Anda di halaman 1dari 3

KELUARGA PETANI YANG BAIK

Orientasi :

Pak Sudirman adalah seorang petani yang jujur dan tekun dalam mengerjakan
kebunnya, sehinggga tak mengherankan ia termasuk salah seorang yang terkaya di
Kampung Batara. Ia seorang petani jeruk yang berhasil.

Bila musim panen jeruk tiba, Pak Sudirman bersama keluarga beramai-ramai
memetiknya lalu dijual ke pasar atau kepada tengkulak yang sengaja datang ke kebunnya.

Rangkaian peristiwa :

Suatu hari Pak Sudirman bercakap-cakap dengan anak sulungnya, Marzuki. Marzuki
baru kelas satu SMP tetapi tingkah lakunya sudah seperti orang dewasa. Segala tindakannya
senantiasa berdasarkan perhitungan yang matang. Ia sangat senang membantu pekerjaan
orang tunnya di kebun jeruk yang luas.

“Bagaimana kira-kira panen jeruk tahun ini menurut, bapak?” tanya Marzuki.

“Entahlah, Mar! Tapi kalau melihat pertumbuhan pohon-pohonnya cukup


membesarkan hati. Yang mengkhawatirkan hati Bapak adalah meletusnya Gunung
Galunggung sebulan yang lalu. Akibatnya akan sangat terasa sekali oleh kita para petani
jeruk dan lainnya. Kau sendiri dapat melihatnya, bahwa buah jeruk yang baru sebesarnya
kelingking berjatuhan bila dihembus angin. Ini mungkin pengaruh debu dari letusan itu,
karena Bencana hawanya panas,” jawab Pak Sudirman.

Komplikasi :

Bencana alam itu memang masih terasa sekali sampai sekarang. Kita sebagai manusia
yang diberi akal sempurna dituntut untuk mencari cara mengatasi masalah ini. Umpamanya
dengan obat-obatan semprot atau lainnya. Mungkin saja akibatnya tak akan begitu terasa, “
sela Marzuki.

“Segala macam obat semprot telah bapak coba untuk mengatasi kerontakan buah
jeruk muda itu, tetapi rupanya hawa panas Gunung Galunggung sukar dibatasi.”

“Tindakan bapak sekarang?”

“Bapak kini hanya menyerahkan persoalan ini kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Jika
hasil panen tahun ini baik itulah yang diharapkan, bukan? Tetapi Tuhan menghendaki lain
dari yang kita harapkan, apa hendak dikata? Kita sebagai manusia beriman harus menerima
segalanya dengan penuh kesadaran serta kesabaran. Dari bencana yang terjadi ini semoga
membuahkan hikmah yang lebih baik lagi bagi kita sebagai manusia yang tak berdaya,”
jawab Pak Sudirman.
“Memang tahun ini para petani mengeluh akibat letusan Gunung Galanggu itu.
Tetapi, dibalik kedukaan yang merata pada semua petani, ada diantara mereka yang masih
tersenyum penuh harapan.”

“Maksudmu?”

“Kalau di antara petani jeruk panennya ada yang berhasil dengan baik maka ia akan
cepat kaya. Dan dengan sendirinya harga jeruk akan menjolak naik, sebab tidak ada saingan.
Jadi, di balik tangisan para petani yang tak berhasil, masih ada juga yang tersenyum bahkan
tertawa lebar. Itu pun kalau panen jeruknya berhasil.,” guman Marzuki.

“Ya! Setiap manusia selalu mengharapkan keuntungan yang sebesar-besarnya


walaupun dengan cara apa pun. Tetapi, Bapak rasa di daerah kita ini tidak akan ada petani
yang berhasil panennya. Baik itu panen jeruk ataupun panen padi, sebab hampir semuanya
tercemar oleh Gunung Galunggung. Kecuali para petani yang daerahnya tak sampai terkena
lestusan Gunung Galunggung itu,” kata Pak Sudirman.

“Sayang ya, Pak! Daerah kita yang paling parah tercemar letusan Gunung
Gulunggung itu. Kalau kita berhasil, seperti dulu wah, hebat! Harga jeruk kita selalu lebih
tinggi dibanding harga jeruk dari luar daerah kita,” gumam Marzuki.

“Itu kalau panen jeruk daerah kita berhasil dengan memuaskan. Hasil maupun
kualitasnya dapat menyaingi produksi jeruk dari luar daerah. Tetapi, kalau panen jeruk dari
daerah kita tak berhasil, dengan sendirinya jeruk dari luar daerah akan lebih menonjol.
Kemungkinan besar kualitasnya rendah, tetapi harga di pasaran akan melebihi jeruk yang
baik dari daerah kita. Para petani jeruk dari luar daerah kita sekarang dapat mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya sebab tak ada saingan.”

“Di bali keluh-kesah serta ratap tangis yang terkena letusan Gunung Galunggung ini
masih banyak yang bisa tertawa ya, Pak?” ujar Marzuki dengan wajah sedih.

“Kau tidak perlu aneh, Mar! Karena begitulah arti kehidupan di dunia! Kadangkala
orang tertawa, tetapi suatu ketika ia akan merasakan menangis pula. Oleh sebab itu kita tak
perlu berkeluh kesah memikirkan kejadian bencana alam ini,sebab semuanya telah menjadi
kodrat dari Tuhan Yang Maha pencipta,” kata Pak Sudirman.

“Sekarang saya hendak bertanya selain dari soal panen jeruk, Pak Sudirman!” Ujar
Marzuki sambil tersenyum.

“Boleh! Tanyakanlah, jangan segan-segan,” ucap Pak Sudirman seraya meneguk air
kopinya yang masih hangat.

“Apakah bencana alam akhir-akhir ini yang sering terjadi di negara kita ada
hubungannya dengan kelakuan manusia pada zaman sekarang?”

“Maksudmu bagaimana?”
“Umpamanya terjadi banjir dan tanah longsor di pegunungan karena banyaknya
pohon yang ditebang secara liar oleh mereka yang tak bertanggung jawab. Atau terjadinya
banjir di kota disebabkan karena tersumbatnya saluran air yang akhirnya meluap ke atas. Ini
dikarenakan masyarakat yang tak mengindahkan peringatan pemerintah agar tidak
membuang sembarangan terutama ke selokan-selokan kecil,” Marzuki memberinya
perumpamaan kepada ayahnya.

Resolusi :

“Ya . . . ya . . . hal-hal seperti itu memang masih ada hubungannya dengan kelakuan
manuais itu sendiri. Tetapi, meletusnya sebauah Gunung menurut Bapak tak ada
hubungannya dengan tingkah laku manusia. Ini semua karena kekuasan Tuhan Ynag Maha
Kuasa.”

“Bukankah itu merupakan azab dari Tuhan agar kita selalu ingat kepada-Nya? Karena
mungkin menurut penilaian Tuhan tingkah laku manusia sekarang telah melampaui batas
kemanusiaan,” Bu Fatimah menyela.

“Bila kita memperhatikan keadaan zaman modern sekarang memang begitulah.


Tetapi, kita tidak boleh langsung berprasangka buruk kepada orang lain sebab kita pun
belum tentu benar. Tentang azab atau peringatan dari Tuhan mungkin ada benarnya.
Seperti kejadian pada zaman Nabi Nuh. Umatnya telah melampaui batas dengan
menyembah berhala. Tingkah lakunya telah keluar dari susila, maka Tuhan menjatuhkan
azab terhadap umat tersebut dengan terjadinya banjir selama empat puluh hari empat
puluh malam. Terjadi pula pada zaman Nabi Syuaib. Umatnya disambar petir dan mati
seketika, sebab mereka tak mau menyembah Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan banyak lagi azab
pada zaman para nabi dikarenakan umatnya tak mau menyembah dan mengakui keagungan
Tuhan. Mungkin juga banyaknya bencana sekarang merupakan peringatan dari Tuhan agar
manusia segera kembali ke jalan yang diridai Tuhan.”

“Mudah-mudahan kita tidak termasuk golongan umat yang dimurkai Tuhan Yang
Maha Esa,” sahut Bu Fatimah dan julaeha dari dalam kamar.

“ Kalau kita tidak ingin mendapat murka dan azab dari Tuhan, laksanakanlah segala
perintahnya dan jauhilah segala larangannya. Semoga dengan jalan demikian kita termasuk
orang-orang yang yang saleh dan terpuji menurut pandangan Tuhan,” ujar Pak Sudirman
sambil berdiri hendak mengerjakan salat Asar.

Anda mungkin juga menyukai