Anda di halaman 1dari 31

ANALISIS SEBARAN PANAS BUMI

MENGGUNAKAN DATA DEMNAS DAN CITRA LANDSAT 8

PADA KAWASAN JABOI, SABANG

Diajukan untuk melengkapi tugas pada mata kuliah Metode Penelitian

Oleh:

Dara Try Ayu Devi


1704107010009

Proposal Skripsi

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOFISIKA


JURUSAN KEBUMIAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang berada pada kawasan
pertemuan tiga lempeng tektonik aktif yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-
Australia, dan Lempeng Pasifik. Ketiga lempeng ini merupakan lempeng tektonik
besar yang saling bergerak satu sama lain. Dengan adanya pergerakan aktif ini
menyebabkan terbentuknya zona subduksi akibat adanya tumbukan antar Lempeng
Eurasia dan Lempeng Indo-Australia (Sieh, 2007). Menurut Diament (1992)
aktivitas yang terjadi antar lempeng tersebut menjadi sebab utama Indonesia
memiliki deretan gunung api baik yang bersifat aktif maupun non-aktif.
Sebagaimana yang diketahui bahwa aktivitas gunung api (vulkanisme) memiliki
kaitan yang sangat erat dengan potensi panas bumi. Hal ini dikarenakan energi
panas bumi berasal dari proses magmatik yang terjadi pada suatu gunung api.

Berdasarkan catatan yang dipublikasikan oleh Badan Geologi Kementerian


Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun 2018, Indonesia memiliki
potensi panas bumi sebesar 28.508 Mw. Potensi panas bumi ini tersebar di 342
daerah di Indonesia. Akan tetapi, jika dilihat dari segi pemanfaatan saat ini hanya
1.948,5 Mw energi panas bumi yang sudah dimanfaatkan. Dalam wilayah Indonesia
sendiri, persebaran potensi panas bumi tersebar di seluruh pulau salah satunya
Pulau Sumatera.

Sumatera merupakan salah satu pulau yang memiliki potensi energi panas bumi
terbesar di Indonesia yaitu mencapai 12.760 MW (Royana, 2013). Hal ini yang
mengindikasikan bahwa Pulau Sumatera memiliki potensi panas bumi yang sangat
besar dan prospektif untuk dikembangkan (Hidayat, 2014) termasuk yang terdapat
di Aceh. Parameter utama dalam prospek panas bumi adalah suhu fluida di
reservoir. Sampel air panas dapat digunakan untuk memperkirakan suhu dari
reservoar (Aribowo, 2011; Riogilang, 2013). Aceh memiliki banyak potensi panas
bumi yang dapat dimanfaatkan salah satunya potensi yang terdapat di Jaboi, Sabang
(Isa dkk, 2016; Subhan, 2017; Alatas, 2017).
Dalam tahap pengelolaan panas bumi, terdapat beberapa tahapan sebelum
dilakukannya tahap eksplorasi. Salah satu tahap tersebut adalah tahapan
pendahuluan (kajian awal) hingga berlanjut ke tahap pengolahan data secara
geofisika maupun geokimia. Pada tahap pendahuluan ini terdapat beberapa
metode yang dapat digunakan salah satunya dengan memanfaatkan metode
penginderaan jauh (remote sensing). Teknologi penginderaan jauh ini didasarkan
pada visualisasi yang dihasilkan melalui kondisi permukaan bumi seperti kondisi
geomorfologi, keadaan vegetasi, interpretasi struktur geologi (sesar dan rekahan),
serta batas litologi yang dihasilkan. Jika dilihat dari fungsinya, teknik
penginderaan jauh ini banyak digunakan dalam survei pendahuluan sebelum
dilakukan eksplorasi panas bumi. Seperti yang dilakukan oleh Sukendar, dkk
(2016) untuk menganalisis sebaran potensi panas bumi di Gunung Salak
berdasarkan suhu permukaan, indeks vegetasi, dan kondisi geomorfologi.
Terdapat beberapa penelitian lainnya seperti yang dilakukan oleh Hakim, dkk
(2017) dalam penentuan awal prospek panas bumi di Gunung Bur Ni Telong
berdasarkan citra Landsat 8 dan data DEM (Digital Elevation Model). Sebagaimana
yang diketahui, Jaboi merupakan kawasan panas bumi yang dapat dimanfaatkan.
Berdasarkan alasan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian di
kawasan panas bumi Jaboi dengan menggunakan data DEM SRTM dan citra
Landsat 8.

Untuk mengetahui kondisi geomorfologi digunakan data DEM berupa data


DEMNAS. Data DEMNAS ini merupakan representasi daripada relief rupa bumi
secara tiga dimensi (3D) yang dapat menggambarkan keadaan sebenarnya melalui
visualisasi menggunakan komputer grafis (Tempfli, 1991). Berdasarkan data
DEM ini maka akan diperoleh gambaran zona sesar atau rekahan yang merupakan
jalur pergerakan fluida. Menurut Nugroho, dkk (2016) gambaran zona ini
diketahui melalui penarikan kelurusan (lineament) yang dihasilkan melalui teknik
FFD (Fault and Fracture Density). Untuk mengetahui distribusi suhu permukaan
berupa Land Surface Temperature (LST) digunakan data citra Landsat 8.
Pengolahan data diawali dengan penentuan kerapatan vegetasi
menggunakan teknik Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dan
penentuan hidrologi menggunakan teknik Normalized Difference Water Index
(NDWI). Melalui teknik tersebut maka akan diperoleh peta kerapatan vegetasi, peta
keadaan hidrologi, dan peta distribusi suhu permukaan untuk menentukan sebaran
potensi panas bumi.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, terdapat beberapa
rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain:
1. Bagaimana keadaan geomorfologi kawasan panas bumi Jaboi berdasarkan
data DEMNAS.
2. Bagaimana hubungan antara manifestasi panas bumi dan sebaran potensi
panas bumi terhadap tingkat kerapatan vegetasi (NDVI) di kawasan panas
bumi Jaboi berdasarkan analisis citra Landsat 8.
3. Bagaimana hubungan antara manifestasi panas bumi dan sebaran potensi
panas bumi terhadap keadaan hidrologi (NDWI) di kawasan panas bumi
Jaboi berdasarkan analisis citra Landsat 8.
4. Bagaimana hubungan antara manifestasi panas bumi dan sebaran potensi
panas bumi terhadap distribusi suhu permukaan (LST) di kawasan panas
bumi Jaboi berdasarkan analisis citra Landsat 8.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini, antara lain:
1. Mengetahui keadaan geomorfologi kawasan panas bumi Jaboi berdasarkan
data DEMNAS.
2. Mengetahui tingkat kerapatan vegetasi (NDVI) di kawasan panas bumi
Jaboi serta hubungannya dengan manifestasi panas bumi.
3. Mengetahui keadaan hdrologi (NDWI) di kawasan panas bumi Jaboi serta
hubungannya dengan manifestasi panas bumi.
4. Mengetahui distribusi suhu permukaan (LST) untuk menentukan zona
manifestasi panas bumi dan sebaran potensi panas bumi di kawasan Jaboi.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang didapatkan melalui penelitan ini antara lain:
1. Dapat digunakan sebagai informasi untuk pengembangan dan eksplorasi
panas bumi di kawasan Jaboi.
2. Dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian lanjutan di kawasan
Jaboi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Kawasan Jaboi


Pulau Weh merupakan salah satu pulau vulkanik yang terbentuk di dalam suatu
segmen depresi dari jalur sesar Semangko di ujung barat laut Sumatera, sehingga
terbentuk zona depresi di pulau tersebut seperti graben Teluk Sabang-Balohan dan
graben Lhok Pria Laot dengan arah struktur dominan barat laut tenggara.

Sesar normal Ceunohot berarah timur laut barat daya merupakan bagian dari
sesar pembentuk graben tersebut dan merupakan sesar normal yang melintas daerah
prospek di bagian utara. Akibat pensesaran ini maka blok sesar bagian barat laut
relatif bergerak turun dibanding blok bagian tenggara. Dimungkinkan Sesar Normal
Ceunohot merupakan salah satu sesar prospek di lapangan panas bumi Jaboi, Pulau
Weh, Sabang. Aktivitas panas bumi yang terjadi di pulau tersebut berkaitan erat
dengan aktivitas tektonik-vulkanik. Daerah panas bumi Jaboi ini terletak diantara
dua kerucut termuda di Pulau Weh yaitu Gunung Leumo Matee dan Semeureuguh.

Daerah panas bumi di pulau Weh batuannya adalah vulkanik tua. Litologi
Pulau Weh dapat dikelompokkan dalam empat kelompok satuan batuan, yaitu
batuan sedimen Tersier, vulkanik tua Pulau Weh berumur Kuarter - Tersier,
vulkanik muda Kuarter dan alluvial.

Gambar 2.1 Peta Geologi Sabang


2.2 Gunung Api
Gunung api merupakan suatu gunung yang hanya terdapat di kawasan
pertemuan dua lempeng bumi, jalur punggungan tengah samudera, hingga di
tempat-tempat yang menjadi titik keluarnya magma. Hal ini disebabkan karena
gunung api terbentuk akibat adanya penumpukan material hasil daripada erupsi
magma (Kusumadinata, 1979). Apabila dilihat dari sumber erupsinya, gunung api
terdiri dari beberapa jenis erupsi. Erupsi pertama berupa erupsi pusat dimana
material keluar melalui kawah utama. Erupsi yang kedua berupa erupsi samping
dimana material keluar dari lereng tubuh gunung api itu sendiri. Selanjutnya
terdapat erupsi celah dimana material keluar melalui celah-celah yang terdapat
disekitar gunung api. Umumnya celah ini berasal dari sesar atau rekahan. Adapun
jenis erupsi yang terakhir adalah erupsi eksentrik dimana magma yang terdapat di
dalam gunung keluar melalui kepundan yang terdapat di gunung api tersebut.

Pergerakan lempeng yang aktif menjadi salah satu faktor penting dalam
pembentukan gunung api di dunia. Pembentukan ini didasarkan pada empat busur
gunung api yang berbeda. Menurut Maryanto (2018) empat busur gunung api ini
berupa pemekaran kerak benua yang ditandai dengan pergerakan lempeng yang
saling menjauh, adanya tumbukan antar kerak yang ditandai dengan penunjaman,
adanya pergerakan kerak benua secara horizontal, serta terjadinya penipisan
terhadap kerak samudera.

Menurut Van Padang (1951), terdapat tiga tipe gunung api yang ada di
Indonesia. Adapun ketiga tipe tersebut antara lain:

1. Tipe A, merupakan tipe gunung api yang pernah mengalami erupsi


magmatik atau pernah meletus setelah tahun 1600. Dalam wilayah
Indonesia sendiri terdapat 79 gunung yang termasuk kedalam tipe ini.
2. Tipe B, merupakan tipe gunung api yang setelah tahun 1600 belum
mengalami erupsi magmatik namun memperlihatkan aktivitas lain seperti
adanya solfatara. Di Indonesia terdapat 29 gunung yang termasuk kedalam
tipe ini.
3. Tipe C, merupakan tipe gunung api yang mana erupsinya tidak tercatat
dalam sejarah, akan tetapi terdapat tanda-tanda kegiatan masa lampau
seperti lapangan fumarola dalam tingkatan yang lemah. Di Indonesia
sendiri terdapat 21 gunung yang bertipe seperti ini.

Sedangkan apabila ditinjau dari bentuk dan proses terjadinya, maka


Jennings (1969) menggolongkan bentuk gunung api menjadi tiga bagian,
diantaranya:

1. Gunung Api Kerucut/ Strato, merupakan jenis gunung api berbentuk


kerucut yang berasal dari lapisan abu dan lava yang berlapis-lapis. Gunung
jenis ini terjadi akibat adanya letusan dan lelehan daripada batuan yang
bersifat panas dan cair. Ciri lain yang dapat ditemui dari gunung jenis ini
adalah memiliki pipa kepundan yang relatif panjang dengan ketinggian
gunung lebih dari 3000 m di atas permukaan laut (Williams dan McBirney,
1979).
2. Gunung Api Maar, merupakan jenis gunung api yang memiliki lubang besar
di bagian puncak yang terisi oleh air dengan diameter mencapai 2 km
(Schieferdecker, 1959). Lubang ini terbentuk akibat adanya letusan yang
sangat besar. Sehingga apabila dilihat dari atas maka gunung api maar akan
memperlihatkan penampakan berupa cekungan yang melingkar (circular
depressions).
3. Gunung Api Perisai, merupakan jenis api yang berbentuk seperti perisai atau
tameng. Bentuk ini dihasilkan dari proses lelehan magma yang keluar
dengan tekanan yang rendah. Sehingga akan terbentuk lereng yang sangat
landai akibat tidak terjadinya letusan yang besar (Katili, 1974).

Gambar 2.2. Bentuk Gunung Api (Jennings, 1969)


Bronto (2006) menyatakan bahwa terdapat beberapa jenis tipe letusan daripada
gunung api, antara lain:
1. Tipe Hawai, tipe jenis ini memiliki letusan dimana lava yang keluar
mencapai ketinggian 200 meter yang mengalir secara bebas pada saat
berada di permukaan.
2. Tipe Pelle, tipe jenis ini memiliki letusan yang bersifat merusak. Hal ini
disebabkan karena magma yang keluar berasal dari lereng gunung yang
bersifat lemah.
3. Tipe Stromboli, letusan ini berbentuk seperti pijar kembang api dimana
ketinggian material akibat letusan dapat mencapai 500 meter.
4. Tipe Merapi, gunung api yang meletus dengan tipe ini umumnya
berbentuk guguran lava pijar yang terjadi pada saat kubah lava mulai
runtuh.
5. Tipe Vincent, letusan jenis ini akan menyebabkan terjadinya longsoran yang
besar dan mengeluarkan awan panas dengan material yang sangat padat.
6. Tipe Vulkano, letusan yang terjadi hampir serupa dengan tipe Vincent
dimana gunung api akan mengeluarkan awan panas yang padat namun tidak
menyebabkan longsoran yang besar.
7. Tipe Perret, tipe letusan ini merupakan jenis letusan yang paling besar. Hal
ini ditandai dengan letusan yang bersifat eksplosif dengan ketinggian
mencapai 500 kilometer.

Gambar 2.3. Tipe-tipe letusan gunung api (Bronto, 2006)


2.3 Konsep Panas Bumi
Berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2014 tentang panas bumi, panas
bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, dan
batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik semuanya tidak
dapat dipisahkan dalam suatu sistem panas bumi dan untuk pemanfaatan diperlukan
proses penambangan. Sumber panas bumi itu sendiri berasal dari bawah permukaan
akibat adanya intrusi magma yang menerobos ke atas permukaan. Magma sendiri
terbentuk akibat adanya aktivitas antar lempeng yang mengalami tumbukan dan
secara perlahan bergerak ke permukaan dengan temperatur yang tinggi akibat
adanya proses pergesekan (Arifin, 2013).

Tumbukan antar lempeng yang dimaksud adalah tumbukan antara


Lempeng Eurasia di sebelah utara dan Lempeng Indo-Australia di sebelah selatan.
Tumbukan antar lempeng ini akan menghasilkan zona subduksi. Kedalaman zona
subduksi ini juga bervariasi dimana pada Pulau Jawa kedalaman zona subduksi
mencapai 160-210 km, sedangkan di Pulau Sumatera mencapai 100 km. Dengan
adanya perbedaan kedalaman zona subduksi ini mengakibatkan adanya perbedaan
dalam proses magmatisasi. Di Pulau Sumatera proses magmatisasi berlangsung di
tempat yang lebih dangkal jika dibandingkan dengan proses magmatisasi yang
berlangsung di Pulau Jawa atau Nusa Tenggara. Akibat perbedaan kedalaman dan
proses magmatisasi ini maka jenis magma yang dihasilkan juga mengalami
perbedaan. Pada kedalaman yang dangkal magma yang dihasilkan akan bersifat
asam dan lebih padat. Sedangkan pada kedalaman yang dalam magma yang
dihasilkan akan bersifat basa dan lebih cair. Magma yang bersifat basa dan cair ini
umumnya memiliki kandungan gas magmatik yang lebih tinggi dibandingkan
dengan magma yang bersifat asam dan padat sehingga apabila terjadi erupsi pada
gunung api maka akan menghasilkan endapan vulkanik.

Dengan adanya pengaruh kedalaman dan sifat magma ini maka akan
mempengaruhi reservoir panas bumi yang terdapat di Pulau Jawa maupun Pulau
Sumatera. Umumnya reservoir panas bumi yang terdapat di Pulau Jawa berada pada
batuan vulkanik di kedalaman yang dalam sedangkan reservoir panas bumi di Pulau
Sumatera berada pada batuan sedimen yang sudah terdeformasi berulang kali di
kedalaman yang dangkal. Dengan adanya deformasi pada batuan sedimen ini
menyebabkan terbentuknya porositas sekunder yang menghasilkan tingkat
permeabilitas reservoir panas bumi yang lebih besar di kawasan Pulau Sumatera
(Siahaan dkk, 2011).

Apabila dilihat secara mendasar, umumnya sistem panas bumi terbentuk akibat
adanya perpindahan panas secara konduksi dan konveksi. Maksud perpindahan
panas secara konduksi adalah perpindahan panas yang terjadi tanpa disertai
perpindahan partikelnya. Sedangkan perpindahan panas secara konveksi adalah
perpindahan panas dimana perantara nya juga ikut mengalami perpindahan.
Jika ditinjau dalam sistem panas bumi, maka dapat dijelaskan bahwa perpindahan
panas secara konduksi terjadi melalui batuan. Sedangkan perpindahan panas
secara konveksi terjadi melalui kontak antara fluida terhadap sumber panas akibat
adanya gaya apungan (Saptaji, 2001).

2.3.1 Sistem Panas Bumi


Secara umum sistem panas bumi diawali dengan adanya air meteorik atau air
hujan yang masuk ke dalam bumi. Air meteorik ini masuk melalui rekahan atau
sesar yang terdapat di permukaan. Air yang masuk ini terus mengalir dan menuju
kebawah permukaan bumi. Akibat adanya struktur berupa rekahan maka air dapat
masuk ke dalam batuan yang memiliki pori-pori lebih besar. Sebagaimana
yang diketahui bahwa salah satu sifat air adalah mengikuti bentuk wadahnya, maka
dengan demikian air yang masuk ke bawah permukaan akan mengalir ke samping
selama ada celah-celah yang memungkinkan untuk air tersebut dapat mengalir.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Suharno (2010) bahwa salah satu komponen
panas bumi adalah adanya sumber panas (heat source). Pada saat air meteorik ini
mengalir dan sampai ke sumber panas maka akan terjadi peningkatan suhu/
temperatur. Dengan adanya peningkatan temperatur pada air maka sebagian air
akan mengalami proses penguapan dan sebagian lainnya tetap menjadi air dengan
tingkat temperatur yang tinggi (Nuha, 2012).
Gambar 2.4. Konseptual Sistem Panas bumi (Saptaji, 2001)
Seperti yang terlihat pada Gambar 2.4. diketahui bahwa air atau fluida yang
telah terpanaskan ini selanjutnya akan mentransfer panas ke batuan melalui proses
konveksi. Proses ini akan menyebabkan pertambahan volume dan tekanan pada
batuan. Seperti yang diketahui bahwa batuan memiliki pori dan celah yang dapat
dilalui oleh fluida maka fluida dengan tekanan yang tinggi akan bergerak naik
melalui celah-celah tersebut. Sehingga fluida tersebut akan mencapai permukaan
dalam bentuk manifestasi.

Menurut Suharno (2010) terdapat beberapa komponen yang mengontrol


sistem panas bumi. Komponen yang pertama adalah adanya sumber panas (heat
source). Sumber panas ini terbentuk melalui lapisan kerak bumi dan berasal dari
magma yang terakumulasi. Komponen yang kedua adalah batuan reservoir dengan
tingkat porositas dan permeabilitas yang tinggi dimana pada batuan reservoir
inilah fluida panas bumi akan terakumulasi. Komponen yang ketiga adalah fluida
yang berfungsi untuk menghantarkan panas ke batuan. Komponen terpenting
lainnya yang menjadi komponen akhir adalah batuan penutup (cap rock) dengan
sifat impermeable yang tinggi. Berdasarkan hal tersebut, Hochstein (2000)
mengelompokkan sistem panas bumi menjadi tiga bagian, yakni:
1. Sistem Hidrotermal, merupakan suatu proses perpindahan panas dari
sumber panas menuju permukaan. Perpindahan panas ini terjadi secara
konveksi.
2. Sistem Vulkanik, merupakan suatu proses perpindahan panas dari dapur
magma menuju ke permukaan yang terjadi secara konveksi dengan
melibatkan fluida magma.
3. Sistem Vulkanik-Hidrotermal, merupakan suatu sistem panas bumi yang
berasal dari penggabungan antara sistem Hidrotermal dan sistem vulkanik.
Pada sistem ini air magmatik akan naik menuju ke permukaan dan
bercampur dengan air meteorik.

Disamping itu pula apabila ditinjau dari tingkatan temperatur reservoir,


Hochstein (2000) menggolongkan sistem panas bumi kedalam tiga bagian, antara
lain:
1. Sistem panas bumi bertemperatur rendah, merupakan suatu sistem dimana
kandungan fluida yang terkandung di dalam reservoirnya memiliki
temperatur yang lebih kecil daripada 125˚C.
2. Sistem panas bumi bertemperatur sedang, merupakan suatu sistem dimana
kandungan fluida yang terkandung di dalam reservoirnya memiliki
temperatur antara 125˚C sampai dengan 225˚C.
3. Sistem panas bumi bertemperatur tinggi, merupakan suatu sistem dimana
kandungan fluida yang terkandung di dalam reservoirnya memiliki
temperatur diatas 225˚C.
2.3.2 Fluida Panas Bumi
Fluida panas bumi merupakan medium dalam menghantarkan panas baik
terhadap batuan maupun panas yang menuju ke permukaan. Pada umumnya,
fluida panas bumi dapat berasal dari bagian dalam reservoir maupun dari bagian
luar reservoir. Fluida yang berasal dari bagian dalam reservoir dapat didefinisikan
sebagai larutan aqueous panas dengan temperatur yang berkisar antara ~50˚C
sampai dengan >500˚C. Berdasarkan jumlah anion yang terkandung, menurut
Nicholson (1993) fluida panas bumi dibedakan menjadi tiga tipe, yakni:
a. Air Klorida (Clhoride Water), fluida jenis ini merupakan tipe fluida panas
bumi yang sering ditemukan pada kawasan dengan temperatur yang tinggi.
Disamping itu, tipe fluida ini juga dapat mengidentifikasi kawasan dengan
tingkat permeabel yang tinggi seperti zona patahan, zona erupsi, dan lain
sebagainya.
b. Air Sulfat (Sulphate Water), fluida ini merupakan tipe fluida panas bumi
yang terbentuk pada kedalaman yang dangkal. Pembentukan ini terjadi
akibat adanya proses kondensasi gas panas bumi yang menuju ke
permukaan.
c. Air Bikarbonat (Bicarbonate Water), fluida ini merupakan tipe fluida
panas bumi dengan kandungan CO2 yang tinggi. Pembentukan fluida ini
berasal dari proses kondensasi gas dan uap yang menjadi mata air dibawah
permukaan.
2.3.3 Manifestasi Panas Bumi
Menurut Kasbani (2011) terdapatnya suatu sumber panas bumi di bawah
permukaan sering kali ditunjukkan oleh adanya kehadiran manifestasi panas bumi
di atas permukaan. Manifestasi panas bumi di permukaan diprediksi terjadi karena
adanya perambatan panas yang berasal dari bawah permukaan atau akibat adanya
rekahan-rekahan yang memungkinkan bagi fluida panas bumi (uap dan air panas)
untuk dapat mengalir ke permukaan. Terdapat beberapa macam manifestasi yang
terdapat di permukaan, yakni:
a. Tanah hangat (warm ground)
Manifestasi ini terbentuk karena adanya perpindahan panas secara
konduksi dari batuan yang berada di bawah permukaan ke permukaan
bumi. Dengan adanya perpindahan panas ini maka akan menyebabkan
suatu area tanah memiliki temperatur yang lebih tinggi daripada
temperatur tanah di sekitarnya.
b. Permukaan tanah beruap (streaming ground)
Tanah beruap merupakan jenis manifestasi dimana uap panas/ stream
keluar dari permukaan tanah. Uap ini berasal dari suatu lapisan tipis yang
terletak di dekat permukaan dimana mengandung air panas dengan
temperatur yang sama atau lebih besar daripada titik didihnya.
c. Kolam air panas (hot pools)
Manifestasi ini terbentuk akibat adanya aliran air panas dari bawah
permukaan yang melalui rekahan-rekahan pada batuan. Pada permukaan air
terjadi penguapan akibat perpindahan panas dari permukaan ke atmosfer.
d. Mata air panas atau hangat (hot or warm spring)
Manifestasi ini dikatakan panas apabila temperatur air lebih besar daripada
50˚C dan dikatakan hangat apabila temperatur air lebih kecil daripada
50˚C. Manifestasi ini dihasilkan akibat adanya aliran air panas atau hangat
yang keluar dari bawah permukaan melalui rekahan-rekahan pada batuan.
e. Telaga air panas (hot lakes)
Manifestasi ini pada dasarnya sama dengan kolam air panas, akan tetapi
memiliki luasan permukaan air yang lebih luas. Telaga air panas terbentuk
dari proses hydrothermal eruption yang sangat besar.
f. Fumarol
Merupakan manifestasi panas bumi berupa lubang kecil yang
mengeluarkan uap panas kering (dry steam) atau uap panas dengan butiran
air (wet steam).
g. Geyser
Merupakan mata air panas yang menyembur ke udara secara intermittent
(terdapat selang waktu yang tidak tentu) dengan ketinggian yang
bervariasi.
h. Kubangan lumpur panas (mud pools)
Mengandung gas CO2 dengan kandungan sejumlah kecil uap air panas.
i. Silika sinter
Merupakan endapan silika berwarna kuning keperakan yang sering
dijumpai di sekitar manifestasi mata air panas ataupun lubang geyser yang
menghasilkan semburan air dalam kondisi netral.
j. Batuan yang mengalami alterasi
Merupakan proses yang disebabkan oleh reaksi antara batuan asal dengan
fluida panas bumi. Batuan hasil alterasi hidrotermal bergantung pada
beberapa faktor, namun yang paling utama adalah faktor temperatur, jenis
batuan asal, tekanan, lamanya reaksi,dan komposisi fluida (Browne dkk,
1996).
2.4 Penginderaan Jauh (Remote Sensing)
Penginderaan jauh atau biasa dikenal sebagai remote sensing merupakan suatu
ilmu dan seni yang digunakan untuk memperoleh informasi terkait objek, daerah
atau gejala dengan cara menganalisis data yang didapatkan dengan menggunakan
alat tanpa adanya kontak langsung terhadap objek, daerah atau gejala yang dikaji
(Lillesand dan Kiefer, 1997). Dalam mekanisme kerjanya, penginderaan jauh tidak
lepas dari dua jenis sistem yang bekerja. Sistem pertama dikenal sebagai sistem
aktif dan sistem yang kedua dikenal sebagai sistem pasif. Kedua sistem ini
dipengaruhi oleh gelombang elektromagnetik. Sistem aktif dalam penginderaan
jauh bekerja dengan suatu sensor yang dilengkapi dengan alat pemancar
(transmitter) dan alat penerima (receiver) gelombang elektromagnetik. Sedangkan
sistem pasif pada penginderaan jauh didefinisikan sebagai suatu sistem yang hanya
memiliki sensor penerima (receiver) pantulan gelombang elektromagnetik saja
(Ekadinata dkk, 2008).

Prinsip dasar dari metode penginderaan jauh adalah setiap objek akan
memancarkan atau memantulkan gelombang elektromagnetik tertentu yang
bertujuan untuk memberikan informasi. Adapun informasi yang dikirimkan ini
bergantung terhadap komposisi objek dan sifat fisik yang dimiliki oleh objek
tersebut. Untuk memahami prinsip dasar kerja penginderaan jauh, Utami dan
Soetoto (2001) menyebutkan terdapat lima komponen utama dalam sistem
penginderaan jauh. Komponen tersebut mencakup adanya sumber energi utama
berupa matahari, adanya atmosfer yang berfungsi sebagai medium dimana
medium ini akan menyerap, memantulkan, menghamburkan, dan melewatkan
radiasi elektromagnetik. Disamping itu, terdapat beberapa komponen lainnya
seperti objek atau target, radiasi yang mengalami pantulan dan pemancaran, serta
sensor yang digunakan untuk merekam dan menerima radiasi.

Gambar 2.5. Mekanisme Kerja Penginderaan Jauh (Danoedoro, 2012)


Sebagaimana yang dilihat pada Gambar 2.5 diketahui bahwa
penginderaan jauh memiliki mekanisme kerja yang bekerja secara bersama.
Mekanisme kerja ini diawali dengan adanya sumber energi yang memancarkan
gelombang elektromagnetik yang diterima oleh objek atau target. Selanjutnya
energi yang diterima oleh objek dipantulkan hingga sampai kepada sensor
penginderaan jauh. Saat energi ini tiba di sensor, selanjutnya sensor akan mencatat
dan mengumpulkan informasi yang dibawa oleh gelombang elektromagnetik
untuk diteruskan ke stasiun penerima. Informasi ini akan diolah dan di proses
menjadi suatu format yang dapat digunakan. Format ini dapat berupa citra
maupun non-citra. Citra yang diperoleh ini selanjutnya di olah dan di interpretasi
secara visual dan otomatis menggunakan bantuan perangkat lunak hingga
diperoleh informasi sesuai dengan target yang diinginkan (Purwadhi, 2001).

Penggunaan metode penginderaan jauh (remote sensing) merupakan


metode yang sangat baik digunakan dalam studi pendahuluan potensi panas bumi
dengan kawasan yang luas. Hingga saat ini, terdapat beberapa penelitian yang sudah
dilakukan menggunakan metode penginderaan jauh. Seperti yang dilakukan oleh
Faridah dan Krisbiantoro (2014) dalam analisis distribusi suhu permukaan tanah
(LST) menggunakan teknik penginderaan jauh di Gunung Lamongan, Jawa Timur
dimana diperoleh hasil terdeteksinya zonasi panas bumi di sekitar kawasan Gunung
Lamongan tersebut. Disamping itu juga terdapat penelitian lainnya yakni penelitian
oleh Muslim dan Sunyoto (2012) yang memanfaatkan Sistem Informasi Geografis
(SIG) dalam pemetaan potensi panas bumi di Indonesia menggunakan google maps.
Melalui penelitian tersebut diperoleh hasil berupa pemetaan lokasi panas bumi baik
yang masih dalam tahap penelitian maupun yang sudah di eksplorasi.

Dalam pengolahan data menggunakan metode penginderaan jauh, terdapat


beberapa tools atau perangkat lunak yang sering digunakan, salah satunya
perangkat lunak ArcviewGIS. Pada kasus kajian panas bumi, Walawender, dkk
(2012) melakukan penelitian terhadap potensi panas bumi menggunakan data
Landsat yang diolah menggunakan perangkat lunak ArcviewGIS. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui lokasi panas bumi berdasarkan sebaran suhu
permukaan tanah.
2.5 DEM (Digital Elevation Model)
DEM (Digital Elevation Model) adalah himpunan titik-titik koordinat hasil
sampling dari permukaan dengan algoritma yang mendefinisikan permukaan
menggunakan himpunan koordinat dimana koordinat tersebut akan menghasilkan
data digital yang dapat menggambarkan geometri dari bentuk permukaan bumi atau
bagiannya (Tempfli, 1991). Data DEM yang terhimpun atas titik-titik korodinat ini
akan mewakili distribusi spasial dari karakteristik suatu medan, dimana koordinat
horizontal X,Y merupakan distribusi spasial sedangkan koordinat Z
merupakan ketinggian medan (Sarapirome dkk, 2002). Berdasarkan hal tersebut,
untuk mengelola dan mengolah data DEM diperlukan suatu teknologi komputer
grafis sehingga dapat menggambarkan dan memberikan visualisasi yang bagus
terhadap relief medan atau relief muka bumi (Qiming dkk, 2011).

Dalam perkembangannya, terdapat beberapa produk data DEM yang sering


digunakan dalam berbagai keperluan. Salah satu produk tersebut adalah data
DEMNAS . Data DEMNAS merupakan data yang berisikan topografi atau elevasi
pada suatu daerah dengan resolusi yang tinggi. Ketelitian dari data ini mencapai 8
meter sehingga sangat efektif untuk digunakan dalam pemetaan kawasan dengan
skala kecil hingga menengah. Data DEMNAS merupakan data yang dibangun dari
beberapa sumber data meliputi data TERRASAR-X (resolusi 5m), ALOS PALSAR
(resolusi 11,25m), dan IFSAR (resolusi 5m) yang ditambahkan dengan data
masspoint hasil daripada stereo-ploting. Pada prosesnya, hasil dari data
DEMNAS dapat dibuat dalam bentuk data raster (grid) dan data vektor TIN
(Triangulated Irregular Network).

Secara umum, data DEMNAS dapat digunakan dalam berbagai tujuan dan
kepentingan. Hal ini dikarenakan data DEMNAS dapat diekstraksi menjadi
beberapa turunan. Hasil ekstraksi ini dapat berupa garis kontur, kemiringan lereng
(slope), bayangan (hillshade), penampang melintang (profiling), hingga batas
aliran sungai (Sobrino dkk, 2004). Disamping itu juga, data DEMNAS ini sering
digunakan untuk menginterpretasi struktur kelurusan (lineament). Kelurusan ini
umumnya sering berhubungan dengan adanya struktur geologi seperti sesar,
rekahan, kekar, serta siklin dan antiklin (Darmawan dkk, 2013). Dengan adanya
struktur ini maka sangat bermanfaat dalam bidang eksplorasi panas bumi. Hal ini
disebabkan karena bidang sesar atau rekahan merupakan zona permeabel yang
memungkinkan bagi fluida panas untuk mengalir menuju kedalaman yang lebih
dangkal. Pengukuran sifat permeabilitas batuan berupa sesar dan rekahan pada
suatu kawasan panas bumi dapat diukur menggunakan teknik FFD (Fault and
Fracture Density). Teknik ini digunakan berdasarkan hasil ekstraksi kelurusan yang
telah dihasilkan. Menurut Noor (2014) terdapat beberapa acuan yang dapat
digunakan dalam menafsirkan hubungan antara rekahan atau sesar terhadap
kelurusan. Penafsiran ini terdiri atas penafsiran sesar berdasarkan jejak perlapisan,
penafsiran sesar berdasarkan inklinasi dan arah kemiringan, serta penafsiran sesar
berdasarkan perbedaan warna.

(a)

(b)
(c)
Gambar 2.6. (a) Penafsiran sesar berdasarkan jejak-jejak lapisan (b) Penafsiran
sesar berdasarkan arah kemiringan dan inklinasi (c) Penafsiran
sesar berdasarkan perbedaan warna (Noor, 2014)

2.6 Citra Satelit Landsat


Landsat merupakan satelit pengamat permukaan bumi yang pertama kali
diluncurkan oleh Amerika Serikat pada tahun 1972 dengan nama EOS (earth
Observation Satellite) atau biasa dikenal sebagai Landsat 1. Dalam catatan
sejarahnya, satelit Landsat 1 terus mengalami perkembangan hingga mencapai
Landsat 8. Perkembangan ini diawali dengan hadirnya Landsat 2 yang
diluncurkan pada tanggal 22 Januari 1975. Kemudian berlanjut pada peluncuran
Landsat 3 yang diluncurkan pada tanggal 5 Maret 1978. Ketiga satelit tersebut
dilengkapi dengan sensor multispectral.

Seiring dengan perkembangan zaman, Amerika Serikat kembali meluncurkan


landsat generasi kedua berupa Landsat 4 dan Landsat 5. Landsat 4 sendiri mulai
mengorbit pada tanggal 16 Juli 1982 dan Landsat 5 mulai mengorbit pada tanggal
1 Maret 1984 yang telah dilengkapi oleh sensor TM (Thematic Mapper)
dengan resolusi mencapai 30 meter. Untuk menunjang kinerjanya, Landsat 5 telah
dibekali dengan tujuh buah band dengan ketinggian orbit mencapai 705 km.
Akan tetapi, pada tahun 2011 Landsat 5 mengalami gangguan hingga digantikan
oleh Landsat 6. Namun dalam tahap peluncurannya Landsat 6 juga mengalami
gangguan hingga gagal mencapai jalur orbital. Seiring dengan perkembangan
teknologi, AS meluncurkan satelit berikutnya yakni Landsat 7 dan Landsat 8.
Landsat 8 merupakan satelit terbaru yang dimiliki oleh AS yang dibekali oleh
dua jenis instrumen atau sensor. Instrumen ini berupa OLI (Onboard Operational
Land Imager) dan TIRS (Thermal Infrared Sensors). Kedua instrumen ini
didukung oleh band-band yang terdapat pada Landsat 8. Menurut USGS (2016)
terdapat 11 buah band yang memiliki fungsi dan panjang gelombang yang
berbeda-beda. Untuk instrumen OLI memiliki 9 band dengan panjang gelombang
mulai dari 0,433 µ m hingga 1,390 µ m. Sedangkan pada instrumen TIRS
terdiri atas 2 band termal dengan panjang gelombang mulai dari 10,30 µ m sampai
12,50 µ m. Band termal yang terdapat pada instrumen TIRS ini berfungsi untuk
mendeteksi perbedaan suhu permukaan bumi, sehingga sangat cocok digunakan
untuk kajian panas bumi.

Tabel 2.1. Karakteristik band pada Landsat 8 (sumber:landsat.usgs.gov)


Band Spektral Panjang Resolusi Kegunaan dalam
Gelombang Spasial pemetaan
(µ) (meter)
Band 1 – Coastal 0,43 – 0,45 30 Studi aerosol dan wilayah
Aerosol Pesisir
Band 2 – Blue 0,45 – 0,51 30 Pemetaan bathimetri
Band 3 – Green 0,53 – 0,59 30 Mempertegas puncak
vegetasi untuk menilai
kekuatan vegetasi
Band 4 – Red 0,64 – 0,67 30 Membedakan sudut
Vegetasi
Band 5 – Near InfraRed 0,85 – 0,88 30 Menekankan konten
biomassa dan garis pantai
Band 6 – Short 1,57 – 165 30 Mendiskriminasikan kadar
Wavelength InfraRed air tanah dan vegetasi,
menembus awan tipis
Band 7 – Short 2,11 – 2,29 30 Peningkatan kadar air
Wavelength InfraRed tanah dan vegetasi dan
penetrasi awan tipis
Band 8 – Panchromatic 0,50 – 0,68 15 Untuk penajaman citra
Band 9 – Cirrus 1,36 – 1,38 30 Peningkatan deteksi awan
sirus yang terkontaminasi
Band 10 – Long 10,60 – 11,19 100 Pemetaan suhu dan
Wavelength InfraRed perhitungan kelembaban
tanah
Band 11 – Long 11,50 – 12,51 100 Peningkatan pemetaan
Wavelength InfraRed suhu dan perhitungan
kelembaban tanah

Disamping karakteristik band yang terdapat pada Landsat 8, USGS (2016) juga
telah merumuskan beberapa karakteristik Landsat 8 secara umum seperti yang
terlihat pada tabel 2.2.

Tabel 2.2. Karakteristik Landsat 8 (USGS, 2016)


Sistem Landsat 8
Orbit 705 Km, 98.2˚, Sun-synchronous,
10:00 AM crossing, rotasi 16 hari
(repeat cycle).
Sensor OLI (Onboard Operational Land
Imager) TIRS (Thermal Infrared
Sensors)
Swath Width 185 Km (FOV=15˚)
Off-track Viewing Tidak tersedia.
Revisit Time 16 hari.
Band-band SPektral (µm) 0.433-0.453 (1), 0.450-0.5151 (2),
0.525-0.60 (3), 0.63-0.68 (4), 0.845-
0.885 (5), 1.56-1.66 (6), 2.1-2.3 (7),
0.5-0.68 (8), 1.36-1.39 (9), 10.3-11.3
(10), 11.5-12.5 (11)
Resolusi Spasial 15 m (PAN), 30 m (band 1-7, 9) 100
m (band 10-11)
Arsip Data Earthexplorer.usgs.gov

2.6.1 Komposit Band


Komposit band merupakan suatu proses penggabungan/ kombinasi antara tiga
band berbeda yang akan menghasilkan suatu warna. Dengan adanya kombinasi
ini akan menghasilkan suatu gambar berupa true color maupun false color
(Wahyudi, 2005). Perbedaan warna yang dihasilkan dipengaruhi oleh perpaduan
antar band yang berbeda. Setiap band yang dipadukan akan mewakili masing-
masing warna dalam format RGB (Red Green Blue ) dengan nilai panjang
gelombang yang berbeda-beda pula. Terdapat beberapa fungsi atau tujuan
dilakukannya komposit band. Tujuan ini antara lain mengetahui kondisi geologi
kawasan penelitian maupun penggunaan lainnya. Untuk menghasilkan gambar atau
citra yang baik melalui perpaduan band/ komposit band maka terlebih dahulu harus
mengetahui setiap perpaduan antar band pada Landsat 8 seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Perpaduan antar band pada Landsat 8 (USGS, 2016)


Aplikasi Kombinasi Band
Natural Color 432
False Color (urban) 764

Color Infrared (vegetation) 543

Agriculture 652
Atmospheric Penetration 765
Healthy Vegetation 562

Land/Water 564

Natural With Atmospheric Removal 753


Shortwave Infrared 754

Vegetation Analysis 654

2.6.2 Koreksi Radiometrik dan Koreksi Geometrik


Sebagaimana yang diketahui bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi kualitas daripada citra satelit Landsat 8, salah satunya adalah noise
akibat adanya awan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dalam pengolahan data
citra satelit terdapat dua jenis koreksi yakni koreksi radiometrik dan koreksi
geometrik. Menurut Martha, dkk (2004) koreksi radiometrik merupakan proses
untuk memperbaiki kualitas visual dari citra satelit akibat adanya pengaruh
atmosfer. Dengan kata lain, koreksi radiometrik bertujuan untuk meningkatkan
kontras (enhancement) yang terdapat pada setiap piksel. Sedangkan koreksi
geometrik merupakan proses penyesuaian citra satelit terhadap koordinat
sebenarnya akibat adanya pengaruh distorsi pada bumi.
Menurut Mallick, dkk (2012) koreksi radiometrik merupakan koreksi yang
pertama harus dilakukan dalam pengolahan citra satelit. Terdapat dua tahapan
dalam melakukan koreksi radiometrik yakni kalibrasi radiometrik dan koreksi
atmosferik. Kalibrasi radiometrik bertujuan untuk mengubah nilai data citra hasil
unduhan berupa nilai digital (digital value) menjadi nilai reflektan TOA (Top of
Atmospheric).

2.7 NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)


Terdapat beberapa jenis indeks vegetasi yang sering digunakan, salah satunya
adalah teknik NDVI (Normalized Difference Vegetation Index). Teknik ini dapat
menunjukkan parameter yang berhubungan dengan parameter vegetasi berupa
biomass maupun daerah dedaunan hijau. Dalam penerapannya, teknik NDVI
digunakan untuk menentukan daerah dengan tingkat kerapatan vegetasi yang tinggi
hingga kerapatan vegetasi yang rendah (Liang, 2004). Kerapatan vegetasi yang
tinggi ditandai dengan rapatnya vegetasi yang ditunjukkan oleh citra, sedangkan
kerapatan vegetasi yang rendah digambarkan dengan tingkat vegetasi yang jarang.
Pada satelit Landsat, teknik NDVI dikembangkan berdasarkan perbedaan antara
pantulan maksimum pada gelombang near infrared (NIR) dan penyerapan
maksimum pada gelombang red seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.7. Dalam
pengolahannya, perhitungan NDVI dilakukan dengan menggunakan persamaan 2.1
berikut.

(𝑁𝐼𝑅−𝑅𝐸𝐷)
𝑁𝐷𝑉𝐼 = (2.1)
(𝑁𝐼𝑅+𝑅𝐸𝐷)

Melalui persamaan tersebut maka akan diperoleh nilai NDVI yang berkisar
antara -1 hingga 1. Kawasan dengan nilai NDVI 1 menggambarkan tingkat vegetasi
yang rapat, sedangkan nilai NDVI -1 menggambarkan tidak adanya vegetasi di
suatu kawasan. Nilai -1 ini juga direpresentasikan sebagai kawasan perairan.

2.8 NDWI (Normalized Difference Water Index)


Normalized Difference Water Index (NDWI) merupakan indeks hidrologi yang
menunjukkan tingkat kebasahan suatu area. NDWI merupakan teknik baru yang
dikembangkan untuk mendukung NDVI. Teknik NDWI bertujuan untuk
menggambarkan kondisi fitur air terbuka dengan resolusi yang baik. Dalam
penerapannya, NDWI menggunakan radiasi infrared yang dipantulkan untuk
meningkatkan fitur air dan menghilangkan keberadaan daripada vegetasi.
Berdasarkan hal tersebut, diketahui bahwa teknik ini merupakan kebalikan
daripada teknik NDVI. Jika pada teknik NDVI (Normalized Difference Vegetation
Index) yang ditampilkan adalah indeks vegetasi dan tutupan lahan dengan
kawasan perairan yang berwarna gelap, maka dalam teknik NDWI (Normalized
Difference Water Index) yang ditampilkan adalah kawasan perairan dengan warna
cerah dan kawasan vegetasi dengan warna gelap (Sisay, 2016). Dalam
pengolahannya, teknik NDWI memanfaatkan nilai reflektan pada kanal green dan
nilai reflektan pada kanal near infrared (NIR) untuk menentukan kadar air yang
terkandung di dalam badan air/ water bodies (McFeeters, 1996) yang dihitung
menggunakan Persamaan berikut.

(𝐺𝑅𝐸𝐸𝑁−𝑁𝐼𝑅)
𝑁𝐷𝑊𝐼 = (𝐺𝑅𝐸𝐸𝑁+𝑁𝐼𝑅) (2.2)

2.9 LST (Land Surface Temperature)


Land Surface Temperatur merupakan suhu permukaan yang menjadi parameter
fisis dalam penentuan kawasan panas bumi. Menurut Ndossi dan Advan (2016)
dalam penentuan suhu permukaan terdapat beberapa algoritma dan persamaan
yang sering digunakan. Adapun algoritma tersebut seperti MWA (Mono
Window Algorithm), SCA (Single Channel Algorithm), RTE (Radiative Transfer
Equation), dan inversi fungsi planck. Masing-masing algoritma ini memiliki
kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Yu, dkk (2014) diketahui bahwa algoritma RTE (Radiative Transfer
Equation) memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi dibandingkan algoritma
lainnya. Hal ini dikarenakan di dalam algoritma RTE hanya digunakan band 10
pada Landsat 8. Dalam penentuan kawasan panas bumi, informasi suhu permukaan
atau LST ini sangat dibutuhkan. Kebutuhan ini dikarenakan melalui informasi ini
akan diketahui zona manifestasi panas bumi berdasarkan suhu permukaan yang
dihasilkan. Adapun nilai LST tersebut dapat dihitung dengan persamaan
berikut.

𝐵𝑇
𝐿𝑆𝑇 = 𝜆×𝐵𝑇 (2.3)
1+( )ln⁡(𝑒)
𝑃
Dimana LST adalah nilai suhu permukaan, BT adalah nilai brightness
temperature yang telah diperoleh melalui persamaan 3.7 sebelumnya, λ adalah nilai
rata-rata panjang gelombang pada band 10 yakni bernilai 10,8 µm. Adapun variabel
P diperoleh melalui perhitungan matematis yakni h x c /s dimana h merupakan
konstanta Planck dengan nilai (6,626 x 10-34 Js), c merupakan nilai kecepatan
cahaya dengan nilai (2,998 x 108 m/s) dan s merupakan nilai konstanta
Boltzmannm dengan nilai (1,38 x 10-23 J/K). Berdasarkan perhitungan matematis
tersebut maka didapatkan nilai variabel P sebesar 14380 µmK

2.10 Sistem Informasi Geografis (SIG)


SIG atau biasa dikenal sebagai sistem informasi geografis merupakan
suatu sistem yang dirancang untuk bekerja dengan data bereferensi spasial atau
berkoordinat geografis (Ichtiara, 2008). Dalam mekanisme kerjanya SIG
berfungsi untuk menyimpan, memanipulasi, mengolah, menampilkan, dan
menganalisis setiap informasi-informasi yang berkaitan dengan unsur geografis
(Prahasta, 2008). Unsur-unsur geografis ini mencakup informasi topografi,
informasi pemukiman, informasi jaringan jalan, administrasi desa, informasi
daerah aliran sungai (DAS), dan lain sebagainya. Untuk menghasilkan kinerja yang
lebih baik, SIG didukung oleh beberapa komponen utama yang tersusun atas
perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), dan sumber daya
manusia sebagai pengelola. Terdapat dua model data spasial dalam SIG yakni data
vektor dan data raster. Data vektor merupakan bentuk bumi yang
direpresentasikan ke dalam kumpulan garis (polyline), area (polygon), dan titik
(point). Sedangkan data vektor berupa piksel atau grid. Dalam kajian panas bumi,
manfaat SIG adalah untuk mengetahui persebaran manifestasi panas bumi.
BAB III

METODELOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Objek dalam penelitian ini adalah kawasan panas bumi Jaboi yang terletak di
wilayah Kota Sabang-Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, sebuah kota
administrasi yang luasnya mencakup satu pulau, yakni Pulau Weh yang jaraknya
dari daratan Aceh kurang daripada 20 km. Jaboi merupakan salah satu dari sekitar
tiga daerah sebaran panas bumi di pulau tersebut, dan nama Jaboi diambil dari nama
desa tempat dimana sebagian besar sebaran manifestasi panas bumi permukaan
ditemukan di daerah tersebut.

Gambar 3.1 Indeks lokasi daerah penelitian

Adapun waktu penelitian ini dilakukan dalam jangka waktu enam bulan
terhitung mulai bulan Februari hingga bulan Juli 2019. Terdapat beberapa tahapan
penting dalam penelitian ini yakni dimulai dengan tahapan studi literatur, tahapan
pengunduhan data, tahapan pengolahan data, tahapan interpretasi data, serta
tahapan penyusunan laporan akhir. Untuk tahap pengolahan data dilakukan di
Laboratorium Rekayasa Geofisika yang bertempat di Prodi Teknik Geofisika
Universitas Syiah Kuala.
3.2 Alat dan Bahan
Untuk menunjang dan mendukung penelitian, terdapat beberapa alat dan bahan
yang digunakan. Adapun alat dan bahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.1
berikut.

Tabel 3.1. Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam penelitian


No. Alat dan Bahan Keterangan
1. Citra Landsat 8 1 set data (18 Januari
2015 )
2. Data DEMNAS 1 buah (di akses tanggal
5 Maret 2019)

3. Laptop HP Tipe 430 1 Unit


4. Perangkat Lunak ArcGIS versi 10.3.1 1 Unit
5. Perangkat Lunak Rockworks v.15 1 Unit
6. Perangkat Lunak PCI Geomatica 2016 1 Unit
7. Alat Tulis Secukupnya
8. Printer 1 Unit

3.3 Tahapan Penelitian


Dalam pelaksanaan penelitian ini terdapat empat tahapan yang dilakukan
meliputi tahapan studi literatur, tahapan pengunduhan data, tahapan pengolahan
data, hingga tahapan analisis dan interpretasi data.

3.3.1 Tahap Studi Literatur


Pada tahapan ini hal utama yang dilakukan adalah mencari sumber-sumber
bacaan yang relevan terkait dengan topik penelitian. Disamping itu, dalam
tahapan ini juga dilakukan pembahasan secara sistematis terkait teori-teori yang
memiliki hubungan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian.
Tahapan ini merupakan tahapan yang terus dilakukan sejak dimulainya proses
penelitian hingga sampai ke tahap akhir penelitian.
3.3.2 Tahap Pengunduhan Data
Dalam penelitian terkait kajian panas bumi di kawasan Jaboi terdapat dua
jenis data yang digunakan yakni data DEMNAS dan data citra satelit Landsat 8.
Data ini merupakan data yang bersifat free dimana kedua data tersebut masing-
masing dapat diunduh langsung melalui website tides.big.go.id/DEMNAS/ dan
USGS Earth Explorer dengan alamat berupa https://earthexplorer.usgs.gov/. Dalam
penelitian ini terdapat satu set data Landsat 8 yang diunduh. Data tersebut adalah
citra satelit yang terekam dengan tutupan awan yang sedikit dan memiliki kualitas
citra yang baik. Data citra Landsat ini diunduh langsung dengan mengatur data sets
dan rentang waktu yang diinginkan. Untuk data sets yang digunakan adalah Landsat
8 OLI/TIRS C1 Level-1.

Sedangkan untuk data DEMNAS juga diunduh langsung melalui website


tides.big.go.id/DEMNAS/ dimana data tersebut diunduh berdasarkan area yang
diinginkan. Dalam hal ini, data DEMNAS yang diunduh adalah data yang
mencakup seluruh kawasan Sabang khususnya Jaboi.

3.3.3 Tahap Pengolahan Data


Tahapan pengolahan merupakan tahapan yang paling utama dalam sebuah
penelitian. Tahap ini sangat mempengaruhi hasil akhir dan kualitas dari penelitian.
Dalam penelitian terkait kajian awal potensi panas bumi di Jaboi terdapat beberapa
tahapan dalam pengolahan data. Tahap pertama dalam pengolahan ini adalah
dengan melakukan koreksi pada citra hasil rekaman satelit Landsat 8. Koreksi yang
dilakukan berupa koreksi radiometrik dan geometrik. Koreksi radiometrik
bertujuan untuk menghilangkan efek perubahan nilai akibat pengaruh sudut elevasi
matahari dan pengaruh dari lapisan atmosfer. Sedangkan koreksi geometrik
bertujuan untuk menyesuaikan koordinat dalam bentuk datum WGS 1984 atau
UTM. Dalam penelitian ini terdapat beberapa sub-pengolahan data yang dilakukan,
sub-pengolahan ini meliputi pembuatan peta densitas lineament (FFD), pembuatan
peta kerapatan vegetasi (NDVI), pembuatan peta keadaan hidrologi (NDWI), dan
pembuatan peta sebaran suhu permukaan (LST).

Pada tahap pembuatan peta densitas lineament (FFD) langkah awal yang
dilakukan adalah dengan memasukkan data DEMNAS yang telah di unduh. Data
DEMNAS ini selanjutnya dipotong menggunakan perintah extract by mask
sesuai dengan kawasan penelitian. Setelah dilakukan penentuan terhadap kawasan
penelitian tahap selanjutnya adalah melakukan konversi data DEMNAS ke dalam
bentuk hillshade atau shaded relief. Konversi ini bertujuan untuk mempermudah
penarikan pola kelurusan (lineament) pada peta DEM. Analisis pola kelurusan
dilakukan dengan metode Fault and Fracture Density (FFD). Metode ini
mengasumsikan bahwa kelurusan (lineament) adalah suatu bidang lemah yang
berasosisasi dengan fault dan fracture dimana melalui asosiasi ini memungkinkan
terbentuknya jalur pergerakan fluida panas bumi. Proses penarikan kelurusan
dilakukan dengan bantuan perangkat lunak PCI Geomatic yang dipadukan dengan
struktur-struktur geologi yang terdapat di kawasan penelitian. Hasil dari
pengolahan ini selanjutnya digunakan sebagai inputan dalam perangkat lunak
ArcviewGIS versi 10.3.1 untuk dihasilkan suatu peta FFD (Fault and Fracture
Density).

Tahap pengolahan selanjutnya adalah pembuatan peta kerapatan vegetasi dan


peta keadaan hidrologi kawasan panas bumi. Adapun untuk pembuatan peta
kerapatan vegetasi dilakukan dengan teknik NDVI (Normalized Difference
Vegetation Index) sedangkan untuk pembuatan peta keadaan hidrologi dilakukan
dengan teknik NDWI (Normalized Difference Water Index). Pengolahan dengan
teknik NDVI dilakukan dengan memanfaatkan gelombang NIR (band 5) dan
gelombang red (band 4) pada Landsat 8. Akan tetapi, nilai yang dimiliki oleh
masing-masing band ini masih dalam bentuk digital number (DN) sehingga terlebih
dahulu perlu dilakukan kalibrasi untuk menjadikannya sebagai nilai TOA (Top Of
Atmospheric) reflektan.

3.3.4 Tahap Analisis dan Interpretasi Data


Pada tahap ini dilakukan analisis dan interpretasi data berdasarkan peta yang
telah dibuat berupa peta kerapatan vegetasi, peta keadaan hidrologi, serta peta
sebaran suhu permukaan. Keseluruhan peta ini selanjutnya dikombinasikan dengan
manifestasi panas bumi di kawasan Jaboi untuk diinterpretasi dan di analisis lebih
lanjut.
3.4 Diagram Alir Penelitian

Mulai

Studi Literatur

Pengunduhan Data

Pengolahan Data

Analisis dan
Interpretasi Data

Kesimpulan

Selesai

Gambar 3.2 Diagram alir penelitian.

Anda mungkin juga menyukai