Anda di halaman 1dari 5

BAB IV

Berdasarkan rumusan masalah yang telah kami paparkan dan hasil dari penelitian kami di
Kampung Naga pada hari Rabu tanggal 23 Oktober 2019, kami mendapatkan informasi dari
berbagai narasumber mengenai arsitektur di Kampung Naga. Narasumber memaparkan
informasi sesuai dengan topik laporan kami. Berikut hasil penelitian dari kelompok kami.

A. Sejarah Awal Bangunan Rumah Adat Kampung Naga.

Sekitar tahun 1950an Kampung Naga dibumihanguskan oleh segerombolan DI/TII


dikarenakan tujuan DI/TII mendirikan NII (Negara Islam Indonesia). Sedangkan Kampung
Naga lebih condong dan mendukung Republik. Karena pembumihangusan ini semua data,
barang pusaka, rumah habis bahkan menelan banyak korban jiwa. Akan tetapi setelah DI/TII
keluar dan api telah padam, warga yang selamat segera kembali dan mulai bergotong royong
membangun pemukiman baru. Dengan beberapa peningkatan, seperti penggunaan paku pada
bangunan.

B. Ciri Khas Rumah Adat Kampung Naga

Rumah itu saling berhadap-hadapan, depan dengan depan, belakang dengan


belakang. Jadi, meskipun rumah di Kampung Naga sudah padat, tapi untuk masalah tata
letaknya, tata pencahayaannya masih diperhitungkan, masalah udara juga masih
diperhitungkan. Bisa dilihat juga pintu di depan semua. Seperti filsafah Sunda “datang
katingali tarang, undur katingali punduk”. Salah satu pola hidupnya sederhana, gotong
royong saling menolong. Untuk menghilangkan soudzon, jadi tahu masuknya, tahu
keluarnya. Rumah di Kampung Naga dibangun menghadap utara dan selatan selain itu rumah
memanjang ke arah timur dan barat agar terkena sinar matahari sama rata setiap rumahnya.
Masyarakat memfilosofikan rumah sebagai tubuh manusia, terdapat kepala-badan-kaki yang
diwakilkan oleh atap-rumah-tatapakan. Untuk ukuran bangunan rumah adat disesuaikan
dengan lahan yang tersedia. Namun, tetap tidak lebih besar dari pada ukuran bangunan
masjid. Setiap Rumah Adat juga mempunyai ukuran yang sama.

Rumah adat Kampung Naga tentunya memiliki ciri khas tersendiri yang membedakan
dengan rumah adat di kampung adat lainnya. Pertama rumah di Kampug Naga merupakan
rumah panggung. Rumah tersebut didirikan di atas tatapakan berupa batu dengan tinggi 30
sampai 60 cm. Batu tatapakan diambil dari Sungai Ciwulan. Rumah dibangun di atas
tatapakan untuk menghindari rayap masuk ke rumah dan menghabiskan bilik rumah. Namun,
setelah ada penelitian lebih lanjut, ternyata ditemukan fungsi lain dari pemakaian tatapakan
tersebut yaitu, meminimalisir kerusakan rumah apabila terjadi gempa bumi. Batu tatapakan
ini juga hanya 5cm kebawah, batu tatapakan ini juga tidak menggunakan paku atau penguat,
jadi hanya ditempelkan saja.

Dalam pembangunan rumah terdapat tujuh bahan yang digunakan. Bahan bangunan
tersebut adalah :

 Ijuk : digunakan sebagai atap dengan fungi menyerap panas dan menjaga panas
tersebut, agar ruangan tetap sejuk saat siang hari dan hangat saat malam hari.
 Tepus : diletakan di bawah ijuk sebagai pengontrol suhu dalam ruangan.
 Bambu : digunakan untuk dinding bilik. Bambu dianyam terlebih dahulu dengan jenis
sasag dan anyaman bilik.
 Kayu : digunakan sebagai pilar pondasi pada rumah
 Paku : sebelum terjadi kebakaran rumah tidak menggunakan paku, melainkan ikat.
Namun, sekarang telah menggunakan paku agar lebih efisien.
 Batu tatapakan : merupakan dasar dari rumah di Kampung Naga
 Kaca : dahulu rumah tidak menggunakan kaca. Semenjak ada bantuan dari pemerinah,
kaca mulai digunakan. Kaca diletakan di jendela.
 Kapur : digunakan sebagai cat untuk mewarnai rumah.

Atap rumah adat kampung Naga menggunakan dua bahan yaitu injuk dan tepus, bahan ini
dipakai karena dua bahan ini sangat tahan dalam cuaca apapun, contohnya, jika sedang panas
terik didalam rumah akan terasa dingin dan jika malam dan cuacanya dingin rumah akan
terasa hangat.

Pemakaian tatapakan yang terbuat dari batu yang tingginya sekitar 30 – 50 cm.
Penggunaan tatapakan bertujuan untuk menghindari rayap, selain tujuan fungsional
masyarakat Kampung Adat Naga juga mempercayai bahwa bumi (bahasa sunda dari rumah)
seharusnya seperti tubuh manusia yang memiliki kaki, badan dan kepala, disini tatapakan
mempunyai arti sebagai kaki, rumah dan isinya adalah badan dan atap adalah kepala.
Kegunaan tatapakan yang lain ialah sebagai peredam getaran gempa, hal ini bisa dibuktikan
dengan tidak adanya kerusakan pada bangunan di Kampung Adat Naga saat kota Tasik
diguncang gempang sebanyak 7 skala ritcher .
Tidak terdapat perbedaan arsitektur dalam rumah kecuali jumlah pintu. Beberapa rumah
memiliki satu pintu yaitu bangunan yang terdahulu dan untuk bangunan yang sudah
diperbarui memiliki satu pintu tambahan untuk pintu masuk ke dapur. Dinding rumah adat
terbuat dari anyaman bambu. Terdapat dua jenis anyaman yaitu anyaman sasag dan anyaman
bilik. Anyaman sasag di gunakan di daerah sekitar dapur dan lantai Lubang angin atau
ventilasi diubat bervariasi berdasarkan kreatifitas masing-masing pemilik rumah.

Dalam satu rumah hanya diperbolehkan diisi oleh satu kepala keluarga. Tidak ada alasan
khusus atau mungkin kami tidak mengetahuinya karena ketika kami datang untuk penelitian
bertepatan dengan kegiatan upacara nyepi, dimana masyarakat adat Kampung Naga dilarang
membicarakan perihal adat-istiadat termasuk mitos dan religi.

Selain itu, tidak ada perbedaan dalam bentuk ataupun luas Rumah Adat di Kampung Nga
untuk kuncen dan masyarakat biasa. Jadi, disini itu gaada pengklasifikasian semua sama,
tinggalnya mau dibawah mau diatas juga sama, cuma kebetulan pak kuncen itu tinggalnya
dibawah, rumahnya agak gede juga tapi itu bukan pengklasifikasian, berhubung disini mah
tanah nya engga rata jadi berundak, jadi sebelum bikin rumah tahannya itu diratakan ukuran
rumah seadanya tanah

Di Kampung Adat Naga juga ada salah satu rumah atau bangunan yang di sucikan.
Bangunan atau rumah tersebut bernama Bumi Ageng. Biasanya tempat ini dijadikan tempat
awal sebelum melakukan acara adat ataupun acara penting. Seperti contohnya Upacara hajat
sasih, dimana mereka melakukan semacam doa terlebih dahulu di Bumi Ageng.

C. Pembagian dan fungsi ruang pada arsitektur rumah adat

Rumah adat di Kampung Naga terdiri atas ruangan-ruangan yang terbagi berdasarkan
gender. Bagian depan atau tepas merupakan wilayah laki-laki atau suami. Bagian tengah
berupa tengah imah dan pangkeng erupakan wilayah netral. Bagian belakang berupa pawon
(dapur) dan goah murupakan wilayah perempuan atau istri. Goah adalah tempat
penyimpanan makanan, dan laki-laki dilarang masuk ke dalamnya.

Tepas atau bagian depan berfungsi sebagai tempat menerima tamu dan tempat bekerja
kaum laki-laki. Tengah Imah berfungsi sebagai tempat berkumpul semua anggota keluarg
dan tempat tidur anak-anak. Pangkeng berfungsi sebagai kamar tidur utama bagi pasangan
suami-istri. Pawon berfungsi sebagai tempat masak dan tempat aktivitas kaum ibu. Goah
berfungsi sebagai tempat penyimpanan bahan makanan pokok, terutama padi atau beras.
Tidak terdapat ruangan khusus untuk tamu. Jika ingin menginap terlebih dahulu harus
mengkonfirmasi ke koperasi yang berada di kawasan depan Kampung Naga lebih tepatnya
daerah tempat parkir. Dari pihak koperasi akan menyalurkan kepada warga yang bisa
menyediakan tempat untuk menginap.

Pembagian ruangan di Kampung Naga dilakukan karena masyarakat menganggap suatu


gender tertentu lebih ahli dibidangnya. Seperti kaum laki-laki yang lebih memahami masalah
pekerjaan sehingga tempatnya berada di tepas. Sedangkan para perempuan dianggap lebih
menguasai dapur dan goah. Laki-laki dilarang masuk ke goah karena ada anggapan laki-laki
dapat mebuat beranktakan persediaan makanan. Sebenarnya tidak ada sanksi apapun apabila
ada yang melanggar peraturan ini. Namun, bagi mereka yang melanggar biasanya akan
timbul rasa malu dengan sendirinya.

Seluruh rumah di Kampung Naga memiliki pola ruangan yang sama kecuali kamar.
Banyaknya kamar ditentukan berdasarkan kebutuhan masing-masing keluarga biasanya
terdapat dua sampai tiga kamar. Bahkan tidak ada perbedaan antara rumah warga degan
rumah kuncen.

Rumah adat disana memiliki fungsi lain selain sebagai tempat tinggal yaitu dijadikan
tempat menjual cinderamata dan warung atau toko kelontong.

D. Perubahan fungsi dan ruang di rumah adat

Setelah pembakaran yang dilakukan oleh pemberontak DI/TII masyarakat Kampung


Naga membangun rumah kembali seperti rumah sebelumnya, bahkan tidak terdapat
perbedaan dan perubahan fungsi ruangan di dalam rumah. Namun, perubahan terdapat dalam
segi arsitektur berupa penggunaan paku untuk membangun rumah dan pengunaan anyaman
sasag pada dinding bilik. Anyaman sasag digunakan dengan tujuan memperkecil
kemungkinan kebakaran dan api merambat secara cepat, itulah mengapa anyaman sasag
diletakan di daerah sekita dapur. Untuk lantai dipergunakan kayu yang disusun dengan jarak
sekitar 0,5 cm. Disusun seperti itu agar ketika ada tumpahan air, air tersebut dapat mengalir
langsung ke bawah sehingga kayu yang dipakai untuk lantai tidak mudah lapuk.

Apabila ada warga yang ingin menambah ruangan yag diperbolehkan hanyalah
menambah kamar, itu pun apabila diperlukan. Apabila ada hajatan, biasanya dibuat dapur
buatan di depan rumah untuk mempermudah masalah konsumsi. Selain itu ruangan-ruangan
yang sudah ada di dalam rumah tidak boleh dan tidak dapat dialih fungsikan menjadi ruangan
lain.

Anda mungkin juga menyukai