Anda di halaman 1dari 10

NAMA : NANDA BIDEWAN

NPP : 28.0364
KELAS : KEBIJAKAN PEMERINTAHAN

TUGAS :
1. KEMUKAKAN HAL-HAL YANG BERKAITAN DENGAN ISU KEMBALI
KE DAERAH (MUDIK) DI TENGAH TERJADINYA COVID-19
2. KEMUKAKAN AGENDA KEBIJAKAN (POLICY AGENDA) YANG UTAMA

JAWAB:

MENYOAL KEBIJAKAN MUDIK LEBARAN DI TENGAH PANDEMI


COVID-19

Kebijakan mudik lebaran di masa pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19)
menimbulkan polemik. Semula, pemerintah telah mengampanyekan rencana kebijakan “tidak
mudik - tidak piknik lebaran 2020” sebagai antisipasi penyebaran Covid 19. Rencana larangan
mudik ini sempat simpang siur sebelum akhirnya pemerintah memutuskan tidak melarang mudik
lebaran 2020, meski di tengah merebaknya wabah virus corona. Bahkan, Menteri Koordinator
Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marinves) sekaligus Menteri Perhubungan Ad
Interim, Luhut Binsar Pandjaitan, telah menegaskan tak ada larangan mudik di Lebaran 2020
dengan tujuan agar roda ekonomi, terutama di daerah, bisa tetap berjalan kondusif.

Meskipun demikian, tampaknya pro dan kontra terhadap kebijakan mudik lebaran di
masa pandemi Covid 19 ini tak terhindarkan. Secara umum, pandangan yang pro terhadap
kebijakan mudik lebaran didasarkan pada alasan ekonomi. Mereka ingin agar aktivitas
perekonomian masyarakat tetap berjalan. Sementara, pandangan yang kontra terhadap
diizinkannya mudik lebaran didasarkan pada alasan kesehatan. Mereka melihat potensi penularan
virus corona selama mudik lebaran sangat dahsyat.

Sudah menjadi pemahaman umum, para pemudik ini punya kecenderungan untuk
berkerumun dan berinteraksi dengan keluarga besar, tetangga dan warga desa lainnya. Hal ini
berpotensi mempercepat penularan virus corona di daerah asal para pemudik. Sementara, hingga
saat ini jumlah orang yang terjangkit virus Corona terus meningkat. Maraknya para perantau dari
Jakarta dan sejumlah wilayah penyangga yang mudik diprediksi akan membuat angka kasus
Covid-19 semakin membengkak. Belajar dari China Indonesia seharusnya belajar dari China.
Meski kasus Covid-19 berawal dari Kota Wuhan, dalam waktu singkat virus ini menyebar ke
penjuru China dan seluruh dunia. Penyebabnya, serangan virus terjadi saat warga China
merayakan Tahun Baru Imlek. Seperti Lebaran di Indonesia, Imlek di China diwarnai dengan
mudik ke kampung halaman.

Lantas bagaimana kita memahami dan menyikapi polemik kebijakan mudik lebaran di
masa pandemi corona ini dari perspektif transportasi? Pertama, jangan larut berkepanjangan
dalam polemik kebijakan mudik. Kritik terhadap suatu kebijakan itu memang penting dan perlu
senantiasa disuarakan. Apalagi proses lahirnya keputusan itu terkesan inkonsisten yang
dilakukan oleh pemerintah.

Dalam menyikapi permasalahan ini, ketika pemerintah tetap bersikukuh pada


keputusannya yang tetap mengizinkan mudik di masa pandemi corona ini, maka kita tak perlu
larut dalam polemik berkepanjangan. Selanjutnya, marilah kita mulai lebih fokus untuk
memikirkan upaya meminimalisir dampak dari implementasi kebijakan tersebut. Terutama
penyebaran virus corona akibat mobilitas orang di saat mudik lebaran.

Dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 21/2020 tentang Pembatasan Sosial


Berskala Besar (PSBB) dalam rangka percepatan penanganan Covid-19 tertanggal 31 Maret
2020, pemerintah dapat secara tegas melakukan pembatasan kegiatan tertentu untuk mencegah
kemungkinan penyebaran Covid 19, yakni dengan melarang orang keluar rumah atau bermigrasi
ke tempat lain, termasuk pulang kampung. Substansi PSBB ini sejatinya sejalan dengan rencana
awal pemerintah untuk menerapkan kebijakan larangan mudik lebaran 2020. Agar masyarakat
tidak mudik, pemerintah akan memberikan bantuan sosial (bansos) khusus. Bantuan
perlindungan sosial ini bisa dimanfaatkan untuk bertahan selama musim mudik Lebaran..

Tradisi mudik melibatkan mobilitas orang (social mobility) dalam jumlah yang sangat
banyak. Berdasarkan data pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah pemudik biasanya sekitar 20
juta orang yang melakukan pergerakan ke seluruh wilayah Indonesia. Angka tersebut tentu
sangat fantastis untuk ukuran volume pergerakan lalu lintas yang menggunakan berbagai moda
transportasi, baik angkutan pribadi maupun angkutan umum. Oleh karena itu, sangat wajar jika
menghadapi momentum mudik dalam kondisi normal saja, pemerintah harus melakukan
berbagai persiapan. Meski telah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, namun selalu saja muncul
aneka problem selama masa mudik lebaran karena jumlah pergerakan manusia yang
dikendalikan sekitar 20 juta orang.

Jika mudik dalam kondisi normal saja tak mudah dikendalikan. Kita bisa bayangkan
bagaimana mengendalikan pergerakan pemudik dalam jumlah yang sangat besar di masa
pandemi covid 19. Katakanlah dengan kampanye dan himbauan yang masif, serta pemberian
insentif bagi penduduk yang tidak mudik, lalu terjadi penurunan jumlah pemudik, misalnya
hingga 50 persen. Inipun berarti masih ada sekitar 10 juta orang yang melakukan perjalanan
mudik ke seluruh wilayah Indonesia. Mengendalikan pergerakan 10 juta orang pemudik tentu
juga tidak mudah. Apalagi di masa pandemi corona yang harus mengikuti serangkaian protokol
kesehatan Covid 19.

Melihat fenomena seperti ini dapat diakatakan bahwasanya tak ada jaminan pemudik
terbebas dari Covid 19. Penyataan “Mudik Boleh Asal Tak Bawa Virus Corona” tampaknya
tidak realistis. Mengingat 10 juta atau 20 juta orang pemudik merupakan jumlah yang sangat
banyak. Tentu ttidak ada jaminan mereka terbebas dari Covid 19. Apalagi dikabarkan beberapa
kasus pasien positif Covid-19 tanpa gejala klinis atau asimtomatik. Mereka biasanya tak punya
keluhan klinis seperti demam, batuk kering, apalagi sesak napas. Namun mampu menularkan
virus corona kepada orang lain yang sehat.

Sekalipun saat mudik nanti diterapkan protokol kesehatan pada simpul-simpul


transportasi tetap saja pemudik berpotensi menjadi pembawa virus (carrier) dari kota-kota besar
ke kampung-kampung dan lingkungan sekitarnya. Namun demikian, protokol kesehatan wajib
diberlakukan pada simpul-simpul transportasi seperti bandar udara, pelabuhan laut, pelabuhan
penyeberangan, stasiun, terminal penumpang, halte bus, dan rest area di jalan tol. Hal ini penting
karena pada simpul transportasi tersebut menjadi salah satu tempat berkerumunnya pemudik
untuk meneruskan aktivitas perjalanan mudik ke kampung halaman.
Jika kita hanya mendiskusikan satu atau dua orang pemudik yang terinfeksi dan atau
menjadi pembawa virus (carrier) ke kampung halaman, barangkali tidak akan berdampak luas.
Namun jika pemudik yang menjadi pembawa virus itu jumlahnya sangat besar, maka dampaknya
tentu akan sangat luas dan serius. Misal, satu persen (1%) saja dari asumsi jumlah total 20 juta
orang pemudik, berarti akan ada dua ratus (200) ribu pemudik yang menjadi pembawa virus dan
berpotensi menularkan virus Covid 19 ke seluruh wilayah Indonesia. Sebaran penularannya bisa
menjadi semakin dahsyat, bila pemudik turut mengikuti tradisi “unjung-unjung” atau saling
berkunjung ke sanak saudara dan tetangga di kampung halaman.

Pemerintah memang telah menetapkan bahwa pemudik yang berasal dari daerah paling
rentan atau zona merah Covid 19 akan berstatus ODP (Orang Dalam Pantauan). Sehingga
setibanya di kampung halaman maka diwajibkan untuk karantina mandiri selama 14 hari. Meski
telah ditetapkan protokol terkait status ODP tersebut, namun hal seperti ini tetap amat sulit
dipatuhi di lapangan. Bayangkan saja, di masa mudik nanti siapa yang akan tahan mengisolasi
diri tak keluar rumah ketika tiba di kampung halaman. Padahal tujuan utama mereka mudik
karena ingin melepas rindu ketemu dengan keluarga, sanak saudara dan teman-teman di
kampung halaman. Hal itu pun dianggap sia-sia untuk pemudik yang hanya untuk silaturahmi
dalam jangka pendek. Sudah jauh-jauh di perjalanan, sampai di sana tidak bisa bebas karena
harus melakukan karantina setelahnya

Sangat boleh jadi, pasca mudik nanti memang akan timbul ledakan jumlah penduduk
yang positif terinfeksi Covid 19. Potensi risiko ini tentu terkait pula dengan karakteristik daerah.
Seperti tingginya mobilitas dan tingkat kepadatan penduduk pada daerah asal dan tujuan mudik
lebaran. Seperti daerah-daerah di Pulau Jawa. Jika pasca mudik benar-benar terjadi ledakan
penularan covid 19, maka fasilitas rumah sakit, dokter dan tenaga medis lainnya akan kewalahan
dengan peningkatan pasien yang signifikan. Pada akhirnya, ongkos yang harus dibayar
pemerintah juga akan semakin mahal, termasuk seluruh kerugian material dan non-material
lainnya.

Selanjutnya, apabila dilihat dari segi moda transportasi yang biasa digunakan oleh
masyarakat Indonesia tentunya banyak pilihan moda transportasi mudik lebaran dengan segala
kelebihan dan kekurangannya. Berdasakan jenis angkutan, diketahui prosentase pemudik lebaran
sebelumnya yang menggunakan moda transportasi adalah angkutan jalan (22%), angkutan
penyeberangan (19%), angkutan laut (5%), angkutan udara (29%), dan angkutan kereta api
(24%). Berdasarkan kategori jenis kendaraan yang biasa digunakan untuk mudik, diketahui
bahwa pemudik yang menggunakan kendaraan umum (41.2%) dan kendaraan pribadi (58,8%).

Pilihan moda transportasi umum tentu lebih berisiko terhadap penyebaran Covid 19
dibandingkan kendaraan pribadi. Pilihan ini dapat dijadikan pertimbangan bagi pemudik yang
akan melakukan perjalanan ke kempung halaman. Hal ini berarti seandainya mudik lebaran tanpa
moda angkutan umum, maka risiko penyebaran Covid 19 menjadi lebih kecil. Namun jika moda
transportasi yang diizinkan untuk digunakan mudik hanya kendaraan pribadi, tentu juga tidak
mungkin. Mengingat selama ini pemudik yang menggunakan kendaraan umum sebesar 41.2%
dan kendaraan pribadi sebesar 58,8%. Yang terpenting adalah bahwa semua pilihan moda
transportasi yang digunakan oleh pemudik harus taat protokol kesehatan, baik angkutan pribadi
maupun angkutan umum. Di antaranya:

(i) Penyemprotan disinfektan terhadap sarana dan prasarana transportasi publik secara
berkala;
(ii) Menyediakan hand sanitizer;
(iii) Mengukur suhu petugas maupun penumpang;
(iv) Menyediakan masker bagi penumpang yang sedang batuk atau flu; serta,
(v) Penerapan social distancing atau physical distancing dengan mengatur jarak antar
penumpang saat berada di area transportasi publik.

Selain itu yang harus diperhatikan demikian adalah manajemen dan rekayasa lalu lintas
yan tentunya membutuhkan dukungan kepastian regulasi mudik lebaran. Saat ini pemerintah
tidak melarang tapi menghimbau masyarakat tidak mudik lebaran agar bisa menahan laju
penyebaran virus corona atau Covid-19. Kebijakan seperti ini mencerminkan ketidaktegasan dan
ketidakpastian, serta menyulitkan bagi petugas dalam penanganan manajemen dan rekayasa lalu
lintas di saat mudik lebaran. Selain itu, juga berpotensi menimbulkan perbedaan persepsi dan
multi interpretasi antar wilayah dan antar daerah yang dapat mengganggu kelancaran arus mudik
dan arus balik lebaran 2020.

Mengakhiri tulisan ini, penulis berharap semua pihak semakin memahami besarnya
potensi penyebaran Covid 19 pasca mudik lebaran. Oleh karena itu, kiranya sangat penting untuk
tetap diberikan ruang bagi perubahan kebijakan. Hingga diperoleh kebijakan mudik lebaran yang
lebih akurat di masa pandemi corona. Ketersediaan ruang perubahan kebijakan ini penting
karena masih cukup waktu bagi pemerintah untuk mengevaluasi perkembangan penyebaran
Covid 19 di Indonesia hingga menjelang mudik lebaran tiba.

AGENDA KEBIJAKAN YANG DILAKUKAN OLEH PEMERINTAH

Tidak semua masalah dan isu publik masuk dalam agenda kebijakan. Agenda kebijakan
dapat didefinisikan sebagi tuntutan-tuntutan agar para pembuat kebijakan memilih atau merasa
terdorong untuk melakukan tindakan tertentu. Agenda kebijakan merupakan tanggungjawab dari
pemerintah selaku pembuat kebijakan bagi seluruh masyarakatnya.

Menurut Kingdon (1984:3): Agenda: sebuah daftar pokok soal (subjek) atau masalah
yang menjadi pusat perhatian serius pada waktu tertentu bagi para pejabat pemerintah maupun
orang di luar pemerintahan yang terkait erat dengannya. Proses agenda kebijakan berlangsung
ketika pejabat publik belajar mengenai masalah-masalah baru, memutuskan untuk memberi
perhatian secara personal dan memobilisasi organisasi yang mereka miliki untuk merespon
masalah tersebut.

Faktor2 yang mempengaruhi masuknya masalah dalam agenda kebijakan Menurut Lester
dan Stewart:

1. Suatu isu telah melampaui proporsi suatu krisis dan tidak dapat terlalu lama
didiamkan
2. Sifat partikularitas, yaitu isu dapat menunjukkan dan mendramatisir isu yang
lebih besar
3. Mempunyai aspek emosional dan mendapat perhatian media massa karena
faktor human interest
4. Mendorong munculnya pertanyaan menyangkut kekuasaan dan legitimasi, dan
masyarakat
5. Isu tersebut sedang menjadi trend atau sedang diminati oleh banyak orang.

Dalam menghadapi permasalahan virus covid-19 ini maka terdapat beberapa agenda
kebijakan yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam menangani permasalahan tersebut
diantaranya:

1. Tambahan belanja APBN 2020 senilai Rp405,1 triliun


Jokowi menyatakan pemerintah memutuskan untuk menambah anggaran belanja dan
pembiayaan APBN 2020 untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp405,1 triliun.
Penambahan anggaran tersebut dialokasikan untuk sejumlah sektor, yakni: untuk
belanja bidang kesehatan dialokasikan Rp75 triliun untuk anggaran perlindungan
sosial dialokasikan Rp110 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus Kredit Usaha
Rakyat (KUR) dialokasikan Rp70,1 triliun untuk pembiayaan program pemulihan
ekonomi nasional, termasuk restrukturisasi kredit serta penjaminan dan pembiayaan
dunia usaha, khususnya UMKM, dialokasikan Rp150 triliun.

2. Prioritas anggaran di bidang kesehatan


Sesuai dengan keterangan Jokowi, pembelanjaan anggaran Rp75 triliun di bidang
kesehatan akan diprioritaskan untuk pemenuhan sejumlah keperluan, yakni:
perlindungan tenaga kesehatan, terutama pembelian Alat Pelindung Diri (APD)
pembelian alat-alat kesehatan seperti test kit, reagen, ventilator, hand sanitizer dan
lainnya upgrade 132 rumah sakit rujukan Covid-19, termasuk Wisma Atlet insentif
dokter, perawat dan tenaga rumah sakit (Insentif dokter spesialis Rp15 juta/bulan,
dokter umum Rp10 juta/bulan, perawat Rp7,5 juta/bulan, dan tenaga medis lainnya
Rp5 juta/bulan). santunan kematian tenaga medis Rp300 juta penanganan
permasalahan kesehatan lainnya.

3. Prioritas anggaran untuk perlindungan sosial


Menurut Jokowi, pemerintah akan memprioritaskan alokasi angaran untuk
perlindungan sosial saat pandemi corona ke sejumlah program, seperti Program
Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Kartu Prakerja, hingga keringanan tarif
listrik. Rinciannya ialah: jumlah penerima manfaat PKH ditambah dari 9,2 juta
menjadi 10 juta keluarga jumlah penerima manfaat Kartu Sembako juga ditambah
dari 15,2 juta menjadi 20 juta orang pembebasan biaya listrik 3 bulan untuk 24 juta
pelanggan listrik 450 VA dan diskon 50 persen untuk 7 juta pelanggan 900 VA.
anggaran Kartu Prakerja dinaikkan dari Rp10 triliun menjadi Rp20 triliun untuk 5,6
juta orang yang terkena PHK, pekerja informal dan pelaku usaha mikro dan kecil.
Penerima manfaat program ini akan menerima insentif pascapelatihan Rp 600 ribu,
dengan biaya pelatihan 1 juta. dukungan logistik sembako dan kebutuhan pokok
senilai Rp25 triliun. Baca juga: Mekanisme Pemberian Tarif Listrik Gratis & Diskon
Selama Tiga Bulan

4. Prioritas anggaran untuk insentif dunia usaha


Pemerintah memberikan sejumlah insentif sebagai stimulus ekonomi untuk para
pelaku UMKM dan dunia usaha, yang berupa: penggratisan PPh 21 untuk pekerja
sektor industri pengolahan dengan penghasilan maksimal Rp200 juta (selama
setahun) pembebasan PPN impor bagi para Wajib Pajak Kemudian Impor Tujuan
Ekspor (KITE), terutama KITE dari kalangan industri kecil dan menengah, pada 19
sektor tertentu pengurangan tarif PPh sebesar 25 persen bagi para Wajib Pajak
Kemudian Impor Tujuan Ekspor (KITE), terutama industri kecil menengah, pada
sektor tertentu percepatan restitusi PPN bagi 19 sektor tertentu untuk menjaga
likuiditas pelaku usaha penurunan tarif PPh Badan dari 25 persen menjadi 22 persen
penundaan pembayaran pokok dan bunga untuk semua skema KUR yang terdampak
COVID-19 selama 6 bulan.

5. Prioritas di bidang non-fiskal


Pemerintah memberlakukan sejumlah kebijakan di bidang non-fiskal untuk menjamin
menjamin ketersediaan barang yang saat ini dibutuhkan, termasuk bahan baku
industri. Sejumlah kebijakan itu adalah: penyederhanaan larangan terbatas (lartas)
ekspor penyederhanaan larangan terbatas (lartas impor) percepatan layanan proses
ekspor-impor melalui national logistic ecosystem.

6. Revisi batas maksimal defisit APBN


Perrpu yang diteken oleh Jokowi pada hari ini juga mengatur revisi terhadap batas
maksimal defisit APBN menjadi di atas 3 persen. Relaksasi batas maksimal defisit
APBN ini diberlakukan pada tahun 2020, 2021 dan 2022. Menurut Jokowi,
pemerintah berupaya mengantisipasi kemungkinan defisit APBN yang diprediksi
dapat membengkak hingga 5,07 persen. Dia menegaskan kedisiplinan fiskal
maksimal defisit 3 persen akan kembali diterapkan pada tahun 2023.

7. Kebijakan moneter
Jokowi menerangkan pemerintah bersama Bank Indonesia dan Otoritas Jasa
Keuangan berupaya untuk mengoptimalkan bauran kebijakan moneter dan sektor
keuangan untuk memberikan daya dukung dan menjaga stabilitas perekonomian
nasional. Menurut dia, BI telah mengeluarkan kebijakan stimulus moneter melalui
kebijakan intensitas triple intervention, dan menurunkan rasio giro wajib minimum
valuta asing bank umum konvensional. "Juga memperluas underlying transaksi bagi
investor asing dan penggunaan bank kustodi global dan domestik untuk kegiatan
investasi," ujar Jokowi. Selain itu, kata Jokowi, OJK juga menerbitkan beberapa
kebijakan, yaitu: pemberian keringanan dan/atau penundaan pembayaran kredit atau
leasing sampai dengan Rp10 miliar, termasuk untuk UMKM dan pekerja informal,
maksimal 1 tahun memberikan keringanan dan/atau penundaan pembayaran kredit
atau leasing tanpa batasan plafon, sesuai kemampuan bayar debitur dan disepakati
dengan bank atau lembaga leasing.

Kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah diatas merupakan contoh agenda


kebijakan yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat dalam rangka menanggulangi penyebaran
pandemic virus covid-19 di Indonesia. Hal ini tentunya sangat diperlukan mengingat kedudukan,
peran serta fungsi pemerintah pusat sebagai pembuat segala kebijakan strategis bagi seluruh
bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Anda mungkin juga menyukai