Anda di halaman 1dari 20

Jurnal Hukum & Pembangunan 47 No.

4 (2017): 477-496
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)

MEMBANGUN TRANSPARANSI PENGADAAN BARANG DAN JASA


MELALUI PENINGKATAN PERAN ICT DALAM MEREDUKSI
KORUPSI

Sabrina Dyah Nayabarani*

* Mahasiswa Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM


Korespondensi: nayabarani@gmail.com
Naskah dikirim: 9 Maret 2017
Naskah diterima untuk diterbitkan: 7 Juni 2017

Abstract
Corruption in goods and services procurement is one of the most frequent
corruption in Indonesia. So, this article discuss about the role of information
communication and technology (ICT) and its mechanism for improving
transparency as an effort to prevent corruption. This study apply descriptive
method, literature review, and analysis the research which have been done by
preceding researcher. This article conclude that ICT is statistically significant
for reducing corruption, but the implementation of that system should be
needed further evaluation. There are some important things which need more
evaluation, such as: sufficiency of skilled worker for operating e-procurement,
user support, stakeholders involvement, ICT infrastructure, institutional
setting, and social community background.
Keywords: e-procurement, transparency, corruption

Abstrak
Korupsi pengadaan barang dan jasa merupakan salah satu korupsi yang paling
sering terjadi di Indonesia. Dalam artikel ini membahas mengenai peran sistem
ICT serta mekanismenya dalam meningkatkan transparansi sebagai upaya
mencegah terjadinya korupsi. Penulisan artikel ini menggunakan metode
deskriptif, tinjauan pustaka, dan menganalisis eksperimen yang telah dilakukan
oleh peneliti terdahulu. Kesimpulan dalam artikel ini adalah penggunaan ICT
terbukti secara statistik signifikan dalam mendukung upaya meminimalisir
korupsi, namun implementasinya perlu dievaluasi lebih lanjut. Terdapat
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya mendukung terlaksananya
e-procurement, diantaranya perlu adanya tenaga yang terampil dalam
menjalankan e-procurement, dukungan dari pengguna layanan, keterlibatan
peran stakeholder, infrastruktur ICT yang memadai, kondisi institusi yang
mendukung, serta latar belakang sosial masyarakat.
Kata kunci: e-procurement, transparan, korupsi

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id


DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol47.no4.1586
Membangun Transparansi Pengadaan Barang, Sabrina Dyah Nayabarani 478

I. Pendahuluan

Dalam beberapa tahun terakhir ini transparansi merupakan suatu kondisi


yang diperlukan untuk mencapai kualitas pemerintahan yang lebih baik,
terutama dalam meningkatkan akuntabilitas dan meminimalisir lingkup
terjadinya korupsi. Korupsi tersebut dapat bersumber dari birokrasi maupun
institusi politik. Sementara efek dari adanya korupsi terhadap pembangunan
berbeda-beda di setiap negara tergantung kondisi negara tersebut. Namun yang
jelas korupsi akan merugikan keuangan negara yang seharusnya dapat
digunakan untuk membiayai sektor-sektor penunjang pembangunan, seperti
pada sektor kesehatan, pendidikan, olahraga, maupun infrastruktur. Hal
tersebut dibuktikan dengan kajian yang dilakukan oleh Pradiptyo dkk
mengenai potensi alokasi dana korupsi di Indonesia. Dalam kajian tersebut
disebutkan bahwa apabila negara tidak mengalami kerugian akibat adanya
korupsi, maka dana yang ada dapat digunakan untuk: pembangunan 600 rumah
sakit standar internasional, meluluskan 182.000 magister luar negeri atau
45.500 doktor luar negeri, pembangunan jalan tol sepanjang lebih dari 10.000
km, maupun pembangunan 182 stadion sepakbola standar internasional.1
Terdapat beberapa macam tindak pidana korupsi berdasarkan jenis
perkara yang ditangani oleh KPK, diantaranya: penyuapan, pengadaan
barang/jasa, penyalahgunaan anggaran, perijinan, pungutan, TPPU, serta
perkara yang merintangi proses KPK. Menurut data KPK, penyuapan dan
pengadaan barang/jasa merupakan jenis perkara korupsi yang paling banyak
ditangani oleh KPK selama kurun waktu tahun 2004 hingga bulan Agustus
2016 (Diagram 1).
Berdasarkan perhitungan KPK, jumlah kerugian keuangan negara dari
kasus pengadaan barang/jasa (PBJ) mencapai hampir 1 triliun rupiah. Survey
yang dilakukan IPW pun menunjukkan bahwa +/- 93% pengusaha menyuap
agar menang tender proyek pengadaan barang/jasa. Total nilai proyek dari 97
perkara tender tersebut adalah sebesar 12,35 triliun yang merupakan gabungan
dari proyek swasta, BUMN, APBN, dan APBD.2
Kajian KPK menemukan bahwa tingginya korupsi PBJ disebabkan mulai
tahap perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan, hingga tahap pengawasan.
Permasalahan yang terjadi di tahap awal terutama dikarenakan proses
perencanaan yang tidak transparan yang berimplikasi pada tidak termonitornya
besaran dan realisasi jumlah anggaran pengadaan barang dan jasa di Indonesia
serta tidak terdeteksinya penyimpangan perencanaan PBJ secara dini.

1
Rimawan Pradiptyo, et. al, “Korupsi Struktural: Analisis Database Korupsi Versi 4
(2001-2015)”, <http://cegahkorupsi.wg.ugm.ac.id/publikasi-
/Database%20Korupsi%20V%204-5April16_RP_VR_THP.pdf>, diakses tanggal 24 Oktober
2016.
2
KPK. Kajian Pencegahan Korupsi Pada Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, hal.
9.
479 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.4 Oktober-Desember 2017

Diagram 1
Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Jenis Perkara

Sumber: http://acch.kpk.go.id (2016)

Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT) yang cukup


pesat dewasa ini dipandang sebagai cara yang tepat dan efektif dalam
meningkatkan keterbukaan dan transparansi, khususnya dalam hal kemudahan
mengakses informasi pemerintah.3 Dalam meningkatkan transparansi, beberapa
departemen atau instansi pemerintah di Indonesia baik di pusat maupun di
daerah telah menerapkan sistem pengadaan barang/jasa secara online atau yang
dikenal dengan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).
Salah satu contoh keberhasilan penerapan sistem LPSE yakni adanya
penghematan anggaran yang cukup banyak, yaitu sekitar Rp 383 miliar, di
Provinsi Jawa Barat untuk kategori lelang barang dan jasa pada tahun 2015.4
Meskipun demikian efektivitas sistem LPSE (e-procurement) dalam
meminimalisir kasus korupsi masih perlu dikaji ulang, karena meskipun e-
procurement mulai diterapkan pada tahun 2002 hingga saat ini, namun pada
kenyataannya korupsi PBJ masih tetap tinggi. Selain itu juga terdapat pihak-
pihak yang melakukan kecurangan dengan cara membobol sistem LPSE,
sehingga peserta lelang menghadapi kesulitan dalam mengakses sistem tersebut

3
John C. Bertot, et. al, “Using ICTs to create a culture of transparency: E-government
and social media as openness and anti-corruption tools for societies”, Government
Information Quarterly, Vol. 27, Issue 3, 2010, 264–271.
4
Harian Kompas. “LPSE Jabar Sudah 10 Persen, Aher Raih E-Procurement Award
2015”,
<http://regional.kompas.com/read/2015/11/10/14592621/LPSE.Jabar.Sudah.100.Persen.Aher.
Raih.E-Procurement.Award.2015>, diakses tanggal 27 Oktober 2016.
Membangun Transparansi Pengadaan Barang, Sabrina Dyah Nayabarani 480

yang mana akan membuat dokumen persyaratan lelang tidak dapat


dimasukkan.5
Dengan demikian penerapan sistem tersebut belum tentu menjamin
pengadaan barang/jasa yang bebas korupsi mengingat korupsi merupakan
masalah yang kompleks.

I. Aspek Hukum Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah


Menurut Edquist et al. (2000) dalam KPK (2014)6, public procurement
adalah proses akuisisi yang dilakukan oleh pemerintah dan institusi publik
untuk mendapatkan barang (goods), bangunan (works), dan jasa (services)
secara transparan, efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan dan keinginan
penggunanya. Pengguna bisa individu (pejabat), unit organisasi (dinas,
fakultas, dsb), atau kelompok masyarakat luas. Barang/jasa yang disediakan
oleh pemerintah tersebut bertujuan untuk menunjang kesejahteraan masyarakat
serta melaksanakan kegiatan pemerintahan. Dalam rangka mencapai
tersedianya output barang atau jasa yang berkualitas, pengaturan PBJ terus
menerus diperbaiki, mulai dari aspek regulasi, pelaksanaan melalui
peningkatan kapasitas SDM, dan kelembagaan. Kegiatan pengadaan
barang/jasa yang melibatkan komponen dasar kegiatan penyelenggaraan negara
seperti anggaran, personil, dan barang sangat beralasan jika harus diatur dalam
bentuk Undang-Undang, agar dasar pelaksanaan semua itu setara dalam
kedudukan hukumnya dengan Undang-Undang.
Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) pemerintah juga memegang peranan
penting dalam pemanfaatan anggaran negara. Anggaran PBJ setiap tahunnya
menurut LKPP sekitar 40% dari APBN dan APBD. Konsep pengadaan
seharusnya tidak hanya terbatas pada mendapatkan barang, bangunan, dan jasa,
melainkan juga untuk mencapai value for money, yakni perbesaran nilai dari
uang yang dikeluarkan dan memberikan manfaat nyata untuk masyarakat dan
ekonomi dengan turut serta meminimalkan kerusakan lingkungan. Aspek value
for money sendiri diantaranya efisien, ekonomi, dan efektif. Aspek terkait
efisiensi memiliki tujuan apakah pengambilan keputusan yang efektif sebagai
bentuk dari efisiensi teknis atau efisiensi biaya serta pemanfaatan sumber daya
yang lebih baik.7
Kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah ketentuannya selama ini
diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah jo. Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Pengadaan

5
Detiknews. “Hacker Kuasai Lelang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah,
Bareskrim Bergerak”, <http://news.detik.com/berita/3184393/hacker-kuasai-lelang-pengadaan-
barang-dan-jasa-pemerintah-bareskrim-bergerak>, diakes tanggal 11 Desember 2016.
6
KPK. op. cit., hal. 15.
7
Abdul Halim dan Syam Kusufi, “Teori, Konsep dan Aplikasi Akuntansi Sektor Publik:
Dari Anggaran Hingga Laporan Keuangan dari Pemerintah Hingga Tempat Ibadah”, (Jakarta:
Salemba Empat, 2013), hal. 15-16.
481 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.4 Oktober-Desember 2017

Barang/Jasa Pemerintah juncto Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010


Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (selanjutnya disebut Perpres
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah)8.

Dalam Perpres No. 54 Tahun 20109, disebutkan bahwa pengadaan


barang/jasa menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Efisien, berarti Pengadaan Barang/Jasa harus diusahakan dengan
menggunakan dana dan daya yang minimum untuk mencapai kualitas dan
sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana yang telah
ditetapkan untuk mencapai hasil dan sasaran dengan kualitas yang
maksimum.
b. Efektif, berarti Pengadaan Barang/Jasa harus sesuai dengan kebutuhan dan
sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya.
c. Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai Pengadaan
Barang/Jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh Penyedia
Barang/Jasa yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya.
d. Terbuka, berarti Pengadaan Barang/Jasa dapat diikuti oleh semua Penyedia
Barang/Jasa yang memenuhi persyaratan/kriteria tertentu berdasarkan
ketentuan dan prosedur yang jelas.
e. Bersaing, berarti Pengadaan Barang/Jasa harus dilakukan melalui
persaingan yang sehat diantara sebanyak mungkin Penyedia Barang/Jasa
yang setara dan memenuhi persyaratan, sehingga dapat diperoleh
Barang/Jasa yang ditawarkan secara kompetitif dan tidak ada intervensi
yang mengganggu terciptanya mekanisme pasar dalam Pengadaan
Barang/Jasa.
f. Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi
semua calon Penyedia Barang/Jasa dan tidak mengarah untuk memberi
keuntungan kepada pihak tertentu, dengan tetap memperhatikan
kepentingan nasional.
g. Akuntabel, berarti harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait
dengan Pengadaan Barang/Jasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan demikian Pejabat Pembuat Komitmen dan Panitia Pengadaan


dalam mengeluarkan keputusan, ketentuan, prosedur, serta tindakan lainnya
harus didasarkan pada prinsip-prinsip di atas. Meskipun Perpres No. 54 Tahun
2010 telah dirumuskan dengan terinci dan penuh kehati-hatian, namun dalam
pelaksanaannya masih banyak ditemui persoalan. Selain itu dalam konteks
pelaksanaan barang/jasa pemerintah sesuai dengan UU dan Perpres yang

8
Romli Atmasasmita, “Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah”,
<http://www.lkpp.go.id/v3/files/attachments/5_LaWZGOERamXJbauxbQLMcCetTgzDkUvR.
pdf>, diakses tanggal 12 Desember 2017.
9
Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 Tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Membangun Transparansi Pengadaan Barang, Sabrina Dyah Nayabarani 482

mengaturnya juga diperlukan kehati-hatian dan objektivitas dalam pengkajian


terhadap dugaan penyimpangan proses pengadaan barang/jasa oleh panitia
tender dan Kuasa Penggunaan Anggaran dan Pejabat Pembuat Komitmen di
Kementrian/Lembaga.
Terdapat dua asas hukum pidana yang penting dan relevan dalam
kaitannya dengan fungsi hukum pidana sebagai sarana terakhir dalam
menyelesaikan peristiwa dalam masyarakat, yaitu asas proporsionalitas dan
asas subsidiaritas. Asas proporsionalitas mensyaratkan penggunaan hukum
pidana agar tujuan harus cocok dengan sarana untuk mencapai tujuan hukum
pidana atau dengan kata lain harus ada keseimbangan antara ancaman pidana
dan akibat yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana. Sementara asas
subsidiaritas mensyaratkan bahwa penggunaan hukum pidana harus
mempertimbangkan risiko terkecil daripada menimbulkan kebalikannya
dengan kata lain penggunaan hukum pidana harus se-efisien mungkin sehingga
berdaya guna dan tepat sasaran.
Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah merujuk pada UU RI Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara yang merupakan produk eksekutif dan bersifat
administratif semata-mata tanpa ada penguatan sanksi pidana sehingga UU
Perbendaharaan Negara tidak termasuk salah satu dari beberapa jenis UU
Pidana khusus atau UU Pidana Umum. Setiap permasalahan hukum yang
terjadi dalam praktik pelaksanaan UU Perbendaharaan termasuk juga Perpres
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, wajib diselesaikan melalui tata cara
penyelesaian sesuai dengan ketentuan dalam UU Perbendaharaan tersebut atau
dalam Perpres dimaksud.10

II. Korupsi Pengadaan Barang/Jasa (PBJ)


Pengadaan barang dan jasa pada hakikatnya merupakan upaya
pemerintah yang diwakili oleh Pejabat Pembuat Komitmen untuk mendapatkan
barang dan jasa yang diinginkannya, dengan metode dan proses tertentu agar
dicapai kesepakatan mengenai harga, waktu, dan kualitas barang dan jasa.
Beberapa tahapan kegiatan dalam pengadaan barang dan jasa, antara lain: 11
1. Tahap persiapan pengadaan, yang meliputi kegiatan:
a. Perencanaan pengadaan barang dan jasa
b. Pembentukan panitia pengadaan barang dan jasa
c. Penetapan sistem pengadaan barang dan jasa
d. Penyusunan jadual pengadaan barang dan jasa
e. Penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS)
f. Penyusunan dokumen pengadaan barang dan jasa
2. Tahap proses pengadaan, yang meliputi kegiatan:
a. Pemilihan penyedia barang dan jasa

10
Atmasasmita. op. cit.
11
Amiruddin, Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa, (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2010), hal. 46-47.
483 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.4 Oktober-Desember 2017

b. Penetapan penyedia barang dan jasa


3. Tahap penyusunan kontrak
4. Tahap pelaksanaan kontrak

Tahapan diatas menggambarkan jika kegiatan pengadaan barang/jasa


pemerintah memerlukan proses panjang yang dimulai dari perencanaan
kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan dalam rangka memperoleh
barang/jasa. Apabila kegiatan pada masing-masing tahap pengadaan barang
dan jasa terjadi penggelembungan harga (mark up), unsur KKN, suap,
perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang, hal itu merupakan
suatu tindakan korupsi. Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi secara lebih rinci
disebutkan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor Tahun 1999/2001,
diantaranya memenuhi unsur berikut:
1. Setiap orang
2. Secara melawan hukum
3. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi
4. Dapat menimbulkan kerugian perekonomian atau keuangan negara (Pasal 2)
Atau
1. Setiap orang
2. Dengan sengaja
3. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi
4. Dengan menyalahgunakan kewenangannya sehubungan dengan jabatan atau
kedudukannya sehingga
5. Dapat menimbulkan kerugian perekonomian atau keuangan Negara (Pasal
3)

Sejauh mana pelaksanaan pengelolaan keuangan negara yang


dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dikaji guna
menemukan unsur melawan hukum, apakah timbul keuntungan pribadi atau
orang lain, dan apakah menimbulkan kerugian keuangan negara sebagai akibat
perbuatan melawan hukum. Unsur melawan hukum harus memenuhi syarat-
syarat hukum formil suatu tindak pidana, yaitu perbuatan pelaku harus
ditentukan secara eksplisit telah menyimpang dari ketentuan Undang-Undang,
bukan dipandang tercela oleh masyarakat atau bertentangan dengan kesusilaan,
ketertiban umum, dan keamanan. Oleh karenanya kinerja BPK RI harus selaras
dengan UU RI Nomor 15 Tahun 2006 dan UU RI Nomor 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara
disamping koordinasi dengan kepolisian, kejaksaan, dan KPK.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh KPK12, disebutkan bahwa
korupsi pada PBJ biasanya melibatkan pejabat publik yang bertanggungjawab
mengambil keputusan pengadaan dan perusahaan swasta yang menjadi vendor
dalam pengadaan tersebut. Bentuk korupsi yang biasanya terjadi berupa suap
atau janji yang diberikan pihak swasta kepada pejabat publik untuk
mempengaruhi kebijakannya maupun berupa auto-corruption dimana pejabat

12
KPK. op. cit., hal. 45-46.
Membangun Transparansi Pengadaan Barang, Sabrina Dyah Nayabarani 484

publik melakukan korupsi untuk keuntungan dirinya sendiri atau asosiasi


tempatnya bernaung.
Beberapa hal yang dapat mempengaruhi korupsi PBJ diantaranya:
1. Informasi asimetri
2. Kontrak, jaringan informal dan kolusi
3. Konflik kepentingan pada bagian dari pejabat publik
4. Kurangnya akuntabilitas
5. Pembiayaan politik

III. Dampak Korupsi bagi Pembangunan

Tahap pembangunan suatu negara tergantung dari tingkat daya saingnya.


Apabila tenaga kerja, infrastruktur, pemerintah, dan bisnis yang ada di negara
tersebut memiliki daya saing yang tinggi, maka proses pembangunan yang
dilakukan lebih cepat dibandingkan dengan negara lain.13 Namun
pembangunan yang ingin dicapai oleh suatu negara dapat terhambat oleh
adanya kasus korupsi, karena korupsi sangat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Oleh sebab itu korupsi harus diberantas dalam rangka
mencapai tujuan pembangunan serta mewujudkan masyarakat adil dan
makmur.
Adanya biaya yang ditimbulkan dari kasus korupsi membuat
pertumbuhan ekonomi menjadi sulit dicapai terutama ketika institusi di suatu
negara itu lemah. Selain itu korupsi juga dapat menciptakan birokrasi yang
tidak efisien dan kebijakan publik yang buruk, yang mana merupakan
hambatan bagi pembangunan ekonomi. Salah satu aspek yang sangat penting
bagi pembangunan ekonomi adalah infrastruktur. Keberadaan infrastruktur
yang memadai tidak hanya mampu mengurangi jarak antar daerah tapi juga
mengintegrasikan antar pasar sehingga dapat menghubungkan pusat-pusat
perekonomian. Infrastruktur yang efisien akan menciptakan pertumbuhan
produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan infrastruktur yang tidak efisien.14
Melihat sangat pentingnya peran infrastruktur bagi pertumbuhan
ekonomi, maka segala bentuk korupsi pada proyek-proyek pembangunan
infrastruktur haruslah diberantas guna mencapai pertumbuhan yang stabil dan
berkelanjutan.

IV. Potensi dan Tantangan Penerapan ICT dalam Mereduksi Korupsi


Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa yang diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010, masih memungkinkan adanya penyimpangan
dalam pelaksanaan tahapannya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka solusi

13
Art Kovacic, “Competitiveness as A Source of Development”, Working Paper, No.
28, 2005.
14
Normaz Wana Ismail dan Jamilah Mohd Mahyideen, “The Impact of Infrastructure
on Trade and Economic Growth in Selected Economies in Asia”, ADBI Working Paper Series,
No. 553, 2015.
485 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.4 Oktober-Desember 2017

yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan sistem pengadaan secara


online atau dikenal dengan e-procurement.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi tersebut memiliki peran
yang penting dalam memberantas korupsi, dengan cara memfasilitasi
ketersediaan informasi antar institusi pemerintah, antara pemerintah dengan
masyarakat, maupun antar masyarakat sehingga menciptakan transaparansi dan
akuntabilitas.15 Teknologi informasi dan komunikasi dapat memberikan
perubahan yang positif, misalnya mengurangi informasi asimetris antara
pegawai pemerintah dengan masyarakat, membatasi kewenangan pegawai
pemerintah, menciptakan proses yang otomatis, maupun mengurangi berbagai
perantara.16 Dalam kaitannya dengan peningkatan transparansi dan
memberantas korupsi, peran teknologi informasi dan komunikasi
memungkinkan untuk mengawasi tindakan dan belanja pemerintah maupun
menyelidiki pegawai sipil yang melakukan korupsi.17 Hubungan antara
penggunaan teknologi informasi dan komunikasi diukur dengan UN e-
Government readiness index, yang mana negara dengan posisi e-readiness dan
e-participation yang baik berarti tingkat korupsi di negara tersebut rendah.
Kesuksesan pengimplementasian teknologi informasi dan komunikasi
sebagai strategi pemberantasan korupsi akan tergantung pada beberapa hal,
diantaranya: kondisi politik yang melindungi kebebasan bersuara, adanya
potensi penyalahgunaan, jaminan keamanan dan kerahasiaan ketika informasi
yang sensitif dikomunikasikan, serta masalah operasional dalam penggunaan
teknologi seperti regulasi, aspek legal dari aplikasi telepon seluler, maupun
biaya operasional.18
Penerapan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi ini harus
diikuti pula oleh aspek hukum yang dinyatakan sebagai landasan yang
mengikat untuk seluruh pengadaan yang dilaksanakan secara elektronik, tanpa
melihat basarannya nilai proyek/kegiatan. Aspek hukum yang diperlukan
diantaranya mencakup peraturan perundangan yang dapat dijadikan acuan
dalam penyelenggaraan transaksi elektronik untuk menjamin keabsahan
pelaksanaan transaksi, termasuk surat-menyurat melalui media elektronik
seperti legal aspek tanda tangan elektronik, dan bea materai untuk berbagai
dokumen.
Selain itu, perlu dibentuknya suatu badan yang berhak untuk melakukan
pengesahan registrasi dari para penyedia jasa, penetapan lokasi dan waktu
pengiriman, serta penerimaan dokumen penawaran. Dalam hal ini diperlukan

15
Marie Chêne, “Corruption, auditing and carbon emission reduction schemes”,
<http://www.u4.no/helpdesk/helpdesk/query.cfm?id=251>, diakses tanggal 26 Oktober 2016.
16
Dieter Zinnbauer, “False Dawn, Window Dressing or Taking Integrity to the Next
Level?”, <http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2166277>, diakses tanggal 30
Oktober 2016.
17
John C. Bertot, et. al, op. cit.
18
Sofia Wickberg, “Technological innovations to identify and reduce corruption”,
<http://www.u4.no/publications/technological-innovations-to-identify-and-reduce-
corruption/>, diakses tanggal 24 Oktober 2016.
Membangun Transparansi Pengadaan Barang, Sabrina Dyah Nayabarani 486

juga suatu jaminan atas keabsahan dalam mengaudit proses lelang/tender


melalui media elektronik (e-procurement).19
Penerapan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik merupakan salah satu landasan hukum yang menjadi latar belakang
penyelenggaraan sistem pengadaan barang/jasa secara elektronik di Indonesia.
Legal aspek seperti tanda tangan elektronik didasari oleh penerapan UU
tersebut, sehingga dengan adanya UU tersebut maka legalitas dokumen yang
digunakan dalam e-procurement dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.
Dengan demikian Pengadaan Barang/Jasa secara online diharapkan mampu
mendorong sistem pemerintahan menjadi lebih baik. Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa pemerintah harus mendapat perhatian yang serius dari pemerintah
guna menjamin pelaksanaannya telah dilakukan secara profesional dan tepat
sasaran. Keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, sebagai peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, memberikan jaminan keamanan terhadap
konvergensi transaksi elektronik terutama dalam transaksi yang berbasis
keuangan negara.

V. Hasil Penelitian Terdahulu


Elbahnasawy (2014)20 melakukan penelitian mengenai peran e-
government dan tingkat penggunaan internet dalam mengurangi potensi
terjadinya korupsi baik di negara maju maupun di negara berkembang.
Dalam melakukan analisisnya, Elbahnasawy menggunakan observasi 160
negara pada tahun 1995-2009, dengan menggunakan analisis random effect dan
memakai model dynamic panel data. Variabel dependen dalam penelitian
tersebut ialah indeks persepsi korupsi (CPI), sementara variabel independen
dalam penelitian tersebut meliputi: GDP per kapita, pelaksanaan hukum, e-
government, kapasitas sumber daya manusia, infrastruktur telekomunikasi,
pengguna internet, jumlah populasi, inflasi, kebebasan pers, serta tingkat tarif.
Hasil penelitian tersebut mendukung asumsi bahwa peran e-government
dapat meminimalisir korupsi melalui peningkatan transparansi dan
akuntabilitas. Hasil regresi menunjukkan jika setiap kenaikan e-government
indeks sebesar 0.20 poin, maka akan mengurangi korupsi sebesar 0.25 – 0.43
poin, dengan menganggap faktor lainnya konstan. Selain itu infrastruktur
telekomunikasi yang memadai memiliki peranan penting sebagai upaya
meminimalisir korupsi dan mendukung kesuksesan e-government.
Penelitian dengan tema yang sama pernah dilakukan sebelumnya oleh
Goel et.al pada tahun 2012, dengan observasi 150 negara.21 Hipotesis yang

19
Tutang Muhtar, “Implementasi Pengadaan Secara Elektronik (e-procurement) di
LPSE Provinsi Sulawesi Tengah”, Infrastruktur, Vol. 1 No. 1, 2011, 43-53.
20
Nasr G. Elbahnasawy, “E-Government, Internet Adoption, and Corruption: An Empirical
Investigation”, World Development, Vol. 57, 2014, 114–126.
21
Rajeev K. Goel, et.al, “The internet as an indicator of corruption awareness”,
European Journal of Political Economy, Vol. 28, Issue 1, 2012, 64–75.
487 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.4 Oktober-Desember 2017

digunakan ialah apabila semakin tinggi kepekaan akan korupsi, maka tindakan
pencegahan korupsi juga semakin tinggi pula. Variabel dependen yang
digunakan ialah level korupsi (baik menggunakan corruption perception index,
control of corruption index, index of mainly political corruption), sementara
variabel independen yang digunakan: internet (jumlah rata-rata pencarian
mengenai isu korupsi), GDP per kapita, belanja pemerintah, serta variabel yang
menggambarkan kondisi institusi suatu negara (seperti kebebasan ekonomi,
demokrasi, kualitas birokrasi, dan tata tertib hukum. Dengan menggunakan
STATA dan analisis Ordinary Least Square, diperoleh hasil apabila semakin
tinggi kepekaan mengenai isu korupsi (ditunjukkan oleh variabel internet) akan
mengurangi tingkat persepsi korupsi sebesar 0,18 poin, semua faktor lain
dianggap konstan.
Meskipun pemanfaatan sistem ICT memiliki pengaruh yang kecil dalam
mereduksi korupsi seperti yang ditunjukkan dalam kedua paper diatas, namun
upaya tersebut memiliki pengaruh yang signifikan dalam mengurangi persepsi
korupsi sebagai salah satu usaha menciptakan transparansi tata kelola.

VI. Strategi Pemberantasan Korupsi


Dalam merumuskan strategi yang tepat untuk memberantas korupsi,
maka penting untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat
mempengaruhi penurunan korupsi. Elbahnasawy22 melakukan penelitian
dengan menggunakan pendekatan pelaksanaan hukum yang berdasarkan indeks
rule of law (RL). Indeks RL menunjukkan bahwa semakin kuat aturan hukum
yang ada, maka akan mengurangi kemungkinan terjadinya korupsi. Selain itu
indeks RL juga menggambarkan kualitas institusi.

Tabel 1
Hasil Estimasi Model Data Panel

Sumber: Elbahnasawy (2014)

22
Nasr G. Elbahnasawy, op.cit.
Membangun Transparansi Pengadaan Barang, Sabrina Dyah Nayabarani 488

Terdapat dua metode yang digunakan dalam model data panel pada Tabel
1 tersebut, yaitu dengan menggunakan fixed effect dan random effect. Pada
model fixed effect terdapat dua spesifikasi model, sementara dalam random
effect terdapat lima spesifikasi model. Secara keseluruhan, variabel GDP per
kapita, pelaksanaan hukum, dan e-government memiliki pengaruh yang secara
statistik signifikan (baik di level 1% maupun 5%) dalam menurunkan persepsi
korupsi. Sama halnya dengan ketiga variabel tersebut, variabel online services
dan infrastruktur telekomunikasi juga memiliki pengaruh yang secara
signifikan dapat mengurangi persepsi korupsi. Sehingga kesimpulan yang
dapat diperoleh dari hasil estimasi tersebut adalah apabila pemerintah
menerapkan pelaksanaan layanan secara online dan mendukung upaya
mewujudkan tata kelola pemerintah yang transparan, seperti penggunaan e-
governement dan peningkatan kualitas infrastruktur telekomunikasi, maka juga
akan mendukung usaha pemerintah dalam mereduksi kasus korupsi yang ada.

VII. Gambaran Penerapan Sistem LPSE di Indonesia

Pada dasarnya pemerintah menerapkan pengadaan secara elektronik (e-


procurement) dengan bertujuan untuk: (1) meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas, (2) meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat,
(3) memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan, (4) mendukung proses
monitoring dan audit; dan (5) memenuhi kebutuhan akses informasi yang real
time.
Dalam mendukung upaya pengadaan barang/jasa secara elektronik, tentu
saja diperlukan persiapan yang matang mulai dari tahap perencanaan desain,
uji coba, penerapan, dan evaluasi. Untuk Indonesia, penerapan e-procurement
sudah dimulai sejak tahun 2002, namun pada tahun tersebut masih dalam tahap
uji coba. Implementasi e-procurement baru dilaksanakan dua tahun kemudian,
yaitu pada 2004, di pusat dan di DKI Jakarta. Kemudian pada tahun-tahun
berikutnya, tahun 2005-2011, e-procurement mulai diterapkan di beberapa
provinsi lainnya (selengkapnya lihat pada tabel lampiran). Tahap selanjutnya
ialah diperlukan adanya evaluasi yang mencakup kondisi sebelum menerapkan
e-procurement, selama pelaksanaan, dan bagaimana perbedaan setelah
menerapkan e-procurement. Evaluasi yang dilakukan penting untuk melihat
apakah desain yang diterapkan bisa terimplementasi dengan baik sesuai realita
di lapangan, sehingga menghindari potensi kegagalan penerapan e-
procurement.
Kerangka evaluasi yang digunakan untuk melihat apakah terdapat gap
antara desain e-procurement dengan realita pelaksanaan di lapangan, yaitu
dengan menggunakan kerangka STOPE (strategy, technology, organization,
people, and environment). Berikut ini merupakan hasil analisis yang dilakukan
489 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.4 Oktober-Desember 2017

oleh Choi et al. (2016)23 dalam melihat kesiapan penerapan sistem e-


procurement di Indonesia dengan menggunakan kerangka STOPE.

Tabel 2
Evaluasi STOPE dalam Penerapan e-procurement di Indonesia

Sumber: Choi, et al. (2016)

Berdasarkan Tabel 2, secara keseluruhan, dimensi environment memiliki


prioritas tertinggi, yaitu sebesar 0.29226. Kemudian diikuti oleh organization,
people, strategy, dan technology yang masing-masing sebesar 0.22409,
0.17869, 0.16658, dan 0.13838.
Kesimpulan dari Tabel 2 tersebut adalah apabila menginginkan
kesuksesan pelaksanaan e-procurement di Indonesia, maka Indonesia perlu
membangun lingkungan yang mendukung kesuksesan e-procurement. Hal-hal
yang perlu diperhatikan diantaranya tersedianya tenaga yang terampil dalam
menjalankan e-procurement, dukungan dari pengguna layanan e-procurement,
keterlibatan peran stakeholder, infrastruktur ICT yang memadai, kondisi
institusi yang mendukung, serta latar belakang sosial masyarakat terutama di
daerah. Kondisi Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, merupakan tantangan
tersendiri bagi proses implementasi e-procurement di Indonesia, mengingat
terkadang apa yang direncanakan di pusat, implementasinya akan berbeda
ketika diterapkan di daerah karena kondisi di daerah-daerah yang kurang
mendukung bagi terwujudnya efisiensi sistem e-procurement. Oleh sebab itu
perlu adanya upaya untuk meminimalisir hambatan yang ada, misalnya dengan
membangun infrastruktur ICT yang memadai khususnya di kawasan Indonesia
bagian timur.

23
Hyeri Choi, et.al, “Rethinking the assessment of e-government implementation in
developing countries from the perspective of the design–reality gap: Applications in the
Indonesian e-procurement system”, Telecommunications Policy, Vol. 40, Issue 7, 2016, 644–
660.
Membangun Transparansi Pengadaan Barang, Sabrina Dyah Nayabarani 490

Apabila dibandingkan dengan negara lainnya di kawasan ASEAN,


penerapan layanan pemerintahan secara online di Indonesia masih kalah
dibandingkan Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam.
Berdasarkan beberapa literatur yang ada, penerapan e-government dalam
mendukung transparansi pemerintah diduga dapat mereduksi potensi terjadinya
korupsi. Berikut ini merupakan tabel yang menggambarkan hubungan antara e-
government dengan indeks persepsi korupsi negara-negara di kawasan
ASEAN, kecuali Brunei Darussalam karena tidak tersedianya data bagi negara
tersebut.

Tabel 3
Indeks E-Government dan Indeks Korupsi Negara Kawasan ASEAN
Country E-Government (2016) CPI (2015)
Singapore 0,8828 85
Malaysia 0.6175 50
Philippines 0.5766 35
Thailand 0.5522 38
Viet Nam 0.5143 31
Indonesia 0.4478 36
Lao PDR 0.3090 25
Cambodia 0.2593 21
Myanmar 0.2362 22

Sumber: transparency.org (2015) dan publicadministration.un.org (2016)

Berdasarkan Tabel 3, dapat disimpulkan bahwa secara umum nilai


penerapan e-government yang semakin tinggi di suatu negara maka korupsi
yang ada di negara tersebut rendah atau nilai CPI-nya tinggi. Seperti misalnya
Singapura yang memiliki nilai kesiapan e-government paling tinggi
dibandingkan negara lainnya membuat korupsi di negara tersebut lebih rendah
karena tata kelola pemerintahannya yang semakin transparan. Namun kesiapan
penerapan e-government yang semakin tinggi belum tentu berarti korupsi suatu
negara rendah. Dalam Tabel 3 terlihat bahwa kesiapan e-government Indonesia
lebih rendah dibandingkan Filipina, namun nilai persepsi korupsi yang ada di
Indonesia lebih baik dibandingkan Filipina, meskipun hanya selisih satu
peringkat. Perbedaan tersebut dapat dikarenakan oleh beberapa faktor seperti
tingkat kesiapan institusi, keadaan politik, maupun regulasi yang juga berbeda-
beda dalam menangani kasus korupsi di setiap negara.

VIII. Upaya Pembenahan Penerapan e-procurement

Pembahasan pada bagian sebelumnya memberikan kesimpulan bahwa


transparansi layanan pemerintah akan menurunkan persepsi terjadinya korupsi.
491 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.4 Oktober-Desember 2017

Sayangnya penerapan salah satu pelaksanaan layanan pemerintah di Indonesia,


yaitu e-procurement belum sepenuhnya maksimal. Penerapan yang belum
maksimal tersebut dikarenakan ada beberapa aspek yang belum dilaksanakan
secara maksimal, seperti masih perlu adanya tambahan tenaga kerja yang
terampil mengoperasikan e-procurement, peningkatan infrastruktur ICT, serta
dukungan penuh dari institusi/lembaga khususnya yang terkait dengan
pengadaan barang/jasa. Reddick (2014:151) dalam Purwanto, et. al (2008)24
mengidentifikasi lima tantangan bagi aplikasi e-procurement, diantaranya: (1)
kompleksitas teknis kerahasiaan, keamanan, standardisasi, (2) isu legalitas
seperti informasi website sebagai catatan publik, tandatangan digital untuk
dokumen pengadaan barang, (3) metode pembayaran bagi biaya
pengembangan inisiasi yang potensial dan biaya operasional, (4) memelihara
hubungan dengan vendor secara online dan aplikasi pelayanan suplier, dan (5)
marginalisasi secara digital terhadap pemilik bisnis kecil dan minoritas.
Tidak maksimalnya pelaksanaan penerapan e-procurement akan
menimbulkan gap antara desain yang telah direncanakan dengan hasil yang
ingin dicapai. Untuk meminimalisir timbulnya gap tersebut, maka perlu
pembenahan pada beberapa tahapan pelaksanaan e-procurement, yaitu dari
tahap perencanaan desain, uji coba, penerapan, dan evaluasi.
Dalam tahap perencanaan desain, tampilan e-procurement haruslah
mudah dipahami (user friendly) guna memudahkan dalam pencarian menu
yang dituju. Selanjutnya pada tahap uji coba, penting untuk mengetahui
berbagai kekurangan dari desain e-procurement, seperti tidak adanya kepastian
mengenai keaslian dokumen yang dikirim maupun diterima oleh pengguna
serta mengetahui tingkat kesiapan pengguna secara teknis dalam menerapkan
e-procurement, karena e-procurement merupakan sistem yang baru sehingga
wajar apabila masih ada beberapa orang yang belum terbiasa menggunakannya.
Apabila telah melakukan uji coba beberapa kali dan telah ditemukan apa saja
kekurangannya, maka selanjutnya perlu untuk membenahi sistem agar semakin
efektif dan efisien, sehingga dapat diterapkan secara luas di berbagai wilayah.
Setelah melalui ketiga tahapan tersebut, tahapan selanjutnya ialah dengan
melakukan evaluasi terkait pelaksanaan e-procurement, baik evaluasi secara
administratif maupun teknis sehingga akan terus ada perbaikan yang
mendorong tercapainya tujuan penerapan pengadaan barang/jasa secara
elektronik.
Selain membenahi tahapan pelaksanaan e-procurement, juga perlu
adanya pengaturan peraturan dalam pelaksanaan e-procurement, seperti upaya
perlindungan data, keamanan informasi dan kontrol organisasi terhadap
lingkungan. Untuk menjamin keamanan dokumen penawaran rekanan, LKPP
bekerja sama dengan Lembaga Sandi Negara dalam mengembangkan Aplikasi
Pengaman Dokumen (Apendo) yang digunakan untuk melakukan enkripsi dan
dekripsi dokumen.

24
Erwan Agus Purwanto, et. al, “E-Procurement di Indonesia: Pengembangan Layanan
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah secara Elektronik”, (Jakarta: Kemitraan, 2008), hal.
21-22.
Membangun Transparansi Pengadaan Barang, Sabrina Dyah Nayabarani 492

IX. Penutup
1. Kesimpulan
Korupsi pengadaan barang/jasa merupakan salah satu korupsi yang
paling banyak terjadi di Indonesia. Berdasarkan identifikasi KPK, terdapat
beberapa hal yang dapat mempengaruhi korupsi pengadaan barang/jasa,
seperti: informasi asimetri, adanya kolusi, konflik kepentingan pada bagian
dari pejabat publik, kurangnya akuntabilitas, serta pembiayaan politik. Untuk
mencegah terjadinya korupsi dalam proses pengadaan barang/jasa, maka
diperlukan suatu sistem yang mendukung upaya transparansi, sehingga hal-hal
yang dapat menimbulkan korupsi dapat diminimalisir. Salah satunya yaitu
dengan menggunakan sistem e-procurement.
Meskipun banyak penelitian yang membuktikan bahwa penggunaan
layanan pemerintah secara online dapat mereduksi korupsi, dan hasilnya
signifikan, namun sistem tersebut masih harus terus dievaluasi agar sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai. Seperti misalnya pelaksanaan pengadaan
barang/jasa secara online (e-procurement) di Indonesia, yang masih ditemui
adanya gap antara perencanaan desain sistem dengan penerapan sistem tersebut
di masyarakat. Berdasarkan analisis STOPE, Indonesia perlu membangun
lingkungan yang mendukung kesuksesan e-procurement. Hal-hal yang perlu
diperhatikan diantaranya tersedianya tenaga yang terampil dalam menjalankan
e-procurement, dukungan dari pengguna layanan e-procurement, keterlibatan
peran stakeholder, infrastruktur ICT yang memadai, kondisi institusi yang
mendukung, serta latar belakang sosial masyarakat terutama di daerah.
Melalui dukungan yang penuh pada penerapan e-procurement serta
melakukan beberapa perbaikan pada proses tersebut, maka keinginan untuk
meminimalisir terjadinya korupsi bukan hanya sekedar angan-angan belaka.

2. Saran
Beberapa saran dalam meningkatkan peran ICT guna mereduksi terjadinya
korupsi diantaranya:
a. Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia.
Masih minimnya tenaga terampil yang mampu mengoperasikan sistem e-
procurement membuat tidak semua pemerintah daerah mampu
mengimplementasikannya dengan baik. Oleh sebab itu perlu adanya
pelatihan IT maupun rekrutmen bagi lulusan yang memiliki kompetensi di
bidang IT.
b. Mendukung pendanaan untuk mewujudkan sistem e-procurement.
Pendanaan yang ada nantinya digunakan bagi perbaikan maupun memenuhi
kebutuhan komponen apa saja yang diperlukan dalam upaya mendukung
sistem e-procurement yang efektif dan efisien.
c. Menyediakan infrastruktur penunjang yang memadai.
Perlu adanya peningkatan infrastruktur yang mendukung pelaksanaan e-
procurement seperti server maupun jaringan komputer, mengingat tidak
semua daerah memiliki infrastruktur ICT yang memadai, khususnya di
wilayah bagian timur Indonesia.
493 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.4 Oktober-Desember 2017

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Halim, Abdul, dan Syam Kusufi. Teori, Konsep dan Aplikasi Akuntansi Sektor
Publik: Dari Anggaran Hingga Laporan Keuangan dari Pemerintah Hingga
Tempat Ibadah, Jakarta: Salemba Empat, 2013.
Amiruddin. Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa, Yogyakarta: Genta
Publishing, 2010.
Purwanto, E. Agus, et. al. E-Procurement di Indonesia: Pengembangan
Layanan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah secara Elektronik,
Jakarta: Kemitraan, 2008.

B. Artikel Jurnal
Andersen, Thomas, B. “E-Government as an anti-corruption strategy”,
Information Economics and Policy, Vol. 21, Issue 3, 2009: 201–210.
Bauhr, M., dan M. Grimes. “What is Government Transparency?”, QoG
Working Paper Series, 2012:16.
Bertot, J.C., P.T. Jaeger, J.M. Grimes. “Using ICTs to create a culture of
transparency: E-government and social media as openness and anti-
corruption tools for societies”, Government Information Quarterly, Vol.
27, Issue 3, 2010: 264–271.
Castro, M.F., Calogero Guccio, Ilde Rizzo. “An assessment of the waste effects
of corruption on infrastructure provision through bootstrapped DEA
approach”, Int Tax Public Finance, Vol. 21, Issue 4, 2014, 813-843.
Choi, H., Park, M.J., Rho, J.J., Zo, H. “Rethinking the assessment of e-
government implementation in developing countries from the perspective
of the design–reality gap: Applications in the Indonesian e-procurement
system”, Telecommunications Policy, Vol. 40, Issue 7, 2016, 644–660.
Elbahnasawy, N.G. “E-Government, Internet Adoption, and Corruption: An
Empirical Investigation”, World Development, Vol. 57, 2014, 114–126.
Goel, R.K., M.A. Nelson, M.A. Naretta. “The internet as an indicator of
corruption awareness”, European Journal of Political Economy, Vol. 28,
Issue 1, 2012, 64–75.
Ismail, N.W., dan J.M. Mahyideen. “The Impact of Infrastructure on Trade and
Economic Growth in Selected Economies in Asia”, ADBI Working Paper
Series, No. 553, 2015.
Kim, S., H.J. Kim, H. Lee. “An institutional analysis of an e-government
system for anti-corruption: The case of OPEN”, Government Information
Quarterly, Vol. 26, Issue 1, 2009, 42–50.
Kovacic, A. “Competitiveness as A Source of Development”, Working Paper,
No. 28, 2005.
Lio, M.C., Liu, M.C., Ou, Y.P. “Can the internet reduce corruption? A cross-
country study based on dynamic panel data models”, Government
Information Quarterly, Vol. 28, Issue 1, 2011, 47–53.
Membangun Transparansi Pengadaan Barang, Sabrina Dyah Nayabarani 494

Muhtar, Tutang. “Implementasi Pengadaan Secara Elektronik (e-procurement)


di LPSE Provinsi Sulawesi Tengah”, Infrastruktur, Vol. 1 No. 1, 2011, 43-
53.
Wardhani, Sari Laksmi. “Kajian Yuridis Sistem E-Procurement dalam
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Lingkungan Kementerian
Pekerjaan Umum”, Tesis Universitas Gadjah Mada, 2015, hal 8.

C. Sumber Internet
Candra, Sevenpri. “Perkembangan e-procurement di Indonesia”,
<http://sbm.binus.ac.id/2016/03/17/perkembangan-e-procurement-di-
indonesia/>, diakses tanggal 27 Oktober 2016.
Chêne, Marie. “Corruption, auditing and carbon emission reduction schemes”,
<http://www.u4.no/helpdesk/helpdesk/query.cfm?id=251>, diakses
tanggal 26 Oktober 2016.
Detiknews. “Hacker Kuasai Lelang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah,
Bareskrim Bergerak”, <http://news.detik.com/berita/3184393/hacker-
kuasai-lelang-pengadaan-barang-dan-jasa-pemerintah-bareskrim-
bergerak>, diakes tanggal 11 Desember 2016.
Jasin, M., Zulaiha, A.R., Rachman, E.J., Ariati, N. “Mencegah Korupsi melalui
e-Procurement: Meninjau Keberhasilan Pelaksanaan e-Procurement di
Pemerintah Kota Surabaya”,
<http://acch.kpk.go.id/id/component/bdthemes_shortcodes/?view=downlo
ad&id=3c8dc306ee927b2adb883083c21d2e>, diakses tangal 25 Oktober
2016.
Harian Kompas. “Terapkan E-procurement, Pemkot Surabaya Hemat Rp 400
Miliar Per Tahun”,
<http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/11/14/193250626/Terapkan
.E-procurement.Pemkot.Surabaya.Hemat.Rp.400.Miliar.Per.Tahun>,
diakses tanggal 27 Oktober 2016.
Harian Kompas. “LPSE Jabar Sudah 10 Persen, Aher Raih E-Procurement
Award 2015”,
<http://regional.kompas.com/read/2015/11/10/14592621/LPSE.Jabar.Suda
h.100.Persen.Aher.Raih.E-Procurement.Award.2015>, diakses tanggal 27
Oktober 2016.
Harian Kompas. “KPK: E-Procurement Belum Menjamin Pengadaan Barang
dan Jasa Bebas Korupsi”,
<http://nasional.kompas.com/read/2016/08/24/11260361/kpk.e-
procurement.belum.menjamin.pengadaan.barang.dan.jasa.bebas.korupsi>,
diakses tanggal 27 Oktober 2016.
KPK. “Kajian Pencegahan Korupsi Pada Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah”.
<http://acch.kpk.go.id/documents/10180/15049/Report+Kajian+Pengadaan
+Barang+dan+Jasa.pdf/1441c294-f308-4d4e-9795-2aeb133e8e51>,
diakses tanggal 25 Oktober 2016.
Pradiptyo, R., Partohap, T.H., Pramashavira. “Korupsi Struktural: Analisis
Database Korupsi Versi 4 (2001-2015)”,
495 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.4 Oktober-Desember 2017

<http://cegahkorupsi.wg.ugm.ac.id/publikasi-
/Database%20Korupsi%20V%204-5April16_RP_VR_THP.pdf>, diakses
tanggal 24 Oktober 2016.
Atmasasmita, Romli. 2014. “Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang
dan Jasa Pemerintah”,
<http://www.lkpp.go.id/v3/files/attachments/5_LaWZGOERamXJbauxbQ
LMcCetTgzDkUvR.pdf>, diakses tanggal 10 Desember 2017.
Tribunnews.com. “Duh Mahalnya Internet di Papua”,
<http://www.tribunnews.com/bisnis/2015/04/13/duh-mahalnya-internet-di-
papua>, diakses tanggal 5 Oktober 2016.
Wickberg, S. “Technological innovations to identify and reduce corruption”,
<http://www.u4.no/publications/technological-innovations-to-identify-and-
reduce-corruption/>, diakses tanggal 24 Oktober 2016.
Zinnbauer, Dieter. “False Dawn, Window Dressing or Taking Integrity to the
Next Level?”,
<http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2166277>, diakses
tanggal 30 Oktober 2016.

Keputusan Presiden
Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010,
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Lampiran
Tahap Pelaksanaan e-procurement di Indonesia

Tahun Tahapan Pelaksanaan

2002 Uji coba 1 paket

2003 Uji coba 60 paket

2004 Pusat + DKI Jakarta

2005 Seluruh di Pulau jawa

2006 Pulau Jawa + 7 Provinsi lainnya (Sumatera Utara, Sumatera Barat,


Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Sulawasi Selatan, Gorontalo
dan Bali)

2007 Pulau Jawa + 15 Provinsi lainnya (Sumut, Sumbar, Sumsel, Kaltim,


Sulsel, Gorontalo, Bali, NAD, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung,
Kalsel, Sulut, NTB)
Uji Coba Semi E-Procurement Plus : Pusat
Membangun Transparansi Pengadaan Barang, Sabrina Dyah Nayabarani 496

2008 Pulau Jawa + 26 Provinsi lainnya (Sumut, Sumbar, Sumsel, Kaltim,


Sulsel,
Gorontalo, Bali, NAD, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, Kalsel,
Sulut, NTB, Kepri, Babel, Kalbar, Kalteng, Sultra, Sulteng, NTT,
Maluku, Malut, Papua, Irjabar)
Pusat & DKI Jakarta Semi E-Procurement plus.

2009 Pusat dan Pulau Jawa: semi E-Procurement plus.


Provinsi di luar Pulau Jawa: Semi E-Procurement

2010 Pusat dan Pulau Jawa + 4 Provinsi (Riau, Kalsel, Gorontalo dan
Bali): semi E-Procurement plus.
Di luar propinsi tersebut melaksanakan: Semi E-Procurement

2011 Full E-Procurement diterapkan di 24 propinsi, yaitu: DKI Jakarta,


Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur,
Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Bangka Belitung,
Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan,
Gorontalo, Bali, dan Nusa Tenggara Barat
Semi E-Procurement diterapkan di 9 propinsi yaitu: Bengkulu,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Nusa
Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat
Sumber: LKPP (2016) dalam Candra (2016).
.

Anda mungkin juga menyukai