Anda di halaman 1dari 32

MASYARAKAT Jurnal Sosiologi Vol. 22, No.

2, Juli 2017: 257-279


DOI: 10.7454/mjs.v22i2.6873

Perubahan Pondok Pesantren Modern di


Perkotaan: Studi Kasus Pondok Pesantren
Al-Adzkar Tangerang Selatan, Banten

Rahma Dani Pudji Astuti


Program Studi Sarjana Sosiologi, FISIP Universitas Indonesia
Email: rahmadani.puji27@gmail.com

Abstrak
Pondok pesantren di Indonesia saat ini cenderung mengalami perubahan dari pesan-
tren tradisional menjadi pesantren modern. Pesantren modern biasanya
menggunakan label Islamic Modern Boarding School yang dari segi biaya
pendidikannya relatif lebih mahal. Berdasarkan studi literatur sebelumnya
ditemukan bahwa terdapat kompetisi dan komersialisasi pada lembaga pendidikan
Islam sehingga beberapa pondok pesan- tren yang memberikan opsi biaya asrama.
Penulis berargumen komersialisasi dalam pendidikan Islam didorong oleh
perkembangan masyarakat muslim kelas menengah di perkotaan. Meskipun
melakukan komersialisasi, pesantren modern masih menganggap modal spiritual
sebagai hal yang penting. Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian yang
menggunakan metode kualitatif dengan studi kasus Pondok Pesantren Al-Adzkar,
Tangerang Selatan, Banten.

Abstract
In Indonesia, Islamic boarding schools has changed from a traditional boarding
sc- hool into a modern boarding school. Modern boarding schools customize its
label as “Islamic Modern Boarding School” to support a higher cost of
educational fees. Based on previous studies, there are findings on competition and
commercialization of Islamic educational institutions whereby many Islamic Boarding
Schools facilitates dormitories from Santris (Islamic Students). The author argues that
the development of middle class Muslims in cities have further supported the
commercialization of Is- lamic education. Even with the strong current of economic
commercialization, modern boarding school still maintains spiritual capital as an
important aspect of education. This article is written based on a qualitative research
in Pondok Pesantren Al-Adzkar, South Tangerang, Banten.

Keyword: boarding schools, commercialization in education, Islamic education,


modern muslim

PEN DA H U LUA N

Pondok pesantren merupakan institusi pendidikan keagamaan


yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia
yang dianggap sebagai bangsa yang religius. Jika dilihat dari aspek
kelembagaan, pesantren memiliki keunikan dibandingkan dengan
258 | R A H M A D A N I P U D J I A S T U T I

madrasah ataupun lembaga pendidikan keagamaan lainnya. Hal-


hal yang membedakan antara madrasah dan pondok pesantren
adalah pola tempat tinggalnya serta adanya sosok kiai dalam
pesantren yang disebut oleh Horikoshi (1987) sebagai cultural broker
karena perannya yang mampu menghubungkan berbagai hal yang
dianggap represen- tasi modernitas dengan institusi pesantren. Jika
madrasah merupakan lembaga pendidikan formal (klasikal) yang
menekuni bidang agama Islam dan memasukkan bidang umum
sekaligus, pesantren merupa- kan lembaga pendidikan berasrama
yang khusus mengajarkan ilmu-
-ilmu keagamaan (Kementerian Agama 2015). Munculnya
madrasah merupakan sebuah kritik terhadap pendidikan di
pondok pesantren (Azra 2012).
Keberadaan pesantren semakin meningkat dan berbagai variasi
pesantren bermunculan. Hal ini merupakan akibat dari munculnya
madrasah di lingkungan pondok pesantren. Berdasarkan data
yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Kementerian Agama pada tahun pelajaran 2014-2015 terdapat
28.961 pondok pe- santren di Indonesia. Dirjen Pendidikan Islam
Kementerian Agama membagi pondok pesantren berdasarkan
tipologinya yaitu pondok pe- santren yang hanya menyelenggarakan
kajian kitab sebanyak 13.904 (48,01%) dan pondok pesantren yang
menyelenggarakan Kajian Kitab dan Layanan Pendidikan lainnya
sebanyak 15.057 (51,99%) (Kemen- terian Agama 2015).
Pesantren pada masa lalu sangat menunjukkan kesederhanaannya.
Ada ciri khas yang menonjol dari institusi pendidikan pesantren
yaitu terdapat rasa ikhlas yang tercipta diantara para santri dan kiai.
Bentuk keikhlasan dari pondok pesantren dapat terlihat tidak
adanya pung- utan biaya dari pihak pesantren. Selain itu, tradisi
pesantren biasanya mengajarkan anak membaca Alquran dengan
lancar dan benar. Sete- lah itu mereka diajarkan untuk dapat
membaca dan menterjemahkan buku-buku Islam klasik yang
elementer yang ditulis dalam bahasa Arab. Setelah itu mereka
memperdalam bahasa Arab untuk dapat memperdalam buku-
buku tentang fiqh, ushul fiqh, hadits, adab, tafsir, sejarah, tasawuf
dan akhlak (Dhofier 1982).
Perubahan sosial seperti perkembangan teknologi mulai masuk da-
lam pesantren. Perubahan yang terjadi di antaranya, yang pertama
perubahan yang menyangkut bangunan atau kondisi fisik
pesantren ini. Kedua, perubahan yang berkaitan dengan cara
pengelolaan dan kepengasuhan teknis pesantren, yang awalnya

MASYAR AK AT Jurnal Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Juli 2017: 257-279


P E R U B A H A N P O N D O K P E S A N T R E N M O D E R N | 259
berasal dari bentuk

MASYAR AK AT Jurnal Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Juli 2017: 257-279


kepemimpinan personal kiai berubah menjadi bentuk pengelolaan
secara kolektif yang diwujudkan dalam bentuk yayasan. Ketiga,
ada- nya peningkatan jumlah program pendidikan di pesantren.
Keempat, perubahan yang berkaitan dengan keterbukaan pesantren
untuk me- nerima atau bersinggungan dengan ‘pengetahuan
praktis’ nonagama seperti ekstrakurikuler pesantren (Ma’shum
1998). Dengan demikian, ciri khas kesukarelaan yang ada di
pesantren mulai memudar dengan mulai membebani biaya untuk
memfasilitasi perubahan sosial yang terjadi. Kondisi tersebut
memungkinkan pesantren menjadi terkomer- sialisasi.
Perkembangan pondok pesantren semakin pesat pesat sejak Pondok
Pesantren Gontor melakukan perubahan sebagai pondok pesantren
modern dengan tekad untuk menjadi sebuah lembaga pendidikan
berkualitas dengan mengadopsi pembelajaran pada lembaga-lembaga
pendidikan internasional terkemuka (gontor.ac.id). Penelitian yang di-
lakukan oleh Chamid (2008) menemukan faktor yang
menyebabkan kurikulum di pesantren berubah ke arah modern
disebabkan faktor para kiai mulai sadar akan adanya perubahan
yang terjadi di Indo- nesia yang disebabkan arus modernisasi serta
sekularisasi yang masuk ke dalam seluruh kehidupan. Selain itu,
pesantren berusaha untuk mempertahankan kuantitas santrinya serta
mempertahankan eksisten- sinya di dunia pendidikan Islam. Hal
ini juga didukung oleh pene- litian Fikriyati (2007) bahwa
pesantren yang melakukan perubahan kearah modernitas
berpegang teguh pada prinsip “al-muhafadzatu ‘ala al-qodim wa al-
akhdzu bi al jadid al-ashlah” yaitu mempertahankan tradisi lama
yang baik dan menyerap hal baru yang baik pula.
Perubahan pondok pesantren ke arah yang modern ini dapat
dili- hat dari berbagai motif, di antaranya segi ekonomi di mana
lembaga ini berusaha mendapatkan keuntungan dari bisnis
pendidikan Islam yang modern. Pada kenyataannya dalam
penelitian yang dilakukan oleh Bakar (2012) memang ditemukan
kompetisi dan komersialisa- si pada lembaga pendidikan Islam.
Ada beberapa pondok pesantren saat ini memberikan opsi biaya
asrama mulai dari harga terendah hingga harga sekelas hotel.
Selain itu, dalam penelitian Taufiqqu- rohman (2010) menemukan
bahwa terdapat kesenjangan sosial pada lingkungan sekolah. Hal
tersebut terjadi karena habitus yang tercipta secara kapitalis dan
kompetitif. Hal ini terlihat jelas ada beda pro- gram sekolah yang
ditawarkan berdasarkan sarana dan fasilitasnya, yaitu kelas
unggulan dan kelas reguler. Hal tersebut tidak menjadi
sebuah persoalan karena menurut Bosetti (2004) pemilihan sekolah
anak yang dilakukan orangtua dalam mengambil keputusan
didasar- kan identitas kelas sosial yang dimilikinya agar tetap
terlihat. Hasil studinya menunjukkan bahwa sekolah swasta yang
bukan berbasiskan agama akan menarik siswa dari keluarga yang
berstatus sosial ekono- mi tinggi, sedangkan sekolah swasta yang
berbasiskan agama akan menjadi pilihan untuk siswa dari
keluarga yang berasal dari status sosial ekonomi yang rendah.
Berdasarkan studi-studi yang telah dijelaskan dapat
disimpulkan bahwa keberadaan pesantren cenderung mengalami
perubahan yang disebabkan oleh modernisasi dan komersialisasi.
Akan tetapi, penulis melihat selain modernisasi dan komersialisasi
ternyata ada modal aga- ma yang membuat keberadaan pesantren
modern ini hadir di perkota- an. Penulis setuju bahwa perubahan
pesantren ke arah modern dapat membantu memberikan citra
pesantren sebagai lembaga pendidikan yang berkualitas akan tetapi
hal ini memungkinan terjadinya komer- sialisasi dalam lembaga
pendidikan ini. Namun, penulis tidak setuju pada tulisan Bosetti,
karena pada konteks Indonesia di perkotaan, sekolah yang
berbasiskan agama cenderung diisi oleh masyarakat kelas atas. Oleh
karena itu, dalam studi ini penulis memiliki argumen yaitu dengan
berkembangnya masyarakat muslim kelas menengah di per- kotaan
mendorong komersialisasi dalam pendidikan Islam. Meskipun
melakukan komersialisasi, sebagai lembaga pendidikan Islam
pesan- tren modern masih menganggap modal spiritual sebagai hal
yang pen- ting. Pondok pesantren modern dapat berperan sebagai agen
sosialisasi dalam menciptakan identitas para santri menjadi muslim
modern.

M E TODE PE NEL I T I A N

Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian yang menggunakan


me- tode kualitatif untuk melihat perubahan pesantren di
perkotaan yang terjadi akibat adanya suatu fenomena yang dapat
menyebabkan suatu perubahan di masyarakat. Teknik
pengumpulan data pada studi ini dilakukan dengan cara observasi
langsung dan wawancara mendalam serta menggunakan data
sekunder untuk menambah informasi dari informan yang berguna
untuk menjawab dan mendukung argumen yang telah ditulis
peneliti. Teknik penentuan informan yang diguna- kan untuk
wawancara mendalam adalah teknik purposive, yang terdiri dari
Pengelola Yayasan (Kiai), Kepala Sekolah MTs, Kepala Sekolah
MA, Ustadz dan Ustadzah serta beberapa orangtua santri. Pondok
Pesantren Al- Adzkar yang berada di Jl. Pinang RT 02/014
Pamulang Timur, Tangerang Selatan 15417 ini dipilih sebagai
objek penelitian ini. Dalam penelitian ini, penulis melakukan
strategi validitas data dengan cara melakukan triangulasi data
untuk memvalidasi jawaban dari informan melalui analisa data
sekunder serta data primer yang dilakukan dengan melakukan
wawancara mendalam bersama infor- man lain.

KOM E R SI A L IS A SI PEN DI DI K A N,
MODA L AG A M A, DA N I DE N T
ITA S

Komersialisasi Pendidikan

Komersialisasi merupakan sesuatu yang berubah fungsi menjadi


barang yang didagangkan. Merujuk dari definisi komersialisasi itu bila
dikaitkan dengan pendidikan dapat diartikan pendidikan menjadi
barang dagangan. Menurut Friedman dan Hayek (dalam
Hartini, 2011) komersialisasi pendidikan merujuk pada suatu
keadaan pen- didikan yang berpegang pada masyarakat industri
dan selera pasar (market society).
Sedangkan menurut Kahar (2007) istilah komersialisasi
pendidik- an dapat diartikan ke dalam dua pengertian yang
berbeda. Pertama, komersialisasi pendidikan yang terjadi pada
lembaga pendidikan yang memiliki program serta perlengkapan
mahal, sehingga lembaga pen- didikan ini hanya dapat diakses
oleh kalangan menengah ke atas. Pemungutan biaya yang relatif
cukup mahal ini dipergunakan untuk memfasilitasi jasa pendidikan
dan penyediaan fasilitas teknologi, labo- ratorium dan perpustakaan,
serta pemberian gaji pada para guru atau dosen sesuai dengan
standar. Sisa anggaran yang diperoleh lembaga pendidikan ini,
biasanya ditanamkan kembali dalam bentuk infra- struktur
pendidikan. Kedua, komersialisasi pendidikan yang terjadi pada
lembaga pendidikan yang mementingkan uang saja, tanpa men-
jalankan kewajiban-kewajiban pendidikan yang seharusnya dilakukan.
Pada konteks ini, sisa anggaran yang diperoleh lembaga
pendidikan tidak ditanam kembali ke dalam infrastruktur
pendidikan, namun dipergunakan untuk memperkaya atau
menghidupi pihak-pihak yang terlibat dalam pelayanan di lembaga
tersebut.
Modal Agama

Kemunculan modal agama merupakan turunan dari pemikiran


sosiolog Pierre Bourdieu mengenai modal sosial dan modal buda-
ya. Dalam modal sosial Bourdieu (1992) mengatakan bahwa jumlah
sumber daya baik aktual maupun potensial akan berkembang pada
seorang individu atau kelompok karena kemampuan untuk
membuat sebuah jaringan yang dapat bertahan lama dalam
hubungan kelemba- gaan berdasarkan pada saling kenal dan saling
mengakui. Sehingga, individu akan terlihat memiliki prestise dan
harga diri sebagai ma- syarakat dermawan kaya dari
menyumbangkan dan berpartisipasi da- lam berbagai kegiatan amal,
sehingga koneksi dengan seseorang akan terjalin dengan mudah.
Sedangkan modal budaya Bourdieu (1984 dalam Verter 2003)
menjelaskan bahwa investasi merepresentasikan budaya masing-
masing individu. Individu cenderung akan menolak melakukan
migrasi atau beremigrasi, tidak hanya untuk melindungi modal
sosial, tetapi juga untuk melindungi budaya mereka.
Dalam ranah keagamaan Bourdieu beranggapan orang awam
me- miliki akses yang terbatas dalam memperoleh barang dan jasa
yang ditawarkan dalam agama yang dijadikan komoditas budaya
yang di- balut oleh agama. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, modal agama mengambil konsep modal budaya dan
mengaplikasikan reli- giusitas individu. Iannaccone (dalam Verter,
2003) juga menjelaskan mengenai modal spiritual mengenai
keterampilan dan pengalaman khusus mengenai agama seseorang
termasuk pengetahuan agama, ke- akraban dengan ritual dan doktrin
serta terdapat bonding yang kuat antara individu yang memeluk
agama yang sama.
Hefner (dalam Berger 2010) memperlakukan modal spiritual dan
modal agama sebagai sesuatu yang sama. Ia beranggapan bahwa
mo- dal spiritual itu muncul dalam berbagai bentuk sebagai
fitur orga- nisasi berbasis agama, termasuk jaringan, norma,
pegetahuan dan sosialisasi yang memiliki capaian tujuan tertentu.
Produksi massal modal spiritual ini disertai pula dengan
“kesalehan muslim” yang diciptakan untuk membantu seseorang
akan mengambil keputusan ke mana mereka akan menginvestasikan
modal spiritual mereka. Dengan kata lain, ketika organisasi
keagamaan menyediakan anggota yang berbagi kesamaan
emosional, memegang kepercayaan yang sama, dan praktek ritual
yang sama, organisasi dapat lebih efektif menghasilkan
komoditas beragama melalui modal agama (Stark dan Finke dalam
Finke 2003).

Identitas

Identitas sering menjadi sebuah persoalan, identitas sangat berkait-


an erat dengan ciri, simbol, karakter serta eksistensi. Richard
Jenkins (1996) berpendapat bahwa identitas merupakan sebuah
pengertian mengenai kita akan siapa kita, dan siapa orang lain
secara respirokal serta pemahaman orang lain akan diri mereka
sendiri dan orang lain. Identitas dapat menjadi sesuatu yang
dinegosiasikan dan dibentuk melalui proses interaksi manusia.
Sehingga identitas dapat terbentuk karena terdapat aktor yang
berusaha membuat orang lain melihat mereka sesuai dengan
yang diinginkan.
Shabestari (dalam Faraouki 2006) berpikir bahwa salah satu pen-
capaian yang paling signifikan dari modernitas adalah
meninggalkan dogmatisme. Sebelum muslim ditemui modernitas,
mau atau tidak mau mengadopsi prinsip epistemologis. Shabestari
berpendapat Islam teologi dan kosmologi pada umumnya obsesif
terhadap pertanyaan dari kebenaran tentang Tuhan, Nabi, dan
masa depan manusia di dunia ini.
Masyarakat muslim di Indonesia saat ini mulai berkembang se-
hingga menciptakan identitas pada kasus masyarakat kelas menengah.
Hal ini berkembang menjadi Islam populer yang menggabungkan
unsur Islam dan modernitas. Sejatinya, Islam Populer sendiri meru-
pakan modal kultural yang berusaha mengekspresikan muslim
kelas menengah pada relasi sosialnya. Modal kultural ini adalah
bentuk komersialisasi dan komodifikasi pada simbol religius di
komunitas muslim di Indonesia (Jati 2015). Islam populer
mengomodifikasi simbol islam karena adanya kapitalisasi industri
kepada sisi ketakwa- an masyarakat muslim di Indonesia. Pada
konteks ini para masya- rakat muslim modern berlomba-lomba
mencapai “kesalehan sosial” guna mengekspresikan identitasnya.
“Kesalehan sosial” ini merupa- kan perpaduan pemenuhan
kesenangan dan juga kepuasan individu. Sehingga, ibadah atau
kegiatan religius yang mereka lakukan tidak serta-merta dimaknai
secara teologis, tetapi juga sebagai sarana untuk melakukan
silaturahmi antar sesama muslim.
PE RU BA H A N PON DOK PE S A N T R E N DI I N DON E SI A

Pondok pesantren merupakan sebuah unit atau lembaga


pendidik- an tradisional Islam yang berusaha mengembangkan,
mempelajari, mendalami, memahami, menghayati serta mengamalkan
ajaran agama Islam secara integral, baik kognitif, afektif dan
psikomotorik dengan memegang teguh moral keagamaan sebagai
pedoman sehari-hari seca- ra efisien, karena adanya pengawasan
oleh kiai ataupun pembimbing selama 24 jam dengan pola
boarding/asrama (Mastuhu dalam Wid- yarini 2004; Ma’shum
1998).
Pendidikan yang diajarkan di pondok pesantren tidak serta-mer-
ta bertujuan untuk mendapatkan materi, kekuasaan dan
keagungan duniawi, tetapi dalam pondok pesantren juga berusaha
menanam- kan pada santri bahwa kegiatan belajar adalah sebuah
kewajiban dan pengabdian kepada Allah SWT. Menurut Dhofier
(1982) dalam buku tradisi pesantren, berargumen bahwa
pengetahuan seseorang dapat diukur berdasarkan jumlah buku
yang telah dipelajari sebelumnya dan dengan “ulama” yang
mana yang telah ia gurui.
Syarat pendirian pesantren sendiri ada lima yang menjadikan
se- bagai ciri khasnya di antaranya: (1) pondok/asrama (2)
masjid (3) pengajaran kitab-kitab klasik (4) santri dan (5) kiai.
Prasyarat ini membuat seseorang mudah mendirikan sebuah
pondok pesantren. Meskipun pondok pesantren tersebut belum di
daftarkan pada Ke- menterian Agama. Hal ini di dukung oleh hasil
wawancara dengan staff Kementerian Agama yang mengatakan
bahwa peraturan menge- nai pendirian pondok pesantren masih
lemah sehingga hal tersebut membuat pondok pesantren dapat
melakukan dengan mudah segala bentuk perkembangan dan
memiliki banyak variasi, karena peraturan yang ada di pondok
pesantren power dipegang penuh oleh sosok kiai yang ada di
pondok.
Keberadaan pesantren di Indonesia mengalami perkembangan
yang sangat pesat. Perkembangan yang terjadi ini membuat
keragam- an pondok pesantren semakin bervariasi. Pondok
pesantren telah ba- nyak melakukan perubahan. Perubahan tersebut
terjadi karena banyak kritik mengenai pondok pesantren tradisional,
sehingga pendidikan Islam melahirkan Madrasah dalam pesantren
sekitar tahun 1970-an yang dimulai dari Pondok Pesantren Gontor.
Sehingga santri tidak hanya mempelajari ilmu agama saja, tetapi
juga mempelajari ilmu pengetahuan umum.
Perubahan yang terjadi antara pondok pesantren tradisional dan
pondok pesantren modern sangat beragam. Diantaranya fisik
bangun- an pondok pesantren tradisional yang dulu dikenal reyot,
kini telah berubah menjadi tertata apik dengan bangunan yang
kokoh. Selain itu, perubahan yang berkaitan dengan cara
pengelolaan dan kepeng- asuhan teknis pesantren, yang awalnya
berasal dari bentuk kepemim- pinan personal kiai berubah menjadi
bentuk pengelolaan secara kolek- tif yang diwujudkan dalam
bentuk yayasan. Pada pondok pesantren tradisional santri
dibiasakan untuk mencuci baju sendiri, kini pondok pesantren
modern telah menyediakan jasa cuci laundry. Sistem pem- bayaran
pada pesantren tradisional tidak adanya pungutan biaya dari pihak
pesantren, hanya saja para santri bercocok tanam atau pun ber-
dagang kemudian hasilnya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan
mereka serta pembiayaan kehidupan di pondok pesantren. Sedangkan
sistem pembayaran pada pondok pesantren modern dilakukan
rutin setiap bulan dengan ditambah biaya laundry serta
ekstrakurikuler. Letak perbedaan penting antara sistem pendidikan
pondok pesantren tradisional dengan sistem pendidikan pondok
pesantren modern yang mulai dianut oleh Pondok Modern Gontor
adalah sistem klasikal yang terpimpin dan terorganisir dalam
bentuk tingkatan kelas yang harus diselesaikan dalam jangka
waktu tertentu.
Pondok pesantren modern tidak hanya berada di perkotaan saja,
namun di pedesaan juga terdapat pondok pesantren modern.
Umum- nya, pondok pesantren modern di pedesaan masih
memadukan sistem pengajaran tradisionalnya. Sistem pengajarannya
masih menggunakan sistem sorogan dan wetonan dalam mempelajari
kitab kuning namun terdapat pula pendidikan formalnya berupa
madrasah.
Sebagai pondok pesantren modern di perkotaan, Pondok pesan-
tren modern Al-Adzkar memiliki perbedaan dengan pondok pesantren
modern dipedesaan dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, pondok
pesantren modern Al-Adzkar memberlakukan 30% pengetahuan
aga- ma dan 70% pengetahuan umum dengan mengunggulkan
keduanya secara 100%. Panggilan untuk guru pada pondok
pesantren modern di pedesaan umumnya masih menyebut dengan
panggilan ustadz/ ustadzah, akan tetapi pada pondok pesantren
modern di perkotaan khususnya Pondok Pesantren Modern Al-
Adzkar saat ini memanggil guru dengan sebutan mr./miss.
Pondok pesantren modern merupakan salah satu wujud nyata
adanya modernisasi di bidang pendidikan. Pondok pesantren mo-
dern di perkotaan telah melakukan perubahan dengan
memfasilitasi santri dengan ekstrakurikuler berbasis teknologi
contohnya adalah aeromodelling. Tidak hanya mengoperasikan
aeromodelling tapi juga cara merakit aeromodelling itu sendiri. Pondok
pesantren modern juga cenderung menggunakan bahasa arab dan
bahasa inggris pada per- cakapan setiap harinya. Oleh karena
itu,Pesantren yang melabelkan Islamic Modern Boarding School
menunjukkan bahwa telah terjadi changing pattern of education
baik dari segi modal budaya maupun modal agama.

SEK I L A S PON DOK PE S A N T R E N MODE R N A L-A DZ K A R

Munculnya Pondok Pesantren Modern Al-Adzkar ini berawal


dari didirikannya TPA dan TK Islam Al-Adzkar. Kemudian
lembaga pen- didikan itu mengembangkan bisnisnya dengan
membuka SDIT dan kemudian MTs. Untuk mendirikan lembaga
tersebut diperlukan pe- ngelolaan berupa yayasan. Yayasan yang
didirikan merupakan sebuah yayasan keluarga. Pembina, pengawas
serta pengurusnya merupakan saudara sedarah dari pemilik
yayasan tersebut. Terdapat sembilan pengurus inti yang
merupakan bagian dari keluarga, sisanya meru- pakan kerabat
yang dekat dengan pemilik yayasan.
Pondok Pesantren Modern Al-Adzkar mulai berdiri sejak tahun
ajaran 2012/2013. Awalnya, gedung sekolah untuk tingkat MTs ma-
sih bergabung dengan gedung SDIT Al-Adzkar yang berada di Pa-
mulang Barat. Hal ini dikarenakan pada tahun pertama dan kedua
murid MTs masih sekitar 38 santri. Akan tetapi, saat tahun
ketiga murid MTs cenderung meningkat hingga 200 santri
sehingga se- luruh kegiatan belajar mengajar dipindah ke
gedung yang baru di Pamulang Timur. Pada tahun ajaran
2015/2016 Pondok Pesantren Modern Al-Adzkar mulai
mengembangkan lembaga pendidikannya dengan membuka
jenjang SMA. Sedangkan, jumlah guru yang ada pada pondok
pesantren ini sekitar 15-20 orang. Kualifikasi untuk tenaga
pendidiknya juga berdasarkan pemahaman agamanya yang baik,
aktif mengikuti kajian agama, dan berlatar pendidikan S1 sesuai
dengan bidangnya.
Kurikulum yang ada pada pesantren modern Al-Adzkar ini
adalah perpaduan antara kurikulum pendidikan Nasional dan
kurikulum pesantren yang dibagi menjadi tiga kategori, yaitu
Pendidikan umum dan keislaman, Pengembangan diri, serta
Kegiatan pembiasaan. Pon-
dok Pesantren Modern Al-Adzkar memiliki visi untuk
mewujudkan pesantren yang modern, unggul dalam ilmu agama
islam, pengeta- huan umum dan teknologi, serta mampu berbahasa
Arab dan Inggris untuk kegiatan komunikasinya. Untuk
mewujudkan visinya tersebut, pondok pesantren ini memiliki
misi ataupun cara untuk mencapai visinya yang dilakukan
dengan mengajarkan ilmu keislaman, penge- tahuan umum serta
teknologi secara seimbang; memfasilitasi pendi- dikan tahsin dan
tahfizh Al-Qur’an serta bahasa asing secara berke- lanjutan;
menanamkan cinta ibadah, akhlakul karimah, hidup secara
mandiri, sederhana dan disiplin; serta menjadi pondok pesantren
yang sehat, bersih, tertib dan nyaman.

KOM E R SI A L IS A SI PEN DI DI K
A N M E L A LU I MODA L AG A
MA

Mengacu pada argumen pertama penulis yang menyatakan bahwa,


komersialisasi dalam pendidikan Islam mendorong munculnya pesan-
tren modern. Perkembangan di zaman milenium ini menuntut
masya- rakat untuk mampu hidup dengan berbagai kecanggihan
teknologi, berwawasan global, serta berakhlak baik. Akan tetapi
secara sadar, masyarakat juga membutuhkan agama sebagai sarana
pendidikan agar seseorang mampu menjadi sosok yang berakhlak
baik, dan berlaku secara benar menurut ajaran dan
kepercayaannya.
Hal tersebut membuat permintaan masyarakat menjadi tinggi
ka- rena menjadi sosok yang modern dan unggul dalam keislaman.
Na- mun, keterbatasan pada sumber daya manusia yang paham
dan mam- pu mengajarkan ilmu pengetahuan umum, agama dan
perkembangan teknologi secara bersamaan. Sehingga orang
berlomba menciptakan lembaga pendidikan dengan pengetahuan
umum yang baik, agama yang baik dan teknologi. Salah satu
contoh dari lembaga pendidikan tersebut adalah Pondok
Pesantren Modern Al-Adzkar.
Keberadaan Pondok Pesantren Modern Al-Adzkar sangat mem-
bantu masyarakat perkotaan yang tengah dilanda kehampaan dan
membutuhkan agama sebagai penopang hidupnya. Oleh karena
itu, banyak orang tua yang menginginkan adanya lembaga
pendidikan untuk anak berbasis agama agar memiliki pegangan
dalam hidupnya.
Kalau menurut saya, ternyata kehidupan ini larinya ke agama,
itu sadar atau tidak sebenernya yang dicari adalah agamanya
.......................................................................................................... Saya
lebih pilih yang mempelajari keduanya itu (pengetahuan agama
dan pengetahuan umum), karena agama aja walaupun kita udah
paham ya kita berkewajiban juga, tapi ada juga yang mau
yang belajar agama saja karena gak ada orang yang pinter
agama itu menderita (Wawancara dengan Pak I, 28
November 2016)

Berdasarkan wawancara dengan informan I yang mengatakan bah-


wa secara tidak sadar saat ini orang sangat membutuhkan agama,
namun tidak tertinggal pula pengetahuan umumnya. Karena ia me-
rasa bahwa jika seseorang hidup berpegang teguh pada agama
tidak akan merasa menderita meski secara ekonomi menderita. Jika
diukur dari segi rohaninya mereka akan merasa bahagia dan selalu
merasa berkecukupan bila berpegang teguh pada agama.
Pengurus Yayasan Al-Adzkar juga memilih branding pondok pe-
santren modern karena pondok pesantren ini berada di masyarakat
perkotaan, sehingga ketika menjual dengan label tradisional tentu-
nya orang tua tidak akan memilih lembaga pendidikan ini
karena permintaan orang tua yang menginginkan anaknya unggul
dari segi agama dan segi pengetahuan umum juga. Dengan
menjual label mo- dernnya tentu fasilitas yang ditawarkan juga
sudah nyaman dan baik. Pesantren Al-Adzkar sendiri
menyediakan fasilitas cuci laundry, hal ini memudahkan agar anak
tidak lagi perlu mencuci pakaian sendiri. Terdapat pula cleaning
service, serta asisten dapur yang menyiapkan kebutuhan para
santrinya. Dengan demikian, orangtua pun akan me- rasa tenang
karena umumnya anak di perkotaan memiliki sifat yang manja dan
ketergantungan dengan orang lain.
Pondok pesantren modern Al-Adzkar juga menyediakan
berbagai fasilitas guna memenuhi kewajibannya sebagai lembaga
pendidikan. Terdapat program unggulan yang ditawarkan oleh
pondok pesantren ini diantaranya Pendidikan Formal MTs &
SMA pada program ini santri dibebankan biaya pendidikan SPP
sebesar Rp900.000 per bu- lannya; Tahsin Al-Qur’an pada program
ini santri dibimbing untuk menggunakan makhroj serta tajwid
dalam membaca ayat suci dengan baik dan benar; Tahfidz Al-
Qur’an (Reguler & Takhosus) pada pro- gram ini santri ditargetkan
mampu menghafal ayat suci Al-Quran se- tidaknya satu juz;
Pengajian Kitab Kuning yang berupa Tafsir, Hadist, Akhlak, dan
Fiqih; Pembiasaan berbahasa asing (Bahasa Inggris dan Bahasa
Arab) pada program ini anak dituntut berkomunikasi dengan siapa
pun di pondok pesantren menggunakan bahasa asing dengan
waktu selang seling semisal: minggu pertama full Bahasa Inggris,
minggu kedua full Bahasa Arab dan begitu seterusnya apabila
santri ada yang melanggar santri akan dikenakan hukuman pada
hari Sab- tu; Pembiasaan ibadah dan akhlaqulkarimah pada
program ini anak dituntut untuk melaksanakan sholat lima waktu
secara berjamaah dan tepat waktu apabila anak tidak melakukan
ibadah sholat anak akan diberikan sanksi; Life skill dan
Ekstrakulikuler pada program ini anak wajib mengikuti
ekstrakulikuler minimal tiga dari 15ekstrakulikuler yang ditawar
kan dalam pesantren; dan bimbingan belajar pada pro- gram ini
anak tidak diwajibkan mengikutinya namun pada program ini
diberi pilihan kelas yaitu kelas reguler dan private dengan range
harga yang berbeda.
Untuk program ekstrakurikuler sendiri terdiri dari Pramuka,
Mu- hadharah, Writing Club, Kaligrafi, Jamiyatul Qurro, Robotic,
Aero- modeling, Graphic Design, Marawis, Musik, Futsal,
Memanah, Bela Diri (Tifan Tsufuk), Tata Boga dan Tata Busana.
Biaya yang ditawar- kan setiap ekstrakurikulernya berbeda-beda,
harga untuk mengikuti ekstrakulikuler Robotic, Aeromodeling dan
Graphic Design anak di- bebankan biaya sekitar Rp 150.000 setiap
bulannya. Sedangkan un- tuk Bela Diri (Tifan Tsufuk) merupakan
ekstrakurikuler yang wajib diikuti setiap santri di pesantren
dengan membebankan biaya Rp.
30.000 setiap bulannya.
Tidak hanya memfasilitasi program dan kegiatan yang baik,
pon- dok pesantren juga berusaha menyediakan fasilitas berupa
sarana dan prasarana yang baik pada pesantren. Diantaranya terdapat
ruang kelas yang memadai, laboratorium IPA, Perpustakaan, Aula
yang cukup besar dan dormitory yang baik. Sedangkan masjid dan
lab komputer saat ini masih sedang dalam tahap proses
pembangunan.
Pengurus Yayasan Al-Adzkar yang menaungi TK, SDIT,
MTs, dan SMA ini berusaha memenuhi permintaan pasar agar
mengem- bangkan terus pendidikannya. Meski bukan untuk
mencari keun- tungan yang maksimal, yayasan ini melakukan
perputaran uang untuk mengembangkan pelayanan jasa
pendidikan yang diberikan. Hal ini mengindikasikan telah terjadi
komersialisasi dengan berori- entasi mengembangkan bisnis
pendidikannya. Biaya yang ditawarkan untuk setiap tingkatan pun
berbeda. MTs dan SMA yang memiliki induk pesantren mematok
biaya pada tahun ajaran 2016/2017 sebesar Rp9.500.000 untuk MTs
dan Rp 6.500.000 untuk SMA. Sedang- kan untuk tahun ajaran
2017/2018 sendiri mengalami kenaikan harga menjadi
Rp10.000.000 untuk MTs dan Rp 7.000.000 untuk SMA.
270 | R A H M A D A N I P U D J I A S T U T I

Pondok pesantren ini mengalami kenaikan harga sekitar Rp500.000


setiap tahunnya, namun kenaikan harga tersebut juga disesuaikan
dengan harga kebutuhan hidup para santrinya di pondok.
Harga tersebut dibayarkan ketika santri telah mengikuti
serangkai- an tes dan dinyatakan lulus menjalankan test tersebut.
Serangkaian test tersebut meliput psikotes dan matematika,
membaca Al-Qur’an dan praktik salat, kemampuan menghafal Al-
Qur’an, serta wawancara dengan calon santri dan orang tua.
Wawancara tersebut meliputi ke- sungguhan anak dan orangtua,
mengenai kehidupan pesantren dan memberikan kemungkinan
terburuk saat anak telah dinyatakan lu- lus masuk ke pesantren.
Namun anak tidak mampu melanjutkan di pondok, tentu orangtua
akan mengeluarkan uang yang lebih untuk mencari sekolah yang
baru. Pendaftaran untuk santri dilakukan mulai bulan Januari dan
dibuka hingga tiga gelombang.
Pondok pesantren ini juga berencana ingin membentuk
sebuah nirlaba seperti yang dilakukan pada pondok pesantren
modern yang telah memiliki nama besar berkat kiainya. Akan
tetapi berdasarkan wawancara dengan informan L untuk saat ini
Yayasan Al-Adzkar masih ingin fokus untuk mengembangkan
pendidikannya.

Kalo membentuk nirlaba kalo disini sih belum sampe kesitu, pe-
ngennya sih iya tapi fokus ke pendidikannya dulu deh
(Wawancara dengan L, 20 Oktober 2016)

Tapi gatau juga kedepannya gimana, kalau ada investor yang


mau ya silahkan. kalau untuk perguruan tinggi kan beda
pengelolaan- nya juga berbeda karena kan kalau perguruan
tinggi itu kan per jurusan, per fakultas kan.. dan kalau mau
mendirikannya minimal ada 3-4 fakultas (Wawancara dengan
A, 11 Agustus 2016)

Hal ini juga didukung oleh wawancara dengan A sebagai


pengelola yayasan untuk saat ini ia berencana untuk
mengembangkan lembaga pendidikannya hingga tingkat
perguruan tinggi. Sehingga Yayasan Al-Adzkar ini dimungkinkan
akan terus berkembang ke depannya.
Berdasarkan penjelasan mengenai biaya yang harus
dikeluarkan oleh orangtua yang cukup banyak, menunjukkan
bahwa lembaga pen- didikan ini ditawarkan untuk masyarakat
kelas menengah ke atas karena berdasarkan wawancara dengan
MASYAR AK AT Jurnal Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Juli 2017: 257-279
P E R U B A H A N P O N D O K P E S A N T R E N M O D E R N | 271
informan E dan Y penda- patan yang diperoleh orangtua santri
berkisar Rp10.000.000 hingga Rp15.000.000 per bulannya.

MASYAR AK AT Jurnal Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Juli 2017: 257-279


namanya juga pegawai negeri orang bisa ngitung kan. golongan
4A berapa ya kan.. dengan tambah sertifikasi ya sekitar 8 jutaan
tante doang belom ditambah om sih itu.. ya kalo digabung
mah bisa 15 jutaan lebih lah ya (Wawancara dengan E., 11
Agustus 2016)

ya menengah.. kalo bawahkan masih banyak yang lebih


keku- rangan dibawah kita, kalo ataskan juga kayaknya kita
mah engga, mungkin abi tidak tinggal disini. hehe ya lebih
dari 10 juta lah perbulannya mah. (Wawancara dengan Y., 22
Oktober 2016)

Meskipun terdapat pula beasiswa dan kompensasi yang diper-


untukkan masyarakat kelas menengah ke bawah. Pada saat waktu
menjenguk dan penjemputan santri yang dilakukan setiap minggu-
nya, banyak orangtua santri yang menggunakan kendaraan
bermotor baik roda dua maupun roda empat milik pribadi.
Kemudian, setiap minggunya juga lahan parkir yang disediakan
oleh Pondok Pesantren Modern Al-Adzkar selalu penuh.
Berkaitan yang dikatakan oleh Friedman dan Hayek (2008)
ko- mersialisasi pendidikan merujuk pada suatu keadaan pendidikan
yang berpegang pada masyarakat industri dan selera pasar (market
society). Sehingga tidak heran terjadi kapitalisasi pada dunia
pendidikan kare- na permintaan pasar yang juga cukup tinggi
namun sumber daya ma- nusia yang memenuhi kualifikasi agar
terciptanya santri yang unggul pada bidang agama dan
pengetahuan umum masih terbatas.
Kapitalisme pendidikan akan melahirkan komersialisasi pendidik-
an. Menurut Kahar (2007) komersialisasi pendidikan dapat
terjadi pada lembaga pendidikan yang memiliki program dan
perlengkapan mahal, sehingga hanya dapat diakses oleh masyarakat
kelas menengah ke atas. Sisa anggaran yang diperoleh lembaga
pendidikan ini, bia- sanya ditanamkan kembali dalam bentuk
infrastruktur pendidikan. Pada Pondok Pesantren Al-Adzkar
memang memungut biaya pendaf- taran, akan tetapi tidak serta-
merta mengabaikan kewajiban pendi- dikannya. Biaya yang
diminta oleh pesantren pun digunakan untuk memfasilitasi
kegiatan santri di pondok. Komersial pendidikan yang terlihat dari
pondok pesantren ini mengacu pada program serta fasi- litas yang
modern serta cukup mahal. Selain itu, terbukti juga dari
observasi yang dilakukan, Pesantren Al-Adzkar berdiri dari
sebuah yayasan Al-Adzkar yang memiliki TK Islam, SD Islam,
MTs, dan SMA hal ini merupakan hasil dari perputaran uang yang
dilakukan
oleh pihak yayasan guna mengembangkan lembaga pendidikannya
dan perbaikan infrastrukturnya, serta tidak menutup kemungkinan
akan mendirikan Sekolah Tinggi ataupun Institut.
Menurut Hefner (dalam Berger 2010) modal spiritual/modal
agama itu muncul dalam berbagai bentuk sebagai fitur organisasi
berbasis agama, termasuk jaringan, norma, pengetahuan dan
sosialisasi yang memiliki capaian tujuan tertentu. Produksi massal
modal spiritual ini disertai pula dengan “kesalehan muslim” yang
diciptakan untuk membantu seseorang akan mengambil keputusan
ke mana mereka akan menginvestasikan modal spiritual mereka.
Hal ini sejalan de- ngan modal agama yang dimiliki lembaga
pesantren modern yang berusaha menawarkan pengetahuan
ibadah dan pengetahuan umum secara beriringan serta ustadz yang
memiliki kharismatik menjadi daya tarik orang tua santri
menyekolahkan di pondok pesantren modern.
Melihat pemikiran Friedman dan Hayek (2008), Kahar (2007)
dan Hafner (dalam Berger 2010) dapat disimpulkan komersialisasi
yang terjadi dalam Pondok pesantren ini dapat terlihat dari temuan
yang menggambarkan pengembangan lembaga pendidikan yang
ter- jadi karena permintaan pasar, penyediaan program dan fasilitas
yang baik di lembaga pendidikan serta terbatasnya SDM yang
mampu dan paham mengenai agama. Sehingga modal agama
tersebut mampu mendorong pondok pesantren melakukan
komersialisasi. Komersiali- sasi ini juga dikarenakan untuk
memfasilitasi program dan kegiatan untuk santrinya, dan harga
yang ditawarkan cukup mahal membuat pondok pesantren ini
hanya bisa diakses oleh masyarakat ekonomi kelas menengah ke
atas.

I DE N T I TA S M USL I M MODE R N

Mengacu pada argumen penulis yang kedua, pondok pesantren


modern dapat berperan sebagai agen sosialisasi dalam
menciptakan identitas para santri menjadi muslim modern. Hal ini
berkaitan de- ngan komersialisasi pada pondok pesantren yang
terdorong karena adanya modal agama. Pondok pesantren yang
modern ini berhasil memadukan antara modal agama dan modal
budaya agar mencipta- kan muslim yang modern.
Variasi dalam pondok pesantren yang beragam, membuat sosialisasi
yang diberikan di setiap variasi berbeda-beda. Jika dilihat berdasarkan
kurikulum yang diajarkan pada pondok pesantren tradisional
hanya
mensosialisasikan dan mengajarkan ilmu agama saja. Sedangkan pada
pondok pesantren modern di pedesaan sudah mulai berubah
dengan memasukkan kurikulum nasional yang memadukan antara
pengeta- huan agama serta pengetahuan umum dengan metode
klasikal. Pada Pondok Pesantren Al-Adzkar sebagai pondok
pesantren modern di perkotaan juga mensosialisasikan seperti
pondok pesantren modern di pedesaan, akan tetapi pada Pondok
Pesantren Modern Al-Adzkar lebih menekankan pada
pengetahuan umumnya.
Sosialisasi dalam sebutan panggilan guru pada pondok pesan-
trenpun beragam. Pada pondok pesantren tradisional dan modern
di pedesaan memanggil guru dengan sebutan kiai atau ustad dan
ustadzah, sedangkan pada pondok pesantren modern di perkotaan
seperti Al-Adzkar menggunakan panggilan mr. dan miss. Dari
perbe- daan tersebut terlihat terdapat adanya hirarki yang kuat
pada pondok pesantren tradisional dan modern di pedesaan di
mana seorang kiai memiliki otoritas yang kuat. Terdapat pula
keterikatan antara kiai dan santri sangat kuat, hal ini
dikarenakan santri merasa memiliki hutang budi kepada kiai
yang menjadikan santri tersebut senantiasa terus mendoakan
kiainya. Namun pada pondok pesantren Al-Adzkar tidak
menerapkan hal serupa sehingga santri tidak dituntut untuk patuh
dan berperilaku sopan kepada kiai. Hal ini juga diutarakan
oleh kiai atau pengelola yayasan pondok Al-Adzkar.

... agak berbeda dengan di pesantren pada umumnya,


mungkin kalo dipesantren yang mungkin lebih fokus mendidik
agamanya, mungkin mereka tahzim atau hormat kepada guru
itu sangat san- tun, mungkin kalau di sini ya biasa-biasa saja,
yang penting mah mereka tidak ngelunjaklah (Wawancara
dengan A, pada 9 Desem- ber 2016 pukul 16.20)

Selain itu, dengan adanya perbedaan panggilan guru antara


pon- dok pesantren tradisional dan modern yang berada di
perkotaan ini juga mencerminkan bahwa panggilan ustad/ustadzah
yang ada di pe- santren tradisional dan modern di pedesaan
menggambarkan bahwa santri yang berada pada pondok pesantren
itu berasal dari masyarakat kelas menengah ke bawah. Sedangkan,
panggilan mr./miss. yang ada pada pondok pesantren modern di
perkotaan ini menggambarkan bahwa pesantren yang seperti itu
diperuntukkan masyarakat kelas menengah ke atas seperti yang
ada pada Pondok Pesantren Al-Adzkar.
Para orangtua santri banyak yang mengharapkan output dari
sang anak setelah lulus dari pondok pesantren modern ini dapat
menjadi sosok pribadi yang cerdas dan sholehah, serta mampu
bersaing untuk memasuki ke jenjang berikutnya karena
pengetahuan umumnya ada dan pengetahuan agamanya juga ada
jadi terdepan. Selain itu orang tua juga berharap bahwa anaknya
dapat memberikan warna Islamic pada masyarakat sekitarnya.
Selain itu, dari pihak pengelola yayasan juga mengharapkan
out- put dari santrinya menjadi sosok yang memiliki pengetahuan
baik umum ataupun agama secara seimbang. Mampu menghafal
beberapa juz dari Al-Quran, yang juga dipadukan memiliki
kemampuan ke- cakapan berbahasa Arab dan Inggris, serta sholeh
dari segi perilaku dan akhlaknya.

Mungkin identitas yang akan terbentuk adalah orang islam


yang cerdas, sholeh, dan sebagai pejuang islam. bukan cerdas
saja, bu- kan sekedar baik saja, tapi dia cerdas dari segi ilmu
pengetahu- annya, kemudian sholeh dari segi perilakunya, dan
semangatnya sebagai pejuang muslim. punya semangat islam
yang tinggi. Se- hingga menjadi muslim yang modern. Hal ini
berkaitan dengan motto kita cerdas, sholeh, dan berwawasan
global. karena kita mah pengen orang islam begitu semuanya,
bukan cerdas saja tapi gak soleh, atau modern banget tapi gak
soleh, atau sholeh tapi wawas- annya sempit, atau soleh, cerdas,
tapi hanya untuk kelompoknya saja, jadi gak begitu. kita mah
pengennya cerdas, soleh, berwawas- an global. (Wawancara
dengan A pada 9 Desember 2016)

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola yayasan


bahwa identitas yang akan terbentuk setelah lulus dari pondok
pesantren ini santri mampu menjadi seorang muslim yang cerdas,
sholeh, dan sebagai pejuang islam. Bukan hanya cerdas saja, bukan
sekedar bera- khlak baik saja, namun menjadi cerdas dari segi ilmu
pengetahuannya dan sholeh dari segi perilakunya, dan
semangatnya sebagai pejuang muslim. Sehingga dapat dikatakan
menjadi sosok muslim yang mo- dern. Hal ini berkaitan juga
dengan motto Pondok Pesantren Mo- dern Al-Adzkar yaitu cerdas,
sholeh, dan berwawasan global. Sehingga Pondok Pesantren Modern
Al-Adzkar memiliki cita-cita menjadikan santri yang cerdas,
soleh, berwawasan global.
Dalam menciptakan identitas tersebut, Pondok Pesantren
Mo- dern Al-Adzkar melakukan pendisiplinan belajar kepada
anak hal ini terlihat dariprestasi yang diraih oleh Pondok Pesantren
Modern Al-Adzkar dalam integritas melaksanakan Ujian Nasional,
selain itu terdapat santri yang memiliki nilai Ujian Nasional
Tertinggi ke-2 Se Provinsi Banten. Kemudian Pondok Pesantren Al-
Adzkar berusa- ha menanamkan serta melakukan metode
pendidikan sesuai dengan perkembangan zaman sehingga santri
tidak mengunci dan menutup mata, tidak menutup diri terhadap
perkembangan di dunia pendidik- an. Selanjutnya yang berkaitan
dengan wawasan globalnya, Pondok Pesantren Al-Adzkar
berusaha membiasakan anak-anak berpikiran seluas-luasnya. Selain
itu, terkait dengan kesolehannya Pondok Pesan- tren Modern Al-
Adzkar mendidik pula secara rukiyah, solatnya lima waktu dan
beribadah dengan tepat.
Berkaitan dengan jadwal kegiatan santri yang dilakukan setiap
harinya, kegiatan yang dilakukan berusaha menjadi sosok muslim
yang taat beragama hal ini terlihat dari banyaknya jadwal kegiatan
keagamaan yang dilakukan rutin setiap harinya. Selain itu,
berusaha menjadi modern dengan mengaplikasikan berbicara
bahasa asing se- tiap harinya. Hal ini mampu menjadikan santri Al-
Adzkar menjadi sosok muslim modern.
Tabel 1. Jadwal Kegiatan Santri
Pukul Kegiatan
03.30- 04.15 Bangun tidur, Tahajud dan Persiapan sholat subuh
04.10-04.50 Shalat Subuh & Membaca Al Ma’tsurat
04.50-05.50 Tahsin dan Tahfidz Al-Qur’an
05.50-07.00 Mandi dan Sarapan pagi
07.00-07.20 Tilawah bersama atau English Morning
07.20-14.10 Kegiatan belajar mengajar
sekolah 14.10-15.00 Istirahat
15.10-15.30 Shalat Ashar
15.30-17.00 Kegiatan pribadi, olahraga atau
ekskul 17.00-18.00 Mandi dan Makan
18.00-19.15 Shalat Magrib, Tahsin dan Tahfidz Al-Qur’an
19.15-20.00 Shalat Isya
20.00-21.00 Belajar Mandiri Pelajaran Sekolah
21.30-03.30 Tidur
Sumber: Kalender Kegiatan Santri Pondok Pesantren Modern Al-Adzkar 2017

Akan tetapi keberadaan Pondok Pesantren Modern Al-Adzkar yang


memberikan pelayanan dengan fasilitas yang memadai, adanya asisten
dapur, laundry, serta cleaning service menjadikan anak tidak
mandiri. Selain itu, penjengukan yang dilakukan orang tua setiap
minggu juga membuat anak menjadi kurang terlatih untuk
menjadi sosok yang mandiri. Hal ini sangat berbeda dengan
pondok pesantren yang ada di pedesaan yang menuntut anak
supaya mandiri dengan mencuci pakaian sendiri, menanak nasi
sendiri, memasak sendiri, serta tidak dilakukan penjengukan
setiap minggunya.
Richard Jenkins (1996) berpendapat bahwa identitas merupakan
sebuah pengertian mengenai kita akan siapa kita, dan siapa orang
lain secara respirokal serta pemahaman orang lain akan diri mereka
sendiri dan orang lain. Identitas dapat menjadi sesuatu yang
dinegoisasikan dan dibentuk melalui proses interaksi manusia.
Sehingga identitas dapat terbentuk karena terdapat aktor yang
berusaha membuat orang- lain melihat mereka sesuai dengan yang
diinginkan. Orangtua sebagai aktor berusaha menciptakan identitas
untuk anaknya sesuai dengan yang mereka inginkan yaitu menjadi
sosok muslim yang modern, sehingga pesantren sebagai lembaga
pendidikan berusaha memfasi- litasi menjadi aktor untuk
mensosialisasikan. Kemudian santri yang mampu menghafalkan
Al-Quran, cakap dalam berbahasa asing serta berwawasan global
dapat menjadikan santri menggunakan identitas muslim modern
di masyarakat.
Selain itu, masyarakat muslim modern berlomba-lomba
mencapai “kesalehan sosial” guna mengekspresikan identitasnya.
Anak yang te- lah memiliki label “Kesalehan sosial” ini merupakan
perpaduan pe- menuhan kesenangan untuk orangtua dan juga
kepuasan individu. Sehingga, ibadah atau kegiatan religius yang
mereka lakukan tidak serta-merta dimaknai secara teologis, tetapi
juga sebagai sarana untuk melakukan silaturahmi antar sesama
muslim.

K E SI M PU L A N

Berdasarkan temuan-temuan di atas, dapat disimpulkan bahwa


biaya kehidupan di perkotaan yang mahal memaksa kehidupan
seko- lah yang berada di perkotaan menjadi mahal juga. Dengan
demikian, masyarakat muslim kelas menengah ke atas pun semakin
berkembang dan mendorong komersialisasi dalam pendidikan Islam.
Komersialisasi ini tidak hanya terjadi pada pondok pesantren
tetapi pada sekolah berbasis agama lainnya. Hal ini dikarenakan
masyarakat perkotaan dengan status sosial ekonomi menengah ke
atas membutuhkan suatu
pendidikan yang modern, lengkap, profesional namun tidak
mening- galkan pula modal spiritual/agamanya. Dari temuan yang
menggam- barkan pengembangan lembaga pendidikan yang terjadi
dikarenakan permintaan pasar, penyediaan program dan fasilitas
yang baik di lem- baga pendidikan serta terbatasnya SDM yang
mampu dan paham mengenai agama. Sehingga, kehidupan
masyarakat perkotaan yang mendorong kelas menengah ke atas
untuk mendapatkan pendidikan yang baik berupa pengetahuan
umum dan pengetahuan agama yang berada dalam pesantren
sehingga mendorong munculnya pondok pe- santren modern pada
lembaga pendidikan.
Berkaitan dengan pernyataan Fikriyati (2007) mengenai “al-
muha- fadzatu ‘ala al-qodim wa al-akhdzu bi al jadid al-ashlah” yaitu
mem- pertahankan tradisi lama yang baik dan menyerap hal
baru yang baik pula. Pengelola yayasan Al-Adzkar berusaha
mendirikan pondok pesantren dengan mempertahankan tradisi
lama yang baik dan me- nyerap hal baru yang baik pula, akan
tetapi pada kenyataannya pem- belajaran pengetahuan umum lebih
tekankan pada pondok pesantren ini. Sehingga terkesan menjual
brand pondok pesantren, karena bila tidak memunculkan segi
agamanya maka layanan jasa pendidikan ini tidak menjual kepada
sebagian orangtua menengah kelas atas yang merasa butuh untuk
anaknya mempelajari ilmu agama dan pengeta- huan umum
secara bersamaan. Hal ini pula berkaitan dengan per- nyataan
Hefner mengenai menjadikan sosok anak yang soleh melalui
modal spiritual yang diinvestasikan oleh orangtua.
Masyarakat muslim di Indonesia saat ini mulai berkembang se-
hingga menciptakan identitas pada kasus masyarakat kelas menengah
ke atas yang ada di pondok pesantren. Para orang tua santri
berupaya menjadikan anak sebagai sosok muslim modern yang
tercermin dalam kesalehannya. Kesalehan yang tercermin pada anak
serta pengetahuan umum yang baik merupakan hasil sosialisasi
yang ada di pondok pesantren berkaitan dengan modal spiritual
yang diajarkan oleh pon- dok pesantren modern. Namun, sisi
kemandirian yang dipelajari pada pondok pesantren modern
terlihat pudar karena nilai sosialisasi yang diberikan berbeda,
seperti kegiatan mencuci dan masak telah dise- diakan oleh asisten
dapur dan cleaning service, sehingga keberadaan Islamic Modern
Boarding School kurang menciptakan anak sebagai sosok yang
mandiri.
DA F TA R PUS TA K A

Azra, Azyumardi. 2012. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi


di Tengah Tantangan Milenium III. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group
Bakar, M. Yunus. 2012. “Pengaruh Paham Liberaalisme dan
Neolibe- ralisme Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia.”
Jurnal Tsaqafah 8(1):
Berger, Peter L and Redding, Gordon. 2010. The Hidden Form of Ca-
pital: Spiritual Influences in Societal Progress. London: Anthem Press
Bosetti, Lynn. 2004. Determinants of School Choice: Understanding
How Parents Choose Elementary Schools in Alberta. Journal of Edu-
cation Policy 19.
Bourdieu, P. And Wacquant, L. 1992. An Invitation to Reflexive
So- ciology. Chicago: University of Chingango
Chamid, Abu. 2008. Transformasi Kurikulum Pesantren Studi
Kasus: Pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak. Semarang: Institut
Agama Islam Negeri Walisongo
Creswell, John W. 2002. Research Design: Qualitative, Quantitative,
and Mixed Methods Approaches. 2nd ed. California: Sage
Publica- tions.
Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren: Studi Tentang
Pan- dangan Hidup Kiai: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai.
Jakarta: LP3ES.
Farouki, Suha Taji. 2006. Modern Muslim Intellectuals and The
Qur’an. London: Oxford University Press
Fikriyati, Umi Najikhah. 2007. Tradisi Pesantren di Tengah
Perubah- an Sosial Studi Kasus: Pondok Pesantren Al-Munawwir
Krapyak Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta
Finke, Roger. 2003. Spiritual Capital: Definitions, Applications, and
New Frontiers. Penn State University.
Hartini, Dwi. 2011. Komersialisasi Pendidikan di Era
Globalisasi. (Studi Kasus Tentang Persepsi Masyarakat terhadap
Kuasa Modal dalam Dunia Pendidikan di Kelurahan Jebres,
Surakarta. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan IImu
Pendidikan, Universitas Sebelas Maret.
Jati, Wasisto Raharjo. 2015. “Islam Populer Sebagai Pencarian
Iden- titas Muslim Kelas Menengah Indonesia.” Jurnal
Tasawuf dan Pe- mikiran Islam 5(1):139-163
Jenkins, Richard. 1996. Social Identity. London: Routledge.
Kahar, Irawaty. 2007. “Komersialisasi Pendidikan di Indonesia:
Suatu Tinjauan dari Aspek Politik, Ekonomi, Sosial, dan
Budaya.” Jurnal Ragam 11(23):49-53
Kementerian Agama RI. (2015). Kumpulan Peraturan Perundang-
-Undangan Pendidikan Keagaman Islam. Direktorat Pendidikan Di-
niyah dan Pondok Pesantren: Direktorat Jendral Pendidikan
Islam.
___________. (2015). Statistik Pendidikan Islam Tahun Pelajaran
2014/2015. Bagian Perencanaan dan Sistem Informasi: Sekretariat
Direktorat Jendral Pendidikan Islam.
Ma’shum, Saifullah. 1998. Dinamika Pesantren: Telaah Kritis
Keber- adaan Pesantren Saat ini. Depok: Yayasan Islam al-
Hamidiyah.
Neuman, W. L. 2006. Social Research Methods: Qualitative And Qu-
antitative Approaches. Boston: Pearson/AandB.
Taufiqqurahman. 2010. Sekolah Elite Sebagai Alat Reproduksi
Kesen- jangan Sosial: Studi terhadap Proses Reproduksi
Kesenjangan Sosial di Lingkungan Internal Sekolah Dasar
Muhammadiyah Sapen, Yog- yakarta. Yogyakarta: Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga
Verter, Bradford. 2003. Spiritual Capital: Theorizing Religion with
Bo- urdieu Against Bourdieu.
Widyarini. 2004. “Pengaruh Persepsi Biaya, Lokasi, Fasilitas, Ling-
kungan, Figur Pengasuh, dan metode Belajar Terhadap Kepuasan
Santri Tinggal di Pondok Pesantren.” Jurnal Az Zarqa’ 6(1):37-65
“Latar Belakang Berdirinya Pondok Gontor” http://www.gontor.ac.id/
latar-belakang, diakses pada 27 September 20016 pukul 12.34

Anda mungkin juga menyukai