Anda di halaman 1dari 37

TINJAUAN HAK LINTAS DAMAI DI LAUT TERITORIAL DALAM

PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL DAN INTERNASIONAL

JURNAL

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Mencapai


Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

MELINDA GULTOM

NIM : 130200561

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
ABSTRAK

TINJAUAN HAK LINTAS DAMAI DI LAUT TERITORIAL DALAM


PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL DAN INTERNASIONAL

Melinda Gultom*
Suhaidi**
Arif***

Indonesia merupakan Negara Kepulauan terluas di dunia. Sebagai Negara


Kepulauan yang memiliki laut yang luas dan garis pantai yang panjang, sektor
maritim dan kelautan menjadi sangat strategis bagi Indonesia. Terkait hal tersebut
Perairan Indonesia harus di lindungi secara yuridis dari ancaman pelanggaran
hukum sebagai akibat tidak dipatuhinya hukum nasional maupun internasional
yang berlaku. Penelitian ini merumuskan masalah mengenai pengaturan hak lintas
damai berdasarkan hukum nasional, pengaturan hak lintas damai dalam hukum
laut internasional dan penegakan hukum bagi kapal-kapal asing di laut teritorial
Indonesia relevansi hak lintas damai. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode yuridis normatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi
dokumen dan perundang-undangan. Hasil penelitian bahwa semenjak Deklarasi
Djuanda, Pemerintah Indonesia terus memperjuangkan konsep wawasan nusantara
kepada negara-negara di dunia dalam forum internasional baik secara bilateral,
trilateral maupun multilateral, hasil dari diplomasi adalah diterimanya Negara
Kepulauan dalam UNCLOS 1982. Kemudian dalam hak lintas damai negara
wajib menghormati hak lintas damai bagi kapal-kapal asing untuk melewati
perairan kepulauannya sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku dalam
UNCLOS 1982 dan penegakan hukum bagi kapal-kapal asing di perairan
Indonesia telah di atur dalam peraturan baik dalam bentuk Konvensi, Deklarasi
maupun Undang Undang secara nasional, namun fakta di lapangan membuktikan
terjadi pelanggaran yang di lakukan oleh kapal-kapal asing yang melintas di laut
teritorial Indonesia.

Keywords : Lintas Damai, Laut Teriorial, Hukum Nasional dan Internasional

*) Mahasiswa Fakultas Hukum USU


**) Dosen Pembimbing I
***) Dosen Pembimbing II
ABSTRACT

OVERVIEW OF THE PEACE RIGHTS IN THE TERRITORIAL SEA IN


NATIONAL AND INTERNATIONAL LAW PERSPECTIVES

Melinda Gultom*
Suhaidi**
Arif***

Indonesia is the largest archipelago country in the world. As an archipelagic


country with vast sea and long coastlines, maritime and maritime sectors are
becoming very strategic for Indonesia. In this regard, Indonesian waters must be
protected judicially from the threat of lawlessness as a result of non-compliance
with applicable national and international laws. This research formulates issues
concerning the regulation of peace rights under national law, the arrangement of
the right of peace in international maritime law and the enforcement of foreign
ships in Indonesian territorial sea the relevance of the right of peace. The method
used in this study is the normative juridical method with data collection
techniques in the form of document studies and legislation. The result of the
research that since Djuanda Declaration, the Government of Indonesia continue to
strive for the concept of insight of the archipelago to the countries in the world in
international forums both bilaterally, trilateral and multilateral, the result of
diplomacy is the acceptance of the Islands State in UNCLOS 1982. Then in the
right of peace transnational state must respect the right of peaceful passage for
foreign vessels to pass through its archipelagic waters in accordance with the
provisions and regulations applicable in UNCLOS 1982 and law enforcement for
foreign vessels in Indonesian waters has been regulated in legislation in the form
of Conventions, Declarations and Laws nationally, but the facts on the ground
proved a violation committed by foreign ships crossing the Indonesian territorial
sea.

Keywords: Lintas Damai, Teriorial Sea, National and International Law


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kedaulatan teritorial dalam suatu negara bukan hanya sebatas wilayah
daratan namun juga wilayah perairan terlebih Indonesia sebagai negara kepulauan
yang memiliki 17.508 pulau baik yang kecil hingga yang besar. Konsep negara
kepulauan Indonesia ini di dapat pada tahun 1957 melalui Deklarasi Juanda.
Deklarasi tersebut juga mengumumkan bahwa Indonesia secara unilateral atau
sepihak yaitu lebar laut Indonesia (laut teritorial Indonesia) adalah jalur laut
selebar 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.
Setiap negara pada dasarnya memiliki hak untuk berlayar di laut
teritorialnya, ZEE, laut lepas, dan laut territorial milik negara lain. Namun dalam
hal ini berhubungan dengan hak untuk berlayar di laut atau perairan territorial
milik negara lain, suatu Negara di atur dalam UNCLOS I Tahun 1958 dan
UNCLOS II Tahun 1982, pada Pasal 17 Lintas Damai berbunyi “Dengan tunduk
pada Konvensi ini, kapal semua negara, baik berpantai maupun tak berpantai,
menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial.”1
Untuk hak lintas damai yang berhubungan dengan aturan atas kapal-kapal
yang menikmati hak lintas damai dan kewajiban serta hak negara pantai dalam
hubungan peraturan negaranya diatur dalam UNCLOS Tahun 1982 diatur dalam
Pasal 20 yang berbunyi “Di laut teritorial, kapal selam dan kendaraan bawah air
lainnya diharuskan melakukan navigasi di atas permukaan air dan menunjukkan
benderanya”. sampai pada Pasal 32 yang berbunyi “ Dengan pengecualian
sebagaimana tercantum dalam sub-bagian A dan dalam pasal 30 dan 31, tidak
satupun ketentuan dalam konvensi ini mengurangi kekebalan kapal perang dan
kapal pemerintah lainnya yang di operasikan untuk tujuan non-komersial”.2
Keamanan laut yurisdiksi nasional dan perairan internasional sebagai
jalur-jalur pelayaran telah lama menjadi perhatian serius dunia khususnya bagi
negara-negara pantai (Coastal State) maupun negara kepulauan (Archipelagic
State) yang secara langsung memiliki kepentingan di dalamnya. Salah satu fungsi

1
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut
2
Ibid
laut adalah sebagai jalur transportasi yang menghubungkan satu negara dengan
negara lain untuk kepentingan berbagai macam kegiatan. Mengingat fungsi
tersebut memiliki nilai yang tinggi bagi negara kepulauan, maka kejahatan sering
terjadi di laut yang mengancam keamanan pelayaran, perdagangan yang
mengakibatkan korban jiwa bagi awak kapal, kerusakan fisik kapal, kerugian
barang yang diangkut serta kerugian bagi pemilik kapal.
Perairan laut yurisdiksi maupun internasional yang tidak terjamin
keamanannya, maka membawa konsekuensi logis pada dampak kerugian ekonomi
secara global. Oleh karena itu, keamanan laut bukan hanya mewakili kepentingan
suatu negara tetapi juga menjadi kepentingan kawasan (regional). Selain itu harus
diadakan publikasi jelas dan meluas secara internasional dan mengharuskan
adanya pencantuman alur laut dan skema pemisah lalu lintas pada peta agar
diketahui secara meluas, yang nantinya dipergunakan untuk pelayaran
internasional. Selain untuk menjamin dan menghormati adanya kebebasan
navigasi secara internasional, hal tersebut sangat penting guna menjaga ketahanan
dan pertahanan Indonesia dari peristiwa yang terjadi di laut dan perairan
kepulauan yang dapat mengancam integritas dan stabilitas Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagai Negara kepulauan.
Indonesia telah membuat peraturan tentang Perairan Indonesia Nomor 6
Tahun 1996 yang didalamnya memuat mengenai berbagai ketentuan seperti yang
diatur dalam Pasal 4 yang berbunyi “Kedaulatan Negara Republik Indonesia di
perairan Indonesia meliputi laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan
pedalaman dan ruang udara di atas laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan
pedalaman serta dasar laut dan tanah dibawahnya termasuk sumber kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya”.3
Wilayah merupakan atribut yang sangat penting bagi eksistensi suatu
negara. Atas wilayahnya negara memiliki hak-hak untuk melaksanakan
kedaulatan atas orang, benda juga peristiwa atau perbuatan hukum yang terjadi di
wilayahnya. Namun demikian, atas wilayahnya negara wajib untuk tidak
menggunakannya bagi tindakan-tindakan yang merugikan negara lain serta

3
Ibid
tindakan-tindakan yang membahayakan perdamaian dan keamanan internasional
(Pasal 7 Draft Deklarasi PBB tentang hak-hak dan kewajiban negara 1949). 4
Keterkaitannya dengan wilayah, negara wajib untuk tidak mengakui
wilayah-wilayah yang diperoleh dengan kekerasan, (Pasal 12 Draft Deklarasi PBB
tentang hak-hak dan kewajiban negara 1949). Disamping berkewajiban untuk
tidak mengakui wilayah-wilayah yang diperoleh dengan kekerasan, sangat penting
bagi suatu negara untuk mengatur wilayah negaranya sendiri. Pengaturan Wilayah
Negara untuk Indonesia diatur dalam UU Nomor 43 Tahun 2008 Pasal 3 tentang
pengaturan wilayah negara yang bertujuan:5
1. Menjamin keutuhan Wilayah Negara, kedaulatan Negara, dan ketertiban
dikawasan perbatasan demi kepentingan kesejahteraan segenap bangsa;
2. Menegakkan kedaulatan dan hak-hak berdaulat; dan
3. Mengatur pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan
Perbatasan, termasuk pengawassan batas-batassnya.
Selanjutnya Undang Undang No. 43 Tahun 2008 Pasal 4 juga menetapkan
bahwa “Wilayah Negara Indonesia meliputi wilayah darat, wilayah perairan, dasar
laut, dan tanah dibawahnya serta ruang udara diatassnya, termasuk seluruh sumber
kekayaan yang terkandung didalamnya”. 6

B. Perumusan Masalah

Berkenaan dengan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka


permasalahan yang akan diteliti didalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan hak lintas damai berdasarkan hukum nasional ?
2. Bagaimana pengaturan hak lintas damai dalam hukum laut internasional?
3. Bagaimana penegakan hukum bagi kapal-kapal asing di laut teritorial
Indonesia relevansi hak lintas damai ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Tujuan penelitian skripsi ini adalah:

4
Sefriani, SH.,M.Hum „Pengantar Hukum Internasional‟ (Yogyakata: Rajawali Pers,
2009) hal 201-204
5
Pasal 3 UU Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara
6
Pasal 4
1. Untuk mengetahui pengaturan hak lintas damai berdasarkan hukum
nasional
2. Untuk mengetahui pengaturan hak lintas damai dalam hukum laut
internasional
3. Untuk mengetahui penegakan hukum bagi kapal-kapal asing di laut
teritorial Indonesia relevansi hak lintas damai.
Manfaat penelitian skripsi ini adalah:
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, diharapkan hasil penelitian dapat dijadikan bahan refrensi
dan menambah wawasan mengenai pengaturan hak lintas damai
berdasarkan hukum nasional dan mengetahui pengaturan hak lintas damai
dalam hukum laut internasional serta penegakan hukum bagi kapal-kapal
asing di Indonesia.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi masukan
kepada semua pihak baik akadmisi dan masyarakat umum yang memiliki
perhatian khsus pada hukum nasional dan internasional.

D. Keaslian Penelitian

Adapun judul dari skripsi ini adalah “Tinjauan Hak Lintas Damai Di Laut
Teritorial Dalam Perspektif Hukum Nasional Dan Hukum Internasional”.
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari Perpustakaan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, judul skripsi ini belum pernah dikemukakan
dan permasalahan yang diajukan juga belum pernah diteliti. Maka penulisan
skripsi ini masih orisinil dan dapat dipertanggungjawabkan.

E. Metode Penelitian

Suatu metode ilmiah dapat dipercaya apabila disusun dengan


mempergunakan suatu metode yang tepat. Metode merupakan cara kerja atau tata
kerja untuk memenuhi objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetauan yang
bersangkutan. Metode adalah pedoman-pedoman, cara seseorang mempelajari dan
memahami lingkaran-lingkaran yang dihadapi. Sebagaimana suatu tulisan yang
bersifat ilmiah dan untuk mendapatkan data yang valid dan relevan dengan judul
dan tujuan penulisan skripsi ini, maka penulis berusaha semaksimal mungkin
mengumpulkan data-data yang valid dan relevan tersebut sehingga tulisan ini
dapat di pertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam penelitian skripsi ini
digunakan metode-metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan adalah bersifat yuridis normatif, bersifat
yuridis normatif artinya penelitian mengacu pada norma-norma hukum.
Penelitian Yuridis Normatif adalah penelitian hukum kepustakaan, Undang-
Undang7, dan sumber hukum internasional lainnya seperti piagam PBB, konvensi,
deklarasi dan perjanjian-perjanjian lainnya.
2. Sifat Penelitian
jika dilihat dari segi sifatnya, penelitian ini adalah bersifat deskriptif yang
menggambarkan masalah dengan cara menjabarkan fakta secara sistematis,
faktual dan akurat. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha
mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau
hubungan baik yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang
berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecendrungan yang
tengah berlangsung.
3. Teknik Pengumpulan Data
Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dan mempergunakan data
sekunder, maka penlitian ini mengacu kepada Library Research (penelitian
perpustakaan), yaitu mempelajari serta mengumpulkan data yang diperoleh dari
buku-buku yang menulis tentang hak untuk menentukan nasib sendiri dan prinsip
non-intervensi baik karangan dalam negeri maupun luar negeri dan peraturan-
peraturan yang mengaturnya secara nasional Undang-Undang maupun
internasional seperti Piagam PBB.

7
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat,.9,Jakarta, Rajawali Press, 2006, Hal.23.
F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan atau gambaran isi yang dimaksud adalah


mengemukakan garis-garis besar dari uraian skripsi. Secara garis besar
pembhasan skripsi ini akan dibagi lagi dalam 5 (lima) bab. Setiap bab
menguraikan masalah-masalah tersendiri secara sistematis dan berhubungan
antara satu bab dan bab lannya. Masing-masing bab dibagi lagi dalam sub sub
sesuai dengan kebutuhan penulisan skripsi ini. pembagian tersebut diharapkan
akan mempermudah pemahaman pembaca untuk mengetahui inti pembahasan
secara keselurhan dengan perincian sebagai berikut :
BAB I: PENDAHULUAN
Pada bab ini akan diuraikan beberapa hal pokok yang menjadi
dasar pemikiran dalam penelitian ini, terdiri dari latar belakang,
perumusan masalah yang menjadi lingkup kajian penulisan skripsi
ini, tujuan dan manfaat Penelitian, keaslian penelitian, metode
yang digunakan dalam pelitian skripsi, dan sistematika penulisan.
BAB II: PENGATURAN HAK LINTAS DAMAI BERDASARKAN
HUKUM NASIONAL
menerangkan mengenai aspek historis dalam perkembangan
hukum laut nasional, pengaturan rezim hukum laut serta bentuk-
bentuk hak lintas dan implementasi hak lintas damai dalam
regulasi peraturan perundang-undangan nasional.
BAB III: PENGATURAN HAK LINTAS DAMAI DALAM HUKUM
LAUT INTERNASIONAL
menerangkan mengenai aspek historis dalam perkembangan
hukum laut internasional, pengertian hak lintas damai menurut
UNCLOS 1982, representasi hak lintas damai dalam hukum
internasional serta yuridikasi negara dalam hukum internasional.
BAB IV: PENEGAKAN HUKUM BAGI KAPAL-KAPAL ASING DI
LAUT TERITORIAL INDONESIA RELEVANSI HAK
LINTAS DAMAI
Menerangkan mengenai prinsip-prinsip hukum dalam mengatur
hak lintas damai terhadap kapal asing dilaut teritorial Indonesia,
faktor penyebab pelanggaran hak lintas damai yang dilakukan
kapal asing dilaut teritorial Indonesia, penegakan hukum hak lintas
damai terkait kapal asing dilaut teritorial Indonesia.
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN
Berisi kesimpulan dari keseluruhan uraian materi pembahasan dan
di sertai dengan beberapa saran yang memungkinkan akan
bermanfaat.
BAB II
PENGATURAN HAK LINTAS DAMAI BERDASARKAN HUKUM
NASIONAL

A. Aspek Historis Dalam Perkembangan Hukum Laut Nasional

Perkembangan hukum laut internasional setelah Perang Dunia ke-II tidak


akan lengkap tanpa mnguraikan usaha dan tindakan-tindakan Indonesia di bidang
ini. Langkah-langkah yang telah diambil oleh Indonesia di bidang ini merupakan
suatu konsekuensi yang wajar daripada proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dan merupakan suatu tindakan pelengkap
daripadanya di bidang hukum laut.8
Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman bagi kapal asing terjamin
selama dan sekadar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan
Negara Indonesia. Penentuan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang
diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar pada pulau-
pulau terluar Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan Undang-
Undang.
Pernyataan pemerintah mengenai wilayah perairan Indonesia ini
merupakan peristiwa yang penting dan menentukan dalam usaha pemerintah
untuk meninjau kembali dan mengubah cara penetapan batas laut teritorial yang
telah diusahakannya sejak pertengahan tahun 1956 dengan membentuk suatu
Panitia Interdeparlemental untuk meninjau kembali masalah laut teritorial dan
lingkungan maritim.9 Dalam menghadapi situasi yang diancam disintegrasi politik
karena gerakan-gerakan separatis dan pemberontakan, pemerintah pada waktu itu
membutuhkan suatu konsepsi yang dapat secara jelas, nyata, dan mungkin
dijadikan simbol daripada kesatuan dan persatuan bangsa dan Negara Indonesia.
Mengingat bahwa kita tidak bisa begitu saja meniadakan kebebasan
berlayar di perairan-perairan demikian yang telah ada sejak zaman dulu, maka
Deklarasi 13 Desember 1957 dengan tegas menyatakan bahwa “lalu lintas kapal-
kapal asing melalui perairan Indonesia dijamin selama tidak merugikan keamanan

8
Mochtar Kusumaatmadja. 1978, Hukum Laut Internasioal. Hlm 186
9
Ibid. hlm 188
dan keselamatan Negara Indonesia”.10 Dengan demikian jelas kiranya bahwa hak
lintas damai (the right of innocent passage) kapal-kapal asing merupakan bagian
yang tak terpisahkan (integral part) dari konsepsi nusantara. Tidak lama setelah
Deklarasi 13 Desember 1957 dikeluarkan, beberapa negara menyatakan tidak
mengakui klaim Indonesia atas perairan disekitar dan di antara pulau-pulaunya.
Usaha untuk memperoleh pengakuan bagi pengaturan laut wilayah
berdasarkan atas konsepsi archipelago melalui forum internasional yaitu
UNCLOS di Jenewa 1958 tidak membawa hasil yang diharapkan, karena negara
peserta yang berkepentingan langsung dan menaruh perhatian terhadap masalah
ini terlalu kecil jumlahnya.
Walaupun demikian usaha tersebut cukup penting untuk dicatat dalam
sejarah perkembangan hukum internasional karena merupakan kejadian pertama
diajukannya konsepsi negara kepulauan melalui konferensi hukum international
secara resmi. Selain sebagai suatu forum untuk memperoleh pengakuan
internasional bagi konsepsi negara kepulauan, UNCLOS Jennewa juga telah
digunakan oleh Indonesia untuk memperkenalkan konsepsi nasionalnya tentang
negara kepulauan dengan jalan mengedarkan teks bahasa Inggris Undang-Undang
Nomor 4 Peraturan Pemerintah Tahun 1960 yang kemudian dimuat dalam
dokumen Sekretariat Konferensi.11
Melihat dari penolakan berbagai negara dalam usahanya, Indonesia tidak
dapat mengharapkan banyak dari UNCLOS 1960. Dalam dua tahun diantara
kedua konferensi tidak ada perubahan besar dalam sikap dan pandangan negara-
negara mengenai hukum laut. Sebagaimana dituangkan dalam Undang-undang
Nomor 4 Peraturan Pemerintah Tahun 1960, maka pokok-pokok dasar dan
pertimbangan-pertimbangan bagi pengaturan perairan (wilayah) Indonesia pada
hakekatnya tetap sama. Walaupun segi ekonomi dan pengamanan sumber daya
alam, baik hayati, nabati maupun mineral lebih ditonjolkan daripada di tahun
1957.
Apabila diambil intisarinya maka azas-azas pokok daripada konsepsi
nusantara sebagaimana diundangkan dalam Undang Undang Nomor 4 Peraturan

10
Ibid. hlm 189
11
Ibid. hlm 191
Perunang Undangan Tahun 1960 Tentang Perairan Indonesia ini adalah sebagai
berikut :
1) Untuk kesatuan bangsa, integritas wilayah dan kesatuan ekonominya
ditarik garis-garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar
dari pulau-pulau terluar;
2) Negara berdaulat atas segala perairan yang terletak dalam garis-garis
pangkal lurus ini termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya maupun
ruang udara di atasnya, dengan segala kekayaan alam yang terkandung
didalamnya;
3) Jalur laut wilayah (laut teritorial) selebar 12 mil diukur terhitung dari
garis-garis pangkal lurus ini;
4) Hak lintas damai kendaraan air (kapal) asing melalui perairan nusantara
(archipelagic watens) dijamin selama tidak merugikan kepentingan negara
pantai dan menggangu keamanan serta ketertibannya. 12

B. Pengaturan Rezim Hukum Laut Serta Bentuk-Bentuk Hak Lintas

UNCLOS 1982 membagi laut dalam tiga bagian, yaitu: Pertama, laut yang
merupakan bagian dari wilayah kedaulatannya (yaitu laut teritorial, laut
pedalaman), Kedua, laut yang bukan merupakan wilayah kedaulatannya namun
negara tersebut memiliki hak-hak dan yurisdiksi terhadap aktifitas tertentu (yaitu
zona tambahan, zona ekonomi eksklusif), Ketiga, laut yang bukan merupakan
wilayah kedaulatannya dan bukan merupakan hak atau yurisdiksi, namun negara
tersebut memiliki kepentingan, yaitu laut bebas13.
Di perairan kepulauan juga berlaku Hak Lintas Damai (right of the
innocent passage) bagi kapal asing yang dinyatakan dalam Pasal 52 ayat (2)
UNCLOS 1982. Namun demikian, apabila berkaitan dengan keamanan dan
pertahanan, sebuah negara kepulauan dapat menghentikan pemberlakuan Hak
Lintas Damai di Perairan Kepulauannya tanpa ada pengecualian.

12
Ibid. hlm 194
13
Retno Windari, Hukum Laut, Zona-Zona Maritim Sesuai UNCLOS 1982 dan
Konvensi-Konvensi Bidang Maritim, (Jakarta: Badan Koordinasi Keamanan laut, 2009), halaman
19
Penentuan batas wilayah laut teritorial yang meliputi kelautan di dalam
perbuatannya perlu memperhatikan bentuk konsekuensi dan pertimbangan lain
sehingga kepentingan kepentingan publik internasional sama-sama berjalan. 14
Pasal 15 UNCLOS mengatur penetapan garis batas laut teritorial di antara negara-
negara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan, tidak satupun dari
kedua negara berhak, kecuali ada persetujuan sebaliknya di antara mereka, untuk
menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis tengah yang titik-titiknya sama
jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis pangkal dari mana lebar laut teritorial
masing-masing negara itu diukur.15
Didalam laut teritorial berlaku hak lintas damai bagi kapal asing sepanjang
tidak melanggar dan mengganggu perdamaian, aturan hukum dan keamanan
negara yang dilewati sesuai dengan apa yang tercantum dalam Pasal 19 ayat (1)
UNCLOS 1982.
Landasan yuridis pengaturan Zona Tambhan mengacu pada Pasal 33 ayat
(1) dan ayat (2) UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa zona tambahan tidak
boleh melebihi 24 mil laut dari garis pangkal dari lebar laut teritorial diukur.
Untuk memperjelas letak zona tambahan dalam Pasal 33 ayat (2) UNCLOS 1982
dapat disimpulakan sebagai berikut:16
a) Tempat atau garis dari mana lebar jalur tambahan itu diukur. Tempat atau
garis itu adalah garis pangkal.17
b) Lebar zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, diukur dari garis
pangkal.
c) Oleh karena itu, zona laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal
adalah merupakan Laut Teritorial, maka secara praktis lebar zona
tambahan itu adalah 12 (24-12) mil laut, diukur dari garis atau batas luar
(outer limit) laut teritorial. Dengan kata lain, zona tambahan selalu terletak
di luar dari dan berbatasan dengan laut teritorial.

14
Mirza Satria Buana, Hukum Internasional Teori dan Praktek, (Bandung: Nusa Media,
2007), halaman 71.
15
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional I Edisi Kesepuluh, (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), halaman 348.
16
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Op. Cit, halaman 35
17
Yang dimaksud dengan Garis Pangkal itu adalah garis pangkal tempat untuk mengukur
lebar Laut Teritorial.
Mengenai wewenang-wewenang negara pantai terhadap zona tambahan,
Pasal 3 UNCLOS 1982 menjelaskan bahwa negara-negara pantai dapat
melaksanakan pengawasan-pengawasan yang perlu untuk mencegah pelanggaran
Peraturan Perundang-undangan bea cukai, fiscal, imigrasi, atau saniter di dalam
wilayah laut teritorialnya. Pengawasan ini dapat dilengkapi dengan tindakan-
tindakan pemberantasan dan negara pantai dapat menghukum para pelanggar
Peraturan Perundang-undnagan tersebut.18
Menurut UNCLOS 1958 maupun 1982, sebuah negara pantai harus
memutuskan apakah akan mengklaim zona tambahan atau tidak, karena zona ini
tidak diberikan secara otomatis kepada negara pantai, tidak seperti landas
kontinen. Sampai Januari 1998, seperti dikompilasi oleh Churchill dan Lowe
dari limits in the seas no. 36 ed. 7 dan law of the sea bulletin, lebih dari sepertiga
negara pantai memilih mengklaim zona tambahan.19
1) ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif)
2) Landas Kontinen
3) Laut Lepas
4) Kawasan Dasar Laut Internasional (International Seabed Area)
Bentuk-Bentuk Hak Lintas
I. Hak Lintas Damai
Dalam kepustakaan Hukum Internasional, hak lintas damai telah
melembaga dalam Konvensi Hukum lnterasional, yaitu Konvensi Den Haag 1930,
Namun pengaturan lebih lengkap dirumuskan dalam UNCLOS 1958 dalam
perkembangan selanjutnya dimuat dalam UNCLOS 1982 (Konvensi Hukum Laut
1982) yang banyak mengalami perkembangan dalam pengaturan lintas damai ini.
II. Hak Lintas Transit
Pasal 42 Tahun 1982 UNCLOS dan Bab III UU 1996 mengenai hak lintas
transit memperkenankan negara-negara tepi untuk membuat peraturan perundang-
undangan mengenai lintas transit melalui selat-selat bertalian dengan keselamatan
pelayaran, pencegahan polusi, pengaturan penangkapan ikan dan lain-lainnya.
Sehubungan dengan itu Indonesia sebaiknya membuat ketentuan-ketentuan

18
Boer Mauna, Hukum Internasional Edisi Kedua, (Bandung: PT. Alumni, 2013),
halaman 377
19
I Made Andi Arsana, Op. Cit, halaman 31
keselamatan pelayaran terkait pelaksanaan lintas transit tersebut yang didasarkan
atas berbagai kepentingan nasional.
Perlu diperhatikan bahwa untuk dapat disebut sebagai suatu lintas transit,
faktor utama yang menentukan adalah kedudukan selat sebagai perairan yang
menghubungkan satu bagian dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dengan
bagian lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif. Berbeda dengan lintas
damai, untuk lintas transit tidak ada pembedaan pengadaan berdasarkan jenis
kapal. Demikian juga, tidak terdapat persyaratan-persyaratan untuk pelaksanaan
lintas itu sendiri maupun kewajiban untuk meminta izin maupun pemberitahuan
terlebih dahulu.20
III. Hak Lintas Alur Kepulauan
Mengenai hak lintas alur kepulauan diatur dalam Pasal 53 UNCLOS 1982.
Hak lintas alur-alur laut kepulauan melalui perairan kepulauan Indonesia diatur
dalam Pasal 19 Undang Undang No. 6 Tahun 1996. Dalam pasal ini ditetapkan
bahwa pemerintah menentukan alur-alur laut termasuk rute penerbangan di
atasnya yang cocok digunakan untuk pelaksanaan lintas alur kepulauan tersebut
dengan menentukan sumbun-sumbunya yang dicantumkan pada peta-peta laut
yang diumumkan sebagaimana mestinya.

C. Implementasi Hak Lintas Damai Dalam Regulasi Peraturan Perundang-


Undangan Nasional
1. Undang Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Ratifikasi Konvensi
Hukum Laut PBB 1982.
Semenjak Deklarasi Djuanda, Pemerintah Indonesia terus
memperjuangkan konsep Wawasan Nusantara di dalam setiap perundingan
bilateral, trilateral, dan multilateral dengan negara-negara di dunia ataupun di
dalam setiap forum-forum internasional. Puncak dari diplomasi yang dilakukan
adalah dengan diterimanya Negara Kepulauan di dalam UNCLOS 1982.
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia.
Pasal 11 ayat (1) Undang Undang No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan
Indonesia menyatakan bahwa kapal semua negara, baik negara pantai maupun

20
Etty R. Agoes. 1991, Konvensi Hukum Laut 1982 Masalah Pengaturan Hak Lintas
Kapal Asing. hlm 129
negara tak berpantai, menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial dan
perairan kepulauan. Ketentuan ayat (2 (a)) mendefinisikan lintas sebagai navigasi
melalui laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia untuk keperluan melintasi
laut tersebut tanpa melalui perairan pedalaman atau berlabuh di tengah laut atau
fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2002 Tentang Hak Dan Kewajiban
Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan
Indonesia
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 Undang Undang No. 6 Tahun
1996 Tentang Perairan Indonesia, pada tanggal 28 Juni 2002, pemerintah
Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2002 Tentang Hak
Dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui
Perairan Indonesia. Melaui Pasal 1 ayat (2) dan (3) PP No. 36 Tahun 2002 bahwa
pengertian hak lintas damai (Innoncent Passage) bagi kapal-kapal asing melaui
laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia ini merujuk kepada pengertian
lintas dan lintas damai dalam Undang Undang No. 6 Tahun 1996 Tentang
Perairan Indonesia.
4. Undang Undang No. 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan
Dalam Pasal 6 UU No.32 Tahun 2014 menjelaskan bahwa (1) Wilayah
Laut terdiri atas wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi serta laut lepas dan
kawasan dasar laut internasional. (2) Negara Kesatuan Republik Indonesia berhak
melakukan pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam dan lingkungan Laut di
wilayah Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pengelolaan dan
pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
BAB III
PENGATURAN HAK LINTAS DAMAI DALAM HUKUM
INTERNASIONAL

A. Aspek Historis Dalam Perkembangan Hukum Laut Internasional


Mengenai sejarah hukum laut internasional perlu diawali dengan
pembahasan mengenai fungsi laut bagi umat manusia. Dalam sejarah, laut terbukti
telah mempunyai berbagai fungsi, antara lain sebagai :
1) Sumber makanan bagi umat manusia.
2) Jalan raya perdagangan.
3) Sarana untuk penaklukan.
4) Tempat pertempuran
5) Tempat bersenang-senang, dan
6) Alat pemisah dan pemersatu bangsa.21
Bertitik tolak dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa laut dapat
digunakan oleh umat manusia sebagai sumber daya alam bagi penghidupannya,
jalur perdagangan, kepentingan pertahanan dan keamanan dan berbagai
kepentingan lainnya. Fungsi-fungsi laut tersebut telah dirasakan oleh umat
manusia, dan telah memberikan dorongan terhadap penguasaan dan pemanfaatan
laut oleh masing-masing negara atau kerajaan yang didasarkan atas suatu konsepsi
hukum.22
Lahirnya konsep hukum laut internasional tersebut tidak dapat dilepaskan
dari sejarah perkembangan hukum laut internasional mengenai perdebatan antara
dua konsep, yaitu :
1) Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik bersama
masyarakat dunia, dan karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh
masing-masing negara.
2) Res Nullius, yang menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang memiliki, dan
karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara.23

21
Hasyim Djalal. 1979, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman. hlm 1.
22
Didik Mohammad Sodik. 2011 Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di
Indonesia. hlm 1
23
Hasyim Djalal, Op Cit, hlm 11
Kedua doktrin tersebut diawali sejarah panjang mengenai penguasaan laut
oleh Imperium Roma. Pemikiran hukum bangsa Romawi terhadap laut didasarkan
atas doktrin res communis omnium (hak bersama seluruh umat manusia) yang
memandang bahwa penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap orang. Asas
tersebut selain untk kepentingan pelayaran, menjadi dasar pula untuk kebasan
menangkap ikan.24
Di sisi lain, pemilikan suatu kerajaan dan negara atas laut yang berdekatan
dengan pantainya didasarkan atas konsep res nullius. Menurut konsep ini, laut
bisa dimiliki apabila yang berhasrat memiliknya bias menguasai dengan
mendudukinya (okupasi). Walaupun penguasaan mutlak terhadap laut oleh
Imperium Romawi telah berakhir , akan tetapi pemilikan laut oleh negara-negara
dan kerajaan tetap menggunakan asas-asas hukum Romawi.25
Sejarah perkembangan hukum internasional sejak zaman Romawi, rezim
laut teritorial sudah merupakan bagian penting dari hukum kebiasaan
internasional. Sementara dalam konteks kebebasan di laut, ajaran Grotius yang
didasarkan atas doktrin res communis omnium telah meletakkan dasar bagi
perkembangan pemkiran hukum laut internasional modern tentang kebebasan di
laut lepas yang dikenal pada zaman sekarang. Dengan diakuinya pembagian laut
kedalam laut teritorial yang jatuh di bawah kedaulatan penuh suatu negara pantai
dan laut lepas yang bersifat bebas untuk seluruh umat manusia, telah
menyelesaikan pertentangan kepentigan antar negara mengenai laut.26

B. Pengertian Hak Lintas Damai (Right of Innocent Passage) Menurut


UNCLOS 1982
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI:1990), lintas yaitu berlalu
dengan cepat, menempuh jalan yang tersingkat, menyeberangi. 27 Sedangkan dari
segi hukum internasional, pengertian lintas ditentukan dalam Pasal 18 UNCLOS
1982 Sebagai berikut:
1. lintas berarti navigasi melalui laut teritorial untuk keperluan:
24
Didik Mohammad Sodik. Op Cit, hlm 2
25
Ibid. hlm 3
26
Ibid. hlm 6
27
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai
Pustaka: Jakarta.
a) melintasi laut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat
berlabuh di tengah laut atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman;
b) berlalu ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di
tengah laut atau fasilitas pelabuhan tersebut.
Lintas harus terus menerus, langsung serta secepat mungkin. Namun,
lintas mencakup berhenti dan buang jangkar, tetapi hanya sepanjang hal tersebut
berkaitan dengan navigasi yang lazim atau perlu dilakukan karena force majeur
atau mengalami kesulitan atau guna memberikan pertolongan kepada orang, kapal
atau pesawat udara yang dalam bahaya kesulitan.
Pada peraturan yang berlaku umum untuk semua kapal, ditentukan bahwa
kapal semua negara, baik negara yang berpantai maupun negara yang tidak
berpantai dapat menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial (Pasal 17).
Namun demikian hak lintas damai tidak hanya melalui laut teritorial saja, akan
tetapi terdapat bagian-bagian laut yang dapat dilalui oleh kapal-kapal asing untuk
melakukan lintas damai (dalam hal ini berlaku rezim lintas damai) yaitu:
1) perairan pedalaman yang terbentuk karena penarikan garis pangkal lurus
sesuai dengan Pasal 7 UNCLOS 1982;
2) selat-selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a) pada Pasal 38 ayat (1), dikecualikan dari pelaksanaan rezim lintas
transit;
b) antar bagian laut lepas atau suatu ZEE dan laut teritorial suatu
negara asing (Pasal 45).
3) perairan kepulauan (Pasal 52 ayat 1) menyatakan bahwa,“Dengan tunduk
pada ketentuan Pasal 53 dan tanpa mengurangi arti ketentuan Pasal 50,
kapal semua negara menikmati hak lintas damai melalui perairan
kepulauan sesuai ketentuan dalam Bab II, Bagian 3”.28
Pengertian lintas damai yang diatur dalam Pasal 19 menentukan sebagai berikut:
1) lintas adalah damai sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban
atau keamanan negara pantai. Lintas tersebut harus dilakukan sesuai
dengan ketentuan konvensi ini dan ketentuan hukum internasional lainnya;

28
UNCLOS 1982
2) lintas suatu kapal harus dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban
atau keamanan negara pantai, apabila kapal tersebut di laut teritorial
melakukan salah satu kegiatan sebagai berikut:
a) setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan,
keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara pantai, atau
dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum
internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB;
b) setiap latihan atau praktik dengan senjata jenis apapun;
c) setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi
yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan negara pantai;
d) setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi
pertahanan atau keamanan negara pantai;
e) peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara di
atas kapal;
f) peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peralatan dan
perlengkapan militer;
g) membongkar atau memuat setiap komoditi, mata uang atau orang
secara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan bea
cukai, fiskal, imigrasi negara pantai;
h) setiap perbuatan pencemaran dengan sengaja dan merugikan yang
bertentangan dengan ketentuan konvensi ini;
i) setiap kegiatan perikanan;
j) kegiatan riset atau survey;
k) setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap sistem
komunikasi atau setiap fasilitas atau instalasi lainnya dari negara
pantai;
l) setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan
lintas.
Selain ketentuan tersebut di atas, terdapat ketentuan lain yang mengatur
lintas bagi kapal selam dan kendaraan bawah air lainnya. Dalam Pasal 20
UNCLOS 1982 menentukan bahwa kapal selam dan kendaraan bawah air lainnya
diharuskan untuk berlayar di atas permukaan air dan harus menunjukkan
benderanya.29

C. Representasi Hak Lintas Damai Dalam Hukum Internasional

Dalam Konvensi Hukum lnterasional hak lintas damai telah melembaga


yaitu Konvensi Den Haag 1930, namun pengaturan lebih lengkap dirumuskan
dalam UNCLOS 1958, dalam perkembangan selanjutnya dimuat dalam UNCLOS
1982 yang banyak mengalami perkembangan dalam pengaturan lintas damai ini.
Pada umumnya ketentuan-ketentuan mengenai laut teritorial dalam UNCLOS
1982 banyak mengutip dari Konvensi terdahulu, yaitu Konvensi Jenewa 1958.
Terdapat beberapa perkembangan dalam pengaturan lintas damai di laut
teritorial dan juga terdapat pengaturan mengenai lintas damai di selat yang
digunakan untuk pelayaran lntemasional dan juga di perairan kepulauan atau
lintas alur Kepulauan. Dalam UNCLOS 1958 secara hukum wilayah perairan
nasional yang berada di bawah kedaulatan negara pantai adalah laut teritorial dan
perairan pedalaman. Di sisi bagian dalam dari garis pangkal laut teritorial adalah
perairan pedalaman dan di sisi luar adalah laut teritorial.
Pada perairan pedalaman umumnya tidak ada lintas damai bagi kapal
asing, kecuali apabila perairan pedalaman itu sebelumnya berstatus sebagai laut
lepas atau laut teritorial, disebabkan karena pengguna sistem straight base lines
dan menggunakan garis-garis dasar dari laut teritorial, sehingga laut tersebut
berubah menjadi perairan pedalaman dalam arti laut pedalaman, sedangkan pada
laut teritorial ketentuan lintas damai itu dijamin oleh hukum intemasional.
Dalam hal mengenai lintas damai itu sendiri melalui suatu bentuk
perjanjian Internasional dalam bentuk konvensi yakni UNCLOS 1982 telah
menentukan aturan-aturan khusus yang termuat dalam klausul-klausulnya, dimana
dibedakan antara hak lintas damai negara pantai dan hak lintas damai negara
kepulauan.
a. Hak Lintas Damai Negara Pantai

29
Ibid
Dalam hal menganai peraturan peraturan perundang-perundangan negara
pantai yang mengatur hak lintas damai, konvensi memberikan otoritas kepada
negara pantai untuk mengeluar kan peraturan-peraturan mengenai :
1) keselamatan navigasi dan pengaturan lalu lintas maritim;
2) perlindungan alat-alat pembantu dan fasilitas navigasi serta fasilitas
atau instalasi lainnya;
3) perlindungan kabel dan pipa laut;
4) konservasi kekayaan hayati laut;
5) pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan
Negara pantai;
6) pelestarian lingkungan negara pantai dan pencegahan, pengurangan
dan pengendalian pencemarannya;
7) penelitian ilmiah kelautan dan survey hidrografi;
8) pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai,
fiskal, imigrasi atau saniter Negara Pantai.
b. Hak Lintas Damai Negara Kepulauan
Khususnya negara kepulauan, hak lintas damai diatur dalam Pasal yang
berbeda dengan hak lintas damai negara pantai, akan tetapi secara substansi tidak
ada perbedaan dengan konsep lintas damai negara pantai. Mengenai hak lintas
damai negara kepulauan diatur dalam Pasal 52 UNCLOS :
1. Ayat (1) “Dengan tunduk pada ketentuan Pasal 53 dan tanpa mengurangi
arti ketentuan Pasal 50, kapal semua Negara menikmati hak lintas damai
melalui perairan kepulauan sesuai dengan ketentuan dalam Bab II, bagian
3 (tiga)”.
2. Ayat (2) “Negara Kepulauan dapat, tanpa mengadakan diskriminasi formal
maupun diskriminasi nyata diantara kapal asing, menangguhkan sementara
lintas damai kapal asing di daerah tertentu perairan kepulauannya, apabila
penangguhan demikian sangat perlu untuk melindungi keamanannya.
Penangguhan demikian akan berlaku hanya setelah diumumkan
sebagaimana mestinya”.
Maksud dari Pasal 52 ayat (1) adalah bahwa negara kepulauan wajib
menghormati hak lintas damai kapal-kapal asing manapun untuk melewati
perairan kepulauannya (ketentuan pada bab II, bagian ketiga dari konvensi) dan
Negara kepulauan dapat menentukan batas perairan pedalamannya dengan cara
menarik garis-garis penutup untuk memberikan batasan sampai pada area laut
mana kapal yang melintas dikatakakan melaksanakan hak lintas damai. Penentuan
garis penutup tersebut didasarkan pada Pasal 9, 10, 11 konvensi yakni mengenai
mulut sungai, teluk, dan pelabuhan.30

D. Yurisdiksi Negara Dalam Hukum Internasional

1. Pengertian Yurisdiksi Negara


Yurisdiksi (jurisdiction) berasl dari kata yurisdictio. kata Yurisdictio
berasal dari dua kata yaitu yuris dan Dictio. Yuris berarti kepunyaan hukum
sedangkan dictio berarti ucapan, sabda atau sebutan. Dengan demikian dilihat dari
asal katanya nampak bahwa yuridiksi berkaitan dengan masalah hukum,
kepunyaan menurut hukum atau kewenangan menurut hukum.31
Yurisdiksi adalah kekuasaan atau kompetensi hukum negara terhadap
orang, benda atau peristiwa hukum. Yurisdiksi negara (state jurisdiction) tidak
dapat dipisahkan dari asas kedaulatan negara (state souvereignty), konsekuensi
logis dari asas kedaulatan negara, karena negara memiliki kedaulatan atau
kekuasaan tertinggi dalam batas-batas teritorialnya (territorial souvereignty).32
Yurisdiksi yang dimiliki oleh suatu negara dapat berupa bentuk-bentuk
sebagai berikut:
a. Prinsip teritorial
Setiap negara memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang
dilakukan di dalam wilayah teritorialnya. Menurut Starke, yurisdiksi ini dapat
diartikan sebagai hak, kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki oleh suatu
negara untuk membuat peraturan-peraturan hukum, melaksanakan dan
memaksakan berlakunya peraturan-peraturan tersebut dalam hubungannya dengan

30
Ibid
31
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Mandar Maju, 1990),
hlm. 293-294
32
” Peranan Polri dalam Menegakkan Hukum di Laut (Suatu Refleksi Pelaksanaan
Hukum di Laut yang telah dilakukan oleh Polri)”, makalah yang disampaikan pada Lokakarya
Hukum Laut Internasional Deplu, Yogyakarta, 13-15 Desember 2004.
orang, benda, hal atau masalah yang berada dan atau terjadi di dalam batas-batas
wilayah dari negara yang bersangkutan.
Dalam hukum internasional, dikenal adanya perluasan yurisdiksi teritorial
(the extention of territorial jurisdiction) yang timbul akibat kemajuan iptek,
khususnya teknologi transportasi, komunikasi dan informasi serta hasil-hasilnya.
Kemajuan iptek ini ditampung dan diakomodasi oleh masyarakat dan hukum
internasional, guna mengantisipasi pemanfaatan dan penyalahgunaan hasil-hasil
iptek ini oleh orang-orang yang terlibat dalam pelanggaran hukum maupun tindak
pidana di dalam wilayah suatu negara.33
Perluasan yurisdiksi teritorial mempergunakan dua pendekatan:
1) Prinsip teritorial subyektif (the subjective territorial principle), Prinsip ini
memperkenankan suatu negara untuk mengklaim dan menyatakan
yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang mulai dilakukan atau
terjadi di dalam wilayah negaranya walaupun berakhir atau diselesaikan di
negara lain.
2) Prinsip teritorial obyektif (the objective territorial principle),
Memperkenankan suatu negara untuk mengklaim dan menyatakan
yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri atau
negara lain, tetapi berakhir atau diselesaikan dan membahayakan
negaranya sendiri.
Yurisdiksi dengan prinsip nasional ini terdiri dari dua bagian, yaitu:
(1) Prinsip nasionalitas aktif (active nationality principle)
(2) Prinsip nasionalitas pasif (passive nationality principle)
(3) Yurisdiksi dengan prinsip perlindungan
(4) Yurisdiksi dengan prinsip universal
2. Yurisdiksi Kriminal
Orang-orang yang berada di atas kapal asing yang memasuki perairan
suatu negara pantai, berada di bawah yurisdiksi otoritas setempat jika melakukan
suatu delik. Namun demikian, hal yang hanya menyangkut soal tata tertib intern

33
Tien Saefullah, “Hubungan Yurisdiksi Universal Dengan Kewajiban
NegaraBerdasarkan Prinsip Aut Dedere Aut Judicare Dalam Tindak Pidana Penerbangan dan
Implementasinya di Indonesia”, Jurnal Hukum Internasional, Bagian Hukum Internasional FH
Universitas Padjajaran, Vol, I/I,2002, hlm.317
dan disiplin di dalam kapal biasanya diserahkan penyelesaiannya pada otoritas
negara bendera. Para awak kapal yang berada di atas kapal perang negara asing
adalah kebal terhadap tindakan penahanan dan pemeriksaan pemerintah negara
pantai sehubungan dengan delik yang terjadi di atas kapal itu, sekalipun akibat
dari kejahatan itu merembes keluar dari kapal tersebut.
Terdapat kecenderungan bahwa pada umumnya suatu negara tidak dapat
mencampuri kasus kejahatan ringan yang terjadi di atas kapal atau hal lain yang
hanya menyangkut soal disiplin intern kapal pemerintah itu. Demikianpun halnya
terhadap suatu kapal niaga asing. 34
3. Penerapan Hukum Di Laut
Penerapan hukum adalah suatu proses pelaksanaan aturan-aturan, sampai
pengadilan menjatuhkan hukuman yang mempunyai kekuatan hukum. Proses
tersebut adalah kegiatan yang berkaitan satu sama lain. Kebanyakan delik yang
terjadi adalah di perairan pedalaman terutama di bandar suatu negara. Bilamana
suatu kapal niaga memasuki perairan pedalaman suatu negara pantai yang
berdaulat penuh, baik negara pantai maupun negara bendera dapat bersaingan
yurisdiksi di atas kapal tersebut yang berada di pelabuhan negara pantai.
Konflik hukum tersebut dilandasi oleh dua macam prinsip hukum
internasional yang masing-masing sudah mantap kedudukannya, yaitu prinsip
mengenai yurisdiksi teritorial negara pantai dan yurisdiksi kuasi teritorial negara
bendera atas kapal dan awaknya. Di satu pihak, negara bendera mempunyai
yurisdiksi terhadap kapal dan awaknya meskipun berada di luar wilayahnya, dan
di lain pihak negara pantai dapat menerapkan yurisdiksinya terhadap kapal asing
yang berada di wilayah perairannya.35

34
Djuang Harahap, Mustafa. 1983. Yurisdiksi Kriminal di Perairan Indonesia yang
Berkaitan dengan Hukum Internasional. Alumni: Bandung.
35
Ibid
BAB IV
PENEGAKAN HUKUM BAGI KAPAL-KAPAL ASING DI LAUT
TERITORIAL INDONESIA RELEVANSI HAK LINTAS DAMAI

A. Prinsip Prinsip Hukum Dalam Mengatur Hak Lintas Damai Terhadap


Kapal Asing Di Laut Teritorial Indonesia
Prinsip-prinsip hukum yang terkandung di dalam hak lintas damai di laut
teritorial Indonesia sebagai berkut:
1. Prinsip Perluasan Yurisdiksi Di Laut
Konsep laut teritorial pada awalnya timbul karena kebutuhan untuk
pertahanan dan keamanan suatu negara pantai terhadap ancaman para perompak
di laut. Konsep laut teritorial kemudian berkembang menjadi prinsip Negara
pantai. Prinsip ini mengizinkan negara untuk mepeluas yurisdiksinya di laut
melebihi baas wilayah pantainya untuk alasankeaman dan pertahanan.
2. Prinsip Lintas Laut Secara Damai (innocenct passage)
Prinsip lintas damai ini memberikan pengertian bahwa kebebasan berlayar
dan terbang di laut teritorial tersebut di lakukan secara damai dengan batasan-
batasan sebagaimana diatur pada Pasal 19 ayat (2) UNCLOS 1982. Prinsip lintas
damai di laut teritorial Indonesia dibatasi dengan prinsip-prinsip norma larangan
bagi kapal dan pesawat udara yang melintas, sehingga diharapkan dapat menjamin
keamanan, keutuhan, dan kedaulatan Negara pantai yang dilewati.
3. Prinsip Kebebasan Berlayar
Menikmati hak lintas damai pada laut teritorial bagi kapal-kapal asing
merupakan bentuk dari kesepakatan masyarakat dunia atas konsekuensi perluasan
yurisdiksi Negara pantai maupun berlakunya Negara kepulauan seperti Indonesia.
Kebebasan berlayar bagi kapal asing meliputi semua jenis sebagaimana diatur
melalui hukum internasional dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 26 UNCLOS
1982. Kapal-kapal dagang dan kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk
tujuan non-komersial sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 28 UNCLOS
1982.
4. Prinsip Duplikasi Rezim Hukum Laut dan Hukum Udara
Hak lintas damai bagi kapal dan pesawat udara asing di laut teritorial pada
dasarnya mengandung problematik hukum. Di satu sisi dasar hukum yang
digunakan adalah prinsip hukum laut internasional dan hukum udara
internasional. Hukum laut internasional yang terkodifikasi dalam UNCLOS 1982
yang kemudian diratifikasi dalam hukum nasional Indonesia dalam Undang
Undang Nomor 17 Tahun 1985 sedangkan hukum udara internasional yang
terkodifikasi dalam Konfensi Chicago 1944 yang kemudian diadopsi prinsip-
prisipnya dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

B. Faktor Penyebab Pelanggaran Hak Lintas Damai Yang Di Lakukan


Kapal Asing Di Laut Teritorial Indonesia
Faktor penyebab terjadinya pelanggaran hak lintas damai yang dilakukan
kapal dan pesawat udara asing di laut teritorial perlu dengan beberapa hal yang
berkaitan dengan aspek historis, rezim hukum, kekuatan armada dan ekonomi
sebagai berikut:
a. Faktor Historis
Faktor historikal ini merupakan salah satu penyebab timbulnya
pelanggaran hak lintas damai di laut teritorial oleh kapal dan pesawat udara asing.
Faktor historikal di dalamnya mengandung pengalaman peristiwa sejarah yang
melatarbelakangi perbedaan interpretasi terhadap penggunaan laut sebagai jalur
transportasi, pengendalian dari suatu negara tertentu di masa lampau hingga
penggunaan kekuatan armada dalam suatu perairan di masa lampau.
b. Faktor Rezim Hukum Laut Internasional
Rezim hukum laut sebelum Perang Dunia II (PD II) difokuskan pada
pengelolaan laut untuk kepentingan kegiatan di atas permukaan laut semata
(Single Dimention), tetapi era dewasa ini pandangan tersebut telah berkembang
sesuai tuntutan kebutuhan zaman. Pengelolaan laut dewasa ini diarahkan pada
pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan tidak terbatas pada laut teritorial
semata tetapi hingga laut lepas dengan laut dalam hingga landas kontinen atau
multi dimensi (Multy Dimention).
c. Faktor Kekuatan Armada Kapal Perang
Keberadaan kekuatan armada Angaktan Laut di seluruh dunia merupakan
kekutan yang tidak dapat diremehkan dalam penguasaan kawasan laut termasuk
juga kawasan laut teritorial untuk menjaga keamanan dan mempertahankan
Negara. Sejarah telah membuktikan bahwa keberadaan Angkatan Laut menjadi
ujung tombak kekuatan suatu negara pantai. Beberapa peperangan laut dengan
pengerahan kekuatan armada kapal perang menjadi kekuatan penghancur yang
dahsyat untuk melumpuhkan daerah pantai musuh.
d. Faktor Ekonomi
Dalam perkembangan teknologi kelautan yang dilakukan melalui survey
oleh kapal-kapal riset kelautan banyak ditemukan potensi sumber daya laut yang
melimpah baik hayati maupun nonhayati untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Sumber daya laut ini dapat dikelola oleh negara pantai maupun
negara tidak berpantai sesuai kewenangan pengelolaan di laut lepas. Sumber daya
hayati yang dapat dikelola negara pantai sangat dimungkinkan menganggap lintas
damai bagi kapal dan pesawat udara asing tersebut berbahaya karena melanggar
ketentuan yang bersifat damai yang disebabkan faktor historikal masing-masing
negara pengguna laut teritorial negara lain memiliki prinsip yang berbeda.

C. Penegakan Hukum Hak Lintas Damai Terkait Kapal Asing Di Laut


Teritorial Indonesia
1. Pelaksanaan Hak Lintas Damai Menurut Hukum Internasional
Sebagai Negara pantai, Indoneaia memiliki hak berdaulat terhadap laut
teritorial, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya maupun
sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana di atur dalam
hukum internasional. Dari ketentuan negara kepulauan (Archipelagic State), maka
konvensi ini juga memberikan kewajiban untuk memberikan hak lintas damai bagi
kapal-kapal dan pesawat udara asing untuk melintas di perairan teritorial.
Namun permasalahan yang muncul adalah tidak selamanya hak lintas
damai tersebut dapat berjalan dengan baik sebagaimana diatur dalam norma
larangan pada Pasal 19 ayat (2) UNCLOS 1982. Hal tersebut berkaitan erat
pengamanan sumber daya alam dan tegaknya kedaulatan Negara pantai seperti
Indonesia dari potensi ancaman yang ditimbulkan hak lintas damai di laut
teritorial. Jalur pelayaran dengan menggunakan hak lintas damai di perairan
teritorial tersebut juga bekaitan dengan terganggunya potensi sumber daya di
bawah laut tersebut.
2. Hak Lintas Damai Menurut Hukum Nasional
Konsekuensi logis dari diberlakukanya Indonesia sebagai Negara
Kepulauan sebagaimana diatur dalam Pasal 25A Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia (Ground Norm), maka secara konstitusional hal tersebut
melatarbelakangi setiap pembentukan Peraturan Perundang Undangan yang
berkaitan dengan kelautan harus mengacu pada kosntitusi tersebut dengan segala
resikonya.
Mengenai wilayah perairan Indonesia, terdapat beberapa pertimbangan
yang dijadikan sebagai dasar oleh Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan
pernyataan, diantaranya adalah:
a) Bentuk geografi, Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri atas
17.508 pulau mempunyai ciri, corak dan sifat tersendiri serta
diperlukan pengaturan secara tersendiri.
b) Bagi kesatuan wilayah (teritorial) Negara Republik Indonesia semua
kepulauan maupun perairan dianggap sebagai satu kesatuan yang
bulat.
c) Batas-batas laut teritorial yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial
sebagaimana termaktub dalam “Teritoriale Zee en Maritieme Kringen
Ordonnantie 1939” Pasal 1 ayat (1) sudah tidak relevan lagi bagi
kepentingan keamanan wilayah Indonesia.
d) Setiap negara yang berdaulat berhak, berwenang dan berkewajiban
untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk
melindungi keutuhan, keselamatan dan keamanan negaranya.
3. Kewenangan Instansi Penegak Hukum Di Laut Teritorial
a) Wewenang TNI Angkatan Laut Dalam Penegakan Hukum Di
Wilayah Perairan Laut Indonesia
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dalam menjalankan tugasnya
mempunyai 3 (tiga) peranan penting yaitu peran pada bidang militer, peran dalam
bidang polisionil dan peran dalam bidang diplomasi. Peran militer, peran
polisionil, dan peran diplomasi merupakan peran yang sifatnya universal yang
dimiliki oleh TNI Angkatan Laut. Dalam implementasinya, bahwa ketiga peran
yang secara yuridis telah diatur dalam Undnag Undang Nomor 34 Tahun 2004
Tentang Tugas TNI Angkatan Laut.
b) Badan Keamanan Laut (Bakamla)
Beberapa upaya untuk meminimalisir tumpangtindih, kontradiktif dan
duplikasi kewenangan penegakan hukum di laut Pemerintah memberikan solusi
dengan membentuk Bakamla. Pasal 59 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2014
Tentang Kelautan mengatur Pembentukan Badan Keamanan Laut yang disingkat
Bakamla.
Selanjutnya menurut Soerjono Soekamto, dalam bukunya faktor-faktor
yang mempengaruhi penegakan hukum menyebutkan bahwa masalah pokok dari
penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin
mempengaruhinya, yaitu:
1) Faktor hukumnya sendiri yaitu berupa Undang Undang.
2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang
menerapkan hukum.
3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.36
Pembangunan nasional dapat dilaksanakan dengan efektif apabila penegak
hukum dan penyelenggara negara serta masyarakatnya memahami fungsi dan
peranan hukum yaitu:
1) Hukum tidak dipandang sebagai norma yang harus dipatuhi oleh
masyarakat sebagai warga negara melainkan juga harus dipandang sebagai
sarana yang membatasi kewenangan dan perilaku penegak hukum sebagai
pejabat publik.
2) Hukum bukan sebagai sarana pembaharuan birokrasi melainkan juga
sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
36
Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi terhadap Teori Hukum
Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publishing, Jakarta, 1997, hlm. 84.
3) Kegunaan dan kemanfaatan hukum tidak hanya dilihat dari kacamata
kepentingan pemegang kekuasaan (Negara) melainkan juga pemangku
kepentingan (stake holder), dan juga kepentingan korban (victims).
4) Fungsi hukum dalam kondisi masyarakat yang rentan (vulnerable) dan
dalam masa peralihan (transisional), baik dalam bidang politik, ekonomi
dan sosial tidak dapat terlaksana secara optimal apabila hanya
menggunakan pendekatan preventif dan refresif semata, namun juga
diperlukan pendekatan restoratif dan rehabilitatif.
5) Agar fungsi dan peranan hukum dapat dilaksanakan secara optimal, maka
tidak semata-mata hukum dipandang sebagai wujud dari komitmen politik
tetapi hukum sebagai sarana dalam mengubah sikap dan cara berfikir
(minset) dan perilaku (behavior) aparatur birokrasi dan masyarakat
bersama-sama.37

37
Ibid
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu, maka sebagai hasil penelitian


dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pengaturan hak lintas damai berdasarkan hukum nasional adalah
bagian terpenting dalam menjaga kedaulatan bernegara untuk itu
secara nasional Indonesia mengeluarkan Deklarasi 13 desember 1957
yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda. Selanjutnya di atur
dalam Undang Undang No.6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia.
2. Pengaturan hak lintas damai dalam hukum laut internasional telah di
atur dalam UNCLOS 1982. Hak lintas damai yang diatur sepanjang
tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan Negara
pantai, Negara berhak memberikan hak kepada semua Negara pantai
maupun tidak berpantai untuk menikmati hak lintas damai melalui laut
teriorial Indonesia.
3. Penegakan hukum bagi kapal-kapal asing di perairan Indonesia
relevansi hak lintas damai sebagai negara pantai bahwa Indonesia
memiliki hak berdaulat terhadap laut teritorial, ruang udara di atasnya,
dasar laut dan tanah di bawahnya sebagaimana yang di atur dalam
hukum internasional. Dari ketentuan Negara Kepulauan (Archipelagic
State), maka konvensi tersebut juga memberikan kewajiban hak lintas
damai bagi kapal-kapal dan pesawat udara asing untuk melintas di laut
teritorial. Walaupun pada kenyataannya banyak kapal-kapal asing yang
melanggar peraturan di wilayah teritorial Indonesia dan Negara
Indonesia wajib menindak lanjut hal tersebut demi keamanan laut
teritorial Indonesia.
B. Saran
1. Indonesia memiliki hak dan kewajiban sebagai negara kepulauan yang
memiliki kedaulatan dan yurisdiksi penuh atas laut teritorialnya dan
dalam penetapan alur lintas bagi kapal asing yang melalui laut teritorial
dan perairan kepulauan, penetapannya harus dengan ketentuan-
ketentuan yang telah disepakati secara internasional. Selain itu harus
diadakan publikasi jelas dan meluas secara internasional dan
mengharuskan adanya pencantuman alur laut dan skema pemisah lalu
lintas pada peta agar diketahui secara meluas, yang nantinya
dipergunakan untuk pelayaran internasional. Selain untuk menjamin
dan menghormati adanya kebebasan navigasi secara internasional, hal
tersebut sangat penting guna menjaga ketahanan dan pertahanan
Indonesia dari peristiwa yang terjadi di laut dan perairan kepulauan
yang dapat mengancam integritas dan stabilitas Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagai negara kepulauan.
2. Indonesia harus meninjau kembali garis-garis pangkal laut wilayah dan
menyesuaikannya dengan ketentuan-ketentuan dalam konvensi, baik
dengan ketentuan-ketentuan dalam laut wilayah maupun ketentuan-
ketentuan dalam negara-negara nusantara. Kemudian memperjelas
batas-batas laut teritorial dengan negara-negara tetangga yang belum
memiliki perjanjian dengan Indonesia, sehingga klaim dan tumpang
tindih atas suatu laut teritorial bisa terselesaikan dan kapal-kapal asing
yang melintas di perairan tersebut bisa bebeas melewati laut lepas
sesuai peraturan.
3. Indonesia mempunyai kewajiban untuk tidak menghalangi pelayaran
internasional, tetapi juga mempunyai hak untuk mengambil langkah-
langkah perlindungan kepentingan di laut teritorialnya terutama
mencegah lalu lintas kapal yang tidak damai. Indonesia sudah
mempunyai peraturan perundang-undangan tentang pelayaran dan
perlu untuk mempublikasikannya, sehingga kapal asing mengetahuinya
agar tercipta ketertiban dalam berlayar di laut teritorial Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli. 1997, Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi terhadap Teori


Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publishing,
Jakarta.
Agoes, R Etty. 1991, Konvensi Hukum Laut Masalah Pengaturan Hak Lintas
Kapal Asing. Jakarta, Penerbit Abardin
Adolf, Huala. 1990. Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional. PT
RajaGrafindo Persada: Jakarta
Arsana, Andi Made I. Batas Antarnegara: Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis
(Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2007)
Boer, Mauna. 2005. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam
Era Dinamika Global. Alumni: Bandung.
Buana, Satria Mirza. Hukum Internasional Teori dan Praktek, (Bandung: Nusa
Media, 2007)
Djunarsjah, Eka. Survey hidrogafi untuk penetapan batas landas kontinen
(hydrographic survey for the limitation of the continental shelf), (Bandung:
UNPAD Journal of International Law, 2004)
Didik, Mohammad Sodik. 2011. Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di
Indonesia, Jakarta: Relika aditama.
Djuang Harahap, Mustafa. 1983. Yurisdiksi Kriminal di Perairan Indonesia yang
Berkaitan dengan Hukum Internasional. Alumni: Bandung.
Hadiwijoyo, Suryo Sakti. Perbatasan Negara dalam dimensi hukum
internasional, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011)
JG, Starke. 2008. Pengantar Hukum Internasional, terjemahan dari Introduction
to International Law.. Sinar Grafika. Jakarta
Koers, W Albert. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut
(Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994)
Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. 2008. Evaluasi Kebijakan Dalam
Rangka Penerapan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS 1982). Jakarta
Kusumaatmadja, Mochtar. Hukum Laut Internasional. Binacipta: Bandung, 2003.
Konsepsi Hukum Negara Nusantara pada Konferensi Hukum Laut III.
Alumni: Bandung.
Parthina, I Wayan. Pengantar Hukum Internasional, Bandung Mandar Maju,
1996.
Pramono, Joko. 2005, Budaya Bahari, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Rudy, May I. Hukum Internasional II, (Bandung: Rafika Adatam, 2006)
Sefriani. Pengantar Hukum Internasional Yogyakata: Rajawali Pers, 2009
Subagyo, Joko. 2005. Hukum Laut Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Soekanto, Soeryono. 1983, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Soekanto, Soejono dan Mamudji, Sri. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat,. Jakarta, Rajawali Press
Saefullah, Tien. “Hubungan Yurisdiksi Universal Dengan Kewajiban Negara
Berdasarkan Prinsip Aut Dedere Aut Judicare Dalam Tindak Pidana
Penerbangan dan Implementasinya di Indonesia”, Jurnal Hukum
Internasional, Bagian Hukum Internasional FH Universitas Padjajaran, Vol,
I/I,2002
Tunggul, Arif Djohan. 2011. Tanya Jawab Hukum laut. Harvarindo. Jakarta.
TS, Pandoyo. 1999, Wawasan Nusantara, Rineka Cipta, Jakarta.

Windari, Retno. Hukum Laut, Zona-Zona Maritim sesuai UNCLOS 1982 dan
Konvensi-Konvensi Bidang Maritim (Jakarta. Badan Koordinasi Keamanan
Laut, 2009)

Perundang-undangan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2002 Tentang Hak
dan Kwajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui
Perairan Indonesia
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah
Negara
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan
Indonesia
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan
United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan
Bangsa Bangsa Tentang Hukum Laut)
Undang Undang Republik Indonesia Nomr 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran.
Undang Undang No.32 Tahun 2014 Tentang Kelautan

Anda mungkin juga menyukai