dari ketidakpatuhan terhadap terapi jangka panjang adalah
tidak tercapainya tujuan terapi dan meningkatnya biaya pelayanan
kesehatan.
3. Peningkatan kepatuhan pasien dapat meningkatkan keamanan pengguna
obat.
4. Kepatuhan merupakan faktor penentu yang cukup penting dalam mencapai
efektifitas suatu sistem kesehatan.
5. Memperbaiki kepatuhan dapat merupakan intervensi terbaik dalam
penanganan secara efektif suatu penyakit kronis.
6. Sistem kesehatan harus terus berkembang agar selalu dapat menghadapi
berbagai tantangan baru.
7. Diperlukan pendekatan secara multidisiplin dalam menyelesaikan masalah
ketidakpatuhan.

2.3 Terapi Antiretroviral untuk Anak


2.3.1 Definisi terapi antiretroviral untuk anak
Pada beberapa tahun terakhir ini, terapi dengan kombinasi tiga obat
antiretroviral (ARV) sangat berpengaruh pada hidup orang yang dengan HIV – lihat
Lembaran Informasi (LI) 403. Namun obat ini masih rumit, dan efek sampingnya
dapat sulit ditahan. Lagi pula, kepatuhan pada jadwal pengobatan sangat penting, agar
virus tidak menjadi kebal atau resistan terhadap obat (lihat LI 126). Sekarang terapi
ARV (ART) ini dapat dipakai dengan tujuan yang sama untuk anak yang terinfeksi
HIV.
2.3.2 Perbedaan terapi antiretroviral untuk anak dan dewasa
Sistem kekebalan tubuh anak masih berkembang. Anak menanggapi infeksi
HIV secara berbeda. Jumlah CD4 (lihat LI 124) anak terinfeksi HIV lebih tinggi
diban- dingkan orang dewasa, dan cenderung menurun hingga usia 4-5 tahun.
Persentase CD4 (CD4%) lebih stabil dan umumnya ukuran ini dipakai untuk
mengukur kesehatan sistem kekebalan anak di bawah lima tahun (balita). Viral load
(LI 125) bayi juga biasanya lebih tinggi, dan menurun hingga usia 4-5 tahun,
kemudian menjadi stabil.
Anak balita mempunyai lebih banyak lemak dan air dalam tubuhnya. Hal ini
berpengaruh pada tingkat obat yang masuk ke aliran darahnya. Metabolisme balita
juga sangat cepat, kemudian jadi semakin pelan sebagaimana anak menjadi semakin
tua. Hati kita menguraikan obat dan mengeluarkannya dari tubuh kita. Hati hanya
berfungsi secara penuh setelah beberapa tahun. Selama waktu perubahan ini, tingkat
obat dalam aliran darah anak bisa berubah secara bermakna. Banyak obat mempunyai
pedoman khusus untuk anak.
2.3.3 ART untuk Anak
ART sudah sangat berpengaruh pada harapan dan mutu hidup anak. Berkat
ART, anak yang lahir dengan HIV sekarang dapat berharap akan bertahan hidup sama
seperti anak yang tidak terinfeksi HIV. Di negara maju, angka kematian anak dengan
HIV sudah turun serupa dengan orang dewasa. Anak yang terinfeksi HIV sebaiknya
diobati oleh dokter spesialis anak yang berpengalaman menatalaksana HIV. Anak
juga menanggapi ARV secara berbeda. Anak mengalami peningkatan lebih besar
pada jumlah CD4, dan sel CD4- nya lebih beraneka ragam. Tampaknya tanggapan
kekebalan anak menjadi lebih pulih dibandingkan orang dewasa. Karena ARV jarang
diuji coba pada anak, takaran yang terbaik kadang belum jelas. Takaran obat untuk
anak umumnya diten- tukan berdasarkan berat badan. Namun, kadang kala takaran
ditentukan berdasar- kan luasnya permukaan tubuh; rumusan ini melibatkan tinggi
dan berat badan. Kadang juga, takaran ditentukan berdasarkan perkembangan anak
(Tanner stage ). Seperti dibahas di atas, ada beberapa faktor yang berpengaruh pada
tingkat obat dalam aliran darah anak. Takaran obat harus diubah-ubah terus-menerus
sebagaimana anak berkembang.
Beberapa ARV disediakan dalam bentuk bubuk atau sirop. Semakin banyak
ARV (termasuk kombinasi) mulai tersedia dengan pil versi pediatrik, dengan kan-
dungan masing-masing obat cocok untuk dipakai oleh anak kecil. Sekarang sebagian
besar obat ARV lini pertama tersedia dengan bentuk tablet ‘dispersible’ (dapat
dicampur dalam 5-10ml air atau ASI). Beberapa pil dewasa dapat dibuat puyer dan
dimasukkan pada makanan atau mi- numan. Beberapa klinik mendidik anak agar bisa
menelan pil. Anak yang dapat menelan pil mempunyai lebih banyak pilihan.
Walau para dokter kadang mencoba memotong tablet dewasa sesuai dengan
takaran anak, hal ini dapat menghasilkan takaran yang terlalu rendah. Unsur aktif obat
mungkin tidak disebarkan secara rata dalam tablet – keadaan ini sering terjadi pada
obat kombinasi tetap, mis. Duviral (kombinasi AZT dan 3TC dalam satu tablet).
Perhatikan bahwa berdasarkan etiket, tablet Aluvia (LPV/r) tidak boleh dipotong atau
dibuat puyer. Beberapa ARV belum disetujui untuk dipakai oleh bayi atau anak. Lihat
lembaran informasi untuk masing-masing ARV.
2.3.4 Efek Samping ART pada Anak
Anak pengguna ART cenderung mengalami efek samping serupa dengan
orang dewasa – lihat LI 550. Tulang anak berkembang cepat pada tahun-tahun awal
hidup kita. ART tampaknya melemahkan tulang pada orang dewasa. Masalah ini
lebih besar buat anak, karena tulangnya masih berkembang. Lihat LI 557 untuk
informasi lebih lanjut mengenai masalah tulang terkait HIV. Penyakit terkait HIV
muncul jauh lebih cepat pada anak yang tidak diobati dibandingkan dengan orang
dewasa. Tanpa pengobatan, sampai 50% anak meninggal dunia atau mengembangkan
AIDS dalam dua tahun pertama usianya. Oleh karena itu, menurut WHO semua anak
terinfeksi HIV di bawah usia 24 bulan harus segera mulai ART, tidak memandang
jumlah CD4 atau CD4%-nya. Anak berusia 2-5 tahun juga sebaiknya diberi ART,
dengan prioritas untuk mereka dengan penyakit HIV stadium 3 (gejala sedang) atau 4
(gejala berat), atau dengan CD4% ≤25%. Kriteria ini belum tercermin dalam
pedoman ART di Indonesia.
2.3.5 Anak dan Kepatuhan
Kepatuhan adalah tantangan besar untuk anak. Baik anak dan orang tua
mungkin membutuhkan lebih banyak dukungan. Banyak anak tidak mengerti
mengapa mereka harus meng- alami efek samping obat. Sering kali orang tuanya juga
terinfeksi HIV. Mereka sendiri mungkin menghadapi masalah dengan kepatuhan.
Anaknya mungkin memakai obat berbeda, mungkin juga dengan jadwal yang
berbeda. Banyak ARV rasanya kurang enak atau mempunyai susunan (tekstur) yang
aneh. Selang makanan yang langsung ke perut mungkin diperlukan jika seorang balita
enggan menelan obatnya.
ART sangat efektif untuk mencegah penyakit terkait HIV dan kematian pada
anak. Namun ART untuk anak yang terinfeksi HIV adalah rumit. Takaran yang
cocok belum jelas. Anak mungkin meng- alami kesulitan untuk menelan obat dan
memakai setiap dosis sesuai dengan jadwal. Seperti pada orang dewasa, kepatuhan
pada jadwal pengobatan sangat penting agar virus tidak menjadi resistan terhadap
obat. Namun ini mungkin masalah yang lebih sulit untuk anak, yang mungkin enggan
memakai obat. Anak yang HIV-positif sebaiknya diobati oleh dokter spesialis anak
yang berpenga- laman menangani HIV.

Anda mungkin juga menyukai