Anda di halaman 1dari 29

BAB II

PEMBAHASAN

A. Matematika Sebagai Hasil Budaya

Matematika merupakan ilmu dasar dari segala ilmu, baik aspek penalaran
maupun terapannya berperan penting dalam upaya penguasaan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan budaya. Matematika merupakan salah satu ilmu pengetahuan di
bidang pendidikan yang sering diterapkan di masyarakat, tetapi dalam
kenyataannya sebagian besar dari mereka kurang menyadari keberadaannya.
Mereka menganggap bahwa matematika hanyalah suatu ilmu hitung yang
diperoleh saat pembelajaran di sekolah, matematika yang dipelajari di sekolah
sebagai mata pelajaran tidak terkait dengan budaya yang secara umum
pembelajarannya meliputi fakta-fakta, konsep, dan materi. Oleh karena itu,
matematika dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang sempurna dengan kebenaran
yang objektif tetapi dirasakan jauh dari realitas kehidupan sehari-hari

Kehidupan setiap orang dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan dan


mempertahankan kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada proses dan
kemampuan berpikirnya. Kemampuan berpikir sangatlah diperlukan, karena
melingkupi pengetahuan terbaru dengan cakupan yang luas. Pemahaman yang
diperoleh ketika belajar matematika dapat menumbuhkan kemampuan berpikir,
yaitu berpikir matematis. Berpikir matematis inilah yang diperlukan untuk
memperoleh manfaat matematika dalam kehidupan sehari-hari sekaligus untuk
meningkatkan kemampuan berpikir ke tingkat yang lebih tinggi. Menurut Dewi dan
Kusumah (2014) kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi melingkupi
kemampuan pemecahan masalah matematis, penalaran matematis, komunikasi
matematis, dan koneksi matematis.

Cara merasakan keberadaan matematika yang sesungguhnya dapat dilihat dari


pengalaman setiap orang dalam menunjukkan bahwa pemikiran matematis selalu

6
melekat pada kehidupan mereka. Oleh karena itu, berpikir matematis penting
dalam mengimplementasikan ilmu matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Implementasi berpikir matematis dalam kehidupan nyata tidak akan terealisasi jika
tidak adanya objek yang dapat dijadikan bahan untuk meningkatkan kemampuan
berpikir matematis siswa. Contoh objek tersebut adalah budaya, budaya
diidentifikasi sebagai faktor penting yang mempengaruhi pemahaman dan
interpretasi proses penilaian, pengembangan, pelaksanaan, dan elemen serta fungsi
penilaian lainnya, karena budaya sesuatu yang nyata dalam kehidupan. Karakter
bangsa tidak bisa terlepas dari nilai-nilai suatu budaya, karena nilai-nilai budaya
tersebut pastinya tidak terlepas dari budaya itu sendiri. Menurut Joy dan Kolb
(2008), budaya dioperasionalkan sebagai identitas suatu negara atau
kewarganegaraan subjek. Indonesia dikenal memiliki keberagaman budaya. Salah
satu contoh kebudayaan yaitu peninggalan masa lalu yang merupakan kekayaan
bangsa yang tak ternilai harganya. Semakin langka suatu peninggalan bersejarah
semakin tinggi nilainya. Peninggalan bersejarah sangat bermanfaat sebagai bahan
studi atau penelitian, di samping juga dapat dijadikan sebagai objek wisata.

Matematika dan kebudayaan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam
kehidupan sehari-hari. Matematika merupakan sumber ilmu dan kebutuhan utama
tiap individu, sementara itu budaya adalah kesatuan utuh dan pedoman tingkah
laku yang menyeluruh dalam masyarakat serta berperan penting dalam
menumbuhkan nilai luhur bangsa. Matematika adalah bagian dari kebudayaan,
karena matematika dan pembelajarannya menjadikan matematika milik seluruh
umat manusia, dan karenanya matematika bersifat universal. Dengan demikian,
pembelajaran matematika berbasis budaya dapat dijadikan media bagi siswa untuk
mentransformasikan temuannya ke dalam bentuk dan prinsip yang kreatif terkait
alam, yang merupakan perancangan pengalaman belajar sekaligus strategi
penciptaan lingkungan belajar yang mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari
proses pembelajaran.

7
B. Etnomatematika

Menurut Noto Subali, Dkk (2018) etnomatematika adalah istilah yang diciptakan
untuk menjelaskan bahwa setiap orang dapat menggunakan dan belajar
matematika. Penerapan etnomatematika sebagai suatu pendekatan pembelajaran
merupakan cara lain untuk menyampaikan matematika secara lebih menarik.
etnomatematika adalah matematika yang tumbuh dan berkembang serta
dipengaruhi oleh budaya. Etnomatematika merupakan sebagai suatu pendekatan
yang mengaitkan antara matematika dengan budaya, pengaitan ini diharapkan
mampu mampu meningkatkan kecintaan siswa terhadap budaya sehingga
membuat siswa dapat mengetahui manfaat matematika dalam perspektif budaya
(Kencanawati dan Irawan, 2017). Etnomatematika adalah cara-cara tertentu yang
dipergunakan oleh suatu masyarakat atau kelompok budaya dalam aktivitas
matematika. Aktivitas matematika merupakan suatu aktivitasyang
melibatkanproses pengabstraksian dari pengalaman nyatayang dialami dalam
kehidupan sehari-hari ke dalam matematika seperti mengelompokkan, berhitung,
mengukur, merancang bangunan atau alat, membuat pola, membilang,
menentukan lokasi, permainan, menjelaskan, dan sebagainya. Penerapan
etnomatematika sebagai sarana untuk memotivasi, menstimulasi peserta didik,
dapat mengatasi kejenuhan dan kesulitan dalam belajar matematika pembelajaran
matematika berbasis budaya merupakan suatu pendekatan yang diharapkan
mampu menjadi alternatif dalam melakukan inovasi pembelajaran, yang
pengembangannya dilakukan sesuai dengan kearifan lokal sekolah setempat
sehingga diharapkan mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Pengembangan
pembelajaran untuk suatu materi dengan etnomatematika sangat dimungkinkan
sekali hanya dapat berlaku di suatu daerah tertentu pula, dan tidak dapat diadobsi
secara langsung kedaerah yang lain karena perbedaan kultur yang berkembang
dari masing-masing daerah berbeda. Budaya dan pendidikan dapat dijembatani

8
dengan etnomatematika. Etnomatematika adalah bentuk matematika yang
diidasarkan atau dipengaruhi oleh budaya.

C. Kesenian
Kesenian adalah salah satu isi dari kebudayaan manusia secara umum, karena
dengan berkesenian merupakan cerminan dari suatu bentuk peradaban yang
tumbuh dan berkembang sesuai dengan keinginan dan cita-cita yang berpedoman
kepada nilai-nilai yang berlaku dan dilakukan dalam bentuk aktifitas berkesenian,
sehingga masyarakat mengetahui bentuk keseniannya. Menurut Soerjo (2007)
Kesenian sebagai karya atau hasil simbolisasi manusia merupakan sesuatu yang
misterius. Namun demikian, secara universal jika berbicara masalah kesenian,
orang akan langsung terimajinasi dengan istilah “indah”. Kesenian tidak pernah
lepas dari masyarakat. Sebagai salah satu bagian yang penting dari kebudayaan,
kesenian adalah ungkapan kreatifitas dari kebudayaan itu sendiri. Masyarakat yang
menyangga kebudayaan dan juga kesenian, mencipta, memberi peluang untuk
bergerak, memelihara, menularkan, mengembangkan untuk kemudian
menciptakan kebudayaan baru lagi.
Akan tetapi masyarakat adalah satu perserikatan manusia. Apa yang disebut
sebagai kreatifitas masyarakat berasal dari manusia-manusia yang mendukungnya.
Apa yang disebut seni rakyat, lagu rakyat, atau tarian rakyat yang tidak pernah lagi
dikenal penciptanya itu toh pada mulanya dimulai dari seorang pencipta anggota
masyarakat. Begitu musik atau tarian diciptakan, masyarakat segera meng-
claimnya sebagai miliknya Dalam mengkaji kesenian, maka tak bisa tidak seorang
ilmuwan harus pula mengkajinya dalam konteks kebudayaan, karena kesenian
adalah salah satu unsur dari tujuh unsur kebudayaan universal. Kesenian sering
disinonimkan dengan kebudayaan, padahal kesenianhanyalah bagian dari
kebudayaan.
Istilah kesenian sendiri sering dipadankan dengan istilah seni dan seni budaya
Takari, (2008).Kesenian, keindahan, estetika, mewujudkan nilai rasa dalam arti luas

9
dan wajib diwakili dalam kebudayaan lengkap. Kesatuan manusia yang terdiri atas
budi dan badan tak dapat mengungkapkan pengalamannya secara memadai
dengan akal murni saja. Rasa mempunyai kepekaan terhadap kenyataan yang tidak
ditemukan oleh akal. Itu tidak berarti bahwa karya kesenian bersifat irasional atau
anti rasional, melainkan bahwa di dalamnya direalisasikan nilai yang tak mungkin
diliputi oleh fungsi akal yang indah didefinisikan sebagai apa yang ketika dilihat
dan didengar, dinilai sebagai baik. Keindahan membawa serta ekspansi rasa hidup
dan kesadaran diri sebagai bagian dalam keseluruhan. Sifat sosial dari kesenian
meratakan pengalaman dan perasaan dari seorang seniman kepada orang lain yang
berkat kesenian memanusiakan diri lebih sempurna.

D. Wayang Kulit

(https://www.bing.com/images/search?q=wayang+kulit&FORM=QBIR)

Wayang merupakan sebuah warisan budaya nenek moyang yang diperkirakan


telah ada sejak ±1500 tahun SM. Wayang sebagai salah satu jenis pertunjukan sering
diartikan sebagai bayangan yang tidak jelas atau samarsamar, bergerak kesana
kemari. Bayangan yang samar tersebut diartikan sebagai gambaran perwatakan

10
manusia. Di Indonesia terutama dipulau jawa terdapat ratusan jenis wayang yang
dapat digolongkan menurut cerita yang dibawakan, cara pementasan wayang , dan
bahan yang digunakan untuk membuat wayang. Sekitar separuh lebih dari jumlah
wayang tersebut sekarang sudah tidak dipertunjukan lagi, bahkan diantaranya
sudah punah. Diantara pertunjukan wayang yang paling utama dan masih terdapat
hingga sekarang adalah wayang kulit di Jawa Tenggah. Kepopuleran wayang kulit
dikarenakan padat dengan nilai filosofis, pedagogis, historis, dan simbolis.
Dalam perkembangannya dari zaman ke zaman, wayang telah mengalami
perubahan sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakat pendukungnya,
baik dalam bentuk atribut, fungsi maupun peranannya. Wayang telah melewati
berbagai peristiwa sejarah dari generasi ke generasi. Budaya pewayangan telah
melekat dan menjadi bagian hidup dari bangsa Indonesia, khususnya masyarakat
Jawa. Usia yang demikian panjang dan kenyataan bahwa sampai sekarang masih
banyak orang yang menggemari wayang menunjukan betapa tinggi nilai dan
berartinya wayang bagi kehidupan masyarakat
Menurut Marina Puspitasari,(2008), Wayang berasal dari bahasa Jawa Kuna dari
kata wod dan yang, artinya gerakan yang berulang ulang dan tidak tetap, dengan
arti kata itu maka dapat dikatakan bahwa wayang berarti wujud bayangan yang
samar-samar selalu bergerak-gerak dengan tempat yang tidak tetap. Kata wayang
dapat diartikan sebagai gambar atau tiruan manusia yang terbuat dari kulit, kayu,
dan sebagainya untuk mempertunjukan sesuatu lakon atau cerita. Lakon tersebut
diceritakan oleh seorang yang disebut dalang. Arti lain dari kata wayang adalah
ayang-ayang(bayangan), karena yang dilihat adalah bayangan dalam kelir.
Disamping itu ada yang mengartikan bayangan ialah angan-angan. Bentuk apa saja
pada wayang disesuaikan dengan perilaku tokoh yang dibayangkan dalam angan-
angan misalnya orang baik, digambarkan badanya kurus, mata tajam, dan
seterusnya. Sementara orang yang jahat bentuk mulutnya lebar, mukanya lebar,
dan seterusnya, sedangkan kulit menunjuk pada bahan yang digunakan.

11
E. Fungsi Wayang dalam Masyarakat
Dalam hal ini Manusia setelah melalui tingkatan hidup estetis, dan etis, manusia
akan sampai pada tingkatan ketiga, yaitu religius. Pada tingkatan ini, manusia telah
terikat dengan Tuhan atau menerima ikatan-ikatannya. Dalam sejarah manusia
dijumpai fenomena yang disebut religi. Asal kata religi tidak jelas, ada yang
mengatakan bahwa itu berhungan dengan kata ragare, bahasa latin yang berarti
mengikat sehingga religius berarti ikatan. Dalam religi, manusia terikat dengan
aturan-aturan Tuhan, manusia yang beragama dengan baik, selalu menjahui
larangan-Nya, dan melaksanakan segala perintah-Nya. Dengan ungkapan lain, religi
adalah penyerahan diri kepada Tuhan, dengan keyakinan bahwa manusia itu
tergantung kepada Tuhan. Tuhan diyaikini akan memberikan keselamatan bagi
manusia. Untuk memeperoleh keselamatan maka manusia berserah diri kepadanya.
Sejarah perkembangan religi masyarakat Jawa telah dimulai sejak zaman
prasejarah. Pada waktu itu nenek moyang sudah beranggapan bahwa semua benda
yang ada disekelilingnya bernyawa, dan semua yang bergerak dianggap hidup,
mempunyai kekuatan gaib, roh yang berwatak baik maupun jahat. Pada zaman
prasejarah pertunjukan wayang berfungsi sebagai magis-mitos-religius. Dalam
kepercayaan animisme dan dinamisme, roh orang yang sudah meninggal dianggap
lebih kuat atau sakti dan berkuasa dibandingkan ketika masih hidup. Mempercayai
bahwa roh orang sudah meninggal masih berada di lengkungan sekitar, misalnya
dipohon-pohon besar, gunung-gunung, bukit dan benda lainnya. Kehadiran roh
orang yang sudah meninggal diharapakan dapat memberikan pertolongan dan
bantuan serta berkah kepada orang yang masih hidup.
Berdasarkan pemikiran itu dengan sendirinya orang samapi pada usaha untuk
mendatangkan roh nenek moyang ke dalam rumah, halaman atau tempat yang
dianggap keramat. Dengan perantara orang sakti, roh nenek moyang didatangkan
dengan diiringi nyanyian, pujian, dan sesaji, seperti: makanan, minuman dan buah-
buahan serta wangi-wangian yang digemarinya ketika masih hidup di dunia.
Sekalipun hanya untuk waktu yang sementara, namun kesempatan untuk dapat

12
berhubungan langsung dengan roh tersebut sangat penting. Dalam kesempatan ini,
mereka yang masih hidup dapat menghortmati roh leluhur, dengan cara ini keluarga
dan keturunananya merasa terjamin kelangsungan hidupnya, nasib baik,
kebahaigaiaan, dan kemakmuran. Harapan-harapan yang kemudian mendorong
nenek moyang menghasilkan pembuatan bayangan, sehingga orang dapat
membayangkan roh orang yang sudah meninggal. Gambar atau lukisan bentuk dari
roh yang dibayangkan bukanlah berwujud gambar realitas dari nenek moyang,
tetapi berwujud gambar bayangan remang-remang atau semu. Inspirasi bentuk
wayang yang dipergunakan untuk pentas bayangan didapat dari bentuk bayangan
manusia. Gambar bayangan tersebut diilhami oleh bayangan yang dilihat setiap hari
diwaktu pagi. Itulah sebabnya gambar yang dihasilkan mempunyai kaki dan tangan
panjang. Pada mulanya tidak sengaja dipasang tabir atau selembar kain untuk
membuat bayang-bayang yang kemudian tabir tersebut menjadi perlengkapan wajib
dalam pementasan wayang. Upacara memanggil roh nenek moyang dilakukan pada
malam hari, saat roh tersebut melayang-layang sedang mengembara.
Tempat yang dipilih untuk mengadakan pertunjukan bayang-bayang adalah
ditempat khusus. Di tempat itu disediakan tempat pemujaan seperti dolmen, menhir,
dan tahta batu sebagai tempat berkumpul dan tempat duduk roh atau hyang yang
datang. Pertunjukan bayang-bayang tersebut diawali dengan cerita mitos kuno
tradisional yang berisikan cerita atau kejadian tentang bumi, langit, nenek moyang
manusia, dewa dan upacara-upacara yang berhubungan dengan kepercayaan.
Diceritakan pula tentang kebesaran dan kepahlawanan nenek moyang serta
mengharapkan berkah untuk keselamatan seamanya. Pada zaman ini kepustakaan
wayang belum ditulis. Cerita tersebut dituturkan secara lisan dari generasi ke
generasi berikutnya, yang setiap kurun waktu cerita tersebut diubah dan ditambah
menurut selera dan situasi zamannya. Pertunujkan wayang pada zaman kerajaan
mataram 1 tidak hanya berfungsi magis-religius, tetapi juga sebagai alat pendidikan
dan komunikasi. Cerita diambil dari kitab Mahabarata dan Ramayana yang sudah

13
diberi sifat lokal dan bercampur mitos kuno tradisional. Pahlawan-pahlawan dari
kedua kitab tersebut menjadi pahlawan dan dewa bagi masyarakat Jawa.

F. Nilai Filosofis Wayang Kulit


Filsafat menurut masyarakat Jawa ialah usaha manusia untuk memperoleh
pengertian dan pengetahuan tentang hidup menyeluruh dengan mempergunakan
kemampuan rasio ditambah indera batin (cipta-rasa). Maka berfilsafat maka cinta
kesempurnaan, (ngudi kasempurnan, ngudi kawicaksanaan) dan bukan semata-mata
cinta kearifan. Jika orang jawa menyebut bahwa wayang mengandung filsafat yang
dalam, dunia wayang memberi peluang bagi orang Jawa untuk melakukan suatu
pengkajian filsafi dan mistis sekaligus. Dunia pewayangan kaya sekali dengan
lambang atau pasemon, hampir seluruh eksistensi wayang itu sendiri adalah
pasemon. Pergelaran Wayang kulit senantiasa terdiri dari beberapa bagian atau
adegan yang saling bertalian antara satu dengan yang lain. Tiap-tiap bagian
melambangkan fase atau tingkat tertentu dari kehidupan manusia. Bagianbagian
tersebut antara lain:
1. Jejer (adegan pertama), melambangkan kelahiran bayi dari kandungan ibu,
diatas dunia serta perkembangan masa kanak-kanak sampai meningkat
hingga dewasa

14
2.Perang gagal, melambangkan perjuangan manusia muda untuk melepaskan
diri dari kesulitan serta penghalang dalam perkembangan hidupnya

3.Perang kembang, melambangkan peperangan antara baik dengan buruk yang


akhirnya dimenangkan oleh pihak yang baik. Perang kembang berlangsung
setelah lepas tengah malam. Artinya filosofisnya yaitu setelah orang
mengakhiri masa muda sampailah masa dewasa.

15
4.Perang brubuh, melambangkan kehidupan manusia yang akhirnya mencapai
kebahagiaan hidup hingga penemuan jati diri.

5. Tancep kayon, melambangkan berakhirnya kehidupan artinya pada akhirnya


manusia mati, kembali kealam baka menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa

16
G. Wayang Sub Gaya Jawa Timuran
Wayang kulit merupakan satu kesenian daerah yang paling menonjol. Wayang
kulit dijadikan sarana hiburan maupun sarana ritual dalam berbagai acara maupun
hajatan. Dapat menyajikan hiburan wayang kulit dalam acara biasa maupun ritual
merupakan suatu gengsi yang amat tinggi dalam masyarakat jawa. Memang,
dibanding kesenian daerah yang lain, pagelaran wayang kulit memerlukan dana
yang lebih banyak. Di samping itu, ajaran budi luhur yang terkandung di
dalamnya sampai sekarang masih menjadi tauladan dalam kehidupan masyarakat
jawa. Wayang kulit memiliki beberapa versi atau gagrak atau gaya. Kalau diamati,
versi atau gagrak tersebut sebagian besar dibedakan menurut pemakaian bahasa
atau dialek setempat, kecuali versi Yogyakarta dan Surakarta. Keduanya tidak
dibedakan oleh bahasa, namun oleh corak wayang. Versi wayang kulit Surakarta
mengembangkan corak wayang yang cenderung dinamis, sedangkan versi
Yogyakarta melestarikan corak wayang Mataraman, tanpa melakukan perubahan.
Di jawa timur juga banyak sekali sub gaya wayang kulit, yakni :
1 sub gaya Lamongan, yang hidup dan berkembang di daerah Lamongan dan
sekitarnya
2 sub gaya Mojokertoan, yang hidup dan ber kembang di daerah Jombang,
Mojokerto, dan sekitarnya
3 subgaya Porongan, yang hidup dan berkembang di daerah Sidoarjo, Sura baya,
dan sekitarnya dan
4 subgaya Malangan, yang hidup dan berkembang di daerah Malang dan
sekitarnya.
Sub gaya wayang yang hidup dan berkembang di daerah-daerah yang
jauh dari bekas pusat kota kerajaan di Indonesia, yakni di pedesaan,
pegunungan, dan pesisiran, lebih akrab disebut pertunjukan wayang gaya
„kerakyatan‟. Para dalang penganut gaya kerakyatan ini merasakan gaya

17
pedalangan nya yang paling baik, karena merupakan warisan secara turun-
temurun dan ber tentangan dengan gaya „karaton‟ yang berada di kota Nuansa
estetik wayang gaya kerakyatan merepresentasikan nafas kehidupan
masyarakatnya.

H. Wayang Porongan

1 Sejarah dan Perkembangan Wayang Porongan


Wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya Jawa. Namun sebenarnya
tetaplah dari Jawa. Berawal dari penyembahan animisme dan dinamisme, untuk
penyembahan kepada Sang Pencipta. Namun terkadang banyak yang salah
mengartikan bahwa wayang berasal dari India, sebab agama yang terlebih dahulu
masuk adalah Hindhu dan Budha. Karena merupakan agama yang berkembang dan
hidup di kerajaan. Lalu tersebutlah unen-unen mengenai keyakinan, agama ageming
aji. Agama yang dianut oleh seorang raja, maka tidaklah salah apabila rakyatnya
juga turut menganut agama tersebut. Pengaruh agama di Indonesia juga banyak
dari India.
Adanya epos Mahabarata dan Ramayana di tengah-tengah masyarakat karena
ceritanya bagus untuk kemasyarakatan, sehingga diajarkan kepada masyarakat
supaya mau mencontoh kehidupan yang penuh dengan lika-liku, lengkap beserta
sebab dan akibatnya. Kemudian dikembangkan dalam pedalangan sehingga
dianggap eposnya dari India, namun budaya yang terkandung di dalamnya asli
budaya Jawa.
Wayang perlu diketahui sebagai peraga atau alat untuk memperluas pengaruh
agama, karena sesudah keruntuhan Majapahit banyak cerita Islam yang dimasukkan
dalam pewayangan, contohnya Jabur yang merupakan percampuran agama Hindhu
dan agama Islam, kemudian ada pula cerita Dewaruci, yang merupakan cerita Islam,
bukanlah dari agama yang lainnya. Lakon rabine Abimanyu yang mengunggulkan
tokoh Jin Prembayun merupakan budaya Islam, yang bertemu dengan kakang Kawa

18
diajarkan oleh R. Ng. Ranggawarsita. Karena kehebatan kreativitas sastrawan Jawa
jaman dahulu. Wayang kemudian berkembang banyak gagrag, gagrag merupakan
sub gaya. Yang termasuk gaya Solo yaitu gaya Banyumas, Cirebon, dan Tegal.
Kemudian gaya Jogja terdiri dari beberapa Kabupaten. Kemudian akhirnya muncul
gaya Jawa Timuran, dulu banyak yang mengatakan gaya Pesisiran karena dahulu
hidup di daerah pesisir untuk kepentingan penyebaran agama Islam. Lalu
berkembang dan pada tahun 1999 dan diresmikan pada saat Munas di TMII.
Dari pelaksanaan munas tersebut, beberapa dhalang atau seniman yang turut
serta sempat memberikan beberapa usulan untuk memperkenalkan wayang di
daerah timur pulau Jawa dengan beberapa sebutan yakni dengan Jekdhongan,
Surabayan, dan Pesisiran. Karena sudah banyak kabupaten dan kota yang
mengembangkan gaya Jawa Timuran, sekitar delapan yang mengembangkan
jekdhongan (Jawa Timuran)
Kedelapan kota dan kabupaten tersebut terdiri dari kabupaten Jombang,
Mojokerto, Gresik, Surabaya, Pasuruan, dan sebagian kabupaten Kediri. Daerah
Malang masuk bagian Jawa Timuran namun minoritas, karena banyak terpengaruh
wayang topeng dengan iringan pelog. Tujuh daerah lainnya menggunakan slendro.
Sementara di kabupaten Lamongan ingin supaya orang wetanan mau dan orang
kulonan juga mau menikmati maka ditetapkan iringan yang digunakan adalah
slendro namun gaya mendhalangnya gaya Jawa Tengahan.
Gaya terdiri dari beberapa gagrag. Awalnya Surabayaan berkembang ke
Porongan, Mojokertoan. Apapun yg bisa jadi besar karena ada dukungan
pemerintah. Mengapa gaya Porongan bisa menjadi nama sendiri? Karena di sana ada
Pak Suwoto Gozali yang asli desa Siring Kecamatan Porong beliau seorang dhalang
dan diakui dalang RRI oleh masyarakat dengan mengembangkan gaya sendiri.
Sehingga dikenal masyarakat umum. Dahulu tidak banyak yang suka dengan gaya
Jawa Timuran utamanya para pejabat dikarenakan pejabat umumnya menganggap
wayang gagrag kulonan yang paling pakem.

19
Seperti halnya gaya Mojokertoan bisa disebut Mojokertoan sebab dahulu ada
cerita sejarah di kerajaan Majapahit di sekitar Trowulan. Gagrag lain juga banyak.
Istilah gaya Porongan muncul sejak kejayaan pak Suwoto Gozali hingga andilnya
Pak Sulaiman menghidupkan wayang Porongan. Dahulu adalah pesisiran. Wayang
Porongan merupakan nama sebutan, jek asalnya dari kepyak jek kepyak dengan
kotak. Dong berasal dari gong. Kemudian berkembang pesisiran dan diakui pejabat.
Karena ada wayang Jawa Timuran digelar dimana-mana berasal dari wayang
pinggiran kemudian bisa mengalami perkembangan sehingga menjamah minggir ke
kota. Porongan sekitar tahun 1970an baru muncul istilah tersebut,
pengembangannya kejayaan tahun 1990an. Karena adanya sebutan PARIPUJA.
Paguyuban Ringgit Purwa Jawa Timuran yang terbentuk Februari tahun 1989.
Yang membedakan gagrag Porongan, Trowulanan, dan Surabayan. Dasarnya
sama dahulu jadi satu berkembang menurut masyarakat dan kemampuan dalang.
Sesuai dengan bahasanya, supaya tetap diminati oleh masyarakatnya. Berbeda
dengan Surabayan dan Sidoarjo. Porongan terdapat pengembangan. Pertama pak
Suwoto Gojali orang umum, minimal apabila dekat dengan orang komunikasi
(pegawai RRI ketika itu) bisa dapat dengan mudah menambah koleksi gamelan,
pelog dan slendro yang minim. Karena perkembangan kesenian tidak bisa
berkembang sendiri-sendiri dan harus saling bersama, maka mendatangkan guru
untuk wayangan dari Jawa Tengah, yaitu orang Solo. Karena kemudian timbul
simbiosis mutualisme. Wayang porongan hanya dalangnya yang berasal dari Porong
namun penggemarnya meluas, sampai ke Jakarta.
Yang pertama dituliskan oleh dhalang harus lakon terlebih dahulu, ketika
dhalang keliru masyarakat akan mencela. Dalam gagrag Porongan dan yang lainnya
bedanya pewarnaan wayang porongan lebih tandas dan menggunakan warna
terang, kemudian letak perbedaannya yaitu di suluk. Cengkok lagon sulukan
dhalang, macam-macam namanya ada plungan yang menjadi sebutan Mojokertoan,
di Porongan namanya drojokan. Pada musik iringan yang membedakan hanya
sebutan saja. Di Porongan gambir sawi di Mojokertoan tawang bangkalan. Dan

20
slendro semua. Urutan pathet umumnya sama, urutan wayang iringan semalam
suntuk lebih tertata Porongan, dibanding Mojokertoan. Gemblak merupakan nama
gendhing yang ada di Mojokertoan di Porongan alap-alapan di Surabayan anggleng.
Banyak kerumitan sebenarnya, namun kreatifitaslah yang dibutuhkan.
a. Contoh perbedaan warna gaya porongan dengan gaya lamongan.
 Gaya Lamongan

 Gaya Porongan

21
b. Perbedaan sulukan. Suluk adalah sejenis puisi atau sajak kata-kata yang halus
dan sebagainya dirangkai dengan persamaan, kemiripan suku-suku kata
ataupun persamaan vocal Perbedaan suluk gaya porongan dengan gaya daerah
lain adalah gaya bahasa, iringan musik dari suluk serta cara dalang wayang gaya
porongan untuk menyampaikan suluk tersebut.
2. Instrumen Pagelaran Wayang Porongan
Selain unsur pelaksana, sarana lain pendukung pertunjukan wayang kulit adalah
perlengkapan. Unsur-unsur tersebut adalah terop, genjot/panggung, meja dan kursi,
sound system, kotak, wayang kulit, kelir, gedebog, blencong dan gamelan serta
peralatan kecil yang lainnya. Berikut ini akan dideskripsikan satu persatu peralatan
tersebut.
a. Terop
Perlengkapan yang pertama kali dipasang adalah pasang terop. Ada 3 terop
yang didirikan dalam pertunjukan wayang kulit, dimana satu terop untuk
pertunjukan wayang dan 2 terop lainnya untuk para tamu yang hadir dalam
pertunjukan wayang kulit. Tempat pemasangan terop ini tidak hanya memakan
halaman penanggap tetapi juga tetangga yang ada disampingnya atau disebelah
kanan dan kiri. Hal ini karena halaman penanggap tidak cukup luas untuk
mendirikan 3 terop tersebut.

Umumnya dalam pagelaran wayang itu didirikan diatas tanah yang luas atau
lapangan yang luas.

22
Gambar Terop Wayang
b. Genjot/Panggung
Setelah terop, perlengkapan yang lainnya yang harus ada dan dipasang
selanjutnya yaitu genjot atau panggung. Genjot ini dipergunakan untuk pementasan
cerita wayang.

c. Meja dan Kursi


Dalam memeriahkan pesta tentu ada tamu yang diundang dalam pesta itu. Karena
banyak tamu yang diundang maka ditata meja dan kursi untuk para tamu yang hadir
dipesta tersebut. Meja dan kursi diatur sedemikian rapi dan tertata sesuai dengan
tempat pesta berlangsung, sehingga para tamu bisa duduk nyaman. Diatas meja,

23
biasanya diberi kue-kue yang ditaruh ditoples atau piring-piring kecil yang sudah
tersedia.
Ada beberapa lajur tempat duduk yang biasanya dipilih oleh para tamu
undangan. Sambil menunggu makanan (nasi) datang, para tamu dipersilahkan
menikmati hidangan kue-kue kecil diatas meja. Ketika agak larut dan para tamu yang
hadir sudah tidak ada, maka kursi dan meja tersebut dibuat penonton yang akan
menonton pagelaran wayang. Selain kue-kue kecil dimeja juga disediakan pula rokok
bagi penonton yang biasanya merokok.

d. Sound System
Untuk memeriahkan acara sebuah pesta pernikahan, maka perlengkapan lainnya
adalah sound system. Sound system disini termasuk pengeras suara dan salon pengeras
suara. Tujuan adanya sound system yaitu supaya suara yang dihasilkan lebih keras dan
bisa didengar oleh orang yang berada agak jauh tergantung besar kecilnya volume.

Selain perlengkapan diatas yang berhubungan dengan si penanggap, maka ada


beberapa peralatan yang disiapkan oleh dalang, yaitu :
a. Kotak
Peralatan yang pertama adalah kotak. Dari kotak tesebut dikeluarkan baik yang
akan dimainkan atau yang dijajar baik yang dikiri dan dikanan. Kepyak itu sendiri
terdiri dari tiga atau empat lempengan logam kuningan gangsa atau besi yang
digantungkan pada kotak, juga dipukul dengan cempala. Dalam bentuk tanda tertentu,
juga sebagai sasmita atau mengatur perubahan adegan (merubah, mempercepat,
memperlambat, sirep, menghentikan atau mengganti lagu).

b. Wayang Kulit

Wayang berjumlah sekitar 200. Dalam pengelompokannya, wayang satu kotak


digonogkan menjadi wayang simpingan, dhundhahan dan grobahan. Wayang
dhudhahan dan grobahan tidak dipajang dikelir.

24
c. Kelir
Kelir yaiku layar lebar yang digunakan pada pertunjukan wayang kulit. Kelir
yang berukuran panjang kurang lebih 7,5 m dan lebar kurang lebih 1,7 m.
pada kelir bagian atas dipasang juga pelisir yang panjangnya sama dengan kelir,
yaitu 7,5 m.

d. Blencong

25
Pertunjukan wayang menghasilkan bayang-bayang, sehingga diperlukan lampu
yang menyorot pada layar. Blencong adalah nama alat penerangan itu. Zaman dahulu
sebelum ada listrik, penerangan blencong berbahan bakar minyak kelapa dan seiring
dengan perkembangan zaman kemudian diganti dengan bahan bakar listrik. Selain
menerangi wayang, bola lampu itu sebagai penerangan dalang dan para sindhen. Dari
blencong itu seolah-olah memberikan nafas dan atau mengidupkan wayang itu sendiri.

e. Gedebog
Gedebog adalah batang pisang yang digunakan untuk menancapkan wayang
(simpingan). Disimping artinya dijajar. Baik yang dimainkan ataupun yang tidak
dimainkan atau hanya dipamerkan. Dalam menancapkan wayang di gedebog itu harus
mempunyai aturan-aturan tertentu. Mana wayang yang harus ada disebelah kanan dan
mana wayang yang harus ada disebelah kiri dalang, bukan hanya sebatas dipajang saja
tetapi juga mempersiapkan segala sesuatu keperluan dalang.

f. Gamelan
Peralatan lain yang harus ada dan menjadi tanggung jawab ketika ada pagelaran
wayang kulit adalah gamelan.

26
Gamelan ini bermacam-macam jenisnya. Pada pertunjukan ini, gamelan tersebut
adalah kendang, gender penerus, gender babok, bonang penerus, bonang babok,
demung I, demuung II, saron I, saron II, slenthem, peking, kenong, kempul, gong
rebab, gambang, siter, suling dan drum.

3. Pakem Pembuatan Wayang


a. Teknik Blat Pada Wayang
Pembuatan wayang kulit berasal dari kulit kerbau atau kulit sapi yang
dikeringkan terlebih dahulu, teknik blat ini dilakukan dengan menggambar
motif atau pola pada wayang di kertas karton kemudian akan

di blat pada kulit sapi atau kerbau, dan kemudian akan di gunting sesuai pola
tersebut.

b. Pembuatan Gunungan
Pembuatan gunungan ini merupakan teknik pembuatan dengan menyamakan
jarak antara gapitan dengan bentuk gunungan yang harus sama kiri dengan
kanannya sehingga akan membentuk sebuah gunungan.

27
Disebut gunungan karena bentuknya seperti gunung yang ujung atasnya
meruncing. Gunungan ini dalam legendanya berisi mitos sangkan paraning
dumadi, yaitu asal mulanya kehidupan ini dan disebut juga kayon. Kata kayon
melambangkan semua kehidupan yang terdapat di dalam jagad raya yang
mengalami tiga tingkatan yakni:

a) Tanam tuwuh (pepohonan) yang terdapat di dalam gunungan,


yang orang mengartikan pohon Kalpataru, yang mempunyai
makna pohon hidup.
b) Lukisan hewan yang terdapat di dalam gunungan ini
menggambarkan hewan- hewan yang terdapat di tanah Jawa.
c) Kehidupan manusia yang dulu digambarkan pada kaca pintu
gapura pada kayon, sekarang hanya dalam prolog dalang saja.

Kayon atau gunungan yang biasanya diletakkan di tangah kadang disamping itu
mempunyai beberapa arti, arti dari diletakkannya gunungan ada 3 yakni:

a) Dipergunakan dalam pembukaan dan penutupan, seperti halnya


layar yang dibuka dan ditutup pada pentas sandiwara.
b) Sebagai tanda untuk pergantian jejeran (adegan/babak).

28
c) Digunakan untuk menggambarkan pohon, angin, samudera,
gunung, guruh, halilintar, membantu menciptakan efek tertentu
(menghilang/berubah bentuk).

Gunungan merupakan simbol kehidupan, jadi setiap gambar yang berada di


dalamnya melambangkan seluruh alam raya beserta isinya mulai dari manusia
sampai dengan hewan serta hutan dan perlengkapannya. Gunungan dilihat dari
segi bentuk segi lima, mempunyai makna bahwa segi lima itu lima waktu yang
harus dilakukan oleh agama adapun bentuk gunungan meruncing ke atas itu
melambangkan bahwa manusia hidup ini menuju yang di atas yaitu Allah SWT.

Sedangkan filosofi bentuk Gunungan adalah : bentuk gunungan sendiri

menyerupai serambi bilik kiri yang ada di dalam tubuh kita, itu mungkin
mempunyai makna kalau kita harus menjaga apapun yang ada di dalam hati kita
hanya kepada sang pencipta. Dan yang lebih hebat lagi adalah dari segi bentuk
yang persisi dengan “mustoko” di atas masjid yang ada banyak di negara kita. itu
perlambang dari sipembuat untuk kita supaya menjaga hati kita secar lurus
(seperti pohon) kepada masjid/agama/tuhan.

a) Gunungan bisa diartikan lambang Pancer, yaitu jiwa atau sukma,


sedang bentuknya yang segitiga mengandung arti bahwa manusia
terdiri dari unsure cipta, rasa dan karsa. Sedangkan lambang gambar
segi empat lambing sedulur papat dari anasir tanah, api , air, udara.
b) Gunungan atau kayon merupakan lambang alam bagi wayang,
menurut kepercayaan hindu, secara makrokosmos gunungan yang
sedang diputar-putar oleh sang dalang, menggambarkan proses
bercampurnya benda-benda untuk menjadi satu dan terwujudlah
alam beserta isinya. Benda-benda tersebut dinamakan Panca Maha
Bhuta, lima zat yakni: Banu (sinar-udara-setan), Bani (Brahma-api),
Banyu (air), Bayu (angin), dan Bantala (bumi-tanah).

29
c) Makara yang terdapat dalam pohon Kalpataru dalam gunungan
tersebut berarti Brahma mula, yang bermakna bahwa benih hidup
dari Brahma. Lukisan bunga teratai yang terdapat pada umpak
(pondasi tiang) gapura, mempunyai arti wadah (tempat) kehidupan
dari Sang hyang Wisnu, yakni tempat pertumbuhan hidup.
d) Berkumpulnya Brahma mula dengan Padma mula kemudian menjadi
satu dengan empat unsur, yaitu sarinya api yang dilukiskan sebagai
halilintar, sarinya bumi yang dilukiskan dengan tanah di bawah
gapura, dan sarinya air yang digambarkan dengan atap gapura yang
menggambarkan air berombak.
e) Dari kelima zat tersebut bercampur menjadi satu dan terwujudlah
badan kasar manusia yang terdiri dari Bani, Banyu, Bayu, dan Bantala,
sedang Banu merupakan zat makanan utamanya

c. Ukuran tinggi Pembuatan Wayang


a) Bathara bayu dan anoman : 60-70 cm

b) Puntadewa, kresna : 40-45 cm

30
Puntadewa kresna
c) Semar 40 cm

31
d) Gunungan 60-70 cm

e) Buto ratu : 80-90 cm

32
f) Dasamuka : 55-65

g) Tokoh putren/perempuan : 30-40 cm

d. Pembuatan Wayang Kecil dan Besar


Wayang kecil dan besar memiliki karakter yang sama, sehingga pembuatan
wayang ini dapat dilakukan dengan memperbesar ukuran dari wayang kecil

33
atau bisa dilakukan sebaliknya, sehingga bentuk dan ukurannya dapat memiliki
perbandingan ukuran yang sama.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Terdapat konsep Matematika dalam kesenian wayang porongan . Konsep
Matematika yang ditemukan antara lain pengukuran, perbandingan skala,
ksebangunan, simetri lipat, pencerminan, titik, garis, sudut, simetri lipat, bangun
datar, , yang sesuai dengan kompetensi pembelajaran Matematika di
sekolah.Semua hasil temuan tersebut menunjukkan konsep Matematika ada
dalam kesenian wayang porongan dan dapat dijadikan alternatif pembelajaran
etnomatematika di sekolah.

34

Anda mungkin juga menyukai