Anda di halaman 1dari 4

Peran Orang Tua dalam Perkembangan Kognitif

Anak
 

Status Questiones

Berdasarkan data dari World Economic Forum (WEF) yang dirilis Rabu,
13 September 2019 dalam laporan yang berjudul Global Human Capital
Report 2017, yang mengkaji kualitas SDM di 130 negara dengan
memakai beberapa indikator terkait, dinyatakan bahwa Indonesia berada
pada peringkat ke-65, naik tujuh peringkat jika dibandingkan tahun lalu.

Namun, secara rata-rata, kualitas SDM masyarakat Indonesia masih


berada di bawah negara-negara ASEAN lainnya, misalnya: Singapura
(11), Malaysia (33), Thailand (40) dan Filipina (50).

Dengan membaca sekaligus menganalisis data di atas, bisa dikatakan


bahwa Indonesia memiliki kualitas SDM yang tergolong masih minim jika
dibandingkan dengan negara-negara di sekitaran ASEAN.

Pertanyaannya, mengapa terjadi demikian? Bukankah pendidikan yang


telah dirancang sampai sejauh ini telah berusaha untuk meningkatkan
SDM masyarakat Indonesia? Hal itu terlihat dengan pergantian
kurikulum terus-menerus, dengan harapan mencapai pendidikan yang
mampu menciptakan manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu
bersaing di kancah internasional.

Misalnya, pendidikan berbasis K-13 yang menekankan peran aktif siswa


dalam mencari informasi dan pengetahuan dengan pengawasan dari
guru sendiri.

Menyikapi hal ini, patutlah kita bertanya, apa yang terlewati dalam
proses pendidikan kognitif siswa? Apakah kurangnya daya ‘ingin tahu’
dari siswa? Ataukah peran guru dalam proses pendidikan sebagai
pendidik dan pengawas yang kurang berkompeten bagi siswa?

Sebenarnya, siswa dan guru sejauh ini, telah menjalani tugas mereka
masing-masing dengan baik. Siswa diberi kesempatan untuk mencari
tahu informasi dan pengetahuan melalui tugas yang diberikan dan guru
telah mengabdikan diri untuk kemajuan pendidikan kognitif siswa.
Menurut saya, hal yang terlupakan dari proses pendidikan kognitif siswa
(anak) adalah peran dari orang tua. Mengapa? Karena
adanya privatio atau kekurangan kesadaran dari pihak orang tua
dewasa ini akan pendidikan intelektual anak di rumah.

Orang tua hanya memfokuskan tugas dan tanggung jawab anaknya


dalam bidang kebutuhan sehari-hari. Misalnya, makan dan minum,
perlengkapan sekolah yang harus disiapkan, mengantar dan menjemput
anak ke sekolah dan lain-lain.

Adanya kekurangan pengetahuan akan tanggung jawab dalam aspek


intelektual mengakibatkan waktu yang ada digunakan oleh anak untuk
bermain. Anak pun membangun suatu konsep bahwa belajar hanya
terjadi di sekolah saja. Waktu di rumah digunakan untuk bermain
sepuas-puasnya.

Hal ini mengakibatkan efek lanjutan yaitu tugas yang diserahkan guru di
sekolah tidak dikerjakan oleh anak. Hasil belajar buruk yang diperoleh
oleh anak terbukti dari rapor yang diterima pada akhir semester, dan
perkembangan intelektual anak pun menjadi terhambat.

Dengan melihat realitas ini, kita dapat sedikit menyimpulkan bahwa


orang tua turut bertanggung jawab bagi melemahnya SDM anak (siswa).

Pendidikan Kognitif Anak

Pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan


kemampuan anak di dalam maupun di luar sekolah. Dalam pendidikan,
terjadi relasi resiprokal (timbal balik) antara pendidik dan anak didik.

Secara formal, relasi tersebut terjadi antara guru dan siswa dalam
lingkup sekolah formal (SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi).
Sedangkan, secara informal, pendidikan terjadi antara orang tua dan
anak dalam lingkup keluarga.

Tujuan pendidikan pada dasarnya mendidik agar anak menjadi baik.


Ditinjau dari isi atau atau jenis-jenis pendidikan, maka pendidikan
bertujuan mengembangkan potensi-potensi dalam diri manusia, yakni
individu (anak didik) dalam aspek kepribadiannya.

Bloom dan kawan-kawannya membedakan tiga macam tujuan


pendidikan, yakni: pendidikan kognitif, pendidikan afektif dan pendidikan
psikomotorik atau ketrampilan.
Pendidikan kognitif adalah pendidikan yang bertujuan mengembangkan
kemampuan intelektual peserta didik. Pendidikan intelektual ini meliputi
kemampuan untuk mengingat, menerapkan apa yang dipelajari,
menganalisis dan menyintesis.

Pendidikan ini tidak hanya terjadi di sekolah, tetapi juga di luar sekolah,
seperti rumah (keluarga). Berkaitan dengan tempat, pendidikan yang
terjadi di sekolah, guru mengambil peranan yang penting dalam proses
perkembangan individu (anak didik). Dan hal ini, lumrah ditemui dalam
masyarakat.

Namun, dalam pendidikan di luar sekolah, yakni dalam keluarga, siapa


yang bertanggung jawab terhadap perkembangan intelektual anak?
Jawabannya pertama yang muncul adalah orang tua. Sebab melalui
orang tualah seorang individu hadir di dunia.

Orang tua bertanggung jawab penuh, tidak hanya kebutuhan sehari-hari


anak, tetapi juga dalam aspek intelektualnya. Bagaimana peran
orangtua ini dilakukan?

Peran Orang Tua Dalam Perkembangan Kognitif Anak

Telah ditegaskan bahwa peran orang tua sangat urgen dalam proses
perkembangan kognitif anak. Orang tua berperan sebagai guru, yakni:
membimbing, mengawasi dan mengevaluasi belajar anak dalam
perkembangan intelektualnya. Peran tersebut sekaligus memotivasi
anak untuk memiliki daya ingin tahu yang kuat dalam pencarian
informasi dan pengetahuan.

Adapun beberapa cara yang dikemukakan di sini. Pertama, orang tua


mengontrol waktu belajar dan cara belajar anak. Anak diajarkan untuk
belajar dengan rutin, tidak hanya saat mendapat pekerjaan rumah atau
akan menghadapi ujian saja.

Setiap hari anak harus mengulang apa yang telah ia pelajari di sekolah
agar kemampuan kognitif anak terus berkembang. Selain itu juga, orang
tua harus memberi waktu untuk bermain agar terjadi keseimbangan
antara asupan otak kiri dan otak kanan anak. Kedua, orang tua harus
memantau kemampuan akademik anak.

Hal ini dapat dilakukan dengan memeriksa nilai-nilai dan tugas anak.
Apabila nilai jelek berikan nasihat atau bila perlu berikan challange agar
motivasi anak meningkat, bila nilai yang mereka dapat baik maka
berikan rewards.

Ketiga, orang tua harus memantau perkembangan kepribadian yang


mencakup sikap, moral dan tingkah laku anak. Berkomunikasi dengan
wali kelas atau guru kelas sangat diperlukan dalam hal ini.

Keempat, bantulah anak untuk mengenali potensi sesuai bakat dan


minatnya. Jangan pernah memaksakan kehendak. Berikan kebebasan
yang bertanggung jawab kepada anak agar terlatih sejak dini.

Dukungan dari pihak orang tua sangat dibutuhkan dalam kaitannya dengan
pengembangan potensi yang ada dalam diri anak.

Anda mungkin juga menyukai