PENDAHULUAN
Mimika didiami oleh 2 suku asli, yaitu suku Amungme yang mendiami wilayah
pegunungan dan suku Kamoro di wilayah pantai. Suku Amungme merupakan sosok orang
yang temperamen keras, berkepribadian sanguine dan ekstrovert mempunyai wilayah di
dataran tinggi yang disebut orang gunung, mereka mencari hidup dengan mengandalkan hasil
di daratan, kemudian suku Kamoro merupakan sosok kelompok masyarakat yang hidup di
pinggiran lautan yang disebut orang pantai. Mereka mencari hidup dan makan mengandalkan
hasil lautan atau mengandalkan flora dan fauna yang hidup di pinggiran laut dan di dalam
laut (http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Mimika).
Suku bangsa Mimika-Kamoro sudah dikenal sejak masa Belanda di Tanah Papua
sebagai salah satu Suku bangsa yang mendiami kawasan selatan atau di barat daya Tanah
Papua. Suku bangsa Mimika-Kamoro juga sudah berhubungan dengan kerajaan Namatota
dan Aiduma. Selain itu, Suku bangsa Asmat, Amungme, Migani, dan Suku bangsa Mee.
Hubungan khusus antara Suku bangsa Mee dengan Suku bangsa Mimika-Kamoro dipastikan,
walaupun diketahui bahwa secara internal antara kampung-kampung mereka seringkali
perang, tetapi tidak terjadi secara eksternal terhadap keduanya.
Suku Kamoro adalah kelompok adat yang mendiami sepanjang 300 Km pesisir
selatan Papua, di kawasan ujung timur Indonesia. Jumlah penduduk Kamoro sekitar 18.000
jiwa terbagi dalam kurang lebih 40 kampung. Sekitar 1.500 penduduk Kamoro tinggal di
berbagai lokasi transmigrasi sekitar Kota Timika [Blog Lembaga Pendidikan Papua, Suku
Kamoro. http://www.lpmak.org/kamoro.php?_p=1].
1
BAB II
ISI
Gambar Peta
Kabupaten Timika
Letaknya yang berada di dataran rendah ini membuat suku Kamoro sering
berhubungan dengan dunia air. Bahkan Trisnu (dalam Dirgantara Wicaksono) lebih
senang menyebut suku ini sebagai manusia air karena seluruh kehidupan serta wilayah
tempat tinggalnya identik dengan air. Karena begitu mendominasinya daerah yang berair,
transportasi yang mereka gunakan, baik untuk mencari makan maupun untuk ke luar dari
satu kampung ke kampung lain menggunakan trans- portasi air. Tidak heran kalau
kemudian suku ini terkenal dengan falsafah 3-S, yaitu sagu, sungai dan sampan. Sagu,
untuk dimakan (makanan pokok suku Kamoro), sungai, tempat mereka mencari makan
atau juga sebagai jalan mereka mencari makan, sedangkan sampan, transportasi yang
mereka gunakan dalam mencari makan. Karena letaknya di antara begitu banyak sungai
dan rawa, maka sumber penopang kehidupan suku Kamoro. [Blog Lembaga Pendidikan
Papua, Suku Kamoro. http://www.lpmak.org/kamoro.php?_p=1].
b. Mata Pencaharian
Masyarakat Kamoro bukanlah masyarakat petani, yang memiliki lahan pertanian
dan perkebunan yang cukup. Mereka adalah masyarakat peramu yang seluruh hidupnya
bergantung pada hasil ramuannya, baik dari hutan maupun dari sungai dan laut. Selain
sebagai peramu, masyarakat Kamoro juga termasuk masyarakat berburu. Sebagai
masyarakat peramu, makanan pokok masyarakat Kamoro adalah sagu yang dibuat
2
dengan cara menebang pohon palem sagu, membelah intisari batang pohon dan
menghanyutkan bagian sagu/karbohidrat yang murni dari serat-serat selulosa. Tugas ini
sering dilakukan oleh kaum perempuan. Sedangkaan sebagai masyarakat berburu,
mereka melakukan kegiatan ini tidak saja di hutan (berburu binatang hutan, seperti
kasuari, babi hutan, kus-kus, biawak, burung, dll) tetapi juga di sungai (berburu ikan,
buaya, kepiting, udang, dll ). [Blog Lembaga Pendidikan Papua, Suku Kamoro.
http://www.lpmak.org/kamoro.php?_p=1].
3
sebagai sambilan. Suplemen seperti Fe untuk mencegah anemia jarang dihabiskan
karena merasa tidak sakit lagi.
c. Tema budaya ketiga
Masih banya penduduk Kamoro menganggap obat-obat tradisional (oto) tidak
boleh disebarluaska dan hams dirahasiakan, bila melanggar dapat menjadi sakit
karena terkena marah para leluhur. Hal ini terkait dengan prinsip kata bagi penduduk
suku Kamoro yang berarti terlarang atau sesuatu yang rahasia Terutama dukun
(pemegang oto) tida mau memberi tahu karena takut dimarahi oleh ,nbii (setan, roh)
yang merupakan kekuatan sakti bersembunyi di pohon-pohon besar dan tanah
berbukit. Karena itu obat-obat tradisional yang mereka gunakan dapat berbeda-beda
antara keluarga dan tidak saling memberitahu. Ketertutupan praktek pengobatan
tradisional ini merugikan dalam pemeliharaan kesehatan ibu hamil dan persalinan
karena pengalaman ibu-ibu terdahulu tentang jenis obat dan kemanjuran suatu obat
tidak dapat dijadikan pelajaran bagi ibu-ibu generasi berikutnya dan sulit untuk
diteliti. Praktek pengobatan tradisional untuk ibu-ibu Amungme sudah mulai hilang
setelah mereka pindah di pemukiman baru. Alasannya adalah ibu-ibu generasi
terdahulu yang memberikan obat-obatan itu banyak yang sudah meninggal juga tidak
meniberi tahu nama dan jenis obat tersebut, selain juga jenis daun-daunanlakar-akaran
tersebut tidak terdapat di dataran rendah.
d. Tema budaya keempat
Dukun di yakini sebagai orang yang memang mendapat warisan kelebihan dari
nenek moyang yang biasanya diberikan turun temurun. Kepercayaan ini dapat
merugikan kesehatan ibu karena dukun yang belum dilatih tidak mempunyai
pengetahuan tentang anatomi fisiolosi kehamilan dan persalinan sehingga mungkin
dapat melakukan tindakan yang salah misalhnya tatkala bayi sulit ke luar maka dukun
kemudian menginjak perut ibu atau tangan dukun masuk ke perut ibu. Tindakan
dukun ini tetap akan dianggap wajar, meskipun ibu sampai meninggal di tangan
dukun, bahkan yang disalahkan adalah ibu yang dianggap semasa hamilnya tidak
mengikuti aturan adat.
4
C. Obat Tradisional Kamoro
Masyarakat suku Kamoro mengetahui bahwa tambelo memiliki protein yang
tinggi. Hal ini dengan memberikan respon bahwa setelah memakan tambelo mereka
mendapatkan kekuatan untuk menyelesaikan pekerjaan sampai sore hari.
Masyarakat Kamoro memiliki persepsi bahwa tambelo memiliki nilai gizi yang
tinggi. Saat bekerja mencari karaka, bia dan ikan, mereka akan mengambil tambelo
untuk dikonsumsi sebagai makan siang mereka. Masyarakat kamoro memahami bahwa
tambelo mampu memberikan kekuatan bagi mereka untuk menyelesaikan kerja selama
satu hari tersebut. Hasil penelitian tentang kandungan gizi tambelo telah dilakukan dan
menunjukkan tingkat persentase protein sebesar 7,2% (Leiwakabessy et al. 2013).
5
DAFTAR PUSTAKA