Anda di halaman 1dari 5

A.

Struktur / kerangka
Judul : Sunda, Majapahit, dan Nama Jalan
Paragraf 1
Kalimat 1 : Sejarah sering kali tampil menjadi bagian penting dalam membangun
legitimasi atas persatuan dan kesatuan bangsa.
Kalimat 2 : Sejarah telah menjadi duri dalam daging di tubuh bangsa ketika
memori atas suatu peristiwa tertentu terus diproduksi dan direproduksi secara liar.
Salah satunya peristiwa Pasunda Bubat yang hingga kini menjadi ganjalan dalam
hubungan masyarakat Sunda dan Jawa.

Paragraf 2

Kalimat 1 : Sekurang-kurangnya 6 naskah kuno warisan Jawa, Sunda, dan Bali


memuat atau meyinggung peristiwa tersebut. Historitas peristiwa Pasunda Bubat
tidak bisa diragukan lagi.

Paragraf 3

Kalimat 1 : Tragedi itu memang benar-benar terjadi dan tidak perlu disangkal
lagi dengan dalih bahwa cerita tersebut hanya pesanan penjajah untuk memecah
belah persatuan.

Kalimat 2 : Yang justru harus dilakukan adalah menyikapi dengan bijak dan
berupaya menelisik akar kekecewaan di dalam sebagian etnik.

Paragraf 4

Kalimat 1 : Dari sebagian banyak telaah tidak ada yang berasal dari masa-masa
sekitar peristiwa Pasunda Bubat, tetapi terjadi pada masa Majapahit abad ke-15
hingga ke-16.

Kalimat 2 : Bisa jadi, sumbernya justru dari periode kontemporer abad ke-20 atau
bahkan ke-21 ketika muncul dan berkembang karya sastra yang bersifat fiksi,
tetapi terinspirasi hasil publikasi kajian ilmiah terhadap naskah-naskah.
Paragraf 5 :

Kalimat 1 : Untuk kepentingan akademis maupun pendidikan, penulisan sejarah


tidak cukup hanya menderetkan fakta dan dipaparkan begitu saja.

Kalimat 2 : Interpretasi dan makna apa yang hendak digali dan diungkap
merupakan hal prinsip.

Paragraf 6

Kalimat 1 : Penting bagi generasi masa kini mendudukan Pasunda Bubat sebagai
peristiwa kebudayaan.

Kalimat 2 : Untuk melenyapkan masalah laten, diperlukan terobosan kebudayaan


antara masyarakat Sunda dan Jawa.

Paragraf 7

Kalimat 1 : Langkah berani yang diambil Pemprov Jawa Timur, Jawa Barat, dan
DIJ itu tidak berhenti sebatas seremoni atau pertunjukan kesenian belaka.

Kalimat 2 : Satu tindakan konkret lainnya diambil DIJ dan Jawa Timur, yaitu
mengubah nama jalan dengan nama tokoh dan kerajaan yang terlibat dalam
peristiwa Bubat.

Paragraf 8

Kalimat 1 : Tindakan para gubernur tersebut tampaknya mendapat banyak


apresiasi, namun adapula yang menyesalkan kebijakan pengubahan nama di
Surabaya tersebut.

Paragraf 9

Kalimat 1 : Kita kembali bisa melihat dengan jelas perbedaan antara memori
kolektif dan sejarah dalam melihat masa lalu. Dalam kasus penolakan pengubahan
nama jalan menjadikan kearifan lokal sebagai dalih, penolakan itu berdasar
memori kolektif masyarakat Surabaya.
Paragraf 10

Kalimat 1 : Mengamati rintisan yang telah dilakukan para gubernur tersebut tidak
berjalan secara sporadis, pengubahan nama Jalan Dinoyo dan Gunungsari telah
dilakukan secara matang.

Kalimat 2 : Penggantian hanya terjadi di ruas Jalan Dinoyo yang menyambung


dengan Jalan Majapahit.

Kalimat 3 : Begitu pula di Jalan GunungSari, yang diganti hanya ruas jalan yang
bersentuhan dengan Jalan Brawijaya.

Paragraf 11

Kalimat 1 : Tidak hanya berhenti pada para kepala daerah atau pemerintah,
melainkan juga masyarakat secara keseluruhan.

Kalimat 2 : Langkah tersebut guna merekatkan bangsa melalui simpul-simpul


nilai perjuangan dan persatuan serta landasan keragaman budaya.

B. Isi Artikel
Sejarah sering kali tampil menjadi bagian penting dalam membangun legitimasi
atas persatuan dan kesatuan bangsa. Sejarah telah menjadi duri dalam daging di tubuh
bangsa ketika memori atas suatu peristiwa tertentu terus diproduksi dan direproduksi
secara liar. Salah satunya peristiwa Pasunda Bubat yang hingga kini menjadi ganjalan
dalam hubungan masyarakat Sunda dan Jawa. Sekurang-kurangnya 6 naskah kuno
warisan Jawa, Sunda, dan Bali memuat atau meyinggung peristiwa tersebut. Historitas
peristiwa Pasunda Bubat tidak bisa diragukan lagi. Tragedi itu memang benar-benar
terjadi dan tidak perlu disangkal lagi dengan dalih bahwa cerita tersebut hanya pesanan
penjajah untuk memecah belah persatuan. Yang justru harus dilakukan adalah menyikapi
dengan bijak dan berupaya menelisik akar kekecewaan di dalam sebagian etnik. Dari
sebagian banyak telaah tidak ada yang berasal dari masa-masa sekitar peristiwa Pasunda
Bubat, tetapi terjadi pada masa Majapahit abad ke-15 hingga ke-16. Bisa jadi, sumbernya
justru dari periode kontemporer abad ke-20 atau bahkan ke-21 ketika muncul dan
berkembang karya sastra yang bersifat fiksi, tetapi terinspirasi hasil publikasi kajian
ilmiah terhadap naskah-naskah. Untuk kepentingan akademis maupun pendidikan,
penulisan sejarah tidak cukup hanya menderetkan fakta dan dipaparkan begitu saja.
Interpretasi dan makna apa yang hendak digali dan diungkap merupakan hal prinsip.
Penting bagi generasi masa kini mendudukan Pasunda Bubat sebagai peristiwa
kebudayaan. Untuk melenyapkan masalah laten, diperlukan terobosan kebudayaan antara
masyarakat Sunda dan Jawa. Langkah berani yang diambil Pemprov Jawa Timur, Jawa
Barat, dan DIJ itu tidak berhenti sebatas seremoni atau pertunjukan kesenian belaka. Satu
tindakan konkret lainnya diambil DIJ dan Jawa Timur, yaitu mengubah nama jalan
dengan nama tokoh dan kerajaan yang terlibat dalam peristiwa Bubat. Tindakan para
gubernur tersebut tampaknya mendapat banyak apresiasi, namun adapula yang
menyesalkan kebijakan pengubahan nama di Surabaya tersebut. Kita kembali bisa
melihat dengan jelas perbedaan antara memori kolektif dan sejarah dalam melihat masa
lalu. Dalam kasus penolakan pengubahan nama jalan menjadikan kearifan lokal sebagai
dalih, penolakan itu berdasar memori kolektif masyarakat Surabaya. Mengamati rintisan
yang telah dilakukan para gubernur tersebut tidak berjalan secara sporadis, pengubahan
nama Jalan Dinoyo dan Gunungsari telah dilakukan secara matang. Penggantian hanya
terjadi di ruas Jalan Dinoyo yang menyambung dengan Jalan Majapahit. Begitu pula di
Jalan Gunungsari, yang diganti hanya ruas jalan yang bersentuhan dengan Jalan
Brawijaya. Tidak hanya berhenti pada para kepala daerah atau pemerintah, melainkan
juga masyarakat secara keseluruhan. Langkah tersebut guna merekatkan bangsa melalui
simpul-simpul nilai perjuangan dan persatuan serta landasan keragaman budaya.
C. Ciri khas kebahasaan
- Kata penghubung : dan, untuk, tetapi, namun, serta.
- Kata ganti : yang, itu, para, kita.
- Kata kerja : berjalan, melihat, membangun
- Konjungsi temporal tidak sederajat : ketika
- Konjungsi temporal sederajat : telah
- Fokus pada peristiwa yang terjadi bukan pada pelakunya
 Sejarah yang menjadi bagian penting dalam membangun legitimasi atas
persatuan dan kesatuan bangsa.
 Langkah berani dalam mengubah nama jalan, dengan nama tokoh dan
kerajaan yang terlibat dalam peristiwa Bubat.
- Verba transitif :
 Tiga pemprov mengubah nama jalan dengan nama tokoh dan kerajaan yang
terlibat dalam peristiwa Bubat.
 Pemerintah melenyapkan masalah laten sehingga diperlukan terobosan
kebudayaan antara masyarakat Sunda dan Jawa.

Anda mungkin juga menyukai