Anda di halaman 1dari 22

SEJARAH PRA KEMUNCULAN NOVEL ARAB

Oleh: Moh. Wakhid Hidayat


Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga
Jl. Marsda Adisutjipto Yogyakarta 55281
e-mail: mwakhidh@yahoo.com

Abstract
Novel (riwa>yah) is categorized as a genre of modern Arabic
literature. The birth of this genre has something to do with
the revival period of Arabic in general. Yet the pre-natal of
this new genre in Arab world is left undiscussed. This
research aims at disclosing the birth of Arabic novel. It is
found that Egypt has been the center of the labor of this
genre. Its pre-natal period is marked by the translation of
the Western literature and the resurrection of the genre of
maqa>mah. There are some arguments on the situation and
condition of the pre-natal of the Arabic novel. First, it was
imported from the west. The second argument is that novel
is indigenous genre, and the third is that novel is rooted
from both classical Arabic and modern Western world.
Kata kunci: novel Arab; sejarah sastra.

A. PENDAHULUAN
Novel adalah salah satu genre dalam kesusateraan Arab modern
yang kemunculannya sekitar akhir Abad ke-19 atau awal abad ke-
20. Dikatakan akhir abad ke-19, jika kemunculannya dimulai dari
Sali>m al-Busta>ni> dengan al-Huyam fi Jinan al-Syam tahun 1870,
atau Jurji> Zaidan pada tahun 1891 dengan novel-novel sejarahnya.
Dikatakan awal abad ke-20, jika kemunculannya dimulai dengan
Novel Zainab karya Husein Haikal. Kemunculannya ini
menunjukkan bahwa ruang ekspresi sastra terus berkembang
mengiringi sejarah manusia dalam menghadapi segala aspek
kehidupannya. Kelahiran genre-genre sastra baru –seperti novel-
memberikan ruang ekspresi tersendiri bagi para pengarang dalam
Moh. Wakhid Hidayat

menciptakan kreasi-kreasi seni sastranya. Novel –kebanyakan-


menggunakan gaya prosa untuk memberikan keluasan
ekspresinya (Baca Moretti, 2008: 111), dan dalam kesusasteraan
Arab modern, novel dikategorikan dalam genre prosa (al-natsr)
(Baca al-Fakhu>ri>, t.t.: 24).
Kemunculan novel Arab merupakan bagian tak
terpisahkan dari kebangkitan sastra arab yang kemudian dalam
pembagian sejarah disebut sebagai Sastra Arab Modern (al-Adab
al-‘Arabi> al-H}adis)\ . Kebangkitan sastra Arab ini terus mengalami
perkembangan yang sangat pesat setelah mengalami zaman
kemundurannya (inhit}a>t}). Manshur (2011: 15) mengutip Badawi
menggambarkan bahwa masa kemunduran ini tidak banyak
karya sastra yang mampu dihasilkan, terjebak dalam romantika
kejayaan masa lalu, pandangan Arab abad pertengahan Islam
sangat mendominasi. Intinya, tidak ada pembaharuan dalam
bersastra, hampir semuanya merupakan peniruan gaya atau
model-model lama.
Kondisi keterpurukan sastra Arab yang sangat
memprihatinkan ini disebut kitsh, yaitu seni semu, yang oleh Eco
disebut “sebuah dusta struktural” artinya dusta yang dibuat
secara sengaja oleh penyair karena kebuntuan pikiran dan daya
imajinasinya sebagai pengarang sehingga karya-karya yang
dihasilkan tidak bermutu (Badawi, via Mansyur, 2011: 16). Dari
kondisi seperti ini lah Sastra Arab bangkit yang dikenal dengan
nahd}ah atau al-inbi’as\. Allen (1995: 11) menyimpulkan gambaran
umum masa nahd}ah ini sebagi kondisi yang berseteru antara
pandangan lama (old) dan pandangan baru (new), tradisional dan
modern, klasik dan modern, secara khusus Barat, dengan ilmu
pengetahuan dan kebudayaannya, dan Arab, dengan warisan
tradisi klasik yang agung kebudayaan Arab-Islam. Dan, dari
situasi dan kondisi seperti inilah novel Arab muncul dan
memberikan kontribusinya untuk menggerakkan “roda”
perkembangan kesusasteraan Arab pada zaman modern.
Novel dalam bahasa Arab digunakan istilah al-Riwayah,
sebagian yang lain menggunakan al-Qis}s}ah atau al-Qis}s}ah al-

186 Adabiyyāt, Vol. 10, No. 1, Juni 2011


Sejarah Pra Kemunculan Novel Arab

T}awi>lah (Baca Allen, 1995: 6 dan al-Fa>khu>ri>,t.t.: 24). Novel Arab di


sini adalah novel yang menggunakan bahasa Arab sebagai
medianya, dan biasanya muncul dari para pengarang di kawasan-
kawasan Arab atau komunitas-komunitas Arab di luar kawasan,
seperti para sastrawan mahjar 'diaspora' di Amerika. Berbagai
kajian bisa dilakukan pada novel-novel Arab, dan dalam tulisan
ini dibahas sejarah novel Arab pada awal kemunculannya.
Tulisan ini akan mendeskripsikan keadaan pra kemunculan
novel Arab. Ada tiga pembahasan yang diajukan dalam tulisan
ini sekaligus sebagai pembatasan kajian. Pertama, pembahasan
tentang nahd}ah sebagai setting waktu dan tempat kemunculan
novel Arab. Kedua, pembahasan tentang penerjemahan karya-
karya kesusasteraan Barat dan munculnya neo-maqamah yang
keduanya mengawali kemunculan novel-novel di Arab.
Pembahasan terakhir adalah pendapat-pendapat tentang asal-
muasal atau akar-akar novel Arab yang didasarkan kepada
kenyataan-kenyataan pra kemunculannya ini. Tujuan penulisan
pembahasan ini adalah mendeskripsikan suasana pra
kemunculan novel-novel Arab dan peta pendapat-pendapat para
ahli tentang akar novel Arab.

B. Gerakan Nahd}ah dan Sastra Arab Modern


Kebangkitan sastra Arab dari keterpurukannya sebagaimana
disebut di atas merupakan gerbang fase dari periode modern.
Dan, kebangkitan ini merupakan satu aspek dari keluasan
kebangkitan di Arab yang biasa disebut sebagai al-Nahd}ah atau al-
Inbi’as\. Nahd}ah Arab ini dimulai dari Lebanon, Suria, dan Mesir
(Badawi via Manshur, 2011: 16) atau yang oleh Allen disebut
kawasan Suriah-Lebanon dan Mesir (Allen, 1995: 11). Dan, dari
kawasan-kawasan ini gerakan nahd}ah menyebar ke kawasan-
kawasan Arab lainnya.
Al-Syant}i (1992: 15—17) menyebutkan tiga pendapat
tentang permulaan kesusasteraan Arab modern. Pertama, kontak
Arab dengan Barat modern. Kedua, gerakan reformasi Islam

SK Akreditasi No: 64a/DIKTI/Kep/2010 187


Moh. Wakhid Hidayat

seperti gerakan Salafiyah Muhammad bin ‘Abd al-Waha>b di


Saudi Arab dan gerakan Muhammad ‘Abduh di Mesir. Ketiga,
munculnya kesadaran nasionalisme Arab. Namun, al-Syant}i
menegaskan bahwa permulaan kebangkitan ini tidak bisa
dipastikan tahunnya, dan merupakan akumulasi dari berbagai
aspek kehidupan yang sangat banyak yang terjadi di dunia Arab
ketika itu.
Gerakan nahd}ah –menurut pendapat pertama- adalah ketika
Arab mengadakan kontak dengan Barat yang sangat pesat
perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaannya.
Sementara kawasan Arab sangat terpuruk dalam segala aspek
kehidupannya termasuk kehidupan sastranya, sebagaimana telah
disebutkan di atas. Nahd}ah ini menjadi setting waktu dan setting
tempat kemunculan Novel Arab. Bagaimana keadaan pra
kemunculan novel Arab ini, khususnya yang berkaitan dengan
munculnya novel-novel Arab?
Suriah-Lebanon (dua kawasan yang digabung menjadi satu
pembahasan mengikuti Allen) menjadi daerah pertama yang
berhubungan dengan Barat modern yaitu pada masa Fakhr al-Di>n
(1572—1635). Kontak ini membuka akses pendidikan bagi orang-
orang Lebanon, baik dengan bertemu orang Barat di kawasan ini
maupun pengiriman “pelajar” ke Roma, Paris, Prancis dan kota-
kota lainnya. Masuknya Dunia Barat ke Arab juga membawa misi
orientalisme yang membawa gelombang kebangkitan modern
dengan studi-studi ilmiah dan metode-metode penelitian ilmiah
dan merevisi pendapat-pendapat klasik dalam bidang sejarah,
kritik, dan ilmu pengetahuan (al-Fa>khu>ri>, t.t : 10, Baca Allen, 1995:
13-14). Kawasan Suriah-Lebanon ini dihuni oleh umat Kristiani
khususnya Maronite dan Ortodoks. Hingga abad ke-19, kegiatan
misionaris dan aktivitas pendidikan semakin intensif ketika para
Misionaris Protestan yang kebanyakan dari Amerika Serikat
datang di kawasan ini (Allen, 1995: 12).
Berbagai aktivitas dilaksanakan dalam kontak antara Barat
dan Timur ini yang secara umum meliputi aspek pendidikan.
Akses pendidikan yang terbuka dimulai dengan pengiriman

188 Adabiyyāt, Vol. 10, No. 1, Juni 2011


Sejarah Pra Kemunculan Novel Arab

utusan-utusan ke kota-kota besar di Eropa untuk belajar dan


kembali lagi ke kawasan ini dengan “oleh-oleh” seperangkat
konsep pendidikan modern ala Barat. Maka didirikanlah sekolah-
sekolah di seluruh penjuru Lebanon, di antaranya sekolah
‘Aint}urah (1734) dan sekolah ‘Ain Waraqah (1789). Selain
aktivitas pendidikan, didirikan pula percetakan-percetakan di
kawasan ini, misalnya percetakan Daer Qazah}iyya pada Tahun
1610 di Lebanon, percetakan H}alb pada tahun 1702. Di antara
buku-buku yang diterbitkan adalah khasanah-khasanah
kesusasteraan Arab klasik (al-Fa>khu>ri>, t.t: 10—11).
Aktivitas-aktivitas lainnya misalnya yang ditunjukkan
setelah kehadiran Misionaris Protestan Amerika adalah proyek
penerjemahan Bible ke dalam bahasa Arab dan pendirian Syrian
Protestan College di Beirut yang menjadi American University
pada tahun 1866 (Allen, 1995: 14).
Dari kontak antara Barat dan kawasan Suriah-Lebanon ini,
memberikan gambaran bahwa akar-akar kebangkitan Arab
modern dimulai dari gerakan keagamaan dalam hal ini para
misionaris Kristen. Dan akses pendidikan, dibandingkan dengan
kawasan lain misal Mesir, kawasan ini telah lebih dahulu dan
membangkitkan kesadaran atas kekayaan bahasa Arab dan
kesusateraannya. Di antara tokoh-tokoh yang populer dan
membangkitkan kawasan Arab ini adalah keluarga al-Busta>ni>, al-
Ya>ziji>, al-Syidya>q, Naqqas}. Keluarga Busta>ni antara lain But}rus al-
Busta>ni>>, Sa>lim al- Busta>ni>. Keluarga al-Ya>ziji> antara lain Na>s}i>f al-
Ya>ziji>, dari Keluarga al-Syidya>q adalah Ahmad Fa>ris al-Syidya>q,
Keluarga Naqqas} adalah Marwan Naqqas>, dan selain itu Faransis
Marra>sy, dan lainnya.
Namun, kebangkitan kesusasteraan –atau secara luas
kebangkitan kebudayaan– di kawasan ini menjadi berjalan lambat
dan bahkan terhenti dengan adanya peristiwa perang sipil yang
dimulai pada tahun 1850-an dan memuncak pada pembantaian
massal terhadap umat Kristiani pada tahun 1860 di Damaskus.
Peristiwa sejarah ini menggiring para penduduknya untuk
bermigrasi ke Mesir dan sebagian lagi ke Eropa dan Amerika.

SK Akreditasi No: 64a/DIKTI/Kep/2010 189


Moh. Wakhid Hidayat

Migrasinya penduduk Suriah-Lebanon ke Mesir akan semakin


menyemarakkan kebangkitan sastra Arab di Mesir dan bersama-
sama sastrawan Mesir menyumbangkan kemajuan sastra Arab
modern secara luas. Migrasinya penduduk Suriah-Lebanon ke
Amerika akan memunculkan satu mazhab sastra modern, yaitu
mazhab Mahjar (Allen, 1995: 16).
Berbeda dengan Suriah dan Lebanon, kebangkitan di Mesir
dimulai dengan ekspansi Napoleon Bonaparte dengan
rombongannya pada tahun 1789. Rombongan-rombongan
Napoleon ini terdiri dari para sastrawan, penyair, dokter, filosof,
dan para peneliti-peneliti. Di sinilah terjadi kontak-kontak antara
kawasan Arab Mesir dan Barat modern. Pendudukan Perancis ini
disertai dengan pendirian-pendirian sekolah, dewan ilmiah,
perpustakaan dan surat kabar. Kontak dengan Barat ini ditambah
dengan kebijakan-kebijakan Muh}ammad Ali> yang menjabat
gubernur Mesir sejak tahun 1805 M. Kebijakan tersebut adalah
pengiriman-pengiriman duta belajar ke Eropa untuk mempelajari
ilmu kedokteran dan kemiliteran. Kebijakan lainnya adalah
penerjemahan buku-buku Barat ke dalam Bahasa Arab.
Kebangkitan pada masa Muhammad Ali ini diikuti dengan Ismail
pada masa pemerintahan sesudahnya (al-Fakhu>ri>, t.t: 11,
Brugman, 1984: 708).
Pengiriman duta ke Eropa pada tahun 1820 ke Italia dan
Perancis dipimpin oleh Rifa’a>h al-T}aht}awi> yang kemudian
melahirkan karya Talkhi>s al-Ibri>z Ila Talkhi>s Bari>z. Karya ini
menggambarkan kehidupan Barat tanpa kritik terhadap cara
berpakaian, makanan, pemerintahan, hukum dan topik lainnya
(Allen, 1995: 20).
Pertemuan antara Arab-Mesir dengan Barat modern dan
eksodus penduduk Suriah-Lebanon, yang tercatat telah lebih dulu
mendapatkan kemajuan pendidikan, menjadikan Mesir sebagai
pusat kebangkitan sastra Arab. Pada masa dan di kawasan inilah
novel Arab muncul, dan menyatu menjadi genre sastra Arab
modern.

190 Adabiyyāt, Vol. 10, No. 1, Juni 2011


Sejarah Pra Kemunculan Novel Arab

Ada berbagai faktor pendukung yang menjadi media dan


sarana sehingga kebangkitan ini cepat tersebar yaitu didirikannya
percetakan-percetakan, surat kabar dan majalah ilmiah. Media
pers memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan
kesusasteraan, walaupun ini merupakan salah satu tujuan dari
berbagai tujuan utama untuk penyadaran nasionalisme dan
kebangkitan dari kegelapan dan memotivasi untuk kebangkitan.
Beberapa pers yang berdiri, misalnya Muhammad Ali
mendirikan al-Waqa’i al-Mishriyyah pada tahun 1828 M. Namun,
menurut al-Fa>khu>ri> (t.t: 14), surat kabar dalam arti yang
sebenarnya adalah ketika para imigran Lebanon mendirikan surat
kabar misalnya Iskandar Syalhub surat kabar al-Sult}ah pada tahun
1857, Khali>l al-Khu>ri> surat kabar Hadi>qat al-Akhba>r tahun 1858,
Butrus al-Busta>ni> mendirikan Nafi>r Su>ria tahun 1860. Ahmad Fa>ris
al-Syidya>q mendirikan al-Jawa’ib di Istanbul pada tahun 1890,
Sali>m al-Busta>ni> mendirikan dua surat kabar al-Jinnah dan al-
Junainah. Salim dan Bisya>rah Taqla> mendirikan al-Ahra>m pada
tahun 1875, Faris Namr dan Ya’qu>b Sharu>f mendirikan al-
Muqat}t}am di Mesir pada tahun 1889 (al-Fa>khu>ri>, t.t: 17-18). Media
pers lainnya adalah al-Majallah, di antaranya al-Ya’su>b, al-Jina>n,
al-Muqt}ataf, at-T}abi}b, al-Hila>l, dan lainnya. Juga majalah ilmiah
dan sastra, misalnya al-Jam’iyyat al-Su>riyah di Beirut pada tahun
1847, al-Majma’ al-‘Ilmi> al-Syarqi> di Beirut pada 1882, al-Majma’al-
Ilmi al-Arabiy di Damaskus, dan Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah di
Kairo tahun 1932. (al-Fa>khu>ri>, t.t: 18)
Khusus perkembangan novel Arab, Allen menjelaskan dua
peran penting pers yaitu menjadikan novel bisa di baca oleh
pembaca melalui penerbitan berkala dan kedua menjadi
pemasukan (sumber penghasilan) bagi penulis dan menawarkan
posisi jabatan sebagai editor. Peranan kedua ini menjadikan
penulis dapat tetap berkonsentrasi untuk tetap menulis Novel.
Selain itu, banyak karya-karya novel besar, awalnya dari
penerbitan-penerbitan berkala atau semacam cerita bersambung
(Allen, 1995: 23). Surat kabar juga menjadi sarana publikasi karya-

SK Akreditasi No: 64a/DIKTI/Kep/2010 191


Moh. Wakhid Hidayat

karya terjemahan fiksi Barat -sebagaimana dijelaskan di bawah-,


sebelum terpublikasikannya novel-novel karya sastrawan Arab.
Sejarah kebangkitan sastra Arab, sebagaimana pendapat
pertama di atas, membawa kesan tentang inferioritas kawasan
Arab. Namun di sisi lain, sebenarnya terdapat gerakan-gerakan
yang membangkitkan semangat tradisi-tradisi keemasan Arab.
Menurut al-Syant}i (1992: 17—18, baca juga ’Abd al-Qadir, 1987:
170) kesadaran kepada sumber-sumber masa lalu Arab terekam
dalam dua gerakan di Arab yaitu gerakan menghidupkan
kembali kitab-kitab warisan klasik (Ihya’ al-Turas \al-Arabi> al-
Qadi>m) dan gerakan-gerakan reformasi atau pembaharuan Islam.
Gerakan menghidupkan kembali warisan masa lalu Arab
ini dibantu dengan adanya percetakan-percetakan di antaranya
percetakan Bu>la>q. Salah satu tokoh yang gencar dalam gerakan
ini adalah al-Barudi yang membangkitkan semangat puisi-puisi
pada masa Jahiliyah dan Abbasiyah. Buku-buku yang dicetak
pada masa kebangkitan ini misalnya kamus al-Muh}it} pada tahun
1814 oleh percetakan Turki, Kaf> iyah ibn al-Haj> ib pada tahun 1819.
Dan jumlah kitab sastra dan bahasa yang diterbitkan sampai
tahun 1830 berjumlah kurang dari 40 buku. Percetakan lain
antara lain al-Mat}ba’ah al-Amrikiyyah yang didirikan pada tahun
1834, Mat}ba’ah al-A>ba’ al-Yasu’iyyin didirikan tahun 1848 (al-
Syant}i, 1992: 18).
‘Abd Qadir (1987: 170) Ih}ya>’ al-Tura>s\ memberikan pengaruh
kuat terhadap kesusasteraan Arab modern sebagai berikut: 1)
pembaruan bahasa dan menghidupkannya kembali untuk
menggerakkan kebangkitan modern. 2) Pengangkatan kembali
pemikiran dan kesusasteraan yang dikandung dalam kitab-kitab
warisan. 3) mengaitkan kebangkitan puisi dan prosa dengan masa
keemasan sastra Arab. Dan 4) memperkuat eksistensi masa lalu
dan menjadikannya sebagai materi yang sangat kaya untuk
kesusasteraan modern dan berefek kepada kesadaran
nasionalisme Arab.

192 Adabiyyāt, Vol. 10, No. 1, Juni 2011


Sejarah Pra Kemunculan Novel Arab

Gerakan reformasi Islam yang menyerukan kepada sumber-


sumber Asli Islam. Di antara gerakan-gerakan ini adalah
Muhammad bin Abd al-Wahab (1703—1787) di Najd dan Jazirah
Arab yang menyerukan untuk menghidupkan kembali kitab-kitab
Salaf seperti karya-karya Ibn Hanbal, Ibn Taimiyah, dan Ibn al-
Qayyim al-Jauziyah; gerakan Jamaludin al-Afghani dan sahabat-
sahabatnya di Mesir; gerakan Muhammad Abduh (1849—1905) di
Mesir dan lain sebagainya (al-Syant}i, 1992: 18, Cachia, 1990: 4—5)
Namun, para penulis modern tidak banyak yang mengkaji
keterkaitan gerakan-gerakan ini terhadap perkembangan fiksi di
Arab khususnya Novel. Sehingga, dapat diasumsikan bahwa
gerakan-gerakan reformasi keagamaan ini tidak menyentuh
ruang kebangkitan kesusateraan prosa Arab, tetapi kesusasteraan
hanya merupakan efek samping dari semangat kembali kepada
tradisi-tradisi warisan leluhur.
Dari uraian nahd}ah ini, dapat disimpulkan bahwa setting
waktu pra kemunculan novel Arab adalah abad ke-19 dan
memiliki akar yang sangat panjang jika dihitung dari abad ke-17
yaitu kontak Barat dengan Suriah-Lebanon. Setting tempat
kemunculannya adalah di daerah Suriah-Lebanon dan menyatu
di Mesir. Faktor pengakselerasi perkenalan novel Arab adalah
melalui surat kabar dan majalah-majalah di samping munculnya
percetakan-percetakan yang gencar menerbitkan karya-karya dari
kawasan-kawasan Arab ini.

C. PENERJEMAHAN FIKSI BARAT DAN KEBANGKITAN


MAQAM> AH
Kemunculan novel-novel Arab diawali dengan aktivitas-aktivitas
penerjemahan fiksi Barat ke dalam bahasa Arab yang
dipublikasikan melalui surat kabar. Di samping itu, sebagian
penulis Arab menghidupkan kembali gaya prosa maqa>mah yang
sangat populer pada abad keemasan Arab-Islam. Dua aktivitas ini
memberikan perkenalan-perkenalan awal tentang genre novel
sebagai ruang ekspresi yang berbeda bagi para penulis Arab.

SK Akreditasi No: 64a/DIKTI/Kep/2010 193


Moh. Wakhid Hidayat

Menurut Moossa (1997: 94), aktivitas penerjemahan ini


banyak dilakukan oleh penulis Suriah yang bermigrasi ke Mesir
pada tahun 1870-an. Sebagaimana diketahui di atas, bahwa akses
pendidikan dengan pengaruh Barat lebih awal terjadi di daerah
Suriah dan Lebanon pada abad ke 17-an. Salah satu pelopor
penerjemahan adalah Rafa’il Anton Zakhur (w. 1831) yang
bermigrasi dari Aleppo ke Mesir pada permulaan abad ke 18-an
dan bekerja untuk Perancis. Setelah keluarnya Perancis dari Mesir
pada tahun 1801, Zakhur dan para penerjemah Suriah didaulat
oleh Muhammad Ali untuk menerjemahkan buku-buku pelajaran
asing ke bahasa Arab dan menjadi penerjemah di ruang kelas bagi
para guru-guru.
Aktivitas penerjemahan ini tidak terlepas dari peran surat
kabar, jurnal sastra, dan majalah-majalah. Menurut Moosa
(1997:97, Cachia, 1990: 33) jurnal (surat kabar) pertama yang
mempublikasikan fiksi terjemahan antara lain H}adiqat al-Akhba>r
yang didirikan tahun 1858 oleh Khalil al-Khuri, jurnal al-Syarika
al-Syahriya, Jurnal al-Jina>n yang didirikan oleh Butrus al-Busta>ni
pada Januari 1870, dan lainnya.
Di antara karya terjemahan yang diterbitkan oleh jurnal al-
Jinan antara tahun 1870—1871 adalah Edward and Sylva,
diterjemah dari bahasa Italia oleh Sa’d Allah al-Busta>ni; al-Amir al-
Faris wa Imra’atuh Isabella, diterjemah dari bahasa Perancis oleh al-
Khawaja Philip Ni’mat Allah Khuri; Rajul z\u Imra’atain dari
bahasa Perancis oleh Jurji Effendi Jabrail Balit al-Halabi; Yusuf wa
Zaujatuhu Maryam, disadur dari bahasa Perancis oleh al-Khawaja
Constantine Qitta. Sali>m al-Busta>ni mempublikasikan kurang
lebih 60 karya fiksi Perancis di al-Jina>n antara tahun 1975—1878.
Di antara judul-judul tersebut, tahun 1875, al-Gharam wa al-Ikhtira,
al-Sawa’iq, al-H}ub ad-Da‘im, Maz\a> Ra’at Mis Darington? (Apa yang di
Lihat oleh Nona Darington), al-Sa’ad fi al-nahs, Jurjinya; tahun 1876,
Hulm al-Musawwir, Summ al-Afai, Hila Gharamiyya, Hikayat al-
Gharam, Zawjat John Carver; tahun 1877, Khatun ala al-Muda, La
Tansani, Qumriya; tahun 1878 Qissa Ghariba. Pada tahun 1884—
1885, al-Jina>n menerbitkan secara berseri karya Le Sage Gil Blas

194 Adabiyyāt, Vol. 10, No. 1, Juni 2011


Sejarah Pra Kemunculan Novel Arab

yang diterjemahakan oleh Jamil Mikhail Mudawwar (Moosa,


1997: 98).
Di Mesir -sebagaimana disebutkan di atas- penerjemahan
menjadi kebijakan negara ketika Muhammad Ali menjabat
sebagai Gubernur. Ia mendirikan lembaga penerjemahan buku-
buku Barat pada tahun 1835. Karya-karya yang dihasilkan dari
lembaga ini adalah non fiksi, dan di antara karya fiksi yang
diterjemahkan Rifa’at Telemaque karya Fenelon . Penerjemahan-
penerjemahan fiksi di Mesir didominasi oleh para imigran Suriah
yang menguasai surat kabar di Mesir, mereka sangat apresiatif
terhadap karya-karya fiksi Barat dan tidak memandang bahwa
karya fiksi adalah amoral dan tidak berguna (Moosa, 1997:98,
Brugman, 1984: 215). Surat kabar yang memberikan ruang untuk
publikasi fiksi di Mesir adalah al-Ahra>m yang didirikan oleh
imigran Lebanon Salim dan Bisyara Taqla pada tahun 1876 di
Alexandria. Selain itu al-Muqtataf, al-D}iya’, dan al-Hila>l (Moosa,
1997: 98; al-Fa>khu>ri>, t.t: 18).
Karya-karya fiksi Perancis menjadi sumber utama bagi para
penerjemah Suriah karena hubungan di antara mereka yang
sangat dekat sejak tahun 1649, ketika Komunitas Katolik Maronit
di bawah perlindungan Perancis dan King Louis XIV. Konsentrasi
ini bergeser ke karya-karya fiksi Inggris setelah Inggris
menduduki Mesir pada tahun 1882. Penerjemahan-penerjemahan
fiksi berbahasa Inggris berasal dari para Imigran Suriah yang
mengajar di Sekolah-sekolah Amerika di Beirut dan siswa siswi
Mesir lulusan sekolah-sekolah di bawah kontrol Inggris. (Moosa,
1997: 99).
Beberapa fiksi Inggris yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab antara lain Talisman karya Sir Walter Scott yang
diterjemahkan oleh Yaqub Sarruf tahun 1886, Butrus al-Bustani
menerjemahkan buku yang diberi judul al-Tuhfa al-Bustaniyya fi
al-Asfar al-Kuruziyya. Karya Scott Ivanhoe (1889) diterjemahkan
secara anonim oleh beberapa penerjemah, dan karyanya
diterjemahkan dan diterbitkan dalam surat kabar al-Muqtatam
dengan judul al-S}ahama wa al-Afaf tahun 1890. Karya Lord Bulver-

SK Akreditasi No: 64a/DIKTI/Kep/2010 195


Moh. Wakhid Hidayat

Lytton The last days of Pompeii (1889) diterjemahkan oleh Farida


Atiyya. Karya Swift Gulliver’s Travels (1909) dan Wilkie Collin The
Woman in White (1909) diterjemahkan oleh Muhammad al-Siba’i.
Karya Robert Louis Stevenson Treasure Island (1921)
diterjemahkan oleh Riyad Junaydi Effendi, dan versi lain Robinson
Crusoe (1923) diterjemahkan oleh Ahmad Abbas (Moosa, 1997:
100).
Selain dari bahasa Inggris, Perancis, Italia, dan bahasa Barat
lainnya, juga diterjemahkan buku-buku fiksi dari Rusia yang
salah satu penerjemahnya adalah Khalil Ibrahim Baydas (w.
1949). Dia menerjemahkan tiga novel Rusia pada tahun 1898,
yaitu karya Pushkin The Captain’s daughter, al-Qusaqi al-Walhan,
dan al-Tabib al-hadhiq (Moosa, 1997: 101).
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa
penerjemahan-penerjemahan karya-karya fiksi Barat telah
membanjiri ruang baca kawasan Arab khususnya Mesir, Suriah
dan Lebanon. Menurut ‘Abd al-Qa>dir (1987: 167) penerjemahan-
penerjemahan ini berpengaruh pada genre prosa Arab, antara
lain, 1) perkenalan ekspresi sastra yang tidak terikat oleh Sajak
dan keindahan badi’ (uslab balaghah Badi’), 2) kecenderungan
untuk berekspresi dengan mudah, jelas dan mendalam, 3)
Sastrawan banyak mengutip makna-makna dan konsep-konsep
asing (Barat), 4) sebagian Sastrawan bergeser dari genre-genre
lama, seperti maqa>mah, kepada genre prosa baru, seperti artikel
ilmiah, sastra, politik, dan sosial, drama, novel dan cerita pendek.
5) munculnya kelompok-kelompok sastra yang beragam dan
sastra mencakup berbagai aspek kehidupan manusia. Moosa
(1997: 91) menyebutkan bahwa penerjemahan selain
memperkenalkan teknik-teknik genre modern yang beragam, juga
mengajarkan kepada penulis Arab tentang penciptaan tokoh-
tokoh dengan segala tindakannya yang mempresentasikan
kehidupan dan menjadikan kehidupan tersebut penuh makna.
Sebagaimana digambarkan Allen di atas, bahwa
kebangkitan atau nah}dah merupakan gesekan antara yang baru
(new) dan yang lama (old), dan dibalik membanjirnya karya-karya

196 Adabiyyāt, Vol. 10, No. 1, Juni 2011


Sejarah Pra Kemunculan Novel Arab

terjemah di kawasan Arab khususnya Mesir memicu satu reaksi


dari kalangan klasik. Menurut Moosa, sebagian penulis Mesir
yang memiliki cita rasa Arab klasik menganggap bahwa karya-
karya terjemah ini adalah karya sampah. Bahkan, sebagian
penulis ini berkeyakinan bahwa karya-karya ini telah merusak
moral kaum muda dan mengikis rasa malu (menjaga
kehormatan). Oleh karena itu, beberapa penulis Mesir mulai
mengangkat kembali genre sastra abad pertengahan yaitu
maqa>mah untuk mengkritik berbagai aspek kehidupan masyarakat
mereka. Ide kebangkitan dan teknik kesusateraannya ini sangat
penting dalam perkembangan fiksi Arab modern (Moosa, 1997:
122). Ide pengangkatan kembali maqa>mah ini secara luas berkaitan
dengan gerakan ihya’ at-turas\ al-Qadi>m al-Arabi>.
Pada periode modern ini, maqa>mah diangkat kembali oleh
penulis-penulis di hampir seluruh kawasan Arab. Diantaranya
Ahmad al-Babir (w. 1811), Niqula al-Turk (w. 1818), Pendeta
Hannanya al-Munayyar (w. 1850), Abu al-S\ana al-Alusi (w. 1854),
Nasif al-Ya>ziji> (w. 1871), S}alih Majdi (w. 1884), Faris Ibn Yusuf al-
Syidya>q (w. 1887), Ibrahim al-Ahdab (w. 1891), Abd Allah Nadim
(w. 1896), Ibrahim al-Muwaylihi (w. 1905), Muhammad al-
Muwaylihi (w. 1930), Hafiz} Ibrahim (w. 1932), Muhammad Lut}fi
Jumua’a (w. 1953), dan lainnya. Kebangkitan maqa>mah ini
dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang tetap
menjaga bentuk aslinya yaitu penulis-penulis Lebanon seperti al-
Ya>ziji dan al-Syidya>q. Kelompok kedua adalah yang
mengadakan percobaan-percobaan perubahan dengan model
maqa>mah ini, di antaranya penulis Mesir, Muhammad Muwaylihi
dan Hafiz} Ibrahim (Moosa, 1997: 123—124).
Di antara judul-judul maqa>mah tersebut adalah sebagai
berikut. Na>si>f al-Ya>ziji> (1800—1871) menulis Majma’ al-Bahrain,
yang terdiri dari 60 maqamah. Karya ini ditulisnya setelah
membaca maqamah al-Hari>ri> abad ke-11, dan dia meniru karya al-
Hariri ini baik bentuk dan isinya. Karya Maqamah lainnya adalah
Ahmad Fa>ris al-Syidya>q (1804—1887) dengan al-Sa>q ‘ala al-Sa>q fi>
ma> huwa al-Fariyaq. Karya ini berisi biografi al-Syidya>q ketika

SK Akreditasi No: 64a/DIKTI/Kep/2010 197


Moh. Wakhid Hidayat

mengadakan perjalanan ke Eropa, dan menggunakan struktur


penceritaan dengan gaya prosa berima dengan dihiasi sedikit
puisi-puisi (Allen, 1995: 14—15, Moosa, 1997: 125—126).
Penulis maqa>mah lain dari Mesir adalah Muhammad al-
Muwaylihi (1858—1930) yang menulis H}adis\ ibn Hisya>m. Karya ini
pada awalnya merupakan cerita bersambung yang diberi judul
Fatrah min al-Zama>n yang diterbitkan selama 4 tahun (1898-1902)
dalam surat kabar Mis}ba>h} al-Syarq. Dari judul ini mengingatkan
kembali kepada maqa>mah Badi’ al-Zaman al-Hamadhani. Tetapi al-
Muwaylihi membatasi diri pada penggunaan rima-rima, dan
mencoba menggunakan gaya prosa bebas. Walaupun demikian
cita rasa maqa>mah sangat terasa dalam karya ini. Isi maqa>mah ini
adalah, melalui tokoh utamanya Hisyam, mencoba mendiagnosis
“penyakit” sosial masyarakat Mesir, dan menggambarkan
kemajuan pada aspek kehidupan lainnya sejak masa Muhammad
Ali (Allen, 1995: 29, Moosa, 1997: 130). Abdulah Nadim, penulis
Mesir, menulis 9 maqamah yang diberi judul Kitab al-Masamir
(Moosa, 1997: 127). Hafiz\ Ibrahim (1871—1932), penyair terkenal
Mesir, menulis maqa>mah yang berjudul Layali Satih yang berisi
kritik sosial yang merupakan ekspresi jiwa dan opininya tentang
sastra, politik, dan masyarakat Mesir. Karya ini ditulisnya antara
tahun 1907-1908 (al-Fakhu>ri>, t.t.: 141).
Jika dikontraskan dengan prosa-prosa fiksi terjemahan –
sebagaimana dijelaskan pengaruhnya di atas, maka maqa>mah
memberikan keaslian gaya penulisan Arab yang khas yaitu
dengan rima dan sajak, dan berkembang menyatukan antara puisi
dan prosa menjadi satu genre sastra modern tersendiri. Tetapi,
dilihat dari perkembangan penulisan novel atau cerita pendek,
maka maqa>mah menjadi “jembatan” pengait antara Novel dalam
sastra modern dan prosa yang berkembang populer pada zaman
Arab-Islam (al-Fakhu>ri>, t.t.: 21—22).

198 Adabiyyāt, Vol. 10, No. 1, Juni 2011


Sejarah Pra Kemunculan Novel Arab

D. TIGA PENDAPAT ASAL-USUL NOVEL ARAB


Dengan melihat situasi sejarah pra kemunculan novel Arab di
atas, kajian akan dilanjutkan dengan pembahasan pendapat-
pendapat tentang asal-usul novel Arab. Jika melihat kepada
“perbenturan” antara penjaga warisan (old) dan pengikut modern
(new) dalam nahd}ah, khususnya dalam pranovel, ditemukan
gelombang penerjemahan fiksi Barat (new) dan “penjaga”
maqa>mah yang secara umum bisa dikategorikan dalam ihya’ al-
tura>s\. Maka dengan mudah dapat ditemukan dua pendapat
ekstrim yaitu novel merupakan genre impor Barat dan novel
merupakan indigenous Arab. Satu pendapat merupakan pendapat
moderat atau jalan tengah yang berdiri di antara dua pendapat
ekstrem ini. Pembahasan di bawah ini akan mendeskripsikan
masing-masing pendapat dan memaparkan alasan-alasan yang
dijadikan pendukung untuk membuktikan pendapat tersebut.

1. Novel Merupakan Genre Impor Barat


Allen dalam pemaparannya tentang asal-muasal novel arab
menyebut Charles Vial sebagai salah satu pendukung pendapat
ini. Menurut Vial, “Qissa modern tidak mewarisi apapun dari
tradisi Arab. Genre ini tidak memiliki ikatan apapun baik dengan
cerita Seribu Satu Malam atau dengan cerita-cerita kepahlawanan
maupun cerita-cerita sastra lainnya” (Allen, 1995: 7). Moosa (1997:
91—92) yang mencari akar-akar fiksi Arab dalam bukunya The
Origin of Modern Arabic Fiction juga berpendapat yang sama.
Selanjutnya, Moosa menjelaskan pendapat –yang
dikutipnya- yang membandingkan antara cerita-cerita Arab
khususnya Seribu Satu Malam dengan novel dan cerpen. Cerita
Arab menyajikan penceritaan dan episode urutan-urutan cerita
(sekuens), begitu juga dalam cerita Barat menyajikan plot yang
memiliki urutan-urutan tetapi lebih berkualitas dengan adanya
hubungan kausalitas (struktur plot yang ditandai dengan sebab
akibat). Peristiwa-peristiwa dalam cerita-cerita Arab biasanya
dikarakteristikkan dengan sesuatu yang fantastis (fabulous),

SK Akreditasi No: 64a/DIKTI/Kep/2010 199


Moh. Wakhid Hidayat

sementara dalam cerita Barat, peristiwa-peristiwa berkaitan erat


dengan plot. Tokoh-tokoh dalam cerita Arab biasa
dikarakteristikkan dengan tokoh yang sangat cerdas dan selalu
beruntung, putri cantik, khalifah yang bijaksana, penasehat-
penasehat yang baik atau buruk, wanita tua yang cerdik dan para
pengkhayal yang mudah ditipu. Berbeda dengan cerita Barat
tokoh disajikan untuk menjadi tokoh-tokoh individu tunggal
yang dikenalkan dengan kepribadian-kepribadiannya, meskipun
mereka merepresentasikan satu sifat-sifat. Setting dalam cerita
Arab sangat romantik, panjang dan sangat jauh, dan ber-atmosfer
magic. Berbeda dengan setting cerita Barat yang cenderung realis,
menghadirkan ketegangan antara manusia dengan dirinya
sendiri, manusia dengan manusia lain, manusia dengan alam,
atau manusia dengan masyarakat (Moosa, 1997: 91).
Moosa memberikan kesimpulan bahwa yang menjadi
pokok perbedaan adalah bahwa karya-karya fiksi Barat lebih
bersifat atau mengangkat suasana psikologis, analitis,
menafsirkan satu persoalan yang ruwet, dan biasanya secara
mendalam tertarik dengan persoalan-persoalan sosial dengan
tokoh-tokoh yang “hidup” (Moosa, 1997: 91—92).
Moosa dalam hal ini dapat dikelompokkan sebagai kritikus
yang mendukung pendapat ini dengan pemaparannya,
“walaupun berbagai opini diungkapkan, fakta menunjukkan
bahwa penulis-penulis Arab telah menerjemahkan cerita pendek,
novel, dan drama dari Kesusasteraan Barat. Dan, di antara
mereka yang kemudian berusaha menulis novel atau roman pada
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 mengakui ke-superioritas-
an novel Barat dan ketidakberdayaan mereka untuk
memproduksi fiksi yang kualitasnya sebanding”. Moosa
mengutipnya dari Sa’id al-Bustani, Mahmud Khairat, Henri
Perez, dan Latifa al-Zayyat (Moosa, 1997: 93).
Jika kita simpulkan poin-poin alasan yang dikemukakan
pendukung pendapat ini adalah sebagai berikut: 1) Superioritas
Barat dalam novel, 2) Warisan kesusasteraan narasi Arab pada
masa Islam atau pra Islam menjadi tidak ada gunanya atau tidak

200 Adabiyyāt, Vol. 10, No. 1, Juni 2011


Sejarah Pra Kemunculan Novel Arab

menyumbangkan apapun dalam seni novel. 3) Aktivitas


penerjemahan khususnya fiksi Barat ke Arab yang menjadi fakta
pra kemunculan novel Arab.

2. Novel adalah Indigenous Arab.


Pendapat kedua ini berkebalikan dengan pendapat pertama, yaitu
novel Arab adalah seni sastra Arab asli, bukan impor dari Barat.
Al-Syant}i> menunjukkan bahwa salah tokoh yang mendukung
pendapat ini adalah Fa>ru>q Khu>rsyi>d dengan bukunya Fi> al-
Riwa>yat al-‘Arabiyyah ‘As}r al-Tajmi>’. Dalil dari pendapat ini, bahwa
kesusastraan arab sangat mengenal prosa narasi (al-Qis}s}ah) dalam
setiap masa. Pada zaman Jahiliyah terdapat sastra narasi yang
banyak tentang cerita-cerita orang arab berkaitan dengan sejarah,
hikayat tentang kakek-nenek moyang, raja-raja, kuda-kuda, dan
cerita tentang puisi-puisi mereka. Contoh buku yang merekam ini
adalah kita>b al-Aghani>. Kemudian tradisi cerita ini berkembang
dan diakui oleh Al-Qur’an dengan qas}as}-nya, kemudian
berkembang lagi pada masa selanjutnya sampai kepada cerita alf
Lailah wa Lailah, Hay bin Yaqdzan, Kalilah wa Dimnah dan lainnya.
Bahkan karya-karya terakhir ini telah mempengaruhi dan
diadopsi oleh barat atau eropa pada masa keruntuhan Baghdad
dan bahkan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. (al-Syant}i,
1997: 342)
Khursyi>d (1982: 11) ketika memulai studinya tentang akar-
akar novel Arab menolak pendapat bahwa novel Arab adalah
genre baru dan impor dari Barat serta Arab tidak memiliki genre
narasi melainkan hanya memiliki warisan genre puisi yang sangat
kuat dan tidak yang lain. Ini yang menjadi landasan
permasalahan Khursyi>d untuk mengadakan penelitian mendalam
tentang prosa narasi atau riwayah di dalam khasanah
kesusateraan pada zaman jahiliyah atau disebut dengan zaman
pra Al-Qur’an, dan zaman Islam yang disebutnya zaman pasca
Al-Qur’an (Khursyi>d, 1982: 46).

SK Akreditasi No: 64a/DIKTI/Kep/2010 201


Moh. Wakhid Hidayat

Perbedaan pendapat ini dengan sebelumnya adalah jika


asal-usul pendapat pertama terkait langsung dengan masa
terjemahan yang terjadi pada zaman itu, sedangkan pendapat
kedua ini –mengikuti Khursyid- akar novel Arab adalah jauh ke
belakang pada masa-masa Islam bahkan praIslam. Khursyi>d
(1982: 75—76) dalam bukunya ini menyebut masa al-Tajmi>’ yaitu
masa pengumpulan berita-berita masa lalu Arab dan
mengkodifikasikannya dalam sebuah buku, seperti kitab al-tij> a>n
karya Wahab ibn Munabbhih. Masa ini sekitar pada akhir masa
Dinasti Umayyah dan Awal Masa Abbasiyah. Kitab al-tij> a>n ini
merupakan kumpulan cerita-cerita Arab masa lalu yang tersebar
di masyarakat Arab kemudian dikodifikasikan oleh Ibn
Munabbih (w. 733). Khursyi>d memfokuskan penelitian tentang
akar novel Arab pada buku ini dan menjadikan buku ini sebagai
bukti akar yang kuat bagi novel Arab.
Khursyi>d mengakhiri buku edisi ketiga ini dengan
komentar balasan atas kritik Moosa tentang lemahnya pendapat
indigenousnya novel Arab dan pengaruh kuat buku-buku
terjemahan fiksi Barat. Komentar Khursyi>d ini selain menolak
keterpengaruhan novel Arab oleh buku-buku terjemahan fiksi
Barat, juga menegaskan kembali bahwa narasi Arab tidaklah
berada pada posisi inferior. Arab telah memiliki tradisi cerita yang
berakar kuat sepanjang sejarah Arab, jauh sebelum masa
terjemahan-terjemahan fiksi Barat. Jika Barat bersikukuh dengan
keterpengaruhannya atas Arab, maka sejarah juga membuktikan
bahwa kesusasteraan Arab masa Umayyah dan Abbasiyah juga
telah memberikan keterpengaruhan yang luar biasa terhadap
sastra dunia khususnya Barat. Intinya, terjemahan-terjemahan
fiksi Barat adalah fakta tersendiri, dan produksi kreatif sastra juga
fakta tersendiri dan tidak saling berkait. (Khursyi>d, 1982: 212—
213)
Selain alasan di atas, maqa>mah yang diangkat kembali oleh
beberapa penulis Arab juga memberikan beberapa kontribusi-
kontribusi terhadap prosa modern khususnya pada kemunculan
novel Arab. Setidaknya, maqa>mah ini memberikan contoh plot-plot

202 Adabiyyāt, Vol. 10, No. 1, Juni 2011


Sejarah Pra Kemunculan Novel Arab

cerita selain kedalaman penokohan, yang mendekati plot dan


penokohan dalam novel modern. Neo maqa>mah ini juga
membuktikan bahwa kesusateraan Arab sangat mengenal dan
memiliki tradisi narasi yang kemudian berkembang menjadi
genre novel Arab Modern (Baca Allen, 1995: 20—22).

3. Pendapat Jalan Tengah (al-I’tidal, Moderate)


Pendapat ketiga adalah pendapat jalan tengah (al-i’tida>l, moderate
position) yaitu pendapat yang tidak mendukung keaslian novel
Arab dan impornya genre novel Arab, tetapi genre novel Arab
merupakan perpaduan yang apik dari dua kebudayaan dan
kesusateraan besar, Barat dan Arab sendiri.
Di antara yang mendukung pendapat ini adalah Mahmud
Taimur (via Moosa, 1997: 92) yang berpendapat bahwa fiksi Arab
modern dipengaruhi oleh terjemahan-terjemahan dari
kesusasteraan Barat. Namun, fiksi Arab –termasuk novel-
memiliki akar-akar yang sangat dalam dari warisan kesusateraan
Arab sebelumnya. Dengan perpaduan ini, novel-novel yang
dihasilkan oleh penulis Arab menjadi istimewa dan berbeda
dengan fiksi Barat karena cita rasa ketimurannya yang sangat
melekat pada penulis-penulis Arab tersebut.
Di antara kritikus lainnya yang dapat dikelompokkan
sebagai pendukung pendapat ketiga ini adalah Roger Allen.
Menurut Allen, jika novel Arab tidak memiliki akarnya pada
kebudayaannya sendiri merupakan pendapat yang tidak tepat.
Karena –menurutnya- telah terjadi proses asimilasi kreasi dalam
kesusasteraan, termasuk novel, dengan lingkungan yang berbeda-
beda di kawasan-kawasan dan bangsa-bangsa di dunia Arab.
Oleh karena itu, terbentuk sebuah kajian yang menarik tentang
perpindahan dan perubahan genre sastra dari satu kebudayaan
ke kebudayaan yang lain, dan juga ketegangan-ketegangan yang
muncul dari konfrontasi antara modern dan warisan
kesusastraan masa lalu (Allen, 1995: 7—8). Untuk menunjukkan
suatu kreativitas terjadi, Berque (Via Allen, 1995: 7) mengatakan

SK Akreditasi No: 64a/DIKTI/Kep/2010 203


Moh. Wakhid Hidayat

bahwa genealogi kreativitas tidak- dan tidak membutuhkan-


mengikuti garis lurus. Sejarah dan variasi kejeniusan bakat seni
diduga mengalami diskontinuitas (keterputusan), interaksi garis
keturunan yang lebih tidak beraturan ketimbang garis keturunan
sederhana”.
Dari pemaparan Allen di atas dapat disimpulkan bahwa
perbenturan budaya antara warisan kesusateraan Arab yang
sangat kaya dengan kebudayaan Barat akan menghasilkan
asimilasi kebudayaan yang unik. Atau, bisa juga terjadi
diskontinuitas kreasi Barat dengan munculnya kreasi fiksi
tersendiri dari para penulis Arab yang sama sekali berbeda
dengan Barat. Kesusasteraan sebagai hasil dari perpaduan
tersebut kemudian menjadi genealogi baru dalam kesusasteraan
Arab modern yakni novel Arab.

E. KESIMPULAN
Novel telah menjadi genre sastra Arab Modern. Dan,
kemunculannya berada pada setting waktu masa kebangkitan
(nahd}ah) Arab yang puncaknya pada abad ke-19 dan 20.
Kemunculan kreasinya dimulai dari kawasan Suriah-Lebanon
dan menyatu berpusat di Mesir seiring dengan hijrahnya para
penduduk Suriah-Lebanon ke kota ini. Percepatan perkenalan
fiksi modern ke dunia Arab difasilitasi oleh teknologi percetakan
dan pers. Dari sejarah kebangkitan Arab ini diketahui bahwa awal
penulisan fiksi baik terjemahan atau pranovel seperti maqa>mah
didominasi oleh penulis-penulis Suriah-Lebanon yang bermigrasi
di Mesir.
Penerjemahan fiksi-fiksi Barat ke dalam Bahasa Arab dan
menghidupkan kembali maqa>mah telah mengawali kemunculan
novel Arab. Dua situasi ini satu sisi memberikan jalan atau
gerbang terciptanya novel-novel Arab, dan sisi yang lain
menampilkan perdebatan seputar akar-akar novel Arab.
Perdebatan dimulai dari pendapat yang mengatakan bahwa novel
Arab merupakan genre impor dari Barat dengan dibuktikan

204 Adabiyyāt, Vol. 10, No. 1, Juni 2011


Sejarah Pra Kemunculan Novel Arab

adanya keterpengaruhan penerjemahan-penerjemahan fiksi Barat.


Pendapat yang lain, novel adalah asli Arab dengan dibuktikan
bahwa masyarakat Arab sangat familier dengan cerita-cerita
sepanjang sejarah dari masa pra-Islam. Pendapat yang terakhir
adalah pendapat yang memadukan dua pendapat ekstrem di atas.
Menurut pendapat ini, novel memiliki akar di Barat juga di Arab
sendiri. Dua akar ini kemudian melahirkan karya novel yang
berbeda dengan fiksi Barat pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Fa>khu>ri>, Hannan. T.t. Al-Jami’ fi al-Ta>rikh al-Adab al-‘Arabi,> al-


Adab al-h{adi>ts. Beirut: Da>r al-Jael.
Allen, Roger. 1995. The Arabic Novel: An Historical and Critical
Introduction. Second Edition. New York: Syracuse University
Press.
Al-Syant}i, Muh}ammad S}a>lih}, Dr. 1992. al-Adab al-‘Arabi> al-H}adi>s?,
Mada>risuhu, wa fununuhu wa T}atawwuruhu wa Qad}aya>hu wa
Nama>z}iju Minhu. Al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Su’udiyah:
Da>r al-Andalus.
Brugman, J. 1984. An Introduction to the History of Modern Arabic
Literature in Egypt. Leiden: E.J. Brill.
Cachia, Pierre. 1990. An Overview of Modern Arabic Literature.
Edinburg University Press.
Haji ‘Abd al-Qa>dir, Zain al-‘A>bidin. 1987. Mudzakarat fi Ta>ri>khi al-
Adab al-Arabi> li al-Qismi al-Taujihi. Kuala Lumpur: Dewan
Dahasa dan Pustaka.
Khu>rsyi>d, Fa>ru>q. 1982. Fi> al-Riwa>yah al-Arabiyyah ‘Asra al-Tajmi’.
Beirut: Da>r al-Syuru>q.

SK Akreditasi No: 64a/DIKTI/Kep/2010 205


Moh. Wakhid Hidayat

Moosa, Matti. 1997. The Origin of Modern Arabic Fiction. America:


Lynne Rienner Publisher.
Moretti, Franco, 2008, The Novel: History and Theory, dalam
http://www.english.ufl.edu/mrg/readings/the%20novel.p
df , diakses tanggal 30 Juni 2011.

206 Adabiyyāt, Vol. 10, No. 1, Juni 2011

Anda mungkin juga menyukai