Jessica : “Rafiii!! Di mana kamu? Masih pagi taunya main aja! Benar-benar ya!”
Beng : “Walah, Pi. Sana masuk. Ini biar abang aja yang beresin.”
Jessica : “Sini!! Habis ngapain kamu? Pagi-pagi udah raket aja yang dipegang.
Kamu gak lihat ini rumah udah kayak kapal pecah?”
Jessica : “Kakakmu itu sibuk kuliah. Memangnya kamu? Kerja cuma main raket.
Rumah berantakan bukannya diberesin.”
Jessica : “Masih ngejawab lagi kamu? Anak jaman sekarang ya, bisanya ngelawan
aja. Lihat tuh kakak, bisa diandalkan. Lah kamu? Kerjanya nyusahin Mama aja.”
(Rafi terdiam)
Jessica : “Udah diomelin gini aja baru diam. Ya udah sana. Beresin rumah.”
Rafi yang tak ingin dihujani celotehan lebih lanjut langsung melaksanakan
apa yang disuruh ibunya. Setelah menyelesaikannya, ia langsung kembali ke
kamar. Pandangannya jatuh pada secarik kertas yang berisikan agendanya untuk
satu minggu ke depan. Kalimat “Final Cerdas Cermat” tertulis di jadwal hari Senin
besok. Lantas ia teringat bahwa belum sempat memberitahu hal ini pada ibunya.
Dani : “Ma…?”
Dani : “Ma…?”
Dani : “Iya, Ma. Tapi nanti takutnya Rafi lupa mau bilang apa ke Mama.”
Dani : “Maaf, Ma. Rafi cuma mau bilang kalau besok final cerdas cermatnya
Rafi.”
Jessica : “Oh, nggak. Ituloh, anakku berulah lagi. Kan Jeng tau sendiri itu anak
nakalnya gak ketulungan. Pusing aku. Eh, besok jadinya ketemuan di mana, Jeng?”
Rafi yang mendengar percakapan ibunya dari balik pintu hanya bisa terdiam
dan memikirkan kesalahan apa yang sudah ia perbuat. Pikirannya terpecah
sehingga ia tak dapat lagi memikirkan perlombaannya besok. Detik berganti
menit, menit berganti jam. Begitu pula dengan purnama yang sebentar lagi akan
digantikan oleh Sang Mentari.
---
Tak seperti anak SMA pada umumnya yang memiliki banyak teman, Rafi
tergolong anak yang sangat tertutup. Ia lebih suka menjadi penyendiri yang tak
memiliki ikatan dengan orang-orang di sekitarnya. Tak heran, meski satu tim, Rafi
tak pernah berbicara dengan kedua rekannya–Abdul dan Fina, kecuali pada saat
lomba berlangsung.
Waktu menunjukkan pukul 13.45. Rafi yang sedari tadi melihat ke arah jam
mulai mencari sosok wanita yang ia harapkan hadir untuk menyemangatinya.
Menit-menit terasa berjalan lambat, tapi sosok itu tak kunjung datang. Hingga
akhirnya, ia dan kedua rekannya sudah diminta untuk menempati kursi yang telah
disediakan. Turut menemani, rival yang juga teman satu kelasnya–Anggi, Dhifa,
dan Willy–yang tergabung dalam tim B.
Tim B : /teet/
Willy : “24.”
Tim A : /teet/
Dani : “48.”
Juri : “Benar. Plus 100 untuk tim A. Ya, jadi pemenang dari lomba cerdas
cermat ini adalah tim A.”
Sikap Rafi yang terkesan defensif meninggalkan tanda tanya besar di benak
Fina. Kejadian itu ternyata juga tertangkap oleh kedua mata Bu Nur–wali
kelasnya–yang juga guru Penjaskes. Bu Nur lalu mendatangi mereka.
Judith : “Selamat ya untuk Rafi, Abdul, Fina. Tim B juga jangan berkecil hati.
Ibu tetap bangga dengan kalian.”
Enji : “Lagian kita semua kan sekelas. Jadi, siapapun yang menang, pasti
didukung kok.”
---
Judith : “Pagi, anak-anak. Ok sesuai janji minggu lalu, hari ini kita main bebas
ya?”
Judith : “Ok kalau mau main gebok, itu kebetulan Ibu uda bawa bolanya.
Main satu main semua ya.”
Nadhifa : “Ayolah, Fi. Kita semua mau main. Jangan buang-buang waktu.”
Sontak semua pasang mata melihat ke arah Rafi. Bu Nur selaku guru yang
bertanggung jawab terhadap muridnya langsung membopong Rafi ke UKS,
ditemani Fina.
(di UKS)
(Rafi diam)
Fania : “Kena bola ga mungkin langsung biru gini, Bu. Kayaknya habis kena
pukul gitu, Bu.”
Reaksi Rafi terbilang aneh. Pantas Fina dan Bu Nur terheran melihatnya.
Mereka kemudian saling bertatapan. Meninggalkan sebatas jarak dan sebuah
keheningan di antara mereka. Lantas pikiran mereka menemukan
solusi–memproses lebih lanjut terkait hal ini.
Judith : “Fina, kamu jangan kasih tau siapa-siapa. Ini biar Ibu selidiki lebih
lanjut.”
Nadhifa : “Aku ga tau lho kalau lemparannya keras. Menurutku pelan-pelan aja.”
(Fina tiba)
Sementara itu, di ruang majelis guru, Bu Nur yang sedang berpikir keras
akan masalah itu mencoba untuk menelepon orang tua Rafi. Ia mencari satu per
satu nama yang terdapat dalam kontak gawainya. Dan akhirnya, didapatilah nama
“Bu Sisca-Rafi” dengan nomor yang berjumlah 12 digit itu.
Judith : “Halo, assalamualaikum, Ibu. Ini saya wali kelas Rafi. Ada yang mau
saya bicarakan, Bu. Apakah Ibu berkenan datang ke sekolah hari ini?”
Jessica : “Oooh, ini wali kelasnya ya. Saya ini sibuk, Bu. Saya tak punya waktu
untuk bertemu Ibu hari ini.”
Judith : “Ooh, gitu ya, Bu. Bagaimana kalau besok saja? Atau lusa? Soalnya ini
penting, Bu. Menyangkut keadaan Rafi.”
Jessica : “Gini ya, Bu. Saya ini sibuk. Besok, lusa, atau minggu depan pun saya
tak akan bisa hadir. Sekarang aja deh, Bu. Di telepon.”
Judith : “Begini, Bu. Jadi, tadi saya melihat ada luka lebam di lengan Rafi. Apa
Ibu tahu mengenai hal ini?”
Judith : “Tapi saya yakin Rafi bukan anak seperti itu, Bu.”
Jessica : “Anda ini siapa? Saya ini ibunya. Tentu saya lebih tau tentang anak
saya.”
Judith : “Mohon maaf sebelumnya, Bu. Tapi, saya mohon Ibu dapat
meluangkan waktu sebentar saja untuk datang ke sekolah dan membicarakan hal
ini dengan saya.”
(Telepon dimatikan)
Melly : “Waalaikumsalam, Bu. Apa kabar, Bu? Aduh, udah lama Dilla ga
nelpon.”
Judith : “Oh ya, sampai lupa. Dilla, kamu tau tidak kondisi adikmu? Soalnya
tadi Ibu lihat di lengannya ada lebam-lebam gitu.”
Judith : “Begini, maaf sebelumnya Ibu udah buat kamu khawatir. Ibu baru
tahu hal ini tadi, waktu mau ngobati Rafi. Soalnya waktu penjas, dia kena lempar
bola sama temannya. Jadi, pas ibu gulung lengan bajunya, terlihat ada luka
membiru di lengannya. Kan tidak mungkin juga kena bola langsung biru.”
Judith : “Trus Ibu langsung telepon Mama kamu, tanyain tentang hal ini.
Cuma respon Mama kamu kesannya seperti ga suka gitu. Jadinya Ibu rada
khawatir dan curiga. Bukan bermaksud suudzan ya. Cuma Ibu khawatir ada
kenapa-kenapa sama Rafi.”
Melly : “Oooh gitu, Bu. Emmm, nanti coba Dilla telepon Mama ya, Bu. Biar
lebih jelas.”
---
Pada sore di mana waktu menunjukkan pukul 4 tepat, Rafi yang baru saja
pulang dari sekolah sambil merangkul ransel langsung dilemparkan omelan dari
ibunya yang masih mengingat betul apa saja yang dibicarakannya tadi dengan
wali kelas Rafi.
(Kelima jari ibunya mendarat mulus di pipi Rafi–tepat setelah dia berucap)
Jessica : “Jawab! Jangan malah diem! Berani kamu sama Mama? Han,
ambil sapu cepat!”
Jessica : “Ampun, ampun. Bikin malu Mama aja! Dah sana balik kamar.”
Beng : “Pi, maafin abang ya. Abang ga bisa lindungi kamu tadi.”
Jessica : “Kamu besok pagi ke sekolah Rafi. Pergi jumpai wali kelasnya.”
Jessica : “Udah, jangan banyak tanya. Lakukan aja perintah apa yang saya
perintahkan. Intinya, kalau ditanya-tanya, jangan asal ceplas-ceplos. Ya, pandai-
pandai kamu lah ngadapin gurunya.”
Jessica : “Halo?”
Melly : “Ma, tadi pagi Bu Nur telepon Dilla. Dia cerita kalau ada luka
lebam di tangan Rafi.”
Melly : “Iya. Ma, tolong ceritakan soal itu ke Dilla. Dilla takut ada kenapa-
napa sama Rafi. Soalnya Bu Nur bilang respon Mama pas ditelepon itu kayak ga
suka gitu.”
Jessica : “Sabar, Dil, sabar. Kamu tenangin diri kamu dulu. Biar Mama
jelasin. Adik kamu itu kemarin sore kena ujung raket waktu main badminton.
Awalnya iya cuma bengkak, tapi lama-lama jadi agak membiru. Udah mama bawa
ke dokter kok. Kamu tenang aja ya. Nanti adik kamu juga sembuh.”
Melly : “Tapi kenapa Bu Nur bilang respon Mama kayak ga suka gitu?”
Jessica : “Bukan ga suka, sayang. Mama tadi ngurus urusan penting pas
waktu Bu Nur telepon. Makanya mungkin bawaannya jadi ga enak gitu. Bukan
Mama ga suka. Kamu tahu kan akhir-akhir ini Mama banyak urusan kerja?”
Melly : “Iya, Ma. Dilla ngerti. Mungkin itu anggapan Bu Nur aja. Oke, Ma,
udah dulu ya. Dilla mau balik ke kos.”
Jessica : “Iya, Dil. Kamu jaga diri ya. Baik-baik di sana. Daah.”
Jessica : “Waalaikumsalam.”
---
Beng : “Permisi, Bu. Saya mau cari Bu Nur Sabira, guru penjaskes. Emm..
Bu Nur-nya ada, Bu?”
Beng : “Begini, Bu. Saya mewakili Bu Sisca, ibunya Rafi. Soalnya Bu Sisca-nya lagi
ada urusan pekerjaan, jadi ga bisa hadir memenuhi panggilan, Bu.”
Judith : “Oooh, saya pikir Anda ini ayahnya Rafi. Kenapa bukan ayahnya saja yang
mewakili?”
Beng : “Bapak lagi di luar negeri, Bu. Ngurus bisnis. Oh ya, Bu, apa ada yang mau
dibicarakan tentang Rafi?”
Judith : “Sebenarnya ada. Tapi, berhubung Anda bukan keluarganya, jadi saya
tidak berhak untuk menyampaikan hal ini.”
Judith : “Oh ya, saya mau tanya, Pak. Ini Rafi keterangannya apa kok sampai tidak
datang?”
Judith : “Seharusnya kalau sakit dibuat suratnya, lalu diantar ke sekolah. Kalau
begini kan terhitung alfa jadinya. Sakit apa?”
---
(mengetuk pintu)
Judith : “Assalamualaikum.”
Judith : “Assalamualaikum.”
Suara bantingan benda yang amat keras menusuk gendang telinga Bu Nur.
Bu Nur pun terkejut, lalu mencari dari mana suara itu berasal.
(Bu Nur tiba dan melihat aksi itu dengan mata kepalanya)
Jessica : “Heh, Anda siapa? Jangan ikut campur ya. Burhan! Kenapa ini orang asing
bisa masuk ke rumah?”
Beng : “T-tapi, Bu, ini Bu Nur, wali kelasnya Rafi. Yang kemarin Ibu nyuruh saya
wakilkan.”
Jessica : “Ooh, jadi ini yang namanya Bu Nur? Ibu ini ga sopan ya? Main masuk
aja.”
Judith : “Bu, apa Ibu sadar apa yang baru saja Ibu lakukan? Ibu telah melakukan
kekerasan terhadap anak Ibu sendiri.”
Jessica : “Ibu jangan ikut campur ya. Ini anak saya. Jadi saya yang bertanggung
jawab atasnya.”
Judith : “Bu, saya ini juga seorang ibu. Tidak sepatutnya seorang ibu melakukan
kekerasan terhadap anaknya.”
Jessica : “Ibu sudah lancang ya. Rafi, pasti kamu yang nyuruh Bu Nur datang
kemari kan? Memang kurang ajar kamu!”
Jessica : “Ibu pikir saya takut? Tidak. Silakan, kalau Ibu mau lapor ke polisi.”
Judith : “Halo, Pak. Ini dengan saya, Nur Sabira, ingin melaporkan kasus
penganiayaan anak di bawah umur atas nama Bu Sisca. Lokasi kejadian bertempat
di Jalan Menteng 31, Pekanbaru.”
Eki : “Baiklah kalau begitu, Bu. Akan kami catat kasusnya. Nanti kami akan
meninjau lokasi kejadian untuk mengumpulkan barang bukti dan data.”
---
Sampai pada suatu ketika, Rafi merasa tengah berada pada titik terendah
hidupnya itu. Ia muak dengan semua kejadian yang menimpanya itu. Namun yang
bisa dia lakukan hanyalah duduk termenung–sendirian.
(di sebuah tempat yang sulit dideskripsikan– pastinya yang tidak terjamah)
(Rafi diam)
Dani : “Apa?”
Willy : “Dengan ini.”
(mengeluarkan cutter)
(Rafi keheranan)
Dani : “Bismillah..”
(Darah mengalir semakin deras. Rafi pun akhirnya tewas setelah 45 menit)
(Anggi tiba)
Anggi : “Wah. Tampaknya ia telah membayar hasil cerdas cermat waktu itu.”
Willy : “Haha. Mari bersulang.”
Keduanya membawa Rafi yang sudah tergeletak tak bernyawa itu ke rumah
Rafi. Lalu meletakkannya begitu saja di halaman belakang rumah Rafi.
---
Eki : “Halo. Selamat siang, Bu Jovi. Ini saya dari pihak kepolisian. Dua hari yang lalu
saya dapat laporan dari seorang wanita, kalo ga salah namanya Nur Sabira,
tentang kasus penganiayaan anak di bawah umur. Besok rencananya kami pihak
kepolisian akan meninjau lokasi kejadian. Jadi, saya ingin mengajak Bu Jo selaku
bagian dari KPAI untuk ikut dengan kami besok.”
Michelle : “Ooo. Baiklah kalau begitu, Pak. Saya ikut. Kalau boleh tau, lokasi
kejadiannya di mana ya?”
Eki : “Iya, Bu. Kalau begitu, besok kami akan menjemput Ibu jam 8 pagi.”
Michelle : “Baik.”
Michelle : “Sama-sama.”
(Telepon dimatikan)
Beng : “Maaf sebelumnya, Pak. Tapi saya rasa Bapak salah alamat. Karena di
rumah ini tidak pernah ada kejadian seperti itu, Pak.”
Eki : “Tapi menurut laporan, kejadian bertempat di Jalan Menteng 31. Jadi kami
rasa kami tidak datang ke rumah yang salah.”
Beng : “Maaf, Pak. Tapi apa Bapak yakin? Bisa saja itu hanyalah laporan palsu
yang diberikan ke Bapak, dengan dalih menjatuhkan nama baik keluarga ini.”
Michelle : “Tapi di situ tertulis No 31. Dan ini di Jalan Menteng. Saya harap Bapak
bisa bersikap kooperatif dengan kami.”
Eki : “Betul. Lagi pula, jika tidak ada apa-apa di rumah ini, maka Bapak pasti tidak
takut untuk sekadar mengizinkan kami masuk dan melihat.”
Beng : “Tidak ada apa-apa, Bu. Emm, kalau begitu silakan masuk.”
Jessica : “Han, ada apa ini? Kok ada polisi di rumah kita?”
Beng : “Anu, Bu. Tadi kata polisinya cuma mau ngecek rumah. Dia bilang ada
laporan.”
Jessica : “Kamu ini ya. Kan sudah saya bilang, jangan biarkan siapa-siapa masuk.”
Beng : “Tapi tadi mereka maksa, Bu. Jadi, apa boleh buat.”
]Jessica : “Tapi untung Rafi belum pulang. Jadi, mereka tak curiga.”
(di belakang)
Jessica : “Iya. Ada apa ya, Pak? Sudah dibilang tidak ada apa-apa kan?”
Eki : “Justru kami menemukan sesuatu, Bu. Mari ikut saya ke belakang.”
(di belakang)
Eki : “Ini, Bu. Kami menemukan adanya mayat remaja laki-laki di halaman
belakang.”
Michelle : “Tega kamu, Sisca. Sampai hati kamu ngebunuh anak kamu sendiri.”
Jessica : “Astaga. Rafi… Rafi… Kenapa kamu bisa begini? Bangun, Pi. Bangun.”
Eki : “Saya rasa Ibu tak perlu bersandiwara lagi dalam hal ini. Bukti sudah kami
dapatkan.”
Jessica : “Pak, t-tapi saya bukan pelakunya, Pak. Kemarin anak saya pergi dan
belum pulang. Tau-tau jasadnya yang datang..”
Dan entah bagaimana caranya angin berembus membawa berita ini sampai
ke telinga Bu Nur, juga teman-teman sekelas Rafi.
Fina : “Iyasih.”
Dhifa : “Selama aku sekolah baru kali ini dapat kasus ada teman dibunuh orang
tuanya sendiri. Kan uda waw banget jadinya.”
Tamat