Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Stress dapat terjadi dalam kehidupan manusia terutama dalam keadaan


tertekan dan dapat disebabkan karena factor lingkungan ataupun persepsi internal
individu. Hasil akhir dari stress berupa kecemasan, emosi ataupun perasaan negative
yang dapat mengakibatkan adanya gangguan psikologis yang serius seperti
gangguan stress pasca trauma (Shahsavarani et al., 2015). Stress berlebihan dapat
diatasi oleh individu sendiri atau dengan dorongan orang lain menggunakan teknik
management stress. Latihan fisik ringan seperti relaksasi otot progresif dapat
menjadi terapi yang bagus untuk mengatur tingkat stress seseorang yang selama ini
telah banyak dilakukan sebagai pencegah stress (Tyani E et al., 2015).

World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa sekitar 450 juta


orang di dunia mengalami stres. Di Indonesia tercatat sekitar 10% dari total
penduduk Indonesia mengalami stress. Di Indonesia, fenomena stres kerja juga
terjadi. Beberapa studi terakhir menyimpulkan bahwa setiap tahunnya kasus stres
kerja di Indonesia meningkat dengan cepat dan berpotensi menimbulkan dampak
sosial, emosional, psikologis dan masalah-masalah yang berhubungan dengan
kesehatan. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menyebutkan bahwa
sekitar 1,33 juta penduduk DKI Jakarta mengalami stres. Angka tersebut mencapai
14% dari total penduduk dengan tingkat stres akut mencapai 1-3% dan stres berat
mencapai 710%. Di Jawa Tengah tercatat 704.000 orang mengalami gangguan
kejiwaan, dan dari jumlah tersebut sekitar 96.000 orang mengalami kegilaan dan
608.000 orang mengalami stress (Perwitasari, Nurbeti and Armyanti, 2016).

Stres tidak dapat dipisahkan dari setiap aspek kehidupan.Stres dapat dialami
oleh siapa saja dan memiliki implikasi negatif jika berakumulasi dalam kehidupan
individu tanpa solusi yang tepat. Akumulasi stres merupakan akibat dari
ketidakmampuan individu dalam mengatasi dan mengendalikan stresnya (Augesti et
al., 2015). Hipotalamus di otak adalah salah satu bagian yang bertanggung jawab

1
untuk mendeteksi penyebab stres (stressor) atau untuk memahami adanya ancaman.
Setelah menentukan bahwa suatu hal adalah suatu stressor, hipotalamus akan
mengirimkan sinyal ke kelenjar adrenal yang terletak di dekat ginjal untuk
melepaskan dua jenis hormon kortisol dan adrenalin. Adrenalin meningkatkan
denyut jantung dan pasokan energi, sementara kortisol meningkatkan konsentrasi
glukosa dalam aliran darah. Apabila stress yang dialami oleh individu tidak
terkontrol, maka hormone yang kurang baik akan memberikan dampak negatif dan
menyebabkan suatu penyakit serius, maka dari itu managemen stress perlu dimiliki
oleh setiap individu sebagai perlindungan untuk masalah psikologi yang lebih buruk.

Terapi Relaksasi Otot Progresif / Progressive Muscle Relaxation (PMR)


merupakan suatu terapi relaksasi yang diberikan kepada pasien stress dengan
menegangkan otot-otot tertentu dan kemudian relaksasi. Relaksasi Otot progresif
adalah suatu metode relaksasi yang paling sederhana dan mudah dipelajari
(Richmond, 2013). Hal ini mudah dilakukan karena tidak perlu mengeluarkan dana
yang besar, Hasil Penelitian Handayani dan Rahmayati (2018) menyatakan bahwa
relaksasi otot progresif efektif menurunkan kecemasan pre operatif (Luh, Ekarini
and Maryam, 2019). Penggunaan terapi latihan relaksasi otot progresif efektif untuk
menurunkan kecemasan pada pasien hipertensi (Li et al., 2015). Maka dari itu
kelompok akan menjelaskan dalam makalah tentang efektifitas dari terapi relaksasi
otot progresif sebagai manajemen stress yang digunakan untuk mencegah stress
berlanjut.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah
sebagai berikut :
a. Apa pengertian dari stres ?
b. Apa pengertian dari relaksasi otot ?

1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dalam makalah ini sebagai
berikut :
a.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Stres


2.1.1 Pengertian Stres
Menurut Richard (2010) stres adalah suatu proses yang menilai suatu peristiwa
sebagai sesuatu yang mengancam, ataupun membahayakan dan individu merespon
peristiwa itu pada level fisiologis, emosional, kognitif dan perilaku. Peristiwa yang
memunculkan stres dapat saja positif (misalnya merencanakan perkawinan) atau
negatif (contoh : kematian keluarga). Sesuatu didefinisikan sebagai peristiwa yang
menekan (stressful event) atau tidak, bergantung pada respon yang diberikan oleh
individu terhadapnya. Compas (dalam Preece, 2011) berpendapat bahwa stres adalah
suatu konsep yang mengancam dan konsep tersebut terbentuk dari perspektif
lingkungan dan pendekatan yang ditransaksikan. Baum (dalam Yusuf, 2004)
mendefinisikan stres sebagai pengalaman emosional yang negatif yang disertai
dengan perubahan-perubahan biokimia, fisik, kognitif, dan tingkah laku yang
diarahkan untuk mengubah peristiwa stres tersebut atau mengakomodasikan
dampak-dampaknya.
Menurut Dilawati (dalam Syahabuddin, 2010), stres adalah suatu perasaan
yang dialami apabila seseorang menerima tekanan. Tekanan atau tuntutan yang
diterima mungkin datang dalam bentuk mengekalkan jalinan perhubungan,
memenuhi harapan keluarga dan untuk pencapaian akademik. Lazarus dan Folkman
(dalam Evanjeli, 2012) yang menjelaskan stres sebagai kondisi individu yang
dipengaruhi oleh lingkungan. Kondisi stres terjadi karena ketidakseimbangan antara
tekanan yang dihadapi individu dan kemampuan untuk menghadapi tekanan
tersebut. Individu membutuhkan energi yang cukup untuk menghadapi situasi stres
agar tidak mengganggu kesejahteraan mereka.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu
peristiwa atau pengalaman yang negatif sebagai sesuatu yang mengancam, ataupun
membahayakan dan individu yang berasal dari situasi yang bersumber pada sistem
biologis, psikologis dan sosial dari seseorang.

2.1.2 Aspek-Aspek Stres

3
Pada saat seseorang mengalami stres ada dua aspek utama dari dampak yang
ditimbulkan akibat stres yang terjadi, yaitu aspek fisik dan aspek psikologis
(Sarafino, 1998) yaitu sebagai berikut:
1. Aspek Fisik
Berdampak pada menurunnya kondisi seseorang pada saat stres sehingga
orang tersebut mengalami sakit pada organ tubuhnya, seperti sakit kepala,
gangguan pencernaan.
2. Aspek psikologis
Terdiri dari gejala kognisi, gejala emosi, dan gejala tingkah laku. Masing-
masing gejala tersebut mempengaruhi kondisi psikologis eseorang dan
membuat kondisi psikologisnya menjadi negatif, seperti menurunnya daya
ingat, merasa sedih dan menunda pekerjaan. Hal ini dipengaruhi oleh
berat atau ringannya stres.

2.1.3 Faktor Pemicu Stres


Faktor pemicu stres dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok
menurut Yusuf (2004) sebagai berikut:
1. Stressor fisik-biologik, seperti : penyakit yang sulit disembuhkan, cacat
fisik atau kurang berfungsinya salah satu anggota tubuh, wajah yang tidak
cantik atau ganteng, dan postur tubuh yang dipersepsi tidak ideal (seperti :
terlalu kecil, kurus, pendek, atau gemuk).
2. Stressor psikologik, seperti : negative thinking atau berburuk sangka,
frustrasi (kekecewaan karena gagal memperoleh sesuatu yang diinginkan),
hasud (iri hati atau dendam), sikap permusuhan, perasaan cemburu,
konflik pribadi, dan keinginan yang di luar kemampuan.
3. Stressor sosial, seperti iklim kehidupan keluarga : hubungan antar anggota
keluarga yang tidak harmonis (broken home), perceraian, suami atau istri
selingkuh, suami atau istri meninggal, anak yang nakal (suka melawan
kepada orang tua, sering membolos dari sekolah, mengkonsumsi
minuman keras, dan menyalahgunakan obat-obatan terlarang) sikap dan
perlakuan orang tua yang keras, salah seorang anggota mengidap
gangguan jiwa dan tingkat ekonomi keluarga yang rendah, lalu ada faktor
pekerjaan : kesulitan mencari pekerjaan, pengangguran, kena PHK

4
(Pemutusan Hubungan Kerja), perselisihan dengan atasan, jenis pekerjaan
yang tidak sesuai dengan minat dan kemampuan dan penghasilan tidak
sesuai dengan tuntutan kebutuhan sehari-hari, kemudian yang terakhir ada
iklim lingkungan: maraknya kriminalitas (pencurian, perampokan dan
pembunuhan), tawuran antar kelompok (pelajar, mahasiswa, atau warga
masyarakat), harga kebutuhan pokok yang mahal, kurang tersedia fasilitas
air bersih yang memadai, kemarau panjang, udara yang sangat panas atau
dingin, suara bising, polusi udara, lingkungan yang kotor (bau sampah
dimana-mana), atau kondisi perumahan yang buruk, kemacetan lalu lintas
bertempat tinggal di daerah banjir atau rentan longsor, dan kehidupan
politik dan ekonomi yang tidak stabil.

2.1.4 Jenis Stres


Ada dua macam stres yang dihadapi oleh individu yaitu sebagai berikut:
1. Distress
Distress (stres negatif) yaitu stres individu yang tidak mampu mengatasi
keadaan emosinya sehingga akan mudah tersearah distress. Distress
memiliki arti rusak dan merugikan. Ciri-ciri individu yang mengalami
distress adalah mudah marah, sulit berkonsentrasi, cepat tersinggung,
bingung, pelupa, pemurung, penurunan akademik dan kesulitan
mengambil keputusan (Rachmadi, 2014). Terjadinya gangguan
penyesuaian (distress) dapat menimbulkan gejala-gejala gangguan psikis
dan fisik (psikosomatik) sehingga seseorang tidak lagi mampu
menjalankan fungsinya secara optimal secara psikis dan fisik. Gangguan
tersebut dapat berupa gangguan tidur, gangguan konsentrasi, gangguan
pola makan dan gangguan emosi. Jika kondisi ini terjadi pada mahasiswa
tentu akan menghambat proses pendidikannya. Selain itu, secara timbal
balik, proses pendidikan juga merupakan salah satu penyebab stres
(stressor) bagi mahasiswa tingkat akhir karena proses pendidikan
merupakan stresor yang lebih bagi individu. Jika mahasiswa tingkat akhir
mengalami distress akan terjadi hubungan timbal-balik yang terus akan
mepengaruhi proses belajarnya (Hardisman & Pertiwi, 2014).
2. Eustress

5
Eustress (stres positif) yaitu stres baik atau stres yang tidak mengganggu
individu dan memberikan perasaan senang dan bersemangat. Eustress
adalah respon terhadap stres yang bersifat positif, sehat dan konstruktif
(membangun) (Rachmadi, 2014). Eustress merupakan energi motivasi,
seperi kesenangan, pengharapan, dan gerakan yang bertujuan. Eustress
dikatakan juga sebagai stres yang membangun kesehatan namun, ide srtres
yang sehat bersifat kontroversial karena sulit untuk dikatakan apakah
individu telah diuntungkan karena stres atau beradaptasi dengan
penyangkalan stres (Potter & Perry, 2010).

2.1.5 Tahapan Stres


Martaniah dkk, 1991(dalam Rumiani, 2006 ) menyebutkan bahwa stres terjadi
melalui tahapan sebagai berikut:
1. Tahap 1
Stres pada tahap ini justru dapat membuat seseorang lebih bersemangat,
penglihatan lebih tajam, peningkatan energi, rasa puas dan senang,
muncul rasa gugup tapi mudah diatasi.
2. Tahap 2
Pada tahap ini menunjukkan keletihan, otot tegang, gangguan pencernaan.
3. Tahap 3
Tahap ini menunjukkan gejala seperti tegang, sulit tidur, badan terasa lesu
dan lemas.
4. Tahap 4 dan 5
Pada tahap ini seseorang akan tidak mampu menanggapi situasi dan
konsentrasi menurun dan mengalami insomnia.
5. Tahap 6
Gejala yang muncul pada tahap ini adalah detak jantung meningkat,
gemetar sehingga dapat pula mengakibatkan pingsan.
2.1.6 Tingkat Stres
Stres adalah suatu kondisi dimana keadaan tubuh terganggu karena tekanan
yang didapat secara mental maupun fisik. Tingkat stres yaitu hasil penilaian derajat
stres yang dialami individu. Tingkat stres dapat digolongkan menjadi stres normal,
stres ringan, stres sedang dan stres berat (Mardiana & Zelfino, 2014).

6
1. Stress normal
Stres normal yang dihadapi secara teratur dan merupakan bagian alamiah
dari kehidupan. Seperti dalam situasi: kelelahan setelah mengerjakan
tugas, takut tidak lulus ujian, merasakan detak jantung berdetak lebih
keras ketika melakukan bimbingan skipsi maupun ketika akan melakukan
persentasi. Stres normal alamiah dan menjadi penting, karena setiap
mahasiswa pasti pernah mengalami stres bahkan, sejak dalam kandungan
(Purwati, 2012).
2. Stress ringan
Stres ringan adalah stressor yang dihadapi setiap orang secara teratur,
umumnya dirasakan oleh setiap mahasiswa misalnya: lupa, kebanyakan
tidur, kemacetan, dikritik atau revisi skripsi yang menumpuk. Situasi
seperti ini biasanya berakhir dalam beberapa menit atau beberapa jam dan
biasanya tidak akan menimbulkan bahaya (Rachmadi, 2014).
3. stress sedang
Stres sedang berlangsung lebih lama dari beberapa jam sampai beberapa
hari. Misalnya masalah perselisihan yang tidak dapat diselesaikan dengan
teman atau pacar (Potter & Perry, 2010). Fase ini ditandai dengan
kewaspadaan, fokus pada indera penglihatan dan pendengaran,
peningkatan ketegangan dalam batas toleransi, dan tidak mampu
mengatasi situasi yang dapat mempengaruhi dirinya (Suzanne & Brenda,
2008).
4. Stress berat
Situasi Stres yang terjadi beberapa minggu sampai tahun. Semakin sering
dan lama situasi stress, semakin tinggi resiko kesehatan yang ditimbulkan
(Mardiana & Zelfino, 2014). Stres berat seperti perselisihan dengan dosen
atau teman secara terus-menerus, kesulitan finansial yang berkepanjangan,
dan penyakit fisik jangka panjang. Makin sering dan lama situasi stres,
makin tinggi risiko stres yang ditimbulkan. Stressor ini dapat
menimbulkan gejala, antara lain merasa tidak dapat merasakan perasaan
positif, merasa tidak kuat lagi untuk melakukan suatu kegiatan, merasa
tidak ada hal yang dapat diharapkan di masa depan, sedih dan tertekan,
putus asa, kehilangan minat akan segala hal, merasa tidak berharga

7
sebagai seorang manusia, berpikir bahwa hidup tidak bermanfaat.
Semakin meningkat stres yang dialami mahasiswa tingkat akhir secara
bertahap maka akan menurunkan energi dan respon adaptif (Purwati,
2012).

2.1.7 Respon Terhadap Stress


Empat pola gangguan yang merupakan respon terhadap stres menurut Rosanty
(2014) adalah sebagai berikut:
1. Emosi, merupakan gangguan perasaan yang muncul antara lain cemas,
mudah tersinggung, marah, gelisah, depresi, sensitif, gugup, sedih, dan
perasaan bersalah yang berlebihan.
2. Kognisi, merupakan gangguan pada fungsi pikir, antara lain kurang
konsentrasi, mudah lupa, tidak mampu membuat keputusan.
3. Perilaku, merupakan pola gangguan perilaku yang mungkin timbul akibat
stres misalnya ketidakmampuan untuk bersosialisasi, gangguan dalam
hubungan interpersonal dan peran sosial.
4. Fisiologis, merupakan gangguan kesehatan seperti tegang, gemetar,
mudah lelah, sakit kepala, jantung berdebar-debar, sakit perut, sulit tidur,
dan sebagainya.

Individu harus mampu berespons terhadap stressor dan beradaptasi terhadap


tuntutan atau perubahan yang dibutuhkan. Adaptasi fisiologis dan psikologis
memungkinkan homeostasis tubuh. Penelitian Selye (1976) dalam Potter & Perry
(2010) mengidentifikasi dua respon stres, yaitu Local Adaptation Syndrome (LAS)
dan General Adaptation Syndrome (GAS).
1. Local Adaptation Syndrome (LAS)
Tubuh banyak menghasilkan banyak rspon terhadap stres. Respon
setempat ini termasuk pembekuan darah dan penyembuhan luka,
akomodasi mata terhadap cahaya. Respon ini berjangka pendek dan tidak
terus menerus, terjadi hanya stempat tidak melibatkan semua sistem,
memerlukan stresor untuk menstimulasikannya dan bersifat restorative.
Contoh dari Local Adaptation Syndrome (LAS) adalah respon inflamasi
dan respon refleks nyeri (Ardhiyanti, Pitriani & Darmayanti, 2014).

8
2. General Adaptation Syndrome (GAS)
Selye (1973) dalam Wulandari (2012) menyatakan bahwa dampak negatif
yang terjadi akibat stres dapat dijelaskan menurut teori sindrom adaptasi
umum general adaptation system (GAS) dari Selye. GAS adalah respons
berpola tertentu terhadap tuntutan ekstra yang diterimanya. Menurut Selye
ada tiga fase spesifik, yaitu fase alarm fisiologis, resistensi dan kelelahan.
3. Fase alarm fisiologis atau reaksi flight (mengindar) or fight (melawan)
sebagai reaksi siaga tubuh terhadap ancaman dari luar. Ancaman atau
stressor akan mengaktifkan sirkuit sres atau aksis hipotalamus-pituitari-
kelenjar adrenal (aksi HPA) untuk memproduksi hormon stres. Produksi
hormon strs ini akan diarahkan untuk melindungi ubuh agar tetap eksis
terhadap ancamman (Cahyono, 2014).
4. Fase resistence atau bisa disebut tahap perlawanan. Individu mencoba
berbagai macam mekanisme penanggulangan psikologis dan pemecahan
masalah serta mengatur strategi. Tubuh berusaha menyeimbangkan kondisi
fisiologis sebelumnya kepada keadaan normal dan tubuh mencoba
mengatasi faktor-faktor penyebab stres (Wulandari, 2012).
5. Fase kelelahan merupakan fase perpanjangan stres yang belum dapat
tertanggulangi pada fase sebelumnya. Pada tahap ini cadangan energi
telah menipis atau habis akibatnya tubuh tidak mampu lagi menghadapi
stres (Ardhiyanti, Pitriani & Darmayanti, 2014).

2.2 Konsep Relaksasi Otot Progresif


2.2.1 Pengertian
Teknik relaksasi otot progresif adalah teknik relaksasi otot dalam yang tidak
memerlukan imajinasi, ketekunan, atau sugesti (Herodes, 2010) dalam (Setyoadi &
Kushariyadi, 2011). Terapi relaksasi otot progresif yaitu terapi dengan cara
peregangan otot kemudian dilakukan relaksasi otot (Gemilang, 2013). Relaksasi
progresif adalah cara yang efektif untuk relaksasi dan mengurangi kecemasan
(Sustrani, Alam, & Hadibroto, 2004).

2.2.2 Tujuan Terapi Relaksasi Otot Progresif

9
Menurut Herodes (2010), Alim (2009), dan Potter (2005) dalam Setyoadi dan
Kushariyadi (2011) bahwa tujuan dari teknik ini adalah sebagai berikut:
1. Menurunkan ketegangan otot, kecemasan, nyeri leher dan punggung,
tekanan darah tinggi, frekuensi jantung, laju metabolik.
2. Mengurangi distritmia jantung, kebutuhan oksigen.
3. Meningkatkan gelombang alfa otak yang terjadi ketika klien sadar dan
tidak memfokus perhatian seperti relaks.
4. Meningkatkan rasa kebugaran, konsentrasi.
5. Memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stres.
6. Mengatasi insomnia, depresi, kelelahan, iritabilitas, spasme otot, fobia
ringan, gagap ringan.
7. Membangun emosi positif dari emosi negatif.

2.2.3 Indikasi Terapi Relaksasi Otot Progresif


Menurut Setyoadi dan Kushariyadi (2011) bahwa indikasi dari terapi relaksasi
otot progresif adalah sebagai berikut:
1. Klien yang mengalami insomnia
2. Klien sering stres
3. Klien mengalami kecemasan
4. Klien yang mengalami depresi

2.2.4 Prosedur Relaksasi


Individu belajar Latihan relaksasi otot progresif bagaimana menegangkan
sekelompok otot kemudian melepaskan ketegangan itu. Inti dari latihan tersebut
terletak pada kemampuan individu mengelola ketegangan fisik dan atau mental
dengan memahami perbedaan sensasi antara otot yang tegang dan rileks. Soewondo
(2012) mendeskripsikan prosedur relaksasi progresif sebagai berikut:
1. Pertama duduk bersandar pada kursi secara nyaman dan tenang.
2. Bila mengenakan kaca mata dan atau sepatu agar dilepas.
3. Menegangkan sekumpulan otot tertentu dan melemaskannya.
4. Menyadarkan klien akan perbedaan sensasi otot tegang dan rileks.
5. Jumlah kumpulan otot yang perlu ditegangkan dan dilemaskan tiap kali
hendaknya berkurang.

10
6. Klien diharapkan dapat mengelola ketegangan dengan menginstruksikan
diri sendiri untuk rileks kapan dan dimana saja.
Teknik relaksasi otot progresif merupakan yang paling sesuai pada tahap awal
pelatihan relaksasi. Bilamana telah terampil dapat langsung diinstruksikan untuk
rileks. Peserta diminta untuk menjadikan perasaan rileks sebagai sebuah sugesti
yang dapat dihadirkan ketika diperlukan. Latihan relaksasi otot progresif tidak
menimbulkan efek samping yang berbahaya tetapi beberapa hal berikut ini perlu
diperhatikan ketika memberikan latihan menurut Davis & McKay (2001) sebagai
berikut:
1. Menegangkan otot dalam waktu kurang lebih tujuh detik; disarankan tidak
lebih dari sepuluh detik.
2. Merilekskan otot membutuhkan waktu sekitar 3040 detik.
3. Lebih nyaman dilakukan dengan mata tertutup.
4. Menegangkan kelompok otot dengan dua kali tegangan.
5. Menegangkan bagian tubuh sisi kanan terlebih dahulu kemudian sisi kiri.
6. Memeriksa apakah klien benar-benar rileks atau tidak.
7. Terus menerus memberi instruksi.
8. Memberi instruksi tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat.

2.2.5 Teknik Terapi Relaksasi Otot Progresif


Menurut Setyoadi dan Kushariyadi (2011) persiapan untuk melakukan teknik
ini yaitu sebagai berikut:
a. Persiapan
Persiapan alat dan lingkungan : kursi, bantal, serta lingkungan yang
tenang dan sunyi.
1. Pahami tujuan, manfaat, prosedur.
2. Posisikan tubuh secara nyaman yaitu berbaring dengan mata tertutup
menggunakan bantal di bawah kepala dan lutut atau duduk di kursi
dengan kepala ditopang, hindari posisi berdiri.
3. Lepaskan asesoris yang digunakan seperti kacamata, jam, dan sepatu.
4. Longgarkan ikatan dasi, ikat pinggang atau hal lain sifatnya
mengikat.

11
b. Prosedur
1) Gerakan 1 : Ditunjukan untuk melatih otot tangan.
a) Genggam tangan kiri sambil membuat suatu kepalan.
b) Buat kepalan semakin kuat sambil merasakan sensasi ketegangan
yang terjadi.
c) Pada saat kepalan dilepaskan, rasakan relaksasi selama 10 detik.
d) Gerakan pada tangan kiri ini dilakukan dua kali sehingga dapat
membedakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan relaks
yang dialami.
e) Lakukan gerakan yang sama pada tangan kanan.
2) Gerakan 2 : Ditunjukan untuk melatih otot tangan bagian belakang.
a) Tekuk kedua lengan ke belakang pada peregalangan tangan
sehingga otot di tangan bagian belakang dan lengan bawah
menegang.
b) Jari-jari menghadap ke langit-langit.

Gambar 1. Gambar gerakan 1 dan 2


3) Gerakan 3 : Ditunjukan untuk melatih otot biseps (otot besar pada
bagian atas pangkal lengan).
a) Genggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan.
b) Kemudian membawa kedua kapalan ke pundak sehingga otot
biseps akan menjadi tegang.

12
Gambar 2. Gambar gerakan 3
4) Gerakan 4 : Ditunjukan untuk melatih otot bahu supaya mengendur.
a) Angkat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan hingga
menyentuh kedua telinga.
b) Fokuskan perhatian gerekan pada kontrak ketegangan yang terjadi
di bahu punggung atas, dan leher.

Gambar 3. Gambar gerakan 4


5) Gerakan 5 dan 6: ditunjukan untuk melemaskan otot-otot wajah
(seperti dahi, mata, rahang dan mulut).
a) Gerakan otot dahi dengan cara mengerutkan dahi dan alis sampai
otot terasa kulitnya keriput.
b) Tutup keras-keras mata sehingga dapat dirasakan ketegangan di
sekitar mata dan otot-otot yang mengendalikan gerakan mata.
6) Gerakan 7 : Ditujukan untuk mengendurkan ketegangan yang dialami
oleh otot rahang. Katupkan rahang, diikuti dengan menggigit gigi
sehingga terjadi ketegangan di sekitar otot rahang.
7) Gerakan 8 : Ditujukan untuk mengendurkan otot-otot di sekitar mulut.

13
Bibir dimoncongkan sekuat-kuatnya sehingga akan dirasakan
ketegangan di sekitar mulut.

Gambar 4. Gambar gerakan 5,6,7, dan 8


8) Gerakan 9 : Ditujukan untuk merilekskan otot leher bagian depan
maupun belakang.
a) Gerakan diawali dengan otot leher bagian belakang baru kemudian
otot leher bagian depan.
b) Letakkan kepala sehingga dapat beristirahat.
c) Tekan kepala pada permukaan bantalan kursi sedemikian rupa
sehingga dapat merasakan ketegangan di bagian belakang leher
dan punggung atas.
9) Gerakan 10 : Ditujukan untuk melatih otot leher bagian depan.
a) Gerakan membawa kepala ke muka.
b) Benamkan dagu ke dada, sehingga dapat merasakan ketegangan di
daerah leher bagian muka.
10) Gerakan 11 : Ditujukan untuk melatih otot punggung
a) Angkat tubuh dari sandaran kursi.
b) Punggung dilengkungkan
c) Busungkan dada, tahan kondisi tegang selama 10 detik, kemudian
relaks.
d) Saat relaks, letakkan tubuh kembali ke kursi sambil membiarkan
otot menjadi lurus.
11) Gerakan 12 : Ditujukan untuk melemaskan otot dada.
a) Tarik napas panjang untuk mengisi paru-paru dengan udara

14
sebanyak-banyaknya.
b) Ditahan selama beberapa saat, sambil merasakan ketegangan di
bagian dada sampai turun ke perut, kemudian dilepas.
c) Saat tegangan dilepas, lakukan napas normal dengan lega.
d) Ulangi sekali lagi sehingga dapat dirasakan perbedaan antara
kondisi tegang dan relaks.

Gambar 5. Gambar gerakan 9, 10, 11, dan 12


12) Gerakan 13 : Ditujukan untuk melatih otot perut
a) Tarik dengan kuat perut ke dalam.
b) Tahan sampai menjadi kencang dan keras selama 10 detik, lalu
dilepaskan bebas.
c) Ulangi kembali seperti gerakan awal untuk perut.
13) Gerakan 14-15 : Ditujukan untuk melatih otot-otot kaki (seperti paha
dan betis).
a) Luruskan kedua telapak kaki sehingga otot paha terasa tegang.
b) Lanjutkan dengan mengunci lutut sedemikian rupa sehingga
ketegangan pindah ke otot betis.
c) Tahan posisi tegang selama 10 detik, lalu dilepas.
d) Ulangi setiap gerakan masing-masing dua kali.

15
Gambar 6. Gambar gerakan 13 dan 14
Prosedur Relaksasi otot prograsif juga dikembangkan oleh Norelli & Krepps
(2018). Menurut Norelli & Krepps (2018), relaksasi otot progresif dapat
dialaksanakan melalui 8 tahap yaitu sebagai berikut.
1. Duduk atau berbaring dengan nyaman. Idealnya, pilih ruang akan nyaman dan
tenang.
2. Mulai dari kaki, tekuk jari kaki di bawah dan regangkan otot-otot di kaki.
Tahan selama 5 detik, lalu lepaskan perlahan selama 10 detik. Selama
relaksasi, fokuskan perhatian pada pengurangan ketegangan dan pengalaman
relaksasi.
3. Tegangkan otot-otot kaki bagian bawah. Tahan selama 5 detik, lalu lepaskan
perlahan selama 10 detik. Selama relaksasi, fokuskan perhatian pada
pengurangan ketegangan dan pengalaman relaksasi.
4. Tegangkan otot-otot pinggul dan bokong. Tahan selama 5 detik, lalu lepaskan
perlahan selama 10 detik. Selama relaksasi, fokuskan perhatian pada
pengurangan ketegangan dan pengalaman relaksasi.
5. Tegangkan otot-otot di perut dan dada. Tahan selama 5 detik, lalu lepaskan
perlahan selama 10 detik. Selama relaksasi, fokuskan perhatian pada
pengurangan ketegangan dan pengalaman relaksasi.
6. Tegangkan otot-otot di bahu. Tahan selama 5 detik, lalu lepaskan perlahan
selama 10 detik. Selama relaksasi, fokuskan perhatian pada pengurangan
ketegangan dan pengalaman relaksasi.
7. Tegangkan otot-otot di wajah (mis., memejamkan mata). Tahan selama 5
detik, lalu lepaskan perlahan selama 10 detik. Selama relaksasi, fokuskan
perhatian pada pengurangan ketegangan dan pengalaman relaksasi.

16
8. Tegangkan otot-otot di tangan dengan membuat kepalan. Tahan selama 5
detik, lalu lepaskan perlahan selama 10 detik. Selama relaksasi, fokuskan
perhatian pada pengurangan ketegangan dan pengalaman relaksasi.

17
BAB 3
PICOT

No Judul/Penulis Populasi Intervensi Comparasion Outcome Time


1 Effectiveness of Progressive Muscle 218 Relaksasi - Latihan relaksasi otot progresif 5 minggu
Relaxation Techniques on Depression, mahasiswa otot sangat efektif mengurangi
Anxiety and Stress among sarjana progresif keadaan emosi negatif seperti
Undergraduate Nursing Students keperawat depresi, kecemasan dan stres
(Gangadharan & Madani, 2018) an yang pada mahasiswa sarjana
teridentifi keperawatan. Setelah intervensi
kasi sebagian besar para peserta
memiliki merasa santai dan mengurangi
emosi keparahan kondisi emosi negatif
negatif dan kembali ke keadaan emosi
tingkat yang normal.
rendah,
sedang
dan tinggi
2 Effect of progressive muscular 30 siswi Relaksasi - Relaksasi otot progresif secara 6 minggu,
relaxation technique on stress and 15 Siswi otot signifikan menurunkan stres dan 3x/minggu selama
anxiety among women students (Selvi kelompok progresif kecemasan pada murid 30 menit
& Indira, 2019) kontrol perempuan dibandingkan
15 Siswi dengan kelompok kontrol
kelompok
intervensi
3 Progressive muscle relaxation 66 wanita Relaksasi Terapi standar relaksasi dapat mengurangi 6 minggu
technique on anxiety and hamil usia otot stres, kecemasan, dan depresi

18
depression among persons affected kehamilan prograsif pada wanita hamil selama enam
by leprosy 28-36 sesi. Karena kesederhanaan dan
(Ramasamy et al., 2018) minggu biaya rendah dari teknik ini,
terbagi dapat digunakan untuk
dalam 33 mengurangi stres dan kecemasan
kelompok pada wanita hamil dan
eksperime meningkatkan hasil kehamilan
n dan 33
kelompok
kontrol
4 The effect of progressive muscle 50 pasien Relaksasi - Relaksasi otot prograsid secara 2x/hari selama 5-
relaxation and guided imagery on dengan otot signifikan menurunkan 6 hari
stress, anxiety, and depression of kusta prograsif kecemasan dan gejala depresi
pregnant women referred to health pada pasien kusta dan
centers (Khant et al., 2018) memberikan manfaat bagi
kesejahteraan psikososial pasien

19
20
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Teknik relaksasi otot progresif merupakan teknik relaksasi otot dalam yang
tidak memerlukan imajinasi, ketekunan, atau sugesti, hal ini merupakan salah satu
cara yang efektif untuk relaksasi dan mengurangi kecemasan. Berdasarkan telaah 15
jurnal menjelaskan bahwa indikasi latihan relaksasi otot progresif sering diberikan
pada pasien yang mengalami insomnia, stres, kecemasan dan depresi. Latihan
relaksasi otot progresif dengan cara menegangkan otot-otot tertentu dan kemudian
relaksasi bertujuan untuk menurunkan ketegangan otot, menghadirkan rasa nyama,
mengatasi stress, mengurangi derajat kecemasan dan membangun emosi positif dari
emosi negatif.

4.2 Saran
Latihan relaksasi otot progresif perlu dilakukan secara rutin agar mendapatkan
hasil yang maksimal. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang perpaduan terapi
relaksasi otot progresif dengan terapi lain yang dapat menurunkan kecemasan dan
stres.

21
DAFTAR PUSTAKA

Direja, A. H. S. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha


Medika.
Gemilang, J. (2013). Buku Pintar Manajemen Stres dan Emosi. Yogyakarta Mantra
Books.
Hawari, D. (2008). Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi. Jakarta : FKUI.
Herodes, R. (2010). Anxiety and Depression in Patient.
Isaacs, A. (2005). Panduan Belajar: Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatrik.
Jakarta: EGC.
Kaplan & Sadock. (2007). Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Psikiatri Klinis.
(Jilid 1). Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Norelli SK, Krepps JM. Relaxation Techniques. [Updated 2019 Jun 1]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2019 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513238/
Perry, Patricia A., & Potter, Anne Griffin. (2005). Fundamental Keperawatan buku
I edisi 7. Jakarta : Salemba Medika.
Ramdani, H. (2012). Pengaruh Latihan Relaksasi Otot Progresif Terhadap
Penurunan Tekanan Darah Klien Hipertensi Primer di Kota Malang. Malang.
Setyoadi, K. (2011). Terapi Modalitas Keperawatan Jiwa pada Klien
Psikogeriatrik. Jakarta : Salemba Medika.
Stuart, G.W & Laraia, M.T (2005). Principles and Practice of Psychiatric Nursing.
(7th edition). St Louis: Mosby.
Stuart, G. W. (2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Suliswati., Payopo, Tijie, Anita., Maruhawa, Jeremia., Sianturi, Yenny., Sumijatun.
(2005). Konsep Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Sustrani, L., Alam, S., Hadibroto, I. (2004). Hipertensi. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama Anggota IKAPI.
Townsend, C.M. (2005). Essentials of Psychiatric Mental Health Nursing. (3th Ed.).
Philadelphia: F.A. Davis Company.
Videbeck, S.,L. (2006). Psychiatric Mental Health Nursing. (3rd edition).
Philadhelpia: Lippincott Williams & Wilkins.
Videbeck, S.,L.(2008), Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

22
Li, Y. et al. (2015) “Progressive Muscle Relaxation Improves Anxiety and
Depression of Pulmonary Arterial Hypertension Patients,” 2015.
Luh, N., Ekarini, P. and Maryam, R. S. (2019) “Pengaruh Terapi Relaksasi Otot
Progresif terhadap Respon Fisiologis Pasien Hipertensi”.
Perwitasari, D. T., Nurbeti, N. and Armyanti, I. (2016) “Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Tingkatan Stres pada Tenaga Kesehatan di RS Universitas
Tanjungpura Pontianak Tahun 2015” 2, pp. 553–561.
Shahsavarani, A. M. et al. (2015) “Stress : Facts and Theories through Literature
Review,” 2(2).
Khant, N., Dani, V. B., Patel, P. and Rathod, R. (2018). The effect of progressive
muscle relaxation and guided imagery on stress, anxiety, and depression of
pregnant women referred to health centers, Journal of Education and Health
Promotion, 7, 1–6. doi: 10.4103/jehp.jehp.
Ramasamy, S., Panneerselvam, S., Govindharaj, P., Kumar, A. and Nayak, R.
(2018). Progressive muscle relaxation technique on anxiety and depression
among persons affected by leprosy, Journal of Exercise Rehabilitation, 14(3),
375–381. doi: 10.12965/jer.1836158.079.

23

Anda mungkin juga menyukai