Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Kekerasan seksual terhadap anak juga dikenal dengan istilah child sexual abuse.
Dalam banyak kejadian, kasus kekerasan seksual terhadap anak sering tidak
dilaporkan kepada kepolisi. Kasus tersebut cenderung dirahasiakan, bahkan jarang
dibicarakan baik oleh pelaku maupun korban. Para korban merasa malu karena
menganggap hal itu sebagai sebuah aib yang harus disembunyikan rapat-rapat
atau korban merasa takut akan ancaman pelaku.

Pelecehan seksual anak (Child Sexual Abuse) melibatkan membujuk atau


memaksa seorang anak untuk ambil bagian dalam kegiatan seksual, atau
mendorong seorang anak untuk berperilaku dalam seksual yang tidak pantas
termasuk selesai atau berusaha tindakan seksual atau hubungi atau interaksi
seksual non-kontak dengan seorang anak oleh orang dewasa. Ini mungkin
mengambil beberapa bentuk: penetrasi – antara mulut, penis, vulva anus dari anak
dan individu lain: kontakdisengaja menyentuh alat kelamin, pantat, atau payudara
dengan atau tanpa pakaian (tidak termasuk perawatan normal): non-kontak-
terhadap paparan pada aktivitas seksual, pembuatan film, prostitusi (Molyneux,
dkk:2013)

Tingkah laku kriminal kekerasan seksual memiliki tingkat kuantitas yang cukup
tinggi di Indonesia, dan tak jarang yang menjadi korban dalam kasus kriminalitas
jenis ini adalah anak yang usianya masih dibawah umur. Menurut data yang
dikumpulkan oleh Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dari
tahun 2010 hingga tahun 2014 tercatat sebanyak 21.869.797 kasus kekerasan
seksual anak, yang tersebar di 34 provinsi, dan 179 kabupaten dan kota. Sebesar
42-58% dari pelanggaran hak anak itu, katanya, merupakan kejahatan seksual
terhadap anak (kemenkopmk.com). Artinya kasuskasus ini banyak sekali dijumpai
meskipun tidak secara langsung.Mirisnya, sebagian besar pelaku pelecahan
seksual adalah orang yang dikenal oleh korban mereka; sekitar 30% adalah
keluarga dari si anak (Paulauskas:2013)

B.TUJUAN PENULISAN

a. Untuk mengetahui tentang definisi dari seksual abuse.


b. Untuk mengetahui tentang etiologi dari seksual abuse.
c. Untuk mengetahui tentang klasifikasi dari seksual abuse.
d. Untuk mengetahui tentang patofisiologi dari seksual abuse.
e. Untuk mengetahui tentang pathway dari seksual abuse.
f. Untuk mengetahui tentang manifestasi klinis dari seksual abuse.
g. Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan dari seksual abuse.
h. Untuk mengetahui tentang pemeriksaan penunjang dari seksual abuse.
i. Untuk mengetahui tentang pengkajian dari seksual abuse.
j. Untuk mengetahui tentang diagnosa keperawatan dari seksual abuse.
k. Untuk mengetahui tentang intervensi dan rasional dari seksual abuse.
l. Untuk mengetahui tentang discharge planning dari seksual abuse.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. PENGERTIAN
kekerasan terhadap anak merupakan perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian
atau bahaya terhadap anak-anak (baik secara fisik maupun emosional). Bentuk kekerasan
terhadap anak dapat diklasifikasikan menjadi kekerasan secara fisik, kekerasan secara
psikologi, kekerasan secara seksual dan kekerasan secara sosial. Menurut Ricard J. Gelles
(Hurairah, 2012)
Kekerasan seksual didefenisikan sebagai setiap tindakan seksual, usaha melakukan
tindakan seksual, komentar atau menyarankan untuk berperilaku seksual yang tidak
disengaja ataupun sebaliknya, tindakan pelanggaran untuk melakukan hubungan seksual
dengan paksaan kepada seseorang. (WHO, 2017)
Kekerasan seksual adalah segala kegiatan yang terdiri dari aktivitas seksual yang
dilakukan secara paksa oleh orang dewasa pada anak atau oleh anak kepada anak lainnya.
Kekerasasan seksual meliputi penggunaaan atau pelibatan anak secara komersial dalam
kegiatan seksual, bujukan ajakan atau paksaan terhadap anak untuk terlibat dalam
kegiatan seksual, pelibatan anak dalam media audio visual dan pelacuraran anak
(UNICEF, 2014).
Penyiksaan seksual (sexual abuse) terhadap anak disebut Pedofilian atau penyuka anak-
anak secara seksual. Seorang Pedofilia adalah orang yang melakukan aktivitas seksual
dengan korban anak usia 13 tahun ke bawah. Penyakit ini ada dalam kategori
Sadomasokisme : adalah suatu kecenderungan terhadap aktivitas seksual yang meliputi
pengikatan atau menimbulkan rasa sakit atau penghinaan (Pramono, 2009).

B. Etiologi
Berdasarkan jurnal “Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi
Fenomenologi”, Faktor penyebab sexual abuse adalah :
Faktor-fakor yang menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan seksual yang dialami
oleh subyek adalah sebagai berikut:

a. Faktor kelalaian orang tua.. Kelalaian orang tua yang tidak memperhatikan
tumbuh kembang dan pergaulan anak yang membuat subyek menjadi
korban kekerasan seksual..
b. Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku. Moralitas dan
mentalitas yang tidak dapat bertumbuh dengan baik, membuat pelaku tidak
dapat mengontrol nafsu atau perilakunya.
c. Faktor ekomoni. Faktor ekonomi membuat pelaku dengan mudah
memuluskan rencananya dengan memberikan imingiming kepada korban
yang menjadi target dari pelaku

C.KLASIFIKASI
Klasifikasi dari sexual abuse pada anak menurut (Suda, 2006) adalah :

1. Perkosaan
Perkosaan adalah jenis kekerasan yang paling mendapat sorotan. Diperkirakan
22% perempuan dan 2% laki-laki pernah menjadi korban perkosaan. Untuk di
Amerika saja, setiap 2 menit terjadi satu orang diperkosa. Hanya 1 dari 6
perkosaan yang dilaporkan ke polisi. Sebagian besar perkosaan dilakukan oleh
orang yang mengenal korban alias orang dekat korban.
1. Kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Suatu tinjauan baru-baru ini terhadap 17 studi dari seluruh dunia
menunjukkan bahwa di manapun, sekitar 11% sampai dengan 32%
perempuan dilaporkan mendapat perlakuan atau mengalami kekerasan
seksual pada masa kanak-kanaknya. Umumnya pelaku kekerasan adalah
anggota keluarga, orang-orang yang memiliki hubungan dekat, atau teman.
Mereka yang menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak biasanya
adalah korban kekerasan seksual pada masa kanak-kanak.
2. Kekerasan seksual terhadap pasangan.
Kekerasan ini mencakup segala jenis kekerasan seksual yang dilakukan
seseorang terhadap pasangan seksualnya. Sebesar 95% korban kekerasan
adalah perempuan. Temuan penelitian yang dilakukan Rifka Annisa bersama
UGM, UMEA University, dan Women’s Health Exchange USA di
Purworejo, Jawa Tengah, Indonesia, pada tahun 2000 menunjukkan bahwa
22% perempuan mengalami kekerasan seksual. Sejumlah 1 dari 5 perempuan
(19%) melaporkan bahwa biasanya mereka dipaksa untuk melakukan
hubungan seksual dengan pasangan mereka selama dipukuli. Termasuk
kekerasan seksual adalah kekerasan yang dilakukan seorang laki-laki
terhadap seorang perempuan, semata-mata karena sang korban adalah
perempuan. Istilah untuk ini adalah kekerasan berbasis gender. Berikut adalah
kekerasan berbasis gender:
3. Kekerasan fisik : Menampar, memukul, menendang, mendorong,
mencambuk, dll.
4. Kekerasan emosional/ verbal: Mengkritik, membuat pasangan merasa
bersalah, membuat permainan pikiran, memaki, menghina, dll.
5. Ketergantungan finansial: Mencegah pasangan untuk mendapat pekerjaan,
membuat pasangan dipecat, membuat pasangan meminta uang, dll
6. Isolasi sosial: Mengontrol pasangan dengan siapa boleh bertemu dan di mana
bisa bertemu, membatasi gerak pasangan dalam pergaulan, dll
7. Kekerasan seksual: Memaksa seks, berselingkuh, sadomasokisme, dll.
8. Pengabaian/penolakan: Mengatakan kekerasan tidak pernah terjadi,
menyalahkan pasangan bila kekerasan terjadi, dll.
9. Koersi, ancaman, intimidasi: Membuat pasangan khawatir, memecahkan
benda-benda, mengancam akan meninggalkan, dll.
10. Kekerasan seksual terhadap anak-anak.
11. Ketergantungan finansial: Mencegah pasangan untuk mendapat pekerjaan,
membuat pasangan dipecat, membuat pasangan meminta uang, dll
12. Isolasi sosial: Mengontrol pasangan dengan siapa boleh bertemu dan di mana
bisa bertemu, membatasi gerak pasangan dalam pergaulan, dll
13. Kekerasan seksual: Memaksa seks, berselingkuh, sadomasokisme, dll.
14. Pengabaian/penolakan: Mengatakan kekerasan tidak pernah terjadi,
menyalahkan pasangan bila kekerasan terjadi, dll.
15. Koersi, ancaman, intimidasi: Membuat pasangan khawatir, memecahkan
benda-benda, mengancam akan meninggalkan, dll
D. Patofisiologi

Menurut Tower (2002) dalam Maria (2008) kekerasan seksual pada anak
dapat terjadi satu kali, beberapa kali dalam periode berdekatan, bahkan menahun.
Walaupun berbeda-beda pada setiap kasus, kekerasan seksual tidak terjadi begitu
saja, melainkan melalui beberapa tahapan antara lain :
1. Tahap awal, pelaku membuat korban merasa nyaman. Ia menyakinkan bahwa
apa yang dilakukannya "tidak salah" secara moral. Pelaku mencoba
menyentuh sisi kbutuhan anak akan kasih saying dan perhhatian, penerimaan
dari orang lain, atau mencoba menyamakannya dengan permainan dan
menjanjikan imbalan material yang menyenangkan. Pelaku dapat
mengintimidasi secara halus ataupun bersikap memaksa secara kasar.
2. Tahap kedua, adalah interaksi seksual. Perilaku yang terjadi bisa saja hanya
berupa mengintip sampai perilaku yang intensitasnya berat, yaitu memakasa
anak untuk melakukan hubungan seksual. Setelah kejadian tersebut, pelaku
mengancam korban agar merahasiakan apa yang terjadi kepada orang lain.
Tahap berikutnya, adalah tahapan dimana korban mau menceritakan pengalamannya
kepada orang lain. Kemungkinan korban merahasiakan pengalamannya sampai
berusia dewasa, atau menceritakannya kepada orang yang mempunyai kedekatan
emosional dengannya, sehingga ia merasa aman. Pelaku "mencobai" korban sedikit
demi sedikit

E.PATHWAYS KEPERAWATAN

Berdasarkan jurnal “Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah


Studi Fenomenologi”, pathway sexual abuse adalah :
F. MANIFESTASI KLINIK

Berdasarkan jurnal “Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah


Studi Fenomenologi”, Dampak psikologis sexual abuse adalah :

Dampak psikologis yang dialami oleh subyek dapat digolongkan menjadi tiga
bagian, yaitu gangguan perilaku, gangguan kognisi, gangguan emosional.

1. Gangguan Perilaku, ditandai dengan malas untuk melakukan aktifitas


sehari-hari.
2. Gangguan Kognisi, ditandai dengan sulit untuk berkonsentrasi, tidak fokus
ketika sedang belajar, sering melamun dan termenung sendiri.
3. Gangguan Emosional, ditandai dengan adanya gangguan mood dan
suasana hati serta menyalahkan diri sendiri.
(Jurnal Terlampir)
Patricia A Moran dalam buku Slayer of the Soul, 1991 dalam Minangsari
(2007), mengatakan, menurut riset, korban pelecehan seksual adalah anak laki-
laki dan perempuan berusia bayi sampai usia 18 tahun. Kebanyakan pelakunya
adalah orang yang mereka kenal dan percaya.

Gejala seorang anak yang mengalami pelecehan seksual tidak selalu jelas.
Ada anak-anak yang menyimpan rahasia pelecehan seksual yang dialaminya
dengan bersikap "manis" dan patuh, berusaha agar tidak menjadi pusat
perhatian.Meskipun pelecehan seksual terhadap anak tidak memperlihatkan bukti
mutlak, tetapi jika tanda-tanda di bawah ini tampak pada anak dan terlihat terus-
menerus dalam jangka waktu panjang, kiranya perlu segera mempertimbangkan
kemungkinan anak telah mengalami pelecehan seksual (minangsari, 2007)

G. PENATALAKSANAAN

Berdasarkan jurnal “play therapy dalam identifikasi kasus kekerasan


seksual terhadap anak”, terapi sexual abuse adalah :

Cholidah (2005) menyatakan bahwa diantara tujuan terapi bermain adalah


mengurangi atau menghilangkan gangguan-gangguan perilaku, fisik, psikis,
social, sensori dan komunikasi dan mengembangkan kemampuan yang masih
dimiliki secara optimal. Terkait dengan kasus kekerasan seksual pada anak,
Jongsma, Peterson dan Mclnnis (2000) menyatakan bahwa terapi bermain (play
therapy) merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi dan menggalikan
perasaan anak korban kekerasan seksual. Melalui terapi bermain selain kasus
dapat diidentifikasi apa yang terjadi pada diri anak, anak juga dapat
mengekpresikan perasaan atas kasus yang terjadi pada dirinya.

(Jurnal Terlampir)

Menurut Suda (2006) ada beberapa model program counseling yang dapat
diberikan kepada anak yang mengalami sexual abuse, yaitu :

1. The dynamics of sexual abuse.


Artinya, terapi difokuskan pada pengambangan konsepsi. Pada kasus
tersebut kdsalahan dan tanggung jawa berada pada pelaku bukan pada korban.
Anak dijamin tidak disalahkan meskipun telah terjadi kontak seksual.
2. Protective behaviors counseling.
Artinya, anak-anak dilatih menguasai keterampilan mengurangi kerentannya
sesuai dengan usia. Pelatihan anak prasekolah dapat dibatasi; berkata tidak
terhadap sentuhan-sentuhan yang tidak diinginkan; menjauh secepatnya dari
orang yang kelihatan sebagai abusive person; melaporkan pada orangtua atau
orang dewasa yang dipercaya dapat membantu menghentikan perlakuan salah.
3. Survivor/self-esteem counseling.
Artinya, menyadarkan anak-anak yang menjadi korban bahwa mereka
sebenarnya bukanlah korban, melainkan orang yang mampu bertahan (survivor)
dalam menghadapi masalah sexual abuse. Keempat, feeling counseling. Artinya,
terlebih dahulu harus diidentifikasi kemampuan anak yang mengalami sexual
abuse untuk mengenali berbagai perasaan. Kemudian mereka didorong untuk
mengekspresikan perasaan-perasaannya yang tidak menyenangkan, baik pada saat
mengalami sexual abuse maupun sesudahnya. Selanjutnya mereka diberi
kesempatan untuk secara tepat memfokuskan perasaan marahnya terhadap pelaku
yang telah menyakitinya, atau kepada orang tua, polisi, pekerja sosial, atau
lembaga peradilan yang tidak dapat melindungi mereka.
4. Cognitif terapy.
Artinya, konsep dasar dalam teknik ini adalah perasaan-perasaan seseorang
mengenai beragam jenis dalam kehidupannya dipengaruhi oleh pikiran-pikiran
mengenai kejadian tersebut secara berulang-lingkar.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Menurut Doenges et. al (2007) pemeriksaan diagnostic yang dilakukan pada anak
dengan sexual abuse bergantung pada situasi dan kebutuhan individu. Uji skrining
(misalnya Daftar Periksa Perilaku Anak), peningkatan nilai pada skala internalisasi
yang menggambarkan perilaku antara lain ketakutan, segan, depresi, pengendalian
berlebihan atau di bawah pengendalian, agresif dan antisosial.

Anda mungkin juga menyukai