Anda di halaman 1dari 3
KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA SEKRETARIAT BIRO HUKUM, PERSIDANGAN, DAN HUBUNGAN MASYARAKAT Jalan Lapangan Banteng Timur Nomor 2-4 Jakarta 10710 Telp. (021) 3521835 Nomor HM.2.3 - 6 /SET.M.EKON.2/02/2020 17 Februari 2020 Sifat Sangat Segera Hal Hak Jawab Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Yih. Redaksi detik.com di Jakarta Sehubungan dengan artikel berita yang terbit di detik.com edisi Minggu, 16 Februari 2020, 13:59 WIB bertajuk “Omnibus Law Beri Wewenang Jokowi Ubah UU dengan PP, Ray Rangkuti Otoriter!", maka berdasarkan Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, pasal 1 ayat (11) dan pasal 5 ayat (2), maka kami perlu memberi tanggapan berupa Hak Jawab sebagai berikut 1. Artikel tersebut menginformasikan bahwa “.... Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa mengubah undang-undang (UU) melalui peraturan pemerintah (PP). Ray menilai rencana tersebut akan memberikan peluang kepada Jokowi untuk bersikap otoriter.” 2. Merujuk pada pasal 170 ayat (1) s.d ayat (3) RUU Cipta Kerja yang berbunyi: (1)Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini. (2)Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. (3) Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia. 3. Maka itu kami sampaikan bahwa informasi yang diberitakan detik.com sebagaimana poin 1 tidak akurat, Berdasarkan pasal 170 ayat (3) RUU Cipta Kerja, Pemerintah Pusat dalam menetapkan PP dimaksud dapat berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dengan demikian asumsi yang beredar bahwa Pemerintan seolah-olah bersikap otoriter adalah tidak berdasar. 4. Selain itu, dapat kami sampaikan sejumlah preseden dalam praktik ketatanegaraan RI sebagai berikut: a, Bea Meterai. Pasal 3 UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai mengatur bahwa tarif Bea Materai dapat ditetapkan, ditiadakan, diturunkan, dan dinaikkan dengan Peraturan Pemerintah. Artinya juga tidak perlu diatur dalam Undang-Undang, dan juga tanpa konsultasi dengan DPR RI, walaupun pasal 234 UD 1945 mengatur bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang- Undang. b. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Peniualan atas Barang Mewah « Penjelasan Pasal 7 ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah jo. UU Nomor 42 Tahun 2009 mengatur bahwa perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai cukup dikemukakan oleh Pemerintah kepada DPR RI dalam rangka pembahasan dan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). + Selanjutnya Penjelasan Pasal 8 ayat (3) antara lain mengatur pengelompokan barang yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah berkonsultasi dengan alat kelengkapan DPR RI yang membidangi keuangan. ¢. Penjaminan Simpanan * Pasal 11 ayat (3) dan ayat (4) UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan jo UU Nomor 7 Tahun 2009 mengatur bahwa Perubahan besaran nitai Simpanan yang dijamin ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah berdasarkan konsultasi Pemerintah dengan DPR Rl. + Selanjutnya, Pasal 13 ayat (3) dan ayat (4) mengatur bahwa perubahan tingkat premi penjaminan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah berdasarkan konsultasi Pemerintah dengan DPR RI + Selain itu, Pasal 15, Penjelasan Pasal 81, dan Pasal 85 juga mengatur bahwa perubahan kebijakan Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah berdasarkan konsultasi Pemerintah dengan DPR RI d. Perasuransian Penielasan Pasal 7 ayat (3) UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian mengatur bahwa batas kepemilikan badan hukum asing dalam perusahaan perasuransian diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah dikonsultasikan Pemerintah dengan DPR RI Kondisi perekonomian global yang dinamis ditambah era disrupsi saat ini menuntut Pemerintah harus cepat mengambil keputusan di bidang perekonomian yang bersifat sangat segera. Kecepatan pengambilan keputusan kebijakan pemerintah sangat diperlukan apabila Indonesia tidak ingin semakin tertinggal di kawasan ASEAN, Berdasarkan data IMF World Economic Outlook Data Oktober 2019, walaupun pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak kuartal II 2019 berada pada urutan ke-3 negara-negara G20, namun jika dibandingkan dengan data keseluruhan secara rata-rata kecepatan pertumbuhan ekonomi dalam 10 tahun, Indonesia masih kalah dengan Laos (peringkat 6), Kamboja (peringkat 10), Myanmar (peringkat 15), Filipina (peringkat 20), dan Vietnam (peringkat 21). Usulan Pasal 170 RUU Cipta Kerja tersebut, pada intinya tetap menghormati peran DPR RI dan menjunjung tinggi prinsip demokrasi, karena pembentukan Peraturan Pemerintah tersebut dilakukan setelah berkonsultasi dengan DPR RI. Jika harus dilakukan dengan mengubah Undang-Undang, akan memerlukan waktu dan proses antara lain mengusulkan perubahan program legislasi nasional dan pembahasan Pemerintah dengan DPR RI. 7. Segala informasi resmi dan RUU Cipta Kerja yang telah diserahkan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada tanggal 12 Februari 2020 lalu, dapat diunduh di website resmi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada tautan berikut http://ekon 0 id/info-sektoral/15/6/dokumen-ruu-cipta-keria, Demikian tanggapan Hak Jawab ini kami sampaikan, untuk dimuat dan diperlakukan sebagaimana peraturan yang berlaku. I Ktut Hadi Priatna

Anda mungkin juga menyukai