Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

Pendidikan dan budaya adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dalam
kehidupan sehari-hari, karena budaya merupakan kesatuan utuh dan menyeluruh
yang berlaku dalam suatu masyarakat, dan pendidikan merupakan kebutuhan
mendasar bagi setiap individu dalam masyarakat. Budaya merupakan sistem nilai
dan ide yang dihayati oleh sekelompok manusia di suatu lingkungan hidup
tertentu dan di suatu kurun tertentu. Budaya sendiri dapat berubah sesuai dengan
perkembangan pola pikir masyarakat setempat. Perkembangan peradaban
bergantung pada tingkat intelektualitas terkait dengan daya nalar masyarakat,
sehingga budaya lebih bersifat dinamis mengikuti perkembangan zaman dan
kebutuhan suatu kelompok atau golongan masyarakat.

Budaya merupakan suatu kebiasaan yang mengandung unsur-unsur nilai


penting dan fundamental yang diwariskan dari generasi-kegenerasi. Nilai-nilai ini
kemudian berkembang menjadi suatu kebiasaan yang mempunyai ikatan sangat
erat dengan pola kehidupan masyarakat penggunanya. Kebiasaan ini dilakukan
secara terus-menerus dalam rentang waktu yang lama sehingga menghasilkan
sebuah produk budaya yang kemudian menjadi kekhas-an dari masing-masing
daerah. Hal ini terlihat dari bentuk hasil budaya yang ada khususnya di Indonesia
seperti kesenian, bentuk bangunan, ukiran, serta perhiasan.

Salah satu kesenian khas Indonesia adalah wayang, Wayang kulit merupakan
suatu produk kebudayaan yang membuka mata dunia dengan estetikanya. Hal ini
terbukti dengan ditetapkannya oleh UNESCO sebagai Masterpieces of the Oral and
Intangibel Heritage of Humanity pada tanggal 7 November 2003. Indonesia
Menetapkan bahwa pada tanggal 7 November adalah hari Wayang Nasional
sebagai wujud kebanggaan bangsa Indonesia terhadap kesenian wayang kulit yang

1
telah mendapatkan pengakuan dunia dan menjadi warisan budaya yang patut
dikembangkan (Nugroho:2012)

Wayang merupakan kesenian tradisional Jawa yang sangat populer dan tua
usianya. Wayang sangat populer sejak jaman para Wali berdakwah agama Islam.
Pada saat itu wayang dijadikan sarana dakwah yang sangat relevan. Karena
populernya, sampai ada anggapan bahwa wayang ciptaan para Wali. Namun,
apabila diamati lebih jauh, sebenarnya wayang telah ada sebelum para wali datang
di tanah Jawa. Hal tersebut dapat dilihat dari cerita wayang yang babonnya berasal
dari India. Sedangkan pengaruh India telah ada jauh sebelum Islam masuk ke
tanah Jawa.

Wayang kulit juga merupakan satu kesenian daerah yang paling menonjol.
Wayang kulit dijadikan sarana hiburan maupun sarana ritual dalam berbagai acara
maupun hajatan. Dapat menyajikan hiburan wayang kulit dalam acara biasa
maupun ritual merupakan suatu gengsi yang amat tinggi dalam masyarakat Jawa.
Memang, dibanding kesenian daerah yang lain, pagelaran wayang kulit
memerlukan dana yang lebih banyak. Di samping itu, ajaran budi luhur yang
terkandung di dalamnya sampai sekarang masih menjadi tauladan dalam
kehidupan masyarakat Jawa. Wayang gaya Jawa Timuran adalah salah satu gaya
wayang yang ada di Indonesia. Wayang gaya Jawa Timuran berkembang di
daerah-daerah pinggiran karena sering diselengarakan di daerah pedesaan. Oleh
sebab itu, wayang gaya ini disebut sebagai kesenian rakyat.

Perkembangan wayang gaya Jawa Timuran khusus berada di daerah Jawa Timur
seperti Sidoarjo, Pasuruan, Malang, Mojokerto, Jombang, Gresik, Lamongan, dan
Surabaya. Lama-lama muncul gaya baru yang berdasarkan daerah-daerah tersebut.
Ada gaya Porongan, gaya Malangan, gaya Mojokertoan/Trowulanan, gaya
Lamongan, dan gaya Surabayaan. Gaya wayang yang akan dibahas adalah wayang
Porongan. Informasi mengenai wayang Porongan bisa diperoleh dari narasumber

2
Ki Dalang Bagus Mustiko Aji yang sudah bertahun-tahun melakukan pagelaran
wayang dengan gaya Porongan.

Wayang gaya Porongan sebagai produk budaya khas Sidoarjo menjadi salah satu
gaya pertunjukan wayang yang sangat diminati. peminatnya bahkan merambah
daerah-daerah lain di luar Kabupaten Sidoarjo seperti Surabaya, Gresik, dan
sebagian daerah Mojokerto hingga saat ini. Hal ini disebabkan oleh banyaknya
cantrik atau seorang dalang dari berbagai daerah yang tertarik untuk mempelajari
gaya ini kepada Ki Suleman. Beliau merupakan salah satu dalang senior pencetus
gaya Porongan. Perbedaan wayang gaya Porongan dengan gaya-gaya yang lain
terdapat pada bentuk boneka wayang, bentuk iringan pementasan wayang, dan
juga pakem cerita yang digunakan.

Matematika adalah ilmu, bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur


operasional yg digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan, studi
besaran, struktur, ruang, dan perubahan. Abror (2013) mendefinisikan matematika
sebagai ilmu mengenai struktur, hubugan-hubungannya, dan simbol-simbol yang
diperlukan. Matematika berkenaan dengan ide, strukturstruktur, dan hubungan-
hubungannya yang diatur secara logik sehingga matematika berkaitan dengan
konsep-konsep abstrak. Melalui penggunaan penalaran logika dan abstraksi,
matematika berkembang dari pencacahan, perhitungan, pengukuran, dan
pengkajian sistematis terhadap bangun dan pergerakan benda-benda fisika. Kini,
matematika digunakan di seluruh dunia sebagai alat penting diberbagai bidang,
termasuk ilmu alam, teknik, kedokteran/medis, dan ilmu sosial seperti ekonomi,
dan psikologi.

Matematika telah memegang peranan dalam kehidupan dan telah manjadi


aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari. “Mathematics as human activites”.
Begitu juga didalam matematika telah menjadi subjek atau bahan ajar yang penting
yang harus didapatkan oleh peserta didik, maka akan melahirkan ethomathematics

3
(Sabilirosyad, 2013). Etnomathematics dalam bahasa Indonesia dikenal dengan
istilah etnomatematika. Etnomatematika merupakan studi tentang ide-ide
matematika dari masyarakat tradisional. Sedangkan D’Ambrosio (dalam Chahine
dan Kinuthia, 2013) mengungkapkan etnomatematika merupakan matematika yang
dipraktikkan oleh 42 kelompok budya seperti masyarakat perkotaan dan pedesaan,
kelompok buruh, anak-anak dari kelompok usia tertentu, masyarakat adat, dan
lainnya. Menurut Suwarsono (2015) : Etnomatematika (Ethnomthematics) adalah
Studi tentang matematika yang muncul atau digunakan dalam kelompok-
kelompok etnis masyarakat tertentu. Etnomatematika diperkenalkan oleh
D'Ambrosio, seorang matematikawan Brasil pada tahun 1977. Definisi
etnomatematika menurut D'Ambrosio adalah: Secara bahasa, awalan “ethno”
diartikan sebagai sesuatu yang sangat luas yang mengacu pada konteks sosial
budaya, termasuk bahasa, jargon, kode perilaku, mitos, dan symbol. Kata dasar
“mathema” cenderung berarti menjelaskan, mengetahui, memahami, dan
melakukan kegiatan seperti pengkodean, mengukur, mengklasifikasi,
menyimpulkan, dan pemodelan. Akhiran “tics “ berasal dari techne, dan bermakna
sama seperti teknik. Sedangkan secara istilah etnomatematika diartikan sebagai:
matematika yang dipraktekkan diantara kelompok budaya diidentifikasi seperti
masyarakat nasional suku, kelompok buruh, anak-anak dari kelompok usia tertentu
dan kelas profesional".

Dari definisi tersebut maka ethnomatematika memiliki pengertian yang lebih


luas dari hanya sekedar ethno (etnik) maka etnomatematika didefinisikan sebagai
antropology budaya (culture antropology of mathematics) dari matematika dan
pendidikan matematika. Oleh karena tumbuh dan berkembang dari budaya,
keberadaan etnomatematika seringkali tidak disadari oleh masyarakat
penggunanya. Hal ini disebabkan, etnomatematika seringkali terlihat lebih
“sederhana” dari bentuk formal matematika yang dijumpai di sekolah. Masyarakat
daerah yang biasa menggunakan etnomatematika mungkin merasa tidak percaya

4
diri dengan warisan nenek moyangnya, karena matematika dalam budaya ini, tidak
dilengkapi definisi, teorema, dan rumus-rumus seperti yang biasa ditemui di
matematika akademik. Tujuan dari adanya etnomatematika adalah untuk
mengakui bahwa ada cara-cara berbeda dalam melakukan matematika dengan
mempertimbangkan pengetahuan matematika akademik yang dikembangkan oleh
berbagai sektor masyarakat serta dengan mempertimbangkan modus yang berbeda
dimana budaya yang berbeda merundingkan praktek matematika mereka (cara
mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangunan atau alat, bermain
dan lainnya).

Dari data diatas dapat menunjukkan penggunaan budaya dalam pembelajaran


matematika memberikan dampak positif terhadap hasil belajar matematika baik
dari aspek pemahaman maupun dari aspek sikap siswa terhadap matematika.
Dampak terhadap aspek pemahaman siswa didukung oleh kemampuan
pemahaman konsep matematis siswa yang meningkat seiring dengan
dilakukannya pembelajaran matematika dengan menggunakan konten budaya
didalam pembelajaran.

Anda mungkin juga menyukai