Oleh:
Proposal Skripsi
PENDAHULUAN
Sumatera merupakan salah satu pulau yang memiliki potensi energi panas bumi
terbesar di Indonesia yaitu mencapai 12.760 MW (Royana, 2013). Hal ini yang
mengindikasikan bahwa Pulau Sumatera memiliki potensi panas bumi yang sangat
besar dan prospektif untuk dikembangkan (Hidayat, 2014) termasuk yang terdapat
di Aceh. Parameter utama dalam prospek panas bumi adalah suhu fluida di
reservoir. Sampel air panas dapat digunakan untuk memperkirakan suhu dari
reservoar (Aribowo, 2011; Riogilang, 2013). Aceh memiliki banyak potensi panas
bumi yang dapat dimanfaatkan salah satunya potensi yang terdapat di Jaboi, Sabang
(Isa dkk, 2016; Subhan, 2017; Alatas, 2017).
Dalam tahap pengelolaan panas bumi, terdapat beberapa tahapan sebelum
dilakukannya tahap eksplorasi. Salah satu tahap tersebut adalah tahapan
pendahuluan (kajian awal) hingga berlanjut ke tahap pengolahan data secara
geofisika maupun geokimia. Pada tahap pendahuluan ini terdapat beberapa
metode yang dapat digunakan salah satunya dengan memanfaatkan metode
penginderaan jauh (remote sensing). Teknologi penginderaan jauh ini didasarkan
pada visualisasi yang dihasilkan melalui kondisi permukaan bumi seperti kondisi
geomorfologi, keadaan vegetasi, interpretasi struktur geologi (sesar dan rekahan),
serta batas litologi yang dihasilkan. Jika dilihat dari fungsinya, teknik
penginderaan jauh ini banyak digunakan dalam survei pendahuluan sebelum
dilakukan eksplorasi panas bumi. Seperti yang dilakukan oleh Sukendar, dkk
(2016) untuk menganalisis sebaran potensi panas bumi di Gunung Salak
berdasarkan suhu permukaan, indeks vegetasi, dan kondisi geomorfologi.
Terdapat beberapa penelitian lainnya seperti yang dilakukan oleh Hakim, dkk
(2017) dalam penentuan awal prospek panas bumi di Gunung Bur Ni Telong
berdasarkan citra Landsat 8 dan data DEM (Digital Elevation Model). Sebagaimana
yang diketahui, Jaboi merupakan kawasan panas bumi yang dapat dimanfaatkan.
Berdasarkan alasan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian di
kawasan panas bumi Jaboi dengan menggunakan data DEM SRTM dan citra
Landsat 8.
TINJAUAN PUSTAKA
Sesar normal Ceunohot berarah timur laut barat daya merupakan bagian dari
sesar pembentuk graben tersebut dan merupakan sesar normal yang melintas daerah
prospek di bagian utara. Akibat pensesaran ini maka blok sesar bagian barat laut
relatif bergerak turun dibanding blok bagian tenggara. Dimungkinkan Sesar Normal
Ceunohot merupakan salah satu sesar prospek di lapangan panas bumi Jaboi, Pulau
Weh, Sabang. Aktivitas panas bumi yang terjadi di pulau tersebut berkaitan erat
dengan aktivitas tektonik-vulkanik. Daerah panas bumi Jaboi ini terletak diantara
dua kerucut termuda di Pulau Weh yaitu Gunung Leumo Matee dan Semeureuguh.
Daerah panas bumi di pulau Weh batuannya adalah vulkanik tua. Litologi
Pulau Weh dapat dikelompokkan dalam empat kelompok satuan batuan, yaitu
batuan sedimen Tersier, vulkanik tua Pulau Weh berumur Kuarter - Tersier,
vulkanik muda Kuarter dan alluvial.
Pergerakan lempeng yang aktif menjadi salah satu faktor penting dalam
pembentukan gunung api di dunia. Pembentukan ini didasarkan pada empat busur
gunung api yang berbeda. Menurut Maryanto (2018) empat busur gunung api ini
berupa pemekaran kerak benua yang ditandai dengan pergerakan lempeng yang
saling menjauh, adanya tumbukan antar kerak yang ditandai dengan penunjaman,
adanya pergerakan kerak benua secara horizontal, serta terjadinya penipisan
terhadap kerak samudera.
Menurut Van Padang (1951), terdapat tiga tipe gunung api yang ada di
Indonesia. Adapun ketiga tipe tersebut antara lain:
Dengan adanya pengaruh kedalaman dan sifat magma ini maka akan
mempengaruhi reservoir panas bumi yang terdapat di Pulau Jawa maupun Pulau
Sumatera. Umumnya reservoir panas bumi yang terdapat di Pulau Jawa berada pada
batuan vulkanik di kedalaman yang dalam sedangkan reservoir panas bumi di Pulau
Sumatera berada pada batuan sedimen yang sudah terdeformasi berulang kali di
kedalaman yang dangkal. Dengan adanya deformasi pada batuan sedimen ini
menyebabkan terbentuknya porositas sekunder yang menghasilkan tingkat
permeabilitas reservoir panas bumi yang lebih besar di kawasan Pulau Sumatera
(Siahaan dkk, 2011).
Apabila dilihat secara mendasar, umumnya sistem panas bumi terbentuk akibat
adanya perpindahan panas secara konduksi dan konveksi. Maksud perpindahan
panas secara konduksi adalah perpindahan panas yang terjadi tanpa disertai
perpindahan partikelnya. Sedangkan perpindahan panas secara konveksi adalah
perpindahan panas dimana perantara nya juga ikut mengalami perpindahan.
Jika ditinjau dalam sistem panas bumi, maka dapat dijelaskan bahwa perpindahan
panas secara konduksi terjadi melalui batuan. Sedangkan perpindahan panas
secara konveksi terjadi melalui kontak antara fluida terhadap sumber panas akibat
adanya gaya apungan (Saptaji, 2001).
Prinsip dasar dari metode penginderaan jauh adalah setiap objek akan
memancarkan atau memantulkan gelombang elektromagnetik tertentu yang
bertujuan untuk memberikan informasi. Adapun informasi yang dikirimkan ini
bergantung terhadap komposisi objek dan sifat fisik yang dimiliki oleh objek
tersebut. Untuk memahami prinsip dasar kerja penginderaan jauh, Utami dan
Soetoto (2001) menyebutkan terdapat lima komponen utama dalam sistem
penginderaan jauh. Komponen tersebut mencakup adanya sumber energi utama
berupa matahari, adanya atmosfer yang berfungsi sebagai medium dimana
medium ini akan menyerap, memantulkan, menghamburkan, dan melewatkan
radiasi elektromagnetik. Disamping itu, terdapat beberapa komponen lainnya
seperti objek atau target, radiasi yang mengalami pantulan dan pemancaran, serta
sensor yang digunakan untuk merekam dan menerima radiasi.
Secara umum, data DEMNAS dapat digunakan dalam berbagai tujuan dan
kepentingan. Hal ini dikarenakan data DEMNAS dapat diekstraksi menjadi
beberapa turunan. Hasil ekstraksi ini dapat berupa garis kontur, kemiringan lereng
(slope), bayangan (hillshade), penampang melintang (profiling), hingga batas
aliran sungai (Sobrino dkk, 2004). Disamping itu juga, data DEMNAS ini sering
digunakan untuk menginterpretasi struktur kelurusan (lineament). Kelurusan ini
umumnya sering berhubungan dengan adanya struktur geologi seperti sesar,
rekahan, kekar, serta siklin dan antiklin (Darmawan dkk, 2013). Dengan adanya
struktur ini maka sangat bermanfaat dalam bidang eksplorasi panas bumi. Hal ini
disebabkan karena bidang sesar atau rekahan merupakan zona permeabel yang
memungkinkan bagi fluida panas untuk mengalir menuju kedalaman yang lebih
dangkal. Pengukuran sifat permeabilitas batuan berupa sesar dan rekahan pada
suatu kawasan panas bumi dapat diukur menggunakan teknik FFD (Fault and
Fracture Density). Teknik ini digunakan berdasarkan hasil ekstraksi kelurusan yang
telah dihasilkan. Menurut Noor (2014) terdapat beberapa acuan yang dapat
digunakan dalam menafsirkan hubungan antara rekahan atau sesar terhadap
kelurusan. Penafsiran ini terdiri atas penafsiran sesar berdasarkan jejak perlapisan,
penafsiran sesar berdasarkan inklinasi dan arah kemiringan, serta penafsiran sesar
berdasarkan perbedaan warna.
(a)
(b)
(c)
Gambar 2.6. (a) Penafsiran sesar berdasarkan jejak-jejak lapisan (b) Penafsiran
sesar berdasarkan arah kemiringan dan inklinasi (c) Penafsiran
sesar berdasarkan perbedaan warna (Noor, 2014)
Disamping karakteristik band yang terdapat pada Landsat 8, USGS (2016) juga
telah merumuskan beberapa karakteristik Landsat 8 secara umum seperti yang
terlihat pada tabel 2.2.
Agriculture 652
Atmospheric Penetration 765
Healthy Vegetation 562
Land/Water 564
(𝑁𝐼𝑅−𝑅𝐸𝐷)
𝑁𝐷𝑉𝐼 = (2.1)
(𝑁𝐼𝑅+𝑅𝐸𝐷)
Melalui persamaan tersebut maka akan diperoleh nilai NDVI yang berkisar
antara -1 hingga 1. Kawasan dengan nilai NDVI 1 menggambarkan tingkat vegetasi
yang rapat, sedangkan nilai NDVI -1 menggambarkan tidak adanya vegetasi di
suatu kawasan. Nilai -1 ini juga direpresentasikan sebagai kawasan perairan.
(𝐺𝑅𝐸𝐸𝑁−𝑁𝐼𝑅)
𝑁𝐷𝑊𝐼 = (𝐺𝑅𝐸𝐸𝑁+𝑁𝐼𝑅) (2.2)
𝐵𝑇
𝐿𝑆𝑇 = 𝜆×𝐵𝑇 (2.3)
1+( )ln(𝑒)
𝑃
Dimana LST adalah nilai suhu permukaan, BT adalah nilai brightness
temperature yang telah diperoleh melalui persamaan 3.7 sebelumnya, λ adalah nilai
rata-rata panjang gelombang pada band 10 yakni bernilai 10,8 µm. Adapun variabel
P diperoleh melalui perhitungan matematis yakni h x c /s dimana h merupakan
konstanta Planck dengan nilai (6,626 x 10-34 Js), c merupakan nilai kecepatan
cahaya dengan nilai (2,998 x 108 m/s) dan s merupakan nilai konstanta
Boltzmannm dengan nilai (1,38 x 10-23 J/K). Berdasarkan perhitungan matematis
tersebut maka didapatkan nilai variabel P sebesar 14380 µmK
METODELOGI PENELITIAN
Adapun waktu penelitian ini dilakukan dalam jangka waktu enam bulan
terhitung mulai bulan Februari hingga bulan Juli 2019. Terdapat beberapa tahapan
penting dalam penelitian ini yakni dimulai dengan tahapan studi literatur, tahapan
pengunduhan data, tahapan pengolahan data, tahapan interpretasi data, serta
tahapan penyusunan laporan akhir. Untuk tahap pengolahan data dilakukan di
Laboratorium Rekayasa Geofisika yang bertempat di Prodi Teknik Geofisika
Universitas Syiah Kuala.
3.2 Alat dan Bahan
Untuk menunjang dan mendukung penelitian, terdapat beberapa alat dan bahan
yang digunakan. Adapun alat dan bahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.1
berikut.
Pada tahap pembuatan peta densitas lineament (FFD) langkah awal yang
dilakukan adalah dengan memasukkan data DEMNAS yang telah di unduh. Data
DEMNAS ini selanjutnya dipotong menggunakan perintah extract by mask
sesuai dengan kawasan penelitian. Setelah dilakukan penentuan terhadap kawasan
penelitian tahap selanjutnya adalah melakukan konversi data DEMNAS ke dalam
bentuk hillshade atau shaded relief. Konversi ini bertujuan untuk mempermudah
penarikan pola kelurusan (lineament) pada peta DEM. Analisis pola kelurusan
dilakukan dengan metode Fault and Fracture Density (FFD). Metode ini
mengasumsikan bahwa kelurusan (lineament) adalah suatu bidang lemah yang
berasosisasi dengan fault dan fracture dimana melalui asosiasi ini memungkinkan
terbentuknya jalur pergerakan fluida panas bumi. Proses penarikan kelurusan
dilakukan dengan bantuan perangkat lunak PCI Geomatic yang dipadukan dengan
struktur-struktur geologi yang terdapat di kawasan penelitian. Hasil dari
pengolahan ini selanjutnya digunakan sebagai inputan dalam perangkat lunak
ArcviewGIS versi 10.3.1 untuk dihasilkan suatu peta FFD (Fault and Fracture
Density).
Mulai
Studi Literatur
Pengunduhan Data
Pengolahan Data
Analisis dan
Interpretasi Data
Kesimpulan
Selesai