Anda di halaman 1dari 21

Pagi itu, Sang Surya telah mencuat di balik kapas putih kebiruan yang

melayang bebas di cakrawala. Guratnya mulai memasuki celah dedaunan yang


bergantungan. Angin pagi pun masih membelai lembut lapisan terluar kulit
pemuda itu. Meskipun beberapa menit berikutnya, terik mulai terasa di balik
bajunya. Namanya, Rafi. Pemuda yang masih duduk di bangku SMA itu sedang
asyik bermain bulutangkis dengan pembantu yang sudah ia anggap sebagai
sosok abangnya sendiri–Burhan.

Seperti biasa, mereka melakukan rutinitas itu di penghujung pekan.


Bukan hal yang asing pula jika di tengah permainan mereka terdengar bentakan
yang walaupun sudah biasa diterima oleh indra pendengarannya, masih saja
membuat hatinya mencelos.

Jessica : “Rafiii!! Di mana kamu? Masih pagi taunya main aja! Benar-benar ya!”

(di belakang rumah)

Dani : “Aduh, Bang! Gimana nih?”

Beng : “Walah, Pi. Sana masuk. Ini biar abang aja yang beresin.”

Dani : “Oke, Bang. Nanti sore main lagi.”

(Rafi masuk ke dalam rumah)

Jessica : “Sini!! Habis ngapain kamu? Pagi-pagi udah raket aja yang dipegang.
Kamu gak lihat ini rumah udah kayak kapal pecah?”

Dani : “Tapi, Ma… kan kakak..”

Jessica : “Kakakmu itu sibuk kuliah. Memangnya kamu? Kerja cuma main raket.
Rumah berantakan bukannya diberesin.”

Dani : “Ma, tapi..”

Jessica : “Masih ngejawab lagi kamu? Anak jaman sekarang ya, bisanya ngelawan
aja. Lihat tuh kakak, bisa diandalkan. Lah kamu? Kerjanya nyusahin Mama aja.”
(Rafi terdiam)

Jessica : “Udah diomelin gini aja baru diam. Ya udah sana. Beresin rumah.”

Dani : “Iya, Ma.”

Rafi yang tak ingin dihujani celotehan lebih lanjut langsung melaksanakan
apa yang disuruh ibunya. Setelah menyelesaikannya, ia langsung kembali ke
kamar. Pandangannya jatuh pada secarik kertas yang berisikan agendanya untuk
satu minggu ke depan. Kalimat “Final Cerdas Cermat” tertulis di jadwal hari Senin
besok. Lantas ia teringat bahwa belum sempat memberitahu hal ini pada ibunya.

Dengan segera, ia melangkahkan kaki menuju tempat ibunya berada.


Namun, kelihatannya sang ibu sedang berbicara dengan seseorang lewat gawai
yang melekat di telinganya. Rafi pun mencoba menyela pembicaraan ibunya.

Dani : “Ma…?”

(Ibu masih menelepon)

Dani : “Ma…?”

Sang ibu yang masih berkutat dengan gawainya hanya melayangkan


tatapan tak suka kepada anak lelaki satu-satunya itu. Rafi mencoba memanggil
ibunya sekali lagi.

Dani : “Ma, ada yang mau Rafi kasih tau.”

Jessica : “Apasih, Pi? Kamu gak lihat Mama lagi ngapain?”

Dani : “Iya, Ma. Tapi nanti takutnya Rafi lupa mau bilang apa ke Mama.”

Jessica : “Ini Mama lagi ada telfon penting.”

Dani : “Maaf, Ma. Rafi cuma mau bilang kalau besok final cerdas cermatnya
Rafi.”

Jessica : “Ya terus?”


Dani : “Kalau Mama nggak sibuk, besok Mama datang ya ke sekolah. Jam dua.
Rafi tungguin ya, Ma.”

Jessica : “Iya iya.”

(Rafi kembali ke kamar. Sedangkan, Ibu lanjut menelepon)

Jessica : “Oh, nggak. Ituloh, anakku berulah lagi. Kan Jeng tau sendiri itu anak
nakalnya gak ketulungan. Pusing aku. Eh, besok jadinya ketemuan di mana, Jeng?”

Rafi yang mendengar percakapan ibunya dari balik pintu hanya bisa terdiam
dan memikirkan kesalahan apa yang sudah ia perbuat. Pikirannya terpecah
sehingga ia tak dapat lagi memikirkan perlombaannya besok. Detik berganti
menit, menit berganti jam. Begitu pula dengan purnama yang sebentar lagi akan
digantikan oleh Sang Mentari.

---

Tak seperti anak SMA pada umumnya yang memiliki banyak teman, Rafi
tergolong anak yang sangat tertutup. Ia lebih suka menjadi penyendiri yang tak
memiliki ikatan dengan orang-orang di sekitarnya. Tak heran, meski satu tim, Rafi
tak pernah berbicara dengan kedua rekannya–Abdul dan Fina, kecuali pada saat
lomba berlangsung.

Waktu menunjukkan pukul 13.45. Rafi yang sedari tadi melihat ke arah jam
mulai mencari sosok wanita yang ia harapkan hadir untuk menyemangatinya.
Menit-menit terasa berjalan lambat, tapi sosok itu tak kunjung datang. Hingga
akhirnya, ia dan kedua rekannya sudah diminta untuk menempati kursi yang telah
disediakan. Turut menemani, rival yang juga teman satu kelasnya–Anggi, Dhifa,
dan Willy–yang tergabung dalam tim B.

Bel berbunyi menandakan dimulainya final cerdas cermat. Perlombaan


berlangsung sengit dan skor ternyata berakhir imbang. Panitia pun berinisiatif
memberikan satu soal tambahan kepada kedua tim untuk menentukan
pemenangnya.
Juri : “Baiklah. Soal tambahan untuk kedua regu. Jika 6 orang pengurus OSIS
akan duduk dalam sebuah meja bundar, tetapi ketua dan wakil diharuskan duduk
berdampingan, maka berapa banyak cara untuk menentukan posisi mereka
duduk?”

Tim B : /teet/

Juri : “Ya, tim B silakan.”

Willy : “24.”

Juri : “Salah. Tim B minus 50.”

Tim A : /teet/

Dani : “48.”

Juri : “Benar. Plus 100 untuk tim A. Ya, jadi pemenang dari lomba cerdas
cermat ini adalah tim A.”

(Tim A saling tos, namun Rafi menghindar dan pergi)

Sikap Rafi yang terkesan defensif meninggalkan tanda tanya besar di benak
Fina. Kejadian itu ternyata juga tertangkap oleh kedua mata Bu Nur–wali
kelasnya–yang juga guru Penjaskes. Bu Nur lalu mendatangi mereka.

Judith : “Selamat ya untuk Rafi, Abdul, Fina. Tim B juga jangan berkecil hati.
Ibu tetap bangga dengan kalian.”

Willy : “Iya, Bu.”

Enji : “Lagian kita semua kan sekelas. Jadi, siapapun yang menang, pasti
didukung kok.”

Abdi : “Makasih gaes.”

Judith : “Fina, Abdul, sini sebentar.”

Fania : “Ada apa, Bu ?”


Judith : “Tadi Rafi kok udah pergi aja?”

Abdi : “Kurang tau, Bu. Mungkin kebelet.”

Judith : “Ooooh. Ya udah. Tunggu aja dulu.”

---

Keesokan harinya, semua siswa telah berbaris rapi di lapangan sekolah,


bersiap untuk mengikuti pelajaran penjaskes bersama wali kelas mereka.
Raut wajah yang ceria mereka hadirkan bersamaan dengan senyum yang ditebar,
kecuali Rafi–yang tak tersenyum sedikit pun dengan mata yang masih
memandang ke bawah–seakan ada sebuah masalah dialaminya.

Judith : “Pagi, anak-anak. Ok sesuai janji minggu lalu, hari ini kita main bebas
ya?”

Semua : “Iya, Bu. Main gebok, Bu.”

Judith : “Ok kalau mau main gebok, itu kebetulan Ibu uda bawa bolanya.
Main satu main semua ya.”

Semua : “Ya, Bu.”

Semua siswa langsung bersiap untuk bermain. Namun, Rafi malah


menggerakkan tubuhnya ke pinggir lapangan, lalu duduk sambil menundukkan
kepala. Sebenarnya ia tak ingin bermain, tetapi lidahnya kelu untuk
mengutarakan hal tersebut. Tak berapa lama, teriakan salah seorang temannya
memecah “waktu istirahatnya”.

Nadhifa : “Rafi, cepatla!”

(Fina mendekati Rafi)

Fania : “Kamu kenapa, Fi?”

Ia melihat ke arah Fina, lalu kembali menundukkan kepalanya. Mulutnya


masih bungkam. Fina yang merasa tak diacuhkan lantas pergi menjauh dan
bergabung dengan teman-teman yang tengah asyik mencoba lempar melempar.
Judith : “Eh, itu kok ga semua yang main?”

Willy : “Kayaknya Rafi ga mau main, Bu.”

Judith : “Loh kenapa?”

Nadhifa : “Ayolah, Fi. Kita semua mau main. Jangan buang-buang waktu.”

(Rafi akhirnya bergabung–dengan terpaksa)

Nadhifa : “Ntar kalo dapat bola, langsung aja lempar ke dia.”

Enji : “Kenapa emangnya?”

Willy : “Karena dia yang paling mudah dikenain.”

Permainan pun dimulai. Rafi yang menjadi sasaran teman-temannya


mencoba menghindari setiap lemparan yang datang ke arahnya. Namun,
keberuntungan tak memihak dirinya saat itu, bola akhirnya mendarat tepat di
lengan kanannya. Ia meringis dan Dhifa–pelaku lemparan–terkejut bukan
kepalang melihat reaksi Rafi yang meringis kesakitan.

Judith : “Kamu gapapa?”

(Rafi meringis kesakitan)

Nadhifa : “Eh, sorry, Fi. Tadi kukira pelan lemparannya.”

Sontak semua pasang mata melihat ke arah Rafi. Bu Nur selaku guru yang
bertanggung jawab terhadap muridnya langsung membopong Rafi ke UKS,
ditemani Fina.

Judith : “Kalian lanjut main aja ya.”

(di UKS)

Judith : “Bagian mana yang kena, Rafi?”

(Rafi hanya menggeleng)

Fania : “Tadi kena lengan kanannya, Bu.”


Judith : “Coba Ibu liat.”

Fania : “Biar saya bantu gulung, Bu.”

Fania & Judith : “Astagfirullahaladzim.”

Judith : “Ini kenapa bisa sampai lebam?”

(Rafi diam)

Fania : “Kena bola ga mungkin langsung biru gini, Bu. Kayaknya habis kena
pukul gitu, Bu.”

Judith : “Kamu dipukul sama siapa?”

(Rafi masih diam)

Judith : “Ibu kamu tahu soal ini?”

Dani : “Udah, Bu. Ini gapapa. Saya pamit dulu.”

Reaksi Rafi terbilang aneh. Pantas Fina dan Bu Nur terheran melihatnya.
Mereka kemudian saling bertatapan. Meninggalkan sebatas jarak dan sebuah
keheningan di antara mereka. Lantas pikiran mereka menemukan
solusi–memproses lebih lanjut terkait hal ini.

Judith : “Fina, kamu jangan kasih tau siapa-siapa. Ini biar Ibu selidiki lebih
lanjut.”

Fania : “Iya, Bu.”

Di sisi lain, tepatnya di lapangan, terjadi perseteruan antara “tim A” dan


“tim B”. Ya, meskipun cerdas cermat telah berakhir, namun pemberian nama ini
tampaknya masih relevan dengan situasi yang tengah terjadi.

Abdi : “Maksud kalian apa tadi?”

Enji : “Hah? Maksud yang mana?”


Abdi : “Kalian sengaja kan lempar ke Rafi? Kalian ini mikir ga sih efeknya kalo
dia sampai cedera?”

Willy : “Mikir. Cuma mikirnya ga kejauhan.”

Nadhifa : “Aku ga tau lho kalau lemparannya keras. Menurutku pelan-pelan aja.”

Abdi : “Terserah kalian deh.”

(Fina tiba)

Fania : “Guys, Ibuk suruh kita balik ke kelas.”

Sementara itu, di ruang majelis guru, Bu Nur yang sedang berpikir keras
akan masalah itu mencoba untuk menelepon orang tua Rafi. Ia mencari satu per
satu nama yang terdapat dalam kontak gawainya. Dan akhirnya, didapatilah nama
“Bu Sisca-Rafi” dengan nomor yang berjumlah 12 digit itu.

Judith : “Halo, assalamualaikum, Ibu. Ini saya wali kelas Rafi. Ada yang mau
saya bicarakan, Bu. Apakah Ibu berkenan datang ke sekolah hari ini?”

Jessica : “Oooh, ini wali kelasnya ya. Saya ini sibuk, Bu. Saya tak punya waktu
untuk bertemu Ibu hari ini.”

Judith : “Ooh, gitu ya, Bu. Bagaimana kalau besok saja? Atau lusa? Soalnya ini
penting, Bu. Menyangkut keadaan Rafi.”

Jessica : “Gini ya, Bu. Saya ini sibuk. Besok, lusa, atau minggu depan pun saya
tak akan bisa hadir. Sekarang aja deh, Bu. Di telepon.”

Judith : “Begini, Bu. Jadi, tadi saya melihat ada luka lebam di lengan Rafi. Apa
Ibu tahu mengenai hal ini?”

Jessica : “Oalah, pasti berulah lagi dia sama teman-temannya. Teman-teman


premannya itu.”

Judith : “Tapi saya yakin Rafi bukan anak seperti itu, Bu.”
Jessica : “Anda ini siapa? Saya ini ibunya. Tentu saya lebih tau tentang anak
saya.”

Judith : “Mohon maaf sebelumnya, Bu. Tapi, saya mohon Ibu dapat
meluangkan waktu sebentar saja untuk datang ke sekolah dan membicarakan hal
ini dengan saya.”

Jessica : “Nanti saya pikirkan. Selamat sore.”

(Telepon dimatikan)

(Bu Nur pun mencoba menelepon Dilla–kakak Rafi)

Judith : “Halo, assalamualaikum, Dilla. Ini Ibu, Bu Nur.”

Melly : “Waalaikumsalam, Bu. Apa kabar, Bu? Aduh, udah lama Dilla ga
nelpon.”

Judith : “Alhamdulillah baik. Kamu sendiri gimana?”

Melly : “Alhamdulillah baik juga, Bu.”

Judith : “Oh ya, sampai lupa. Dilla, kamu tau tidak kondisi adikmu? Soalnya
tadi Ibu lihat di lengannya ada lebam-lebam gitu.”

Melly : “Astagfirullah. Iya, Bu? Kok bisa?”

Judith : “Begini, maaf sebelumnya Ibu udah buat kamu khawatir. Ibu baru
tahu hal ini tadi, waktu mau ngobati Rafi. Soalnya waktu penjas, dia kena lempar
bola sama temannya. Jadi, pas ibu gulung lengan bajunya, terlihat ada luka
membiru di lengannya. Kan tidak mungkin juga kena bola langsung biru.”

Melly : “Terus, Bu?”

Judith : “Trus Ibu langsung telepon Mama kamu, tanyain tentang hal ini.
Cuma respon Mama kamu kesannya seperti ga suka gitu. Jadinya Ibu rada
khawatir dan curiga. Bukan bermaksud suudzan ya. Cuma Ibu khawatir ada
kenapa-kenapa sama Rafi.”
Melly : “Oooh gitu, Bu. Emmm, nanti coba Dilla telepon Mama ya, Bu. Biar
lebih jelas.”

Judith : “Iya, Dilla. Maaf sebelumnya ya udah buat kamu khawatir.”

Melly : “Iya, gapapa, Bu.”

---

Pada sore di mana waktu menunjukkan pukul 4 tepat, Rafi yang baru saja
pulang dari sekolah sambil merangkul ransel langsung dilemparkan omelan dari
ibunya yang masih mengingat betul apa saja yang dibicarakannya tadi dengan
wali kelas Rafi.

Jessica : “Rafi, sini kamu! Ngapain kamu di sekolah nunjuk-nunjukin luka ke


guru?”

Dani : “Bukan gitu, Ma. Tadi Rafi..”

Jessica : “Masih mau bohong kamu?”

Dani : “Dengerin dulu, Ma.”

(Kelima jari ibunya mendarat mulus di pipi Rafi–tepat setelah dia berucap)

Beng : “Astagfirullahaladzim, Bu. Rafi kenapa, Bu? Kenapa sampai


ditampar?”

Jessica : “Heh, jangan ikut-ikut kamu. Berani kamu ngelawan saya?”

Beng : “Maaf, Bu. Tapi, Rafi..”

Jessica : “Kamu mau saya pecat? Pembantu aja belagu.”

(Burhan terdiam. Sementara Rafi masih memegang pipinya yang ‘matang’)

Jessica : “Jawab! Jangan malah diem! Berani kamu sama Mama? Han,
ambil sapu cepat!”

Beng : “T-tapi, Bu..”


(Ibunya mengambil sapu dan memukul Rafi. Burhan mencoba melindungi.)

Jessica : “Awas kamu, Burhan.”

(Sapu akhirnya mengenai Rafi–dan begitu seterusnya)

Dani : “Ampun, Ma.”

Jessica : “Ampun, ampun. Bikin malu Mama aja! Dah sana balik kamar.”

Beng : “Pi, maafin abang ya. Abang ga bisa lindungi kamu tadi.”

Dani : “Ga apa, Bang.”

Jessica : “Han, sini kamu!”

Beng : “Iya, Bu?”

Jessica : “Kamu besok pagi ke sekolah Rafi. Pergi jumpai wali kelasnya.”

Beng : “Ada masalah apa, Bu?”

Jessica : “Udah, jangan banyak tanya. Lakukan aja perintah apa yang saya
perintahkan. Intinya, kalau ditanya-tanya, jangan asal ceplas-ceplos. Ya, pandai-
pandai kamu lah ngadapin gurunya.”

Beng : “Siap, Bu.”

(Gawai Bu Sisca tiba-tiba berdering)

Jessica : “Halo?”

Melly : “Ma, tadi pagi Bu Nur telepon Dilla. Dia cerita kalau ada luka
lebam di tangan Rafi.”

Jessica : “Lah, Bu Nur telepon kamu juga?”

Melly : “Iya. Ma, tolong ceritakan soal itu ke Dilla. Dilla takut ada kenapa-
napa sama Rafi. Soalnya Bu Nur bilang respon Mama pas ditelepon itu kayak ga
suka gitu.”
Jessica : “Sabar, Dil, sabar. Kamu tenangin diri kamu dulu. Biar Mama
jelasin. Adik kamu itu kemarin sore kena ujung raket waktu main badminton.
Awalnya iya cuma bengkak, tapi lama-lama jadi agak membiru. Udah mama bawa
ke dokter kok. Kamu tenang aja ya. Nanti adik kamu juga sembuh.”

Melly : “Tapi kenapa Bu Nur bilang respon Mama kayak ga suka gitu?”

Jessica : “Bukan ga suka, sayang. Mama tadi ngurus urusan penting pas
waktu Bu Nur telepon. Makanya mungkin bawaannya jadi ga enak gitu. Bukan
Mama ga suka. Kamu tahu kan akhir-akhir ini Mama banyak urusan kerja?”

Melly : “Iya, Ma. Dilla ngerti. Mungkin itu anggapan Bu Nur aja. Oke, Ma,
udah dulu ya. Dilla mau balik ke kos.”

Jessica : “Iya, Dil. Kamu jaga diri ya. Baik-baik di sana. Daah.”

Melly : “Iya, Ma. Assalamualaikum.”

Jessica : “Waalaikumsalam.”

---

Hari pun berganti. Burhan datang ke sekolah mewakili Bu Sisca.

Beng : “Permisi, Bu. Saya mau cari Bu Nur Sabira, guru penjaskes. Emm..
Bu Nur-nya ada, Bu?”

Judith : “Iya, saya sendiri. Ada apa mencari saya?”

Beng : “Begini, Bu. Saya mewakili Bu Sisca, ibunya Rafi. Soalnya Bu Sisca-nya lagi
ada urusan pekerjaan, jadi ga bisa hadir memenuhi panggilan, Bu.”

Judith : “Ooo. Maaf sebelumnya, Anda ini suaminya?”

Beng : “Bukan, Bu. Saya ini pembantunya.”

Judith : “Oooh, saya pikir Anda ini ayahnya Rafi. Kenapa bukan ayahnya saja yang
mewakili?”
Beng : “Bapak lagi di luar negeri, Bu. Ngurus bisnis. Oh ya, Bu, apa ada yang mau
dibicarakan tentang Rafi?”

Judith : “Sebenarnya ada. Tapi, berhubung Anda bukan keluarganya, jadi saya
tidak berhak untuk menyampaikan hal ini.”

Beng : “Kalau begitu, ya tidak apa-apa, Bu.”

Judith : “Oh ya, saya mau tanya, Pak. Ini Rafi keterangannya apa kok sampai tidak
datang?”

Beng : “O Rafi-nya sakit, Bu.”

Judith : “Seharusnya kalau sakit dibuat suratnya, lalu diantar ke sekolah. Kalau
begini kan terhitung alfa jadinya. Sakit apa?”

Beng : “Lengan kanannya sakit, Bu. Bengkak. Agak susah digerakkan.”

Judith : “Oalah, apa yang kemarin ya?”

Beng : “Ada apa, Bu?”

Judith : “Oh, ga ada apa-apa, Pak.”

---

Sorenya, Bu Nur berniat mendatangi rumah Rafi–sendirian.

(mengetuk pintu)

Judith : “Assalamualaikum.”

(mengetuk pintu lagi)

Judith : “Assalamualaikum.”

Suara bantingan benda yang amat keras menusuk gendang telinga Bu Nur.
Bu Nur pun terkejut, lalu mencari dari mana suara itu berasal.

Jessica : “Udah mama bilangin! Masih ngelawan aja kamu!”


(memukul Rafi)

(Bu Nur tiba dan melihat aksi itu dengan mata kepalanya)

Judith : “Astagfirullahaladzim. Bu, sudah, Bu. Ada apa ini?”

Jessica : “Heh, Anda siapa? Jangan ikut campur ya. Burhan! Kenapa ini orang asing
bisa masuk ke rumah?”

(Burhan lari pontang-panting)

Beng : “Maaf, Bu. Saya baru dari belakang.”

Jessica : “Maaf, maaf. Udah, bawa keluar ini orang.”

Beng : “T-tapi, Bu, ini Bu Nur, wali kelasnya Rafi. Yang kemarin Ibu nyuruh saya
wakilkan.”

Jessica : “Ooh, jadi ini yang namanya Bu Nur? Ibu ini ga sopan ya? Main masuk
aja.”

Judith : “Bu, apa Ibu sadar apa yang baru saja Ibu lakukan? Ibu telah melakukan
kekerasan terhadap anak Ibu sendiri.”

Jessica : “Ibu jangan ikut campur ya. Ini anak saya. Jadi saya yang bertanggung
jawab atasnya.”

Judith : “Bu, saya ini juga seorang ibu. Tidak sepatutnya seorang ibu melakukan
kekerasan terhadap anaknya.”

Jessica : “Ibu sudah lancang ya. Rafi, pasti kamu yang nyuruh Bu Nur datang
kemari kan? Memang kurang ajar kamu!”

Judith : “Hentikan, Bu! Atau saya laporkan Ibu ke polisi.”

Jessica : “Ibu pikir saya takut? Tidak. Silakan, kalau Ibu mau lapor ke polisi.”

Judith : “Kalau begitu, assalamualaikum.”

(Bu Nur meninggalkan tempat)


Saat sudah berada tepat di depan rumah Rafi, Bu Nur sempat menelepon
polisi sebelum meninggalkan tempat itu. Melaporkan kasus yang dinilainya sudah
melewati batas hak asasi manusia seorang anak.

Judith : “Halo, Pak. Ini dengan saya, Nur Sabira, ingin melaporkan kasus
penganiayaan anak di bawah umur atas nama Bu Sisca. Lokasi kejadian bertempat
di Jalan Menteng 31, Pekanbaru.”

Eki : “Baiklah kalau begitu, Bu. Akan kami catat kasusnya. Nanti kami akan
meninjau lokasi kejadian untuk mengumpulkan barang bukti dan data.”

Judith : “Baik, Pak. Terima kasih banyak atas waktunya.”

Eki : “Sama-sama, Bu.”

---

Beberapa hari setelah itu, masih dengan kejadian yang sama–Rafi


mendapat serangan fisik berupa pukulan, tamparan, dsb dari ibunya. Tampaknya
hal ini menjadi rutinitas harian di hidup Rafi.

Sampai pada suatu ketika, Rafi merasa tengah berada pada titik terendah
hidupnya itu. Ia muak dengan semua kejadian yang menimpanya itu. Namun yang
bisa dia lakukan hanyalah duduk termenung–sendirian.

(di sebuah tempat yang sulit dideskripsikan– pastinya yang tidak terjamah)

(Willy yang kebetulan lewat datang menghampiri)

Willy : “Eh, ngapain di sini, Pi?”

(Rafi diam)

Willy : “Kok lesu gitu? Pasti lagi banyak masalah.”

(Rafi hanya mengangguk)

Willy : “Sebenarnya ada cara untuk melampiaskan semua itu.”

Dani : “Apa?”
Willy : “Dengan ini.”

(mengeluarkan cutter)

Willy : “Pegang itu.”

(Rafi keheranan)

Willy : “Buka dulu cutternya. Trus, goreskan ujungnya ke pergelangan tangan.”

Dani : “Tapi ini kan bunuh diri namanya.”

Willy : “Terkadang bunuh diri adalah langkah terbaik untuk menyelamatkan


jiwamu dari kejamnya dunia.”

(Rafi terdiam dan berpikir)

Willy : “Bayangkan semua masalah yang menimpamu berada di pergelangan


tanganmu itu. Pusatkan semuanya di sana. Ujung cutter yang tajam ini, sebagai
senjatamu untuk memusnahkan masalah itu.”

Dani : “Kalau ga berhasil gimana?”

Willy : “Percaya padaku.”

Dani : “Bismillah..”

(Rafi merintih kesakitan, dan darah pun mulai menetes)

Willy : “Bagus. Teruskan. Kira-kira apa kata-kata terakhirmu?”

Dani : “Aku sayang ibu.”

(Darah mengalir semakin deras. Rafi pun akhirnya tewas setelah 45 menit)

(Willy menelepon Anggi)

Willy : “Gi, cepat ke sini. Di ****.”

(Anggi tiba)

Anggi : “Wah. Tampaknya ia telah membayar hasil cerdas cermat waktu itu.”
Willy : “Haha. Mari bersulang.”

(Keduanya bersulang atas kematian teman mereka itu)

Anggi : “Uah. Sudah cukup minumnya. Mari kita kembalikan dia.”

Keduanya membawa Rafi yang sudah tergeletak tak bernyawa itu ke rumah
Rafi. Lalu meletakkannya begitu saja di halaman belakang rumah Rafi.

Anggi : “Udah letak sini aja.”

(Keduanya lalu kabur)

---

(di kantor polisi)

Eki : “Halo. Selamat siang, Bu Jovi. Ini saya dari pihak kepolisian. Dua hari yang lalu
saya dapat laporan dari seorang wanita, kalo ga salah namanya Nur Sabira,
tentang kasus penganiayaan anak di bawah umur. Besok rencananya kami pihak
kepolisian akan meninjau lokasi kejadian. Jadi, saya ingin mengajak Bu Jo selaku
bagian dari KPAI untuk ikut dengan kami besok.”

Michelle : “Ooo. Baiklah kalau begitu, Pak. Saya ikut. Kalau boleh tau, lokasi
kejadiannya di mana ya?”

Eki : “Tadi menurut laporan, di Jalan Menteng 31, Bu.”

Michelle : “Oooo. Saya tau rumah itu.”

Eki : “Iya, Bu. Kalau begitu, besok kami akan menjemput Ibu jam 8 pagi.”

Michelle : “Baik.”

Eki : “Terima kasih, Bu, atas waktunya.”

Michelle : “Sama-sama.”

(Telepon dimatikan)

Michelle : “Ternyata kamu jahat ya Sisca.”


Keesokan paginya, rombongan kepolisian dan KPAI datang ke lokasi
kejadian–rumah Rafi. Burhan yang saat itu sedang berada di halaman depan
memotong rumput, terkejut melihat kedatangan orang-orang ini.

Eki : “Permisi, Pak.”

Beng : “Ada apa ya, Pak?”

Eki : “Kami pihak kepolisian beserta KPAI mendapat laporan adanya


penganiayaan anak di bawah umur. Jadi, maksud kedatangan kami ke sini adalah
untuk menginterogasi kebenaran laporan dan mengumpulkan barang bukti.”

Beng : “Maaf sebelumnya, Pak. Tapi saya rasa Bapak salah alamat. Karena di
rumah ini tidak pernah ada kejadian seperti itu, Pak.”

Eki : “Tapi menurut laporan, kejadian bertempat di Jalan Menteng 31. Jadi kami
rasa kami tidak datang ke rumah yang salah.”

Beng : “Maaf, Pak. Tapi apa Bapak yakin? Bisa saja itu hanyalah laporan palsu
yang diberikan ke Bapak, dengan dalih menjatuhkan nama baik keluarga ini.”

Michelle : “Tapi di situ tertulis No 31. Dan ini di Jalan Menteng. Saya harap Bapak
bisa bersikap kooperatif dengan kami.”

Eki : “Betul. Lagi pula, jika tidak ada apa-apa di rumah ini, maka Bapak pasti tidak
takut untuk sekadar mengizinkan kami masuk dan melihat.”

Michelle : “Atau jangan-jangan Bapak menyembunyikan sesuatu di rumah ini?”

Beng : “Tidak ada apa-apa, Bu. Emm, kalau begitu silakan masuk.”

(Rombongan lalu memasuki rumah Rafi)

Jessica : “Han, ada apa ini? Kok ada polisi di rumah kita?”

Beng : “Anu, Bu. Tadi kata polisinya cuma mau ngecek rumah. Dia bilang ada
laporan.”

Jessica : “Kamu ini ya. Kan sudah saya bilang, jangan biarkan siapa-siapa masuk.”
Beng : “Tapi tadi mereka maksa, Bu. Jadi, apa boleh buat.”

]Jessica : “Tapi untung Rafi belum pulang. Jadi, mereka tak curiga.”

(di belakang)

Michelle : “Emm, bau apa ini? Nyengat.”

Eki : “Iya, Bu. Hidung saya juga cium gitu.”

Michelle : “Kayaknya dari situ, Pak.”

Eki : “Coba kita cek, Bu.”

(Polisi membuka benda yang tampak mencurigakan)

Eki : “Astagfirullahaladzim. Mayat, Bu.”

Michelle : “Ya, Tuhan. Anaknya Sisca itu.”

Eki : “Ibu kenal Bu Sisca?”

Michelle : “Dia teman saya.”

(Polisi menghampiri Bu Sisca)

Eki : “Pagi, Bu. Apakah Ibu pemilik rumah ini?”

Jessica : “Iya. Ada apa ya, Pak? Sudah dibilang tidak ada apa-apa kan?”

Eki : “Justru kami menemukan sesuatu, Bu. Mari ikut saya ke belakang.”

(di belakang)

Eki : “Ini, Bu. Kami menemukan adanya mayat remaja laki-laki di halaman
belakang.”

Michelle : “Tega kamu, Sisca. Sampai hati kamu ngebunuh anak kamu sendiri.”

Jessica : “Astaga. Rafi… Rafi… Kenapa kamu bisa begini? Bangun, Pi. Bangun.”
Eki : “Saya rasa Ibu tak perlu bersandiwara lagi dalam hal ini. Bukti sudah kami
dapatkan.”

Jessica : “Pak, t-tapi saya bukan pelakunya, Pak. Kemarin anak saya pergi dan
belum pulang. Tau-tau jasadnya yang datang..”

Eki : “Sebaiknya Ibu ikut kami ke kantor polisi dan pertanggungjawabkan


perbuatan Ibu.”

Jessica : “T-tunggu, Pak.. Biarkan saya menjelaskan dulu.”

Eki : “Bawa Bapak ini juga.”

Keduanya dibawa ke kantor polisi. Lalu diproses secara hukum. Bu


Sisca dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Sedangkan, Burhan dijatuhi hukuman 2
tahun penjara.

Dan entah bagaimana caranya angin berembus membawa berita ini sampai
ke telinga Bu Nur, juga teman-teman sekelas Rafi.

Bu Nur : “Innalillahiwainnailahirojiun. Kenapa Bu Sisca sampai hati menghabisi


nyawa anaknya sendiri?”

(sementara itu di kelas)

Abdul, Anggi, Fina, Dhifa : “Innalillahiwainnailahirojiun.”

Fina : “Btw, tapi ini beritanya benar ga, Dul?”

Abdul : “Benar, Fin. Tadi aku dengar dari Bu Nur sendiri.”

Anggi : “Ga mungkin juga kan Bu Nur bohongin kita.”

Fina : “Iyasih.”

Dhifa : “Keknya kamu mesti cari cowok baru nih, Fin.”

Fina : “Astagfirullah, Dhifa.”


Abdul : “Tapi aku shock juga, masa ibu kandungnya setega itu sampai bunuh
Rafi?”

Fina : “Iya. Aku juga mikirnya gitu.”

Dhifa : “Selama aku sekolah baru kali ini dapat kasus ada teman dibunuh orang
tuanya sendiri. Kan uda waw banget jadinya.”

Tamat

Anda mungkin juga menyukai