Anda di halaman 1dari 13

LO1 – Assets Defined

IASB (AASB) Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan (para 49)
mendefinisikan aset sebagai berikut “An asset is a resource controlled by the entity as a result of
past events and from which economic benefits are expected to flow to the entity” Artinya : Aset
merupakan sumberdaya yang dikendalikan oleh suatu badan sebagai hasil dari transaksi yang
lalu dan diharapkan memberikan manfaat ekonomis dimasa yang akan datang yang mengalir
pada badan.

Tiga karakter dalam definisi aset:

• Future economic benefit (Memberikan manfaat ekonomis di masa depan)

• Control by an entity (Dikendalikan oleh sebuah entitas)

• Past events (Didapat dari kejadian masa lampau)

Manfaat ekonomi di masa depan (future economic benefit)

Kerangka lASB mendefinisikan titik-titik esensi dari aset sebagai manfaat ekonomi
masa depan. Di antaranya sebagai berikut :
“The benefits for a for-profit business entity are associated with the activities that
generate profit” Artinya” Manfaat bagi badan usaha nirlaba bahwa aktivitas yang menghasilkan
keuntungan.
“the potential to contribute, either directly or indirectly, to the flow of cash and cash
equivalents to the entity”. Artinya Aset empunyai potensi dalam memberikan kontribusi baik
secara langsung maupun tidak langsung, dalam memberikan arus kas atau yang ekuivalen
dengan kas pada badan usaha. Ini bisa melalui kegiatan operasi yang menghasilkan pendapatan
dari entitas atau dari kemampuan untuk mengurangi pengeluaran kas seperti mengurangi biaya
produksi. Definisi aset disini bagaimana cara untuk mencai keuntungan, sehingga aset harus
memiliki manfaat ekonomi dalam membantu entitas mencapai tujuannya salah satunya yaitu
mengurangi kas keluar.
Gagasan manfaat ekonomi masa depan berkaitan dengan sumber daya ekonomi. God
Frey dan kawan-kawan mengatakan“There are two main characteristics of an economic
resource: scarcity and utility”. Ada dua karakteristik utama dari sumber daya ekonomi:
kelangkaan dan utilitas. Jika sumber daya tidak langka (tersedia dan cukup untuk semua orang
yang menginginkannya) maka sumber daya tidak akan dikatakan 'ekonomi'. Utilitas berkaitan
dengan manfaat yang diperoleh atau layanan masa depan yang disebutkan di atas. Secara teknis,
dalam teori ekonomi, utilitas dari komoditas adalah kemampuannya untuk memuaskan
kebutuhan manusia. Namun, kita bisa memasukkan dalam gagasan utilitas semua manfaat
ekonomi masa depan atas dasar bahwa manfaat tersebut pada akhirnya berhubungan dengan
kepuasan kebutuhan manusia . Dengan demikian, jika ada kekurangan pasokan komoditas
tertentu, dan jika komoditas itu memiliki utilitas yang diinginkan atau dituntut oleh orang, maka
itu dikatakan memiliki nilai ekonomi. Oleh karena itu, semua sumber daya ekonomi memiliki
nilai.
Sprague melihat aset sebagai penyimpanan manfaat yang akan diterima. Paton dan
Littleton menyatakan: Layanan dalam hal ini manfaat adalah elemen penting di balik akun, yaitu,
layanan-potensi, yang jika ditukar, tetap membawa jasa. Selain itu Vetter juga mendifiniskan
aset “embodiments of future want satisfaction in the form of service potentials that may be
transformed, exchanged, or stored against future events. Artinya perwujudan kepuasan masa
depan dalam bentuk potensi layanan yang dapat diubah, ditukar, atau disimpan terhadap
peristiwa masa depan. Peirson memberikan contoh dari konsep ini jasa masa depan, kendaraan
bermotor yang dimiliki oleh suatu entitas pelaporan adalah aset bukan karena itu adalah benda
fisik, tetapi karena dapat memberikan entitas dengan jasa di masa depan dalam bentuk
transportasi. Jasa atau manfaat mungkin timbul dari penggunaan atau dari penjualan objek.
Misalnya, mesin merupakan aset karena memberikan layanan masa depan dari penggunaan.
Persediaan merupakan aset karena dapat menghasilkan manfaat ekonomi masa depan dari
penjualan. Sehingga dinyatakan bahwa aset adalah sesuatu yang ada sekarang dan memiliki
kemampuan memberikan jasa atau manfaat saat ini atau di masa depan. 'Hal' yang ada disebut
sebagai properti, atau hak milik, atau sumber daya ekonomi, atau 'perwujudan' atau
'penyimpanan layanan masa depan.

Dikendalikan oleh sebuah entitas (controlled by an entity)


Manfaat ekonomi harus dikendalikan oleh entitas yang bersangkutan untuk memenuhi
syarat, sebagai aset. Ijiri mengatakan: Akuntansi tidak peduli dengan sumber daya ekonomi
secara umum, tetapi hanya mereka yang berada di bawah kendali dari entitas yang diberikan.
Haruskah aset dimiliki dalam hal ini entitas memiliki title atas tersebut baru dapat dianggap
sebagai aset ?? Sprague berkomentar kepemilikan sesuatu hanyalah hak untuk menggunakan
atau mengontrol aset tersebut.
Kontrol pemilik memiliki properti itu tidaklah mutlak. Seperti yang dikatakan oleh
Paton menunjukkan bahwa ruang lingkup kepentingan pribadi selalu tunduk pada hak-hak umum
negara. Sebagai contoh, pemerintah dapat melarang kepemilikan atau pembuatan produk
tertentu. Melalui kekuatannya, itu dapat membatalkan kontrol seseorang atas properti. Hal ini
juga dapat menyita properti untuk pajak, mendikte metode operasi dan permintaan bahwa produk
dan aset sesuai dengan standar tertentu atau bahwa mereka digunakan untuk tujuan tertentu saja.
“Ownership is often concurrent with control, but it is not an essential characteristic of
an asset”. Kepemilikan biasanya sesuai dengan pengendalian, tetapi ini bukan merupakan
karakteristik aset yang penting. Sebagai contoh adanya agen yang mempunyai kewajiban
menjual barang milik prinsipal. Barang tersebut bukan aset dari agen tetapi aset prinsipal. Tapi
karena agen yang mengendalikan, maka itu adalah kepemilikan agen.
Istilah 'title juga dapat membingungkan masalah ini. Kebanyakan orang berpikir judul
sebagai dokumen hukum yang menyampaikan hak kepemilikan. Faktanya adalah bahwa title
habis dibagi. Beberapa orang dapat memiliki bagian yang berbeda dari judul sebuah aset tertentu.
Misalnya, sebuah perusahaan transportasi membeli truk untuk $300.000, membayar $150.000
sekarang dan setuju untuk membayar saldo angsuran selama 3 tahun ke depan. Apakah truk
adalah aset perusahaan? Terlepas dari kenyataan bahwa perusahaan tidak memiliki dokumen
hukum yang disebut 'title' sampai telah sepenuhnya dibayar untuk truk, ia memiliki hak hukum
untuk menggunakan truk. Oleh karena itu, dalam akuntansi, kita katakan truk merupakan aset
perusahaan. Secara teknis god frey mengatakan “the real asset is the right to use the asset, not
the assets itself” aset riil adalah hak untuk menggunakan truk, bukan truk itu sendiri. Perusahaan
memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan dari truk dan memiliki pengendalian atas truk.
“The objective of accounting is not achieved by focusing on the precision of legal
concepts but, rather, by concentrating on the economic substance of the transactions and events
that affect a firm's financial performance and condition”. konsep hukum yang digunakan dalam
akuntansi sebagai pedoman saja. Tujuan akuntansi tidak dicapai dengan berfokus pada ketepatan
konsep hukum, melainkan, dengan berkonsentrasi pada substansi ekonomi dari transaksi dan
peristiwa yang mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan dan kondisi. Jadi melihat benda-
benda ekonomi tertentu yang disebut 'aset' muncul. Faktor utama adalah pengendalian. IASB
memberikan definisi yang tidak hanya mengandalkan 'keberlakuan hukum', tetapi juga sanksi
ekonomi dan sosial.

Didapat dari kejadian masa lampau (past event)

“Definition of assets ensures that 'planned' assets are excluded”. Aset tidak termasuk
aset yang masih direncanakan. Misalnya, mesin sudah diperoleh oleh perusahaan adalah aset,
tapi mesin yang akan diperoleh sesuai dengan anggaran bukanlah aset sampai telah aset itu
diperoleh, karena kejadian transaksi pembelian belum terjadi. Masih ada ketidakpastian dalam
mengartikan kejadian itu seperti apa ? apakah penandatanganan kontrak dalam dikatakan sebagai
kejadian? Jika sebuah perusahaan menandatangani kontrak dengan sebuah perusahaan konstruksi
untuk memiliki gedung kantor baru didirikan di masa depan untuk harga yang diberikan, apakah
ini memenuhi syarat sebagai kejadian sehingga aset harus dicatat? Dalam pra-2005 kerangka
konseptual Australia (Pernyataan Konsep Akuntansi 4) dewan menganggap bahwa kontrak
tersebut sebagai sewa, kontrak pembelian yang tidak dibatalkan dan kontrak berjangka
memunculkan aset dan kewajiban yang harus dilaporkan sebagai aset dan kewajiban dalam
keuangan laporan. Preperes menentang pendekatan ini. Mereka berpendapat bahwa pelaporan
kontrak pelaksana pada neraca meningkat Leverage (baik aset dan kewajiban akan diakui, tetapi
nilai kewajiban akan lebih besar) meskipun tidak ada perubahan nyata dalam utang ekonomi
yang mendasari perusahaan. Pada 1970-an FASB ditugaskan untuk melakukan proyek penelitian
tentang kontrak pelaksana. Ijiri beralasan bahwa kontrak sepenuhnya tampaknya memenuhi
syarat pertama bagi pengakuan sebagai aset dalam laporan keuangan. Pada contoh konstruksi di
atas, kedua belah pihak memiliki hak untuk kinerja masa depan yang ada saat ini dan ini bukan
hak masa depan yang akan dibuat di masa depan. Ijiri menyimpulkan bahwa setelah hak
kontraktual memenuhi definisi aset (tes pertama) kemudian aset harus memenuhi 'kriteria
pengakuan' tertentu sebelum dicatat. Saat ini beberapa kontrak pelaksana diakui sebagai aset
sementara yang lain tidak, tergantung pada persyaratan standar akuntansi. Misalnya, di bawah
IAS 17 / AASB 117 sewa pembiayaan menimbulkan aset dan liabilitas, sedangkan sewa operasi
tidak.

Dapat dipertukarkan pendukung (Exchangeability)

Salah satu Kriteria Aset adalah dapat dipertukarkan. Seperti yang dikatakan oleh
godfrey “Its disposal value is separate from the value of the entity.” Bahwa nilai jual terpisah
dari nilai entitas jadi Elemen tersebut dapat dipisahkan dari badan usaha sehingga dapat diperjual
belikan.
“A good that lacks exchangeability must lack economic value because its purchase or sale must
forever remain impossible, and thus no market price for it can ever exist. The asset especially
affected by this condition is goodwill”.
Pada tahun 1939, MacNeal mengatakan bahwa barang yang bagus yang tidak memiliki
nilai pertukaran harus kekurangan nilai ekonomi karena pembelian atau penjualan harus tetap
ada, namun tidak ada harga pasar yang digunakan untuk itu. Asset yang sesuai dengan kondisi
ini adalah goodwill. Goodwill tidak bisa dijual secara terpisah seperti asset lainnya. Chambers
memberikan alasan kenapa goodwill tidak termasuk dalam asset. Hal ini muncul perlunya
mempertimbangkan kapasitas suatu entitas untuk menyesuaikan diri dengan perubahan keadaan
dan lingkunganny sedangkan dikatakan goodwill itu tidak memiliki kualitas abadi. Selain itu
Chambers juga berpendapat bahwa penentuan posisi keuangan melibatkan pengukuran nilai aset
dan kewajiban, tetapi goodwill tidak bisa diukur karena nilainya hanya muncul karena adanya
selisih biaya investasi dengan nilai buku. Kalau dikatakan oleh chamber hal ini sama saja dengan
menambahkan apel dan jeruk.
Namun ada argument yang menentang kalau nilai pertukaran atau nilai jual beli yang
diperoleh hanyalah salah satu cara untuk memperoleh manfaat dari asset. Misalnya, persediaan
adalah salah satu jenis aset yang manfaat utamanya adalah melalui pertukaran. Tapi manfaat aset
seperti pabrik, mesin dan gedung perkantoran yang diperoleh melalui penggunaan asset tersebut.
Manfaat dari aset tersebut tidak terpengaruh oleh apakah mereka dapat ditukarkan. Kritik juga
menunjukkan bahwa nilai ekonomi tergantung pada kelangkaan dan utilitas, tidak pada nilai
pertukaran. Menurut Moonitz, pertukaran tidak membuat nilai-nilai ekonomi. Pertukaran
hanyalah karateristik yang menunjukkan keberadaan asset. Sehingga untuk goodwill sendiri
memang dikatakan sebagai asset tapi bukan merupakan upaya untuk menilai bisnis secara
keseluruhan, tetapi hanya sebuah upaya untuk mengidentifikasi dan menghargai sumber tertentu
yang memiliki manfaat masa depan untuk perusahaan. Tapi nilai pertukaran tetap dikatakan
salah satu kriteria asset. Pas beralasan bahwa, bahkan jika goodwill dikeluarkan dari perhitungan
leverage untuk tujuan perjanjian utang, dan bahkan jika penurunan nilai goodwill saat-periode
dikecualikan dari ukuran return on equity, jumlah ekuitas rasio leverage dan dalam beberapa
pengembalian rasio dipengaruhi oleh sebelum periode penurunan nilai goodwill, dan ini dapat
mempengaruhi apakah perusahaan melanggar perjanjian utang.

LO2- Asset Recognition


“Recognising assets on the balance sheet also involves conditions that can be called
'recognition rules”. Mengakui aset dalam neraca juga melibatkan kondisi yang bisa disebut
'aturan pengakuan'. Aturan-aturan ini telah dirumuskan karena akuntan memerlukan bukti untuk
mendukung catatan mereka dalam lingkungan ketidakpastian. Akuntan ingin memastikan bahwa
aset tertentu ada dan bahwa masuknya Aset dalam neraca memberikan informasi yang berguna
yang relevan dan dapat diandalkan.
“Two examples of conventional recognition rules are: • An account receivable is
recorded as an asset when a credit sale is made. • Equipment is recorded as an asset when it is
purchased”.
Dua contoh aturan pengakuan konvensional adalah:
a. Sebuah piutang akun dicatat sebagai aset ketika penjualan kredit terjadi
b. Peralatan dicatat sebagai aset ketika dibeli.
“An example of a recognition guideline that is formally specified is the guideline adopted for the
recognition of finance leases as assets”
Contoh pedoman pengakuan yang resmi ditetapkan adalah pedoman yang digunakan
untuk pengakuan sewa pembiayaan sebagai aset. Untuk lessee, sebagaimana dimaksud pada ayat
10 dari LAS 17 / AASB 117, memenuhi salah satu dari kriteria berikut menunjukkan bahwa
sewa non-dibatalkan adalah untuk dikapitalisasi kecuali ada alasan lain yang akan membutuhkan
sewa yang akan dianggap sewa operasi:
a. Kepemilikan transfer sewa aset kepada lessee pada akhir masa sewa;
b. Lessee memiliki opsi untuk membeli aset pada harga yang diperkirakan akan cukup
rendah dari nilai wajar pada tanggal opsi menjadi dieksekusi untuk itu cukup yakin, pada
awal sewa, bahwa pilihan akan dilaksanakan;
c. Masa sewa adalah untuk sebagian besar umur ekonomis aset meskipun hak milik tidak
dialihkan
d. Pada awal sewa, nilai kini dari pembayaran sewa minimum sebesar setidaknya secara
substansial semua nilai wajar aset sewaan; dan
e. aktiva sewa guna usaha adalah dari suatu sifat khusus yang hanya penyewa dapat
menggunakannya tanpa modifikasi besar.
Pengakuan melibatkan aturan pengakuan, ada yang formal maupun informal. Contoh
informal adalah pengakuan piutang ketika penjualan secara kredit terjadi. Contoh formal adalah
pengakuan financial leases sebagai aset
Framework recognition criteria (kriteria-kriteria dalam pengakuan):
a.Peluang dari keuntungan ekonomis yang akan datang
b.Aset harus dapat diukur dengan andal (reliably measured)
Past recognition criteria yang tidak harus semuanya dipenuhi dan tidak mutually exclusive:
a.Kepercayaan pada hukum (reliance on the law)
b.Penentuan substansi ekonomis pada transaksi atau kejadian substabsi ekonomis dari transaksi
berhubungan dengan tujuan pelaporan informal yang relevan dan dapat diandalkan.
c.Penggunaan konservatisme: antisipasi kerugian, tapi tidak pada keuntungan

LO 3– Asset Measurement

Ada beberapa pendekatan pengukuran yang dijadikan sebagai dasar pengukuran yang
harus diadopsi.
“Measurement at acquisition cost is argued to be objective and to provide reliable and
verifiable information. On the other hand, fair value measurement provides relevant
infornration”
Penyusun Standar telah menyepakati pedoman konseptual untuk pengukuran.
Pengukuran pada biaya perolehan berpendapat untuk bersikap objektif dan untuk memberikan
informasi yang dapat dipercaya dan dapat diverifikasi. Di sisi lain, pengukuran nilai wajar
memberikan informasi yang relevan. Kerangka IASB menguraikan karakteristik kualitatif
informasi keuangan.

Asset Berwujud (Tangible Asset)

Terdapat dua jenis pengkuran yang dikenal, yaitu historical cost dan fair value. Untuk
historical cost, aset diukur pada saat akuisisi dan dikurangi akumulasi depresiasi dan penurunan
nilai. pendukung model ini berpendapat bahwa biaya pada saat akuisisi ini menyediakan tujuan
dan bukti-bukti bahwa pengukuran depresiasi dan penurunan nilai yang telah dihitung
merefleksikan nilai yang sesungguhnya dalam balance sheet. Sementara itu, revaluasi aset
menyediakan informasi yang relevan untuk para penggunalaporan keuangan. Namun, beberapa
berpendapat bahwa pengukuran ini tidak handal dan subjektif apabila penetuan nilainya
diestimasi padahal seharusnya diobservasi. Dikatakan subjektif karena nilai yang didapat berasal
dari perhitungan manajemen sendiri.

Asset Tidak Berwujud (Intangible Assets)


As for tangible assets, accounting standards require that we measure intangible assets
initially at cost of acquisition (IAS 38, para. 24) dalam hal ini, pengukuran menggunakan biaya
pada saat akuisisi.
The use of a current value model for intangible assets is rare. 1AS 38 (para. 75) permits
the revaluation model. Dalam hal ini, dimungkinkan ada penilaian kembali aset tidak berwujud.
IAS 16, requires that fair value be determined with reference to an active market. Adanya
persyaratan dalam mengukur nilai wajar pada pasar yang aktif.

Standar akuntansi mengharuskan kita mengukur aset tidak berwujud awalnya


menggunakan biaya perolehan (IAS 38, para. 24). Penggunaan model nilai saat ini untuk aset
tidak berwujud jarang. 1AS 38 (ayat. 75) memungkinkan model revaluasi tetapi, tidak seperti
IAS 16, mensyaratkan bahwa nilai wajar ditentukan dengan mengacu pada pasar aktif. Karena
sebagian besar berwujud aset dengan sifatnya tidak memiliki pasar aktif, biaya (dikurangi
akumulasi amortisasi dan penurunan) adalah metode pengukuran luas digunakan (para. 81).
Selain itu, IAS 38 melarang pengakuan aset tidak berwujud yang dihasilkan secara internal (para.
48, 63). Meskipun pengeluaran dapat menimbulkan manfaat masa depan, itu dihapuskan atas
dasar bahwa itu tidak menghasilkan aset yang dapat diidentifikasi secara terpisah (para. 49, 64).
Salah satu cara aset tidak berwujud yang dihasilkan secara internal dapat muncul di neraca
adalah melalui kapitalisasi biaya pengembangan, seperti yang dijelaskan sebelumnya. Penilaian
aset tidak berwujud adalah kontroversial, yang melibatkan seperti halnya estimasi subjektif dari
nilai wajar aset.

Instrumen Keuangan (Financial Instrument)

Model pengukuran yang paling dominan adalah historical cost. Namun, banyak yang
menentang karena tidak relevan. Contohnya pertimbangan derivatif yang telah diatur untuk
diukur dalam fair value. Sehingga, meskipun harga pasar lebih dianjurkan, namun perkiraan
manajemen juga boleh digunakan untuk fair value. Untuk membuat standar yang baku, dan telah
menetapkan penggunaan fair value guna menyediakan informasi yang relevan bagi pengguna
laporan keuangan.

“The FASB and IASB have concluded that derivatives should be measured at fair value
rather than cos. defined fair value as 'the amount at which the instrument could be exchanged in
a current transaction between willing parties, other than in a forced or liquidation sale” FASB
dan IASB telah menyimpulkan bahwa derivatif harus diukur pada nilai wajar dari pada biaya
historis. Fair value adalah nilai pertukaran aset yang diperoleh dari kedua pihak yang melakukan
transaksi tanpa adanya batasan apapun. Setter standar berpendapat bahwa dengan pengukuran
aset keuangan pada nilai pasar, pengguna informasi disediakan dengan informasi yang relevan
tentang nilai mereka. Sejak 1980-an FASB telah diperlukan pengukuran nilai wajar (baik secara
langsung dalam laporan keuangan atau pengungkapan catatan) dalam standar seperti SFAS No.
107, 115, 119, 123, 125, 133, 140, 142, 143 dan 144. SFAS 107, yang diterbitkan pada tahun
1991, didefinisikan nilai wajar sebagai jumlah di mana instrumen tersebut dapat dipertukarkan
dalam transaksi saat ini antara pihak bersedia, selain dalam penjualan paksa atau likuidasi.
Standar ini lebih lanjut dijelaskan bagaimana nilai wajar dapat ditentukan. IASB telah
berkomitmen untuk penggunaan pengukuran nilai wajar untuk instrumen keuangan dalam rangka
memberikan informasi yang relevan bagi pengguna laporan keuangan. setter Standar
berpendapat bahwa keuntungan dan kerugian dari instrumen harus diakui sebagai mereka
muncul untuk melaporkan risiko yang terkait, untuk membuat laporan keuangan yang lebih
transparan dan untuk menghindari kompleksitas perlakuan akuntansi yang ada (seperti akuntansi
lindung nilai). " Di sisi lain, beberapa pembuat laporan keuangan menentang aspek pernyataan
IASB, mengklaim bahwa pengukuran nilai wajar tidak akan relevan, dapat diandalkan, dipahami
dan sebanding dalam pelaporan. Instrumen keuangan mencerminkan kompleksitas mereka.
Sebuah model pengukuran tunggal belum disahkan oleh pembuat standar di IAS 39. Bahkan,
sejumlah metode pengukuran yang digunakan. Financial instrument kemudian dibagi menjadi 4
tipe dengan pengukuran yang berbeda-beda.

Tantangan bagi Penyusun Standar (Challenges For Standard Setters)

Which Measurement Model?

“The FASB and IASB intend to address the issue of measurement in Phase C of the conceptual
framework project. Issues to be considered include potential measurement bases: past entry or
exit prices, modified past amount, current entry, exit or equilibrium price, value in use or future
entry or exit price”

Masalah yang dimaksudkan pertimbangan dasar pengukuran apakah menggunakah


harga jual masa lalu, modifikasi dari kejadian masa lalu, harga sekarang atau harga
keseimbangan pasar, nilai guna masa depan atau harga jual masa depan? Mereka akan
mengevaluasi dasar-dasar pengukuran tersebut melalui metode pemberian peringkat yang
diurutkan tentang sejauh mana pengukuran dapat memberikan karateristik kualitatif informasi
keuangan. Komentator mengklaim bahwa standar IASB memperkenalkan tentang meluasnya
penggunaan pengukuran nilai wajar, IFRS telah memperkenalkan pengukuran nilai wajar untuk
derivatif pada setiap tanggal neraca dan beberapa aset keuangan lainnya dan kewajiban (di
bawah IAS 39) serta sebagai persyaratan untuk mengukur pembayaran berbasis saham kepada
karyawan sebesar nilai wajar (di bawah IFRS 2)
Sehingga dikatakan support by the IASB and FASB for greater use of fair value
measurement, for example for all financial instruments. Dukungan oleh IASB dan FASB untuk
penggunaan yang lebih besar dari pengukuran nilai wajar, misalnya untuk semua instrumen
keuangan. Tantangan kedua bagi Penyusun Standar adalah Bagaimana menghitung Nilai Wajar.

How to Calculate Fair Value Measurement ?


“The FASB's SFAS 157 Fair Value Measuremenrs (effective 2007) provides examples of
valuation techniques to be used to estimate fair value.“

Sekarang FASB ini SFAS 157 Nilai Wajar Pengukuran (efektif 2007) memberikan
contoh teknik penilaian yang akan digunakan untuk memperkirakan nilai wajar.
a. The market approach menggunakan harga dan informasi dari transaksi yang
sesungguhnya untuk aset dan liabilitas yang sejenis dan diperbandingkan.
b. Income approach, konversi dari diskonto uang yang diterima dimasa yang akan dating.
c. Cost approach Sejumlah uang yang digunakan untuk memperoleh kapasitas yang sama
(current replacement cost).

Masalah bagi Auditor (Issues For Auditors)

Mengaudit Nilai Wajar menciptakan kesulitan bagi para auditor karena hal ini menjadi
persyaratan dari model evaluasi dan digunakan oleh ahli dalam hal evaluasi. Mengaudit nilai
wajar aset di identifikasi oleh CEO Perusahaan audit dunia yaitu Grant Thornton sebagai salah
satu dari 10 topik terbaik untuk penelitian. Meskipun sebagai profesi, auditor telah membahas
isu-isu yang berkaitan dengan penurunan nilai, sampai saat ini, tidak ada lingkup yang luas untuk
audit nilai wajar dengan tidak adanya pasar yang siap diminta dari para auditor. Menilai
kewajaran fair value dalam kondisi seperti itu membutuhkan ahli evaluasi yang banyak. Sintesis
penelitian sampai saat ini, Martin, Rich dan wino berpendapat bahwa lebih banyak aset (dan
kewajiban) diukur pada nilai wajar,

“auditors need to understand more about valuation models and the management
processes that determine the inputs to those models, even when specialist valuers are used. “
Artinya auditor perlu memahami lebih lanjut tentang model penilaian dan proses
manajemen yang menentukan input untuk model pengukuran, bahkan ketika penilai spesialis
digunakan.

“the auditor needs to understand and control the process of determining the fair value,
and perform judgment whether the method of measurement used is sufficient for its clients
resulting in a fair value measurement is reasonable.” auditor perlu memahami proses perusahaan
klien dan pengendalian yang relevan untuk menentukan nilai wajar, dan membuat opini apakah
metode pengukuran perusahaan klien dan asumsi yang digunakan sudah tepat dan telah
memberikan dasar yang memadaipengukuran fair value.

Martin et al. juga menunjukkan bahwa auditor perlu menghargai manajemen potensi bias
dan kesalahan mungkin dalam menerapkan model penilaian, mengidentifikasi input pasar, dan
membuat asumsi yang diperlukan. Jika manajer memiliki insentif untuk melebih-lebihkan aset,
maka auditor harus menyadari komponen penting dari model penilaian yang akan membuat ini
lebih mudah bagi manajer dalam mencapainya. Menggunakan nilai wajar aset bisa tampil lebih
menarik untuk manajemen (mengurangi resiko auditor) selama periode kenaikan nilai. Dalam
kasus Turunnya pasar saham dan obligasi pada akhir 2008 dan awal 2009 mendorong beberapa
investor dan manajer menyalahkan aturan akuntansi nilai wajar untuk melebih-lebihkan kerugian
bagi perusahaan-perusahaan keuangan. Reilly melaporkan klaim oleh beberapa manajer itu
karena kerugian pada investasi dalam saham dan obligasi yang 'belum direalisasi', menuliskan
aset tersebut adalah 'melebih-lebihkan' gejolak pasar.
DAFTAR PUSTAKA

GodFrey, Hodgson, Tarca, Hamilton, Holmes. Accounting Theory.

Anda mungkin juga menyukai