JURNAL
OLEH:
MELINDA GULTOM
NIM : 130200561
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
ABSTRAK
Melinda Gultom*
Suhaidi**
Arif***
Melinda Gultom*
Suhaidi**
Arif***
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kedaulatan teritorial dalam suatu negara bukan hanya sebatas wilayah
daratan namun juga wilayah perairan terlebih Indonesia sebagai negara kepulauan
yang memiliki 17.508 pulau baik yang kecil hingga yang besar. Konsep negara
kepulauan Indonesia ini di dapat pada tahun 1957 melalui Deklarasi Juanda.
Deklarasi tersebut juga mengumumkan bahwa Indonesia secara unilateral atau
sepihak yaitu lebar laut Indonesia (laut teritorial Indonesia) adalah jalur laut
selebar 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.
Setiap negara pada dasarnya memiliki hak untuk berlayar di laut
teritorialnya, ZEE, laut lepas, dan laut territorial milik negara lain. Namun dalam
hal ini berhubungan dengan hak untuk berlayar di laut atau perairan territorial
milik negara lain, suatu Negara di atur dalam UNCLOS I Tahun 1958 dan
UNCLOS II Tahun 1982, pada Pasal 17 Lintas Damai berbunyi “Dengan tunduk
pada Konvensi ini, kapal semua negara, baik berpantai maupun tak berpantai,
menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial.”1
Untuk hak lintas damai yang berhubungan dengan aturan atas kapal-kapal
yang menikmati hak lintas damai dan kewajiban serta hak negara pantai dalam
hubungan peraturan negaranya diatur dalam UNCLOS Tahun 1982 diatur dalam
Pasal 20 yang berbunyi “Di laut teritorial, kapal selam dan kendaraan bawah air
lainnya diharuskan melakukan navigasi di atas permukaan air dan menunjukkan
benderanya”. sampai pada Pasal 32 yang berbunyi “ Dengan pengecualian
sebagaimana tercantum dalam sub-bagian A dan dalam pasal 30 dan 31, tidak
satupun ketentuan dalam konvensi ini mengurangi kekebalan kapal perang dan
kapal pemerintah lainnya yang di operasikan untuk tujuan non-komersial”.2
Keamanan laut yurisdiksi nasional dan perairan internasional sebagai
jalur-jalur pelayaran telah lama menjadi perhatian serius dunia khususnya bagi
negara-negara pantai (Coastal State) maupun negara kepulauan (Archipelagic
State) yang secara langsung memiliki kepentingan di dalamnya. Salah satu fungsi
1
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut
2
Ibid
laut adalah sebagai jalur transportasi yang menghubungkan satu negara dengan
negara lain untuk kepentingan berbagai macam kegiatan. Mengingat fungsi
tersebut memiliki nilai yang tinggi bagi negara kepulauan, maka kejahatan sering
terjadi di laut yang mengancam keamanan pelayaran, perdagangan yang
mengakibatkan korban jiwa bagi awak kapal, kerusakan fisik kapal, kerugian
barang yang diangkut serta kerugian bagi pemilik kapal.
Perairan laut yurisdiksi maupun internasional yang tidak terjamin
keamanannya, maka membawa konsekuensi logis pada dampak kerugian ekonomi
secara global. Oleh karena itu, keamanan laut bukan hanya mewakili kepentingan
suatu negara tetapi juga menjadi kepentingan kawasan (regional). Selain itu harus
diadakan publikasi jelas dan meluas secara internasional dan mengharuskan
adanya pencantuman alur laut dan skema pemisah lalu lintas pada peta agar
diketahui secara meluas, yang nantinya dipergunakan untuk pelayaran
internasional. Selain untuk menjamin dan menghormati adanya kebebasan
navigasi secara internasional, hal tersebut sangat penting guna menjaga ketahanan
dan pertahanan Indonesia dari peristiwa yang terjadi di laut dan perairan
kepulauan yang dapat mengancam integritas dan stabilitas Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagai Negara kepulauan.
Indonesia telah membuat peraturan tentang Perairan Indonesia Nomor 6
Tahun 1996 yang didalamnya memuat mengenai berbagai ketentuan seperti yang
diatur dalam Pasal 4 yang berbunyi “Kedaulatan Negara Republik Indonesia di
perairan Indonesia meliputi laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan
pedalaman dan ruang udara di atas laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan
pedalaman serta dasar laut dan tanah dibawahnya termasuk sumber kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya”.3
Wilayah merupakan atribut yang sangat penting bagi eksistensi suatu
negara. Atas wilayahnya negara memiliki hak-hak untuk melaksanakan
kedaulatan atas orang, benda juga peristiwa atau perbuatan hukum yang terjadi di
wilayahnya. Namun demikian, atas wilayahnya negara wajib untuk tidak
menggunakannya bagi tindakan-tindakan yang merugikan negara lain serta
3
Ibid
tindakan-tindakan yang membahayakan perdamaian dan keamanan internasional
(Pasal 7 Draft Deklarasi PBB tentang hak-hak dan kewajiban negara 1949). 4
Keterkaitannya dengan wilayah, negara wajib untuk tidak mengakui
wilayah-wilayah yang diperoleh dengan kekerasan, (Pasal 12 Draft Deklarasi PBB
tentang hak-hak dan kewajiban negara 1949). Disamping berkewajiban untuk
tidak mengakui wilayah-wilayah yang diperoleh dengan kekerasan, sangat penting
bagi suatu negara untuk mengatur wilayah negaranya sendiri. Pengaturan Wilayah
Negara untuk Indonesia diatur dalam UU Nomor 43 Tahun 2008 Pasal 3 tentang
pengaturan wilayah negara yang bertujuan:5
1. Menjamin keutuhan Wilayah Negara, kedaulatan Negara, dan ketertiban
dikawasan perbatasan demi kepentingan kesejahteraan segenap bangsa;
2. Menegakkan kedaulatan dan hak-hak berdaulat; dan
3. Mengatur pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan
Perbatasan, termasuk pengawassan batas-batassnya.
Selanjutnya Undang Undang No. 43 Tahun 2008 Pasal 4 juga menetapkan
bahwa “Wilayah Negara Indonesia meliputi wilayah darat, wilayah perairan, dasar
laut, dan tanah dibawahnya serta ruang udara diatassnya, termasuk seluruh sumber
kekayaan yang terkandung didalamnya”. 6
B. Perumusan Masalah
4
Sefriani, SH.,M.Hum „Pengantar Hukum Internasional‟ (Yogyakata: Rajawali Pers,
2009) hal 201-204
5
Pasal 3 UU Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara
6
Pasal 4
1. Untuk mengetahui pengaturan hak lintas damai berdasarkan hukum
nasional
2. Untuk mengetahui pengaturan hak lintas damai dalam hukum laut
internasional
3. Untuk mengetahui penegakan hukum bagi kapal-kapal asing di laut
teritorial Indonesia relevansi hak lintas damai.
Manfaat penelitian skripsi ini adalah:
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, diharapkan hasil penelitian dapat dijadikan bahan refrensi
dan menambah wawasan mengenai pengaturan hak lintas damai
berdasarkan hukum nasional dan mengetahui pengaturan hak lintas damai
dalam hukum laut internasional serta penegakan hukum bagi kapal-kapal
asing di Indonesia.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi masukan
kepada semua pihak baik akadmisi dan masyarakat umum yang memiliki
perhatian khsus pada hukum nasional dan internasional.
D. Keaslian Penelitian
Adapun judul dari skripsi ini adalah “Tinjauan Hak Lintas Damai Di Laut
Teritorial Dalam Perspektif Hukum Nasional Dan Hukum Internasional”.
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari Perpustakaan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, judul skripsi ini belum pernah dikemukakan
dan permasalahan yang diajukan juga belum pernah diteliti. Maka penulisan
skripsi ini masih orisinil dan dapat dipertanggungjawabkan.
E. Metode Penelitian
7
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat,.9,Jakarta, Rajawali Press, 2006, Hal.23.
F. Sistematika Penulisan
8
Mochtar Kusumaatmadja. 1978, Hukum Laut Internasioal. Hlm 186
9
Ibid. hlm 188
dan keselamatan Negara Indonesia”.10 Dengan demikian jelas kiranya bahwa hak
lintas damai (the right of innocent passage) kapal-kapal asing merupakan bagian
yang tak terpisahkan (integral part) dari konsepsi nusantara. Tidak lama setelah
Deklarasi 13 Desember 1957 dikeluarkan, beberapa negara menyatakan tidak
mengakui klaim Indonesia atas perairan disekitar dan di antara pulau-pulaunya.
Usaha untuk memperoleh pengakuan bagi pengaturan laut wilayah
berdasarkan atas konsepsi archipelago melalui forum internasional yaitu
UNCLOS di Jenewa 1958 tidak membawa hasil yang diharapkan, karena negara
peserta yang berkepentingan langsung dan menaruh perhatian terhadap masalah
ini terlalu kecil jumlahnya.
Walaupun demikian usaha tersebut cukup penting untuk dicatat dalam
sejarah perkembangan hukum internasional karena merupakan kejadian pertama
diajukannya konsepsi negara kepulauan melalui konferensi hukum international
secara resmi. Selain sebagai suatu forum untuk memperoleh pengakuan
internasional bagi konsepsi negara kepulauan, UNCLOS Jennewa juga telah
digunakan oleh Indonesia untuk memperkenalkan konsepsi nasionalnya tentang
negara kepulauan dengan jalan mengedarkan teks bahasa Inggris Undang-Undang
Nomor 4 Peraturan Pemerintah Tahun 1960 yang kemudian dimuat dalam
dokumen Sekretariat Konferensi.11
Melihat dari penolakan berbagai negara dalam usahanya, Indonesia tidak
dapat mengharapkan banyak dari UNCLOS 1960. Dalam dua tahun diantara
kedua konferensi tidak ada perubahan besar dalam sikap dan pandangan negara-
negara mengenai hukum laut. Sebagaimana dituangkan dalam Undang-undang
Nomor 4 Peraturan Pemerintah Tahun 1960, maka pokok-pokok dasar dan
pertimbangan-pertimbangan bagi pengaturan perairan (wilayah) Indonesia pada
hakekatnya tetap sama. Walaupun segi ekonomi dan pengamanan sumber daya
alam, baik hayati, nabati maupun mineral lebih ditonjolkan daripada di tahun
1957.
Apabila diambil intisarinya maka azas-azas pokok daripada konsepsi
nusantara sebagaimana diundangkan dalam Undang Undang Nomor 4 Peraturan
10
Ibid. hlm 189
11
Ibid. hlm 191
Perunang Undangan Tahun 1960 Tentang Perairan Indonesia ini adalah sebagai
berikut :
1) Untuk kesatuan bangsa, integritas wilayah dan kesatuan ekonominya
ditarik garis-garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar
dari pulau-pulau terluar;
2) Negara berdaulat atas segala perairan yang terletak dalam garis-garis
pangkal lurus ini termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya maupun
ruang udara di atasnya, dengan segala kekayaan alam yang terkandung
didalamnya;
3) Jalur laut wilayah (laut teritorial) selebar 12 mil diukur terhitung dari
garis-garis pangkal lurus ini;
4) Hak lintas damai kendaraan air (kapal) asing melalui perairan nusantara
(archipelagic watens) dijamin selama tidak merugikan kepentingan negara
pantai dan menggangu keamanan serta ketertibannya. 12
UNCLOS 1982 membagi laut dalam tiga bagian, yaitu: Pertama, laut yang
merupakan bagian dari wilayah kedaulatannya (yaitu laut teritorial, laut
pedalaman), Kedua, laut yang bukan merupakan wilayah kedaulatannya namun
negara tersebut memiliki hak-hak dan yurisdiksi terhadap aktifitas tertentu (yaitu
zona tambahan, zona ekonomi eksklusif), Ketiga, laut yang bukan merupakan
wilayah kedaulatannya dan bukan merupakan hak atau yurisdiksi, namun negara
tersebut memiliki kepentingan, yaitu laut bebas13.
Di perairan kepulauan juga berlaku Hak Lintas Damai (right of the
innocent passage) bagi kapal asing yang dinyatakan dalam Pasal 52 ayat (2)
UNCLOS 1982. Namun demikian, apabila berkaitan dengan keamanan dan
pertahanan, sebuah negara kepulauan dapat menghentikan pemberlakuan Hak
Lintas Damai di Perairan Kepulauannya tanpa ada pengecualian.
12
Ibid. hlm 194
13
Retno Windari, Hukum Laut, Zona-Zona Maritim Sesuai UNCLOS 1982 dan
Konvensi-Konvensi Bidang Maritim, (Jakarta: Badan Koordinasi Keamanan laut, 2009), halaman
19
Penentuan batas wilayah laut teritorial yang meliputi kelautan di dalam
perbuatannya perlu memperhatikan bentuk konsekuensi dan pertimbangan lain
sehingga kepentingan kepentingan publik internasional sama-sama berjalan. 14
Pasal 15 UNCLOS mengatur penetapan garis batas laut teritorial di antara negara-
negara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan, tidak satupun dari
kedua negara berhak, kecuali ada persetujuan sebaliknya di antara mereka, untuk
menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis tengah yang titik-titiknya sama
jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis pangkal dari mana lebar laut teritorial
masing-masing negara itu diukur.15
Didalam laut teritorial berlaku hak lintas damai bagi kapal asing sepanjang
tidak melanggar dan mengganggu perdamaian, aturan hukum dan keamanan
negara yang dilewati sesuai dengan apa yang tercantum dalam Pasal 19 ayat (1)
UNCLOS 1982.
Landasan yuridis pengaturan Zona Tambhan mengacu pada Pasal 33 ayat
(1) dan ayat (2) UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa zona tambahan tidak
boleh melebihi 24 mil laut dari garis pangkal dari lebar laut teritorial diukur.
Untuk memperjelas letak zona tambahan dalam Pasal 33 ayat (2) UNCLOS 1982
dapat disimpulakan sebagai berikut:16
a) Tempat atau garis dari mana lebar jalur tambahan itu diukur. Tempat atau
garis itu adalah garis pangkal.17
b) Lebar zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, diukur dari garis
pangkal.
c) Oleh karena itu, zona laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal
adalah merupakan Laut Teritorial, maka secara praktis lebar zona
tambahan itu adalah 12 (24-12) mil laut, diukur dari garis atau batas luar
(outer limit) laut teritorial. Dengan kata lain, zona tambahan selalu terletak
di luar dari dan berbatasan dengan laut teritorial.
14
Mirza Satria Buana, Hukum Internasional Teori dan Praktek, (Bandung: Nusa Media,
2007), halaman 71.
15
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional I Edisi Kesepuluh, (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), halaman 348.
16
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Op. Cit, halaman 35
17
Yang dimaksud dengan Garis Pangkal itu adalah garis pangkal tempat untuk mengukur
lebar Laut Teritorial.
Mengenai wewenang-wewenang negara pantai terhadap zona tambahan,
Pasal 3 UNCLOS 1982 menjelaskan bahwa negara-negara pantai dapat
melaksanakan pengawasan-pengawasan yang perlu untuk mencegah pelanggaran
Peraturan Perundang-undangan bea cukai, fiscal, imigrasi, atau saniter di dalam
wilayah laut teritorialnya. Pengawasan ini dapat dilengkapi dengan tindakan-
tindakan pemberantasan dan negara pantai dapat menghukum para pelanggar
Peraturan Perundang-undnagan tersebut.18
Menurut UNCLOS 1958 maupun 1982, sebuah negara pantai harus
memutuskan apakah akan mengklaim zona tambahan atau tidak, karena zona ini
tidak diberikan secara otomatis kepada negara pantai, tidak seperti landas
kontinen. Sampai Januari 1998, seperti dikompilasi oleh Churchill dan Lowe
dari limits in the seas no. 36 ed. 7 dan law of the sea bulletin, lebih dari sepertiga
negara pantai memilih mengklaim zona tambahan.19
1) ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif)
2) Landas Kontinen
3) Laut Lepas
4) Kawasan Dasar Laut Internasional (International Seabed Area)
Bentuk-Bentuk Hak Lintas
I. Hak Lintas Damai
Dalam kepustakaan Hukum Internasional, hak lintas damai telah
melembaga dalam Konvensi Hukum lnterasional, yaitu Konvensi Den Haag 1930,
Namun pengaturan lebih lengkap dirumuskan dalam UNCLOS 1958 dalam
perkembangan selanjutnya dimuat dalam UNCLOS 1982 (Konvensi Hukum Laut
1982) yang banyak mengalami perkembangan dalam pengaturan lintas damai ini.
II. Hak Lintas Transit
Pasal 42 Tahun 1982 UNCLOS dan Bab III UU 1996 mengenai hak lintas
transit memperkenankan negara-negara tepi untuk membuat peraturan perundang-
undangan mengenai lintas transit melalui selat-selat bertalian dengan keselamatan
pelayaran, pencegahan polusi, pengaturan penangkapan ikan dan lain-lainnya.
Sehubungan dengan itu Indonesia sebaiknya membuat ketentuan-ketentuan
18
Boer Mauna, Hukum Internasional Edisi Kedua, (Bandung: PT. Alumni, 2013),
halaman 377
19
I Made Andi Arsana, Op. Cit, halaman 31
keselamatan pelayaran terkait pelaksanaan lintas transit tersebut yang didasarkan
atas berbagai kepentingan nasional.
Perlu diperhatikan bahwa untuk dapat disebut sebagai suatu lintas transit,
faktor utama yang menentukan adalah kedudukan selat sebagai perairan yang
menghubungkan satu bagian dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dengan
bagian lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif. Berbeda dengan lintas
damai, untuk lintas transit tidak ada pembedaan pengadaan berdasarkan jenis
kapal. Demikian juga, tidak terdapat persyaratan-persyaratan untuk pelaksanaan
lintas itu sendiri maupun kewajiban untuk meminta izin maupun pemberitahuan
terlebih dahulu.20
III. Hak Lintas Alur Kepulauan
Mengenai hak lintas alur kepulauan diatur dalam Pasal 53 UNCLOS 1982.
Hak lintas alur-alur laut kepulauan melalui perairan kepulauan Indonesia diatur
dalam Pasal 19 Undang Undang No. 6 Tahun 1996. Dalam pasal ini ditetapkan
bahwa pemerintah menentukan alur-alur laut termasuk rute penerbangan di
atasnya yang cocok digunakan untuk pelaksanaan lintas alur kepulauan tersebut
dengan menentukan sumbun-sumbunya yang dicantumkan pada peta-peta laut
yang diumumkan sebagaimana mestinya.
20
Etty R. Agoes. 1991, Konvensi Hukum Laut 1982 Masalah Pengaturan Hak Lintas
Kapal Asing. hlm 129
negara tak berpantai, menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial dan
perairan kepulauan. Ketentuan ayat (2 (a)) mendefinisikan lintas sebagai navigasi
melalui laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia untuk keperluan melintasi
laut tersebut tanpa melalui perairan pedalaman atau berlabuh di tengah laut atau
fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2002 Tentang Hak Dan Kewajiban
Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan
Indonesia
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 Undang Undang No. 6 Tahun
1996 Tentang Perairan Indonesia, pada tanggal 28 Juni 2002, pemerintah
Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2002 Tentang Hak
Dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui
Perairan Indonesia. Melaui Pasal 1 ayat (2) dan (3) PP No. 36 Tahun 2002 bahwa
pengertian hak lintas damai (Innoncent Passage) bagi kapal-kapal asing melaui
laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia ini merujuk kepada pengertian
lintas dan lintas damai dalam Undang Undang No. 6 Tahun 1996 Tentang
Perairan Indonesia.
4. Undang Undang No. 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan
Dalam Pasal 6 UU No.32 Tahun 2014 menjelaskan bahwa (1) Wilayah
Laut terdiri atas wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi serta laut lepas dan
kawasan dasar laut internasional. (2) Negara Kesatuan Republik Indonesia berhak
melakukan pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam dan lingkungan Laut di
wilayah Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pengelolaan dan
pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
BAB III
PENGATURAN HAK LINTAS DAMAI DALAM HUKUM
INTERNASIONAL
21
Hasyim Djalal. 1979, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman. hlm 1.
22
Didik Mohammad Sodik. 2011 Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di
Indonesia. hlm 1
23
Hasyim Djalal, Op Cit, hlm 11
Kedua doktrin tersebut diawali sejarah panjang mengenai penguasaan laut
oleh Imperium Roma. Pemikiran hukum bangsa Romawi terhadap laut didasarkan
atas doktrin res communis omnium (hak bersama seluruh umat manusia) yang
memandang bahwa penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap orang. Asas
tersebut selain untk kepentingan pelayaran, menjadi dasar pula untuk kebasan
menangkap ikan.24
Di sisi lain, pemilikan suatu kerajaan dan negara atas laut yang berdekatan
dengan pantainya didasarkan atas konsep res nullius. Menurut konsep ini, laut
bisa dimiliki apabila yang berhasrat memiliknya bias menguasai dengan
mendudukinya (okupasi). Walaupun penguasaan mutlak terhadap laut oleh
Imperium Romawi telah berakhir , akan tetapi pemilikan laut oleh negara-negara
dan kerajaan tetap menggunakan asas-asas hukum Romawi.25
Sejarah perkembangan hukum internasional sejak zaman Romawi, rezim
laut teritorial sudah merupakan bagian penting dari hukum kebiasaan
internasional. Sementara dalam konteks kebebasan di laut, ajaran Grotius yang
didasarkan atas doktrin res communis omnium telah meletakkan dasar bagi
perkembangan pemkiran hukum laut internasional modern tentang kebebasan di
laut lepas yang dikenal pada zaman sekarang. Dengan diakuinya pembagian laut
kedalam laut teritorial yang jatuh di bawah kedaulatan penuh suatu negara pantai
dan laut lepas yang bersifat bebas untuk seluruh umat manusia, telah
menyelesaikan pertentangan kepentigan antar negara mengenai laut.26
28
UNCLOS 1982
2) lintas suatu kapal harus dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban
atau keamanan negara pantai, apabila kapal tersebut di laut teritorial
melakukan salah satu kegiatan sebagai berikut:
a) setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan,
keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara pantai, atau
dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum
internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB;
b) setiap latihan atau praktik dengan senjata jenis apapun;
c) setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi
yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan negara pantai;
d) setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi
pertahanan atau keamanan negara pantai;
e) peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara di
atas kapal;
f) peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peralatan dan
perlengkapan militer;
g) membongkar atau memuat setiap komoditi, mata uang atau orang
secara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan bea
cukai, fiskal, imigrasi negara pantai;
h) setiap perbuatan pencemaran dengan sengaja dan merugikan yang
bertentangan dengan ketentuan konvensi ini;
i) setiap kegiatan perikanan;
j) kegiatan riset atau survey;
k) setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap sistem
komunikasi atau setiap fasilitas atau instalasi lainnya dari negara
pantai;
l) setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan
lintas.
Selain ketentuan tersebut di atas, terdapat ketentuan lain yang mengatur
lintas bagi kapal selam dan kendaraan bawah air lainnya. Dalam Pasal 20
UNCLOS 1982 menentukan bahwa kapal selam dan kendaraan bawah air lainnya
diharuskan untuk berlayar di atas permukaan air dan harus menunjukkan
benderanya.29
29
Ibid
Dalam hal menganai peraturan peraturan perundang-perundangan negara
pantai yang mengatur hak lintas damai, konvensi memberikan otoritas kepada
negara pantai untuk mengeluar kan peraturan-peraturan mengenai :
1) keselamatan navigasi dan pengaturan lalu lintas maritim;
2) perlindungan alat-alat pembantu dan fasilitas navigasi serta fasilitas
atau instalasi lainnya;
3) perlindungan kabel dan pipa laut;
4) konservasi kekayaan hayati laut;
5) pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan
Negara pantai;
6) pelestarian lingkungan negara pantai dan pencegahan, pengurangan
dan pengendalian pencemarannya;
7) penelitian ilmiah kelautan dan survey hidrografi;
8) pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai,
fiskal, imigrasi atau saniter Negara Pantai.
b. Hak Lintas Damai Negara Kepulauan
Khususnya negara kepulauan, hak lintas damai diatur dalam Pasal yang
berbeda dengan hak lintas damai negara pantai, akan tetapi secara substansi tidak
ada perbedaan dengan konsep lintas damai negara pantai. Mengenai hak lintas
damai negara kepulauan diatur dalam Pasal 52 UNCLOS :
1. Ayat (1) “Dengan tunduk pada ketentuan Pasal 53 dan tanpa mengurangi
arti ketentuan Pasal 50, kapal semua Negara menikmati hak lintas damai
melalui perairan kepulauan sesuai dengan ketentuan dalam Bab II, bagian
3 (tiga)”.
2. Ayat (2) “Negara Kepulauan dapat, tanpa mengadakan diskriminasi formal
maupun diskriminasi nyata diantara kapal asing, menangguhkan sementara
lintas damai kapal asing di daerah tertentu perairan kepulauannya, apabila
penangguhan demikian sangat perlu untuk melindungi keamanannya.
Penangguhan demikian akan berlaku hanya setelah diumumkan
sebagaimana mestinya”.
Maksud dari Pasal 52 ayat (1) adalah bahwa negara kepulauan wajib
menghormati hak lintas damai kapal-kapal asing manapun untuk melewati
perairan kepulauannya (ketentuan pada bab II, bagian ketiga dari konvensi) dan
Negara kepulauan dapat menentukan batas perairan pedalamannya dengan cara
menarik garis-garis penutup untuk memberikan batasan sampai pada area laut
mana kapal yang melintas dikatakakan melaksanakan hak lintas damai. Penentuan
garis penutup tersebut didasarkan pada Pasal 9, 10, 11 konvensi yakni mengenai
mulut sungai, teluk, dan pelabuhan.30
30
Ibid
31
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Mandar Maju, 1990),
hlm. 293-294
32
” Peranan Polri dalam Menegakkan Hukum di Laut (Suatu Refleksi Pelaksanaan
Hukum di Laut yang telah dilakukan oleh Polri)”, makalah yang disampaikan pada Lokakarya
Hukum Laut Internasional Deplu, Yogyakarta, 13-15 Desember 2004.
orang, benda, hal atau masalah yang berada dan atau terjadi di dalam batas-batas
wilayah dari negara yang bersangkutan.
Dalam hukum internasional, dikenal adanya perluasan yurisdiksi teritorial
(the extention of territorial jurisdiction) yang timbul akibat kemajuan iptek,
khususnya teknologi transportasi, komunikasi dan informasi serta hasil-hasilnya.
Kemajuan iptek ini ditampung dan diakomodasi oleh masyarakat dan hukum
internasional, guna mengantisipasi pemanfaatan dan penyalahgunaan hasil-hasil
iptek ini oleh orang-orang yang terlibat dalam pelanggaran hukum maupun tindak
pidana di dalam wilayah suatu negara.33
Perluasan yurisdiksi teritorial mempergunakan dua pendekatan:
1) Prinsip teritorial subyektif (the subjective territorial principle), Prinsip ini
memperkenankan suatu negara untuk mengklaim dan menyatakan
yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang mulai dilakukan atau
terjadi di dalam wilayah negaranya walaupun berakhir atau diselesaikan di
negara lain.
2) Prinsip teritorial obyektif (the objective territorial principle),
Memperkenankan suatu negara untuk mengklaim dan menyatakan
yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri atau
negara lain, tetapi berakhir atau diselesaikan dan membahayakan
negaranya sendiri.
Yurisdiksi dengan prinsip nasional ini terdiri dari dua bagian, yaitu:
(1) Prinsip nasionalitas aktif (active nationality principle)
(2) Prinsip nasionalitas pasif (passive nationality principle)
(3) Yurisdiksi dengan prinsip perlindungan
(4) Yurisdiksi dengan prinsip universal
2. Yurisdiksi Kriminal
Orang-orang yang berada di atas kapal asing yang memasuki perairan
suatu negara pantai, berada di bawah yurisdiksi otoritas setempat jika melakukan
suatu delik. Namun demikian, hal yang hanya menyangkut soal tata tertib intern
33
Tien Saefullah, “Hubungan Yurisdiksi Universal Dengan Kewajiban
NegaraBerdasarkan Prinsip Aut Dedere Aut Judicare Dalam Tindak Pidana Penerbangan dan
Implementasinya di Indonesia”, Jurnal Hukum Internasional, Bagian Hukum Internasional FH
Universitas Padjajaran, Vol, I/I,2002, hlm.317
dan disiplin di dalam kapal biasanya diserahkan penyelesaiannya pada otoritas
negara bendera. Para awak kapal yang berada di atas kapal perang negara asing
adalah kebal terhadap tindakan penahanan dan pemeriksaan pemerintah negara
pantai sehubungan dengan delik yang terjadi di atas kapal itu, sekalipun akibat
dari kejahatan itu merembes keluar dari kapal tersebut.
Terdapat kecenderungan bahwa pada umumnya suatu negara tidak dapat
mencampuri kasus kejahatan ringan yang terjadi di atas kapal atau hal lain yang
hanya menyangkut soal disiplin intern kapal pemerintah itu. Demikianpun halnya
terhadap suatu kapal niaga asing. 34
3. Penerapan Hukum Di Laut
Penerapan hukum adalah suatu proses pelaksanaan aturan-aturan, sampai
pengadilan menjatuhkan hukuman yang mempunyai kekuatan hukum. Proses
tersebut adalah kegiatan yang berkaitan satu sama lain. Kebanyakan delik yang
terjadi adalah di perairan pedalaman terutama di bandar suatu negara. Bilamana
suatu kapal niaga memasuki perairan pedalaman suatu negara pantai yang
berdaulat penuh, baik negara pantai maupun negara bendera dapat bersaingan
yurisdiksi di atas kapal tersebut yang berada di pelabuhan negara pantai.
Konflik hukum tersebut dilandasi oleh dua macam prinsip hukum
internasional yang masing-masing sudah mantap kedudukannya, yaitu prinsip
mengenai yurisdiksi teritorial negara pantai dan yurisdiksi kuasi teritorial negara
bendera atas kapal dan awaknya. Di satu pihak, negara bendera mempunyai
yurisdiksi terhadap kapal dan awaknya meskipun berada di luar wilayahnya, dan
di lain pihak negara pantai dapat menerapkan yurisdiksinya terhadap kapal asing
yang berada di wilayah perairannya.35
34
Djuang Harahap, Mustafa. 1983. Yurisdiksi Kriminal di Perairan Indonesia yang
Berkaitan dengan Hukum Internasional. Alumni: Bandung.
35
Ibid
BAB IV
PENEGAKAN HUKUM BAGI KAPAL-KAPAL ASING DI LAUT
TERITORIAL INDONESIA RELEVANSI HAK LINTAS DAMAI
37
Ibid
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Windari, Retno. Hukum Laut, Zona-Zona Maritim sesuai UNCLOS 1982 dan
Konvensi-Konvensi Bidang Maritim (Jakarta. Badan Koordinasi Keamanan
Laut, 2009)
Perundang-undangan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2002 Tentang Hak
dan Kwajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui
Perairan Indonesia
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah
Negara
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan
Indonesia
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan
United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan
Bangsa Bangsa Tentang Hukum Laut)
Undang Undang Republik Indonesia Nomr 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran.
Undang Undang No.32 Tahun 2014 Tentang Kelautan