Anda di halaman 1dari 3

Kelembagaan dan Kesempatan yang Hilang Aulia Keiko Hubbansyah, Kamis, 19 September 2019 |

11:35 WIB Secara jujur harus diakui berbagai upaya reformasi ekonomi yang telah dilakukan pemerintah
telah berdampak positif terhadap perkembangan ekonomi Indonesia. Salah satunya ditunjukkan oleh
stabilnya pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan menggunakan data Bank Dunia 2001-2017, ekonom
Dan Kopf menilai perekonomian Indonesia paling stabil dibandingkan dengan negara-negara lain yang
diamati. Dicerminkan dari nilai deviasi standar pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kecil, yakni 0,7%.
Sungguhpun begitu, harus juga diakui, capaian makro yang baik tersebut belum mampu mengatasi
banyak persoalan ekonomi, seperti masalah tingkat kemiskinan yang sulit dikurangi, besarnya inefesiensi
dalam aktivitas ekonomi, serta serapan tenaga kerja sektor formal yang belum maksimal. Kondisi ini
terjadi karena upaya pembangunan ekonomi di Indonesia tak diikuti dengan upaya perbaikan
kelembagaan yang memadai. Sebagaimana diperlihatkan oleh berbagai hasil kajian internasional, antara
lain World Governance Index oleh Bank Dunia, menunjukkan kondisi kelembagaan Indonesia bernilai
rata-rata negatif selama periode 1996-2017. Hal itu mengindikasikan kualitas kelembagaan di Indonesia
masih belum baik. Ini perlu menjadi perhatian karena kondisi kelembagaan yang belum memadai di
Indonesia ini setidaknya mengakibatkan dua hal. Pertama, aturan main (rules of the game) yang
terbentuk bersifat ekstraktif. Struktur insentif yang ada tidak menghasilkan ruang gerak yang luas bagi
semua pihak untuk dapat terlibat dalam kegiatan ekonomi produktif. Kedua, elite dan kelompok
kekuatan, dengan modal kapital yang dimiliki, secara leluasa membajak kebijakan publik untuk
kepentingan diri dan kelompok lewat praktik perburuan rente maupun patron-klien. Akibatnya manfaat
pembangunan ekonomi hanya akan dinikmati oleh kelompok tertentu, yang kemudian melanggengkan
pola pengelolaan ekonomi yang bersifat zero sum game. Karena itu, wajar bila kroonisme, praktik yang
membuat ekonomi menjadi tidak efesien, masih marak terjadi di era Reformasi. Ini tercermin dari crony-
capitalism index Indonesia yang terus memburuk dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan Indonesia kini
menempati posisi terburuk ke-7 dari 22 negara yang disurvei oleh The Economist. Kroonisme antara
pengusaha dan penguasa melalui pemberian konsesi dan fasilitas luar biasa kepada konglomerat
membuat kepemilikan aset produktif menjadi sangat timpang. Bank Dunia menjelaskan 304 perusahaan
besar di Indonesia menguasai 26 juta hektare konsesi hutan. Sementara itu, 23,7 juta petani hanya
menguasai 21,5 juta hektare. Parahnya lagi, bukannya mengatasi, kelembagaan yang ada justru
membentuk struktur insentif yang menyuburkan praktik kolutif. Survei ICW memperlihatkan bahwa
rerata vonis putusan terdakwa pidana korupsi pada seluruh tingkat pengadilan masih rendah.
Berdasarkan data 1.062 terdakwa perkara korupsi yang diputus pada 2018, didapati ada 918 orang, atau
sekitar 86,4% terdakwa korupsi, yang diputus dalam kategori ringan (1-4 tahun). Dengan kondisi ini
wajar bila pemberantasan korupsi dan supremasi hukum, sebagai bagian dari tuntutan reformasi, masih
belum berjalan optimal. Dengan kondisi kelembagaan seperti ini terbuka celah yang luas bagi oknum
koruptif untuk membajak kebijakan ekonomi, yang membuat capaiannya menjadi tidak maksimal.
Rantai birokrasi sengaja dibuat panjang dan berbelit supaya terbuka peluang melakukan praktik rent
seeking. Ujung-ujungnya biaya tambahan yang tidak terduga ini akan dibebankan harga jual produk yang
tinggi. Akibatnya, daya saing industri nasional sulit ditingkatkan (Ginanjar, 2018). Kelembagaan di
Indonesia juga belum optimal menjamin kepastian investasi dan berusaha. Ditunjukkan oleh kondisi
perlindungan kontrak yang lemah. Laporan ease of doing business oleh Bank Dunia memperlihatkan skor
perlindungan kontrak Indonesia menempati ranking 146 dari 222 negara. Capaian ini bahkan lebih
rendah dari peringkat Irak dan Yaman, dua negara yang mengalami konflik berkepanjangan. Bayangkan,
penyelesaian sengketa kontrak di Indonesia memerlukan waktu 407 hari dengan biaya perlindungan
yang sangat mahal, yakni mencapai 70,3% dari nilai kontrak yang diperkarakan. Secara keseluruhan,
harus juga diakui bahwa kelembagaan di Indonesia belum mampu melindungi investor dari pencurian
hak cipta, penjiplakan, dan juga pembajakan. Fakta-fakta ini yang membuat iklim investasi di Indonesia
jadi kurang menarik. Jika di Negara anggota Asean lain seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam, investasi
bertumbuh secara eksponensial akibat perang dagang Amerika-Tiongkok, penanaman modal asing
(PMA) di Indonesia justru menunjukkan tren melemah (-8,8% pada 2018). Pertumbuhan Penanaman
Modal Asing (PMA) Vietnam selama paruh pertama 2019 mencapai US$ 16,74 miliar atau tumbuh 69,1%
secara tahunan. Sedangkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan PMA
Indonesia selama semester I-2019 sebesar US$ 14,2 miliar dengan pertumbuhan hanya sebesar 4%.
Paling baru, ada 33 perusahaan keluar dari Tiongkok, tapi tidak satu pun memilih masuk ke Indonesia.
Dari 33 perusahaan tersebut, 23 di antaranya memilih Vietnam, dan 10 sisanya pindah ke Malaysia,
Thailand, dan Kamboja. Yang ironis, kondisi ini terjadi di tengah kualitas infrastruktur nasional yang
membaik. Sebagaimana diindikasikan dari nilai logistic perfomance index Indonesia yang meningkat dari
peringkat 63 pada 2016, menjadi 46 pada 2018. Ini menunjukkan kualitas infrastruktur yang lebih baik
ternyata tidak cukup kuat menjadi sweetener bagi investasi nasional. Padahal, kalau saja investasi
melonjak, seperti terjadi di negara-negara anggota Asean lain, ekonomi nasional dapat bertumbuh ke
kisaran 5,3–5,4%. Jelas kiranya persoalan kelembagaan yang belum memadai, yang berwujud dalam
ketidakpastian hukum, maraknya praktik korupsi, birokrasi yang panjang, aturan yang berbelit dan
koordinasi kelembagaan yang buruk, menjadi isu utama mengapa investor enggan berinvestasi di
Indonesia. Hal ini menunjukkan pentingnya peran kelembagaan sebagai enabling environment bagi
perekonomian. Belum memadainya kualitas kelembagaan yang ada membuat Indonesia berpotensi
kehilangan momentum untuk dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Implikasinya,
kesempatan untuk menciptakan lapangan kerja lebih besar, mengurangi jumlah orang miskin dan
mempercepat proses transformasi struktural, pun menjadi lebih terbatas. Setidaknya ada tiga
karakteristik yang mesti dipenuhi oleh kerangka kelembagaan yang baik. Pertama, adanya kepastian dan
perlindungan hukum. Kedua, adanya pembatasan khusus bagi kelompok elite, hartawan, politisi dan
anggota kelompok berpengaruh agar mereka tidak dapat mengeruk pendapatan dengan merugikan
kepentingan pihak lain, yang mengakibatkan persaingan menjadi tidak seimbang. Bisa dicontoh apa yang
telah dilakukan di sejumlah negara maju, seperti Swedia, Swiss, atau Jepang, yang secara tegas melarang
keluarga pejabat publik untuk mengikuti tender proyek pemerintah. Ketiga, tersedianya kesempatan
yang sama bagi semua kalangan dan golongan di masyarakat untuk meraih kemajuan, termasuk untuk
terlibat dalam kegiatan ekonomi produktif. Dalam konteks di atas, setidaknya ada tiga langkah yang
dapat dilakukan. Pertama, memperbaiki kelembagaan makro, meliputi reformasi kelembagaan birokrasi,
system hukum dan politik. Kedua, memperbaiki kelembagaan mikro, dengan melakukan reformasi
kelembagaan yang langsung berkaitan dengan pengurangan kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan
pengangguran melalui penguatan koperasi/ UMKM, pengendalian harga pangan, maupun
penyederhanaan izin dan biaya usaha. Ketiga, mereformasi kelembagaan sosial lewat peningkatan akses
pendidikan dan jaminan kesehatan yang lebih baik. Pada operasionalnya, perubahan kualitas
kelembagaan menuju arah yang lebih baik sangat mungkin diwujudkan. Secara empirik, banyak negara
mampu melakukannya. Bahkan, di tengah existing condition yang lebih buruk dari Indonesia. Memang
bukan tugas yang mudah. Mungkin juga tak akan pernah berakhir. Karena proses “menjadi Indonesia”
adalah gerak sejarah yang juga tidak akan pernah berhenti sampai kapan pun.

Artikel ini telah tayang di Investor.id dengan judul "Kelembagaan dan Kesempatan yang Hilang"

Penulis: Aulia Keiko Hubbansyah

Read more at: https://investor.id/opinion/kelembagaan-dan-kesempatan-yang-hilang

Anda mungkin juga menyukai