Pakek Ini WOCNYA
Pakek Ini WOCNYA
DISUSUN OLEH:
Disusun Oleh:
PARE – KEDIRI
2016
MAKALAH KOLELITIASIS
(Batu Kantung Empedu)
2.2 Klasifikasi
Berdasarkan komposisi kimiawi dan gambaran mikroskopiknya, batu empedu dibagi
menjadi tiga tipe utama oleh Suzuki dan Sato, yaitu batu kolesterol (batu kolesterol murni, batu
kombinasi, batu campuran), batu pigmen (batu kasium bilirubinat, batu hitam atau pigmen
murni), dan batu empedu yang jarang (batu kalsium karbonat, dan batu kalsium asam lemak).
Menurut Hadi (2002), batu empedu terbagi menjadi tiga tipe yaitu:
Batu Kolesterol
a. Soliter (single cholesterol stone) atau batu kolesterol tunggal
Tipe batu ini mengandung kristal kasar kekuning-kuningan, pada foto rontgen terlihat intinya.
Bentuknya bulat dengan diameter 4 cm, dengan permukaan licin atau noduler. Batu ini tidak
mengandung kalsium sehingga tidak dapat dilihat pada pemotretan sinar X biasa.
b. Batu kolesterol campuran
Batu ini terbentuk bilamana terjadi infeksi sekunder pada kandung empedu yaitu mengandung
batu empedu kolesterol yang soliter dimana pada permukaannya terdapat endapan pigmen
kalsium.
c. Batu kolesterol ganda
Jenis batu ini jarang ditemui dan bersifat radio transulen.
Batu pigmen
Pigmen kalkuli mengandung pigmen empedu dan berbagai macam kalsium dan matriks dari
bahan organik. Batu ini biasanya berganda, kecil, keras, amorf, bulat, berwarna hitam atau hijau
tua. Alasannya ± 10 % radioopaque.
Batu Campuran
Batu ini adalah jenis yang paling banyak dijumpai (± 80 %), dan terdiri atas kolesterol,
pigmen empedu, berbagai garam kalsium dan matriks protein. Biasanya berganda dan sedikit
mengandung kalsium sehingga bersifat radioopaque.
Menurut Sjamsuhidajat (1997), Batu kolesterol mengandung paling sedikit 70%
kolesterol, dan sisanya adalah kalsium karbonat, kalsium palmitit dan kalsium bilirubinat.
Bentuknya lebih bervariasi dibandingkan bentuk batu pigmen. Dapat berupa batu soliter atau
multiple. Permukaanya mungkin licin atau multifaset, bulat, berduri, da nada yang seperti buah
murbei.
Batu pigmen mengandung kurang dari 25% kolesterol, sering ditemukan kecil-kecil,
dapat berjumlah banyak, warnanya bervariasi antara coklat, kemerahan, sampai hitam, dan
berbentuk seperti lumpur atau tanah yang rapuh.
2.3 Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis dapat terjadi dengan
atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki
seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut
antara lain:
a. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria.
Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh
kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko
terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat
meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung
empedu.
b. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang
degan usia yang lebih muda.
c. Obesitas
Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolism umum, resistensi insulin, diabetes militus
tipe II, hipertensi dan hyperlipidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi kolesterol
hepatica dan merupakan faktor resiko utama untuk pengembangan batu empedu kolesterol.
d. Statis Bilier
Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu. Kondisi yang bisa
meningkatkan kondisi statis, seperti cedera tulang belakan (medulla spinalis), puasa
berkepanjangan, atau pemberian diet nutrisi total parenteral (TPN), dan penurunan berat badan
yang berhubungan dengan kalori dan pembatasan lemak (misalnya: diet rendah lemak, operasi
bypass lambung). Kondisi statis bilier akan menurunkan produksi garam empedu, serta
meningkatkan kehilangan garam empedu ke intestinal.
e. Obat-obatan
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker prostat
meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat fibrat hipolipidemik
meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic melalui sekresi bilier dan tampaknya
meningkatkan resiko batu empedu kolesterol. Analog somatostatin muncul sebagai faktor
predisposisi untuk batu empedu dengan mengurangi pengosongan kantung empedu.
f. Diet
Duet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam desoksikolat)
dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik. Karbohidrat dalam bentuk murni
meningkatkan saturasi kolesterol empedu. Diet tinggi kolesterol meningkatkan kolesterol
empedu.
g. Keturunan
Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi tampaknya adalah turun temurun,
seperti yang dinilai dari penelitian terhadap kembar identik fraternal.
h. Infeksi Bilier
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memgang peranan sebagian pada pembentukan
batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan mucus. Mukus meningkatkan
viskositas dan unsur seluler sebagai pusat presipitasi.
i. Gangguan Intestinal
Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan atau kehilangan
garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan agen pengikat kolesterol, penurunan
garam pempedu jelas akan meningkatkan konsentrasi kolesterol dan meningkatkan resiko batu
empedu.
j. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini
mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
k. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk
berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk
terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.
Semakin meningkat saturasi kolesterol, maka bentuk komposisi kolesterol yang akan
ditemukan terdiri atas campuran dua fase yaitu misel dan vesikel. Vesikel kolesterol dianggarkan
sekitar 10 kali lipat lebih besar daripada misel dan memiliki fosfolipid dwilapisan tanpa
mengandung garam empedu. Seperti misel, komponen berpolar vesikel turut diatur mengarah ke
luar vesikel dan berbatasan dengan fase berair ekstenal sementara rantaian hidrokarbon yang
hidrofobik membentuk bagian dalam dari lipid dwilapis. Diduga <30% kolesterol bilier diangkut
dalam bentuk misel, yang mana selebihnya berada dalam bentuk vesikel. Umumnya, konformasi
vesikel berpredisposisi terhadap pembentukan batu empedu karena lebih cenderung untuk
beragregasi dan bernukleasi untuk membentuk konformasi kristal.. Empedu yang
tersupersaturasi dengan kolesterol akan berwujud lebih dari satu fase yaitu dapat dalam bentuk
campuran fase misel, vesikel maupun kristal dan cenderung mengalami presipitasi membentuk
kristal yang selanjutnya akan berkembang menjadi batu empedu.
Pada keadaan supersaturasi, molekul kolesterol cenderung berada dalam bentuk vesikel
unilamelar yang secara perlahan-lahan akan mengalami fusi dan agregasi hingga membentuk
vesikel multilamelar (kristal cairan) yang bersifat metastabil. Agregasi dan fusi yang berlanjutan
akan menghasilkan kristal kolesterol monohidrat menerusi proses nukleasi. Teori terbaru pada
saat ini mengusulkan bahwa keseimbangan fase fisikokimia pada fase vesikel merupakan faktor
utama yang menentukan kecenderungan kristal cairan untuk membentuk batu empedu.
Tingkat supersaturasi kolesterol disebut sebagai faktor paling utama yang menentukan
litogenisitas empedu. Faktor-faktor yang mendukung supersaturasi kolesterol empedu termasuk:
Hipersekresi kolesterol.
Hiposintesis garam empedu / perubahan komposisi relatif cadangan asam empedu.
Defek sekresi atau hiposintesis fosfolipid.
Ketiga kelompok ini membentuk cadangan asam empedu tubuh (bile acid pool) dan
masing-masing mempunyai sifat hidrofobisitas yang berbeda. Sifat hidrofobisitas yang berbeda
ini akan mempengaruhi litogenisitas empedu. Semakin hidrofobik asam empedu, semakin besar
kemampuannya untuk menginduksi sekresi kolesterol dan mensupresi sintesis asam empedu.
Kombinasi dari kedua-dua hal ini akan menjurus kepada empedu yang litogenik. Konsentrasi
relatif tiap asam empedu yang membentuk cadangan asam empedu tubuh akan mempengaruhi
CSI karena memiliki sifat hidrofobisitas yang berbeda. Asam empedu primer dan tertier bersifat
hidrofilik sementara asam empedu sekunder bersifat hidrofobik. Penderita batu empedu
umumnya mempunyai cadangan asam kolik yang kecil dan cadangan asam deoksikolik yang
lebih besar. Asam deoksikolik bersifat hidrofobik dan mampu meningkatkan CSI dengan
meninggikan sekresi kolesterol dan mengurangi waktu nukleasi. Sebaliknya, asam
ursodeoksikolik dan kenodeoksikolik merupakan asam empedu hidrofilik yang berperan
mencegah pembentukan batu kolesterol dengan mengurangi sintesis dan sekresi kolesterol. Asam
ursodeoksikolik turut menurunkan CSI dan memperpanjang waktu nukleasi, diduga dengan cara
melemahkan aktivitas protein pronukleasi dalam empedu.
Sembilanpuluh lima persen dari pada fosfolipid epedu terdiri atas lesitin. Sebagai
komponen utama fosfolipid empedu, lesitin berperan penting dalam membantu solubilisasi
kolesterol. Mutasi pada molekul protein transpor fosfolipid (disebut protein ABCB4) yang
berperan dalam sekresi molekul fosfolipid (termasuk lesitin) ke dalam empedu terkait dengan
perkembangan kolelitiasis pada golongan dewasa muda.
a. Kelainan intrinsik dinding muskuler yang meliputi: Perubahan tingkat hormon seperti
menurunnya kolesistokinin (CCK), meningkatnya somatostatin dan estrogen. Perubahan kontrol
neural (tonus vagus).
Selain itu, hipomotilitas kantung empedu dapat menyebabkan stasis kantung empedu.
Stasis merupakan faktor resiko pembentukan batu empedu karena gel musn akan terakumulasi
sesuai dengan perpanjangan waktu penyimpanan empedu. Stasis menyebabkan gangguan aliran
empedu ke dalam usus dan ini berlanjut dengan gangguan pada sirkulasi enterohepatik.
Akibatnya, output garam empedu dan fosfolipid berkurang dan ini memudahkan kejadian
supersaturasi.
Stasis yang berlangsung lama menginduksi pembentukan lumpur bilier (biliary sludge)
terutamanya pada penderita dengan kecederaan medula spinalis, pemberian TPN untuk periode
lama, terapi oktreotida yang lama, kehamilan dan pada keadaan penurunan berat badan
mendadak. Lumpur bilier yang turut dikenal dengan nama mikrolitiasis atau pseudolitiasis ini
terjadi akibat presipitasi empedu yang terdiri atas kristal kolesterol monohidrat, granul kalsium
bilirubinat dan mukus. Patofisiologi lumpur bilier persis proses yang mendasari pembentukan
batu empedu. Kristal kolesterol dalam lumpur bilier akan mengalami aglomerasi berterusan
untuk membentuk batu makroskopik hingga dikatakan lumpur bilier merupakan prekursor dalam
litogenesis batu empedu.
Faktor pronukleasi lain yang berhasil diisolasi daripada model sistem empedu termasuk
imunoglobulin (IgG dan M), aminopeptidase N, haptoglobin dan glikoprotein asam. Penelitian
terbaru menganjurkan peran infeksi intestinal distal oleh spesies Helicobacter (kecuali H. pylori)
menfasilitasi nukleasi kolesterol empedu. Proses nukleasi turut dapat diinduksi oleh adanya
mikropresipitat garam kalsium inorganik maupun organik.2 Faktor antinukleasi termasuk protein
seperti imunoglobulin A (IgA), apoA-I dan apoA –II. Mekanisme fisiologik yang mendasari efek
untuk sebagian besar daripada faktor-faktor ini masih belum dapat dipastikan.
Nukleasi yang berlangsung lama selanjutnya akan menyebabkan terjadinya proses
kristalisasi yang menghasilkan kristal kolesterol monohidrat. Waktu nukleasi pada empedu
penderita batu empedu telah terbukti lebih pendek dibanding empedu kontrol pada orang normal.
Waktu nukleasi yang pendek mempergiat kristalisasi kolesterol dan menfasilitasi proses
litogenesis empedu.
Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur diagnostik
pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan akurat, dan dapat digunakan
pada prndrita disfungsi hati dan icterus. Disamping itu, pemerikasaan USG tidak membuat
pasien terpajan radiasi ionisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil paling akurat jika pasien
sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya dalam keadaan distensi.
Penggunaan ultra sound berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali.
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun
ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena
fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat
pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara didalam usus.
Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih
jelas daripada di palpasi biasa.
USG (US) merupakan metode non-invasif yang sangat bermanfaat dan merupakan
pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan ketepatan mencapai 95%. Kriteria batu
kandung empedu pada US yaitu dengan acoustic shadowing dari gambaran opasitas dalam
kandung empedu. Walaupun demikian, manfaat US untuk mendiagnosis BSE relatif rendah.
Pada penelitian kami yang mencakup 119 pasien dengan BSE sensitivitas US didapatkan sebesar
40%, spesifisitas 94%. Kekurangan US dalam mendeteksi BSE disebabkan : a) bagian distal
saluran empedu tempat umumnya batu terletak sering sulit diamati akibat tertutup gas duodenum
dan kolon dan b) saluran empedu yang tidka melebar pada sejumlah kasus BSE.
Kolesistografi
Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan utama, namun untuk penderita
tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup
akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu.
Kolesistografi oral dapat digunakan untuk mendeteksi batu empedu dan mengkaji kemempuan
kandung empedu untuk melakukan pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi, serta
mengosongkan isinya. Media kontras yang mengandung iodium yang diekresikan oleh hati dan
dipekatkan dalam kandung empedu diberikan kepada pasien. Kandung empedu yang normal
akan terisi oleh bahan radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu, bayangannya akan Nampak
pada foto rontgen. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah,
kehamilan, kadar bilirubin serum diatas 2mg/dl, obstruksi pilorus, ada reaksi alergi terhadap
kontras, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tertentu tersebut kontras tidak dapat
mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung
empedu. Cara ini juga memerlukan lebih banyak waktu dan persiapan dibandingkan
ultrasonografi.
2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Penatalaksanaan Non-Pembedahan
Sasaran utama terapi medikal adalah untuk mengurangi insiden serangan akut nyeri
kandung empedu dan kolesistitis dengan penatalaksanaan suportif dan diit, dan jika
memungkinkan, untuk menyingkirkan penyebab dengan farmakoterapi, prosedur-prosedur
endoskopi, atau intervensi pembedahan.
Farmakoterapi
Asam Kenodeoksikolat. Dosisnya 12-15 mg/kg/hari pada orang yang tidak mengalami
kegemukan. Kegemukan jelas telah meningkatkan kolesterol bilier, sehingga diperlukan dosis
18-20 mg/kg/hari. Dosis harus ditingkatkan bertahap yang dimulai dari 500 mg/hari. Efek
samping pada pemberian asam kenodeoksikolat adalah diare.
Asam ursodeoksikolat. Berasal dari beruang jepang berleher putih. Doasisnya 8-10
mg/kg/hari, dengan lebih banyak diperlikan jika pasien mengalami kegemukan. Asam
ursodeoksikolat melarutkan sekitar 30% batu radiolusen secara lengkap dan lebih cepat daripada
menggunakan asam kenodeoksikolat. Efek sampingnya tidak ada.
Kemungkinan kombinasi asam ursodeoksikolat 6,5 mg/kg/hari dangan 7,5 mg/kg/hari
asam kenodeoksikolat lebih murah dan sama efektif.
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol, chenofalk) telah
digunakan untuk mmelarutkan batu empedu radiolusen yang berukuran kecil dan terutama
tersusun dari kolesterol. Asam ursodeoksikolat dibandingkan dengan kenodeoksikolat jarang
menimbulkan efek samping dan dapat diberikan dengan dosis yang lebih rendah untuk
mendapatkan efek yang sama. Mekanisme kerjanya adalah menhambat sintesis kolesterol dalam
hati dan sekresinya sehingga terjadi desaturasi getah empedu. Batu yang sudah ada dapat
dikurangi besarnya, batu yang kecil dilarutkan dan batu yang baru dicegah pembentukannya.
Padabanyak pasien diperlukan pengobatan selama 6 hingga 12 bulan untuk melarutkan batu
empedu, dan selama terapi keadaan pasien dipantau. Dosis yang efektif bergantung pada berat
badan pasien. Terapi ini dilakukan pada pasien yang menolak terapi pembedahan atau dianggap
terlalu beresiko untuk menjalani pembedahan.
Pembentukan kembali batu empedu telah dilaporkan pada 20-50% pasien sesudah terapi
dihentikan, dengan demikian pemberian obat ini dengan dosis rendah dapat dilanjutkan untuk
mencegah kekambuhan tersebut. Jika gejala akut kolesistisis berlanjut atau timbul kembali,
intervensi bedah atau litotropis merupakan indikasi.
Mini Kolesistektomi
Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat luka insisi
selebar 4cm. Jika diperlukan, luka insisi dapat diperlebar untuk mengeluarkan batu kandung
empedu yang berukuran lebih besar. Drain mungkin dapat atau tidak digunakan pada mini
kolasistektomi. Biaya yang ringan dan waktu rawat yang singkat merupakan salah satu alasan
untuk meneruskan bentuk penanganan ini.
Kolesistektomi laparoskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan batu empedu simtomatik tanpa adanya kolesistisis
akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai untuk melakukan
prosedur ini dalam pasien dengan kolesistisis akut dan dalam pasien dengan batu duktus
koledokus. Keuntungan secara toritis dari prosedur ini dibandingkan dengan konvensional,
kolesistektomi mengurangi perawatan di rumah sakit serta biaaya yang dikeluarkan, pasien dapat
cepat bisa kembali bekerja, nyeri menurun, dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum
terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi mayor,
seperti misalnya cidera duktus biliaris, yang mungkin terjadi lebih sering selama kolisistektomi
laparoskopik. Frekuensi dari cidera mungkin merupakan ukuran pengalaman ahli bedah dan
merupakan manifestasi dari kurva pelatihan yang berkaitan dengan modalitas baru.
Bedah Kolesistotomi
Dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi yang lebih
luas, atau bila reaksi inflamasi yang akut membuat system bilier tidak jelas. Kndung empedu
dibuka melalui pembedahan, batu serta getah empedu atau cairan drainase yang purulen
dikeluarkan, dan kateter untuk drainase diikat dengan jahitan kantung tembakau (purse-string-
suture). Kateter itu dihubungkan dengan sistem drainase untuk mencegah kebocoran getah
empedu disekitar kateter atau perembesan getah empedu ke dalam rongga peritoneal. Setelah
sembuh dari serangan akut, pasien dapat kembali lagi untuk menjalani kolesistektomi. Maeskipu
resikonya lebih rendah, bedah kolesistotomi memiliki angka moertalitas yang tinggi (yang
dilaporkan sampai setinggi 20-30%) yang disebabkan oleh proses penyakit pasien yang
mendasarinya.
Kolesistotomi Perkutan
Kolesistotomi perkutan telah dilakukan dalam penanganan dan penegakan diagnosis
kolesistisis akut pada pasien-pasien yang beresiko jika harus menjalani tindakan pembedahan
atau anastesi umum. Pasie-pasien ini mencakup para penderita sepsis atau gagal jantung yang
berat dan pasien-pasien gagal ginjal, paru atau hati. Dibawah pengaruh anastesi local sebilah
jarum yang halus ditusukkan lewat dinding abdomen dan tepi hati ke dalam kandung empedu
dengan dipandu oleh USG atau pemindai CT. Getah empedu diaspirasi untuk memastikan bahwa
penempatan jarum telah adekuat, dan kemudian sebuah kateter dimasukkan ke dalam kandung
empedu tersebut untuk dekompresasi saluran empedu. Dengan prosedur ini hampir selalu
dilaporkan bahwa rasa nyeri dan gejala serta tanda-tanda dari sepsis dan kolesistisi berkurang
atau menghilang dengan segera.
Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk mengeluarkan batu.
Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah kateter ke dalam duktus tersebut untuk
drainase getah empedu sampai edema mereda. Kateter ini dihubungkan dengan selang drainase
gravitas. Kandung empedu biasanya juga mngandung batu, dan umumnya koledokostomi
dilakukan bersama-sama kolesistektomi.
2.8 Komplikasi
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
mengakibatkan/menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam
kandung empedu terdorong dna dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun
terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sistikus secara menetap makan mungkin dapat
terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya
kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga
membentuk suatu fistel kolesitoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat
terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian
dinding (dapat ditutupi alat sekitarnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesitoduodenal
ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadi peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari
kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap
asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus
juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada bagian tersempit
saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi. Berikut beberapa penjelasan
tentang komplikasi kolelitiasis:
Hidrops
Hidrops biasanya disebabkan oleh stenosis atau obstruksi duktus sistikus sehingga tidak
dapat diisi lagi oleh empedu. Dalam keadaan ini tidak terdapat peradangan akut dan sindrom
yang berkaitan dengannya, tetapi ada bukti peradangan kronis dengan adanya mukosa gundul.
Kandung empedu berdinding tebal dan terdistensi oleh materi steril mukoid. Sebagian besar
pasien mengeluh efek massa dalam kuadran kanan atas. Hidrops kandung empedu dapat
menyebabkan kolesistisi akut.
Kolesistitis akut
Hampir semua kolesistisi akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu yang
terjebak dalam kantung empedu. Trauma mukosa kantung empedu oleh batu dapat menyebabkan
pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin dalam empedu menjadi lisolesitin yang bersifat
toksik yang memperberat proses peradangan. Pada awal penyakit, peran bakteri sangat sedikit,
tetapi kemudian dapat terjadi supurasi. Komplikasi kolesistisis akut adalah empiema, nekrosis,
dan perforasi.
- Empiema
Empiema adalah lanjutan dari kolisistisis akut. Pada empiema atau kolesistisis supuratif,
kandung empedu berisi nanah. Penderita menjadi semakin toksik, demam tinggi, menggigil dan
leukositosis.
- Nekrosis dan Perforasi
Kolesistisis akut bisa berlanjut ke nekrosis dinding kantung empedu dan perforasi. Batu
empedu yang tertahan bias menggoresi dinding nekrotik, sinus Roktiansky-Aschoff terinfeksi
yang berdilatasi bias memberika titik lemah bagi ruptura. Biasanya rupture terjadi pada fundus,
yang merupakan bagian vesica biliaris yang paling kurang baik vaskularisasinya. Ruptur ke
dalam cavitas peritonialis bebas jarang terjadi dan lebih bias memungkinkan terjadinya
perlekatan dengan organ-organ yang berdekatan dengan pembentukan abses local. Ruptura ke
dalam organ berdekatan menyebabkan fistula saluran empedu.
- Pritonitis
Ruptura bebas empedu ke dalam cvitas peritonialis menyebabkan syok parah. Karena efek
iritan garam empedu, peritoneum mengalami peradangan.
Kolesistitis kronis
- Fistel bilioentrik
Apabila kandung empedu yang mengandung batu besar menempel pada dinding organ di
dekatnya seperti lambung, duodenum, atau kolon transversum, dapat terjadi nekrosis dinding
kedua organ tersebut karena tekanan, sehingga terjadi perforasi ke dalam lumen saluran cerna.
Selanjutnya terjadi fitsel antara kandung empedu dan organ-organ tersebut.
Kolangitis
Kolangitis dapat berkembang bila ada obstruksi duktus biliaris dan infeksi. Penyebab
utama dari infeksi ini adalah organisme gram negatif, dengan 54% disebebkan oleh sepsis
Klebesiella, dan 39% oleh Escherchia, serta 25% oleh organisme Enterokokal dan Bacteroides.
Empedu yang terkena infeksi akan berwarna coklat tua dan gelap. Duktus koledokus menebal
dan terjadi dilatasi dengan diskuamasi atau mukosa yang ulseratif, terutama di daearah ampula
vetri.
Pankreatitis
Radang pankreas akibat autodigesti oleh enzim yang keluar dari saluran pankreas. Ini
disebebkan karena batu yang berada di dalam duktus koledokus bergerak menutupi ampula vetri.
b. Riwayat Kesehatan
Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat pengkajian. Biasanya
keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri abdomen pada kuadran kanan atas.
c. Pemeriksaan fisik
Pendekatan dengan metode 6B:
B1-Breath
Pernapasan tertekan ditandai dengan napas pendek dan dangkal, terjadi peningkatan frekuensi
pernapasan sebagai kompensasi.
B2-Blood
Takikardi dan berkeringat karena peningkatan suhu akibat respon inflamasi.
B3-Brain
-
B4-Bladder
Urine pekat dan berwarna gelap, akibat dari pigmen empedu.
B5-Bowel
Feses berwarna kelabu “clay colored” akibat obstruksi duktus biliaris sehingga pigmen empedu
tidak dibuang melalui feses.
B6-Bone
-
Ketidakefektifan Pola Pengelolaan jalan nafas: Fasilitasi Status Respirasi: Pergerakan udara
1. Kedalaman inspirasi dan kemudahan
Nafas untuk kepatenan jalan nafas. ke dalam dan ke luar paru-paru. bernafas merupakan indicator efektif
1. Pantau kecepatan,irama, kedalaman ditandai dengan indikator: atau tidaknya pola nafas.
dan usaha respirasi. 1. Kedalaman inspirasi dan
2. Tidak adanya otot bantu pernafasan
2. Informasikan kepada pasien dan kemudahan bernafas (3) menandakan pola nafas dalam
keluarga tentang tehnik relaksasi untuk
2. Tidak ada otot bantu (3) keadaan normal
meningkatkan pola pernafasan 3. Bunyi nafas tambahan tidak ada (3)3. Pada pernafasan normal tidak
3. Berikan obat nyeri untuk
4. Nafas pendek tidak ada (3) terdengar suara nafas tambahan.
pengoptimalan pola pernafasan. 4. Nafas pendek menandakan pola nafas
4. Posisikan pasien untuk terganggu.
mengoptimalkan pernafasan.
Kekurangan volume Pengelolaan Cairan: Peningkatan Keseimbangan Elektrolit dan
1. Untuk dijadikan bahan pertimbangan
cairan keseimbangan cairan dan pencegahan Asam-Basa: Keseimbangan dasar/indikator/mengidentifikasi
komplikasi akibat kadar cairan yang elektrolit dan nonelektrolit dalam kebutuhan penggantian dan dalam
tidak normal atau tidak diinginkan. ruang intrasel dan ekstrasel tubuh. memberikan asuhan keperawatan.
Aktivitas: Ditunjukkan dengan indikator:
1. Pantau hasil laboratorium yang relevan
1. Elektrolit serum (misalnya, natrium,
2. Memenuhi kebutuhan cairan tanpa
dengan keseimbangan cairan (misalnya, kaliun, kalsium, dan magnesium) tertunda untuk memenuhi
kadar hematokrit, BUN, albumin, dalam batas normal (4). keseimbangan asupan cairan oral.
protein total, osmolalitas serum, dan
2. Serum dan pH urine dalam batas
berat jenis urine). normal (4). 3. Menggantikan haluaran lewat
2. Anjurkan pasien untuk
3. Tidak memiliki konsentrasi urine nasogastrik jika pasien tidak dapat
menginformasikan perawat bila haus. yang berlebihan. BJ urine normal: menerima secara oral.
3. Berikan ketentuan penggantian 1003-1030
nasogastrik berdasarkan haluaran, 4. Untuk pasien post-pembedahan
sesuai dengan kebutuhan. biasanya mengalami gangguan
4. Pasang kateter urine, bila perlu. eliminasi. Dengan pemasangan
kateter urine akan memudahkan
pasien untuk berkemih.
Ketidakseimbangan Pengelolaan Nutrisi : Bantuan atau Status Gizi: Nilai Gizi 1.
: Berguna untuk memberikan nutrisi
nutrisi kurang dari pemberian asupan diet makanan dan Keadekuatan zat gizi yang yang tepat sesuai kebutuhan pasien.
kebutuhan tubuh cairan yang seimbang. dikonsumsi tubuh. 2. Agar klien mengetahui tentang
1. Pantau kandungan nutrisi dan kalori Dibuktikan dengan indikator berikut kebutuhan nutrisi yang tepat dan
pada catatan asupan. : bagaimana harus memenuhinya.
2. Berikan informasi yang tepat tentang
1. Asupan mkanan dan cairan oral (4)3. Klien pascaoperasi membutuhkan
kebutuhan nutrisi dan bagaimana
2. Mempertahankan massa tubuh dan asupan nutrisi/makanan yang tepat
memenuhinya. berat badan dalam batas normal (4) sesuai kebutuhannya agar
3. Tentukan—dengan melakukan
3. Melaporkan keadekuatan tingkat mempercepat proses penyembuhan
kolaborasi bersama ahli gizi, secara energi (4) juga, sehingga dengan kolaborasi
tepat—jumlah kalori dan jenis zat gizi akan lebih memudahkan dalam
yang dibutuhkan untuk memenuhi menentukan jenis makanan/nutrisi
kebutuhan nutrisi (khususnya untuk yang tepat untuk klien.
pasien dengan kebutuhan energi tinggi, 4. Membantu klien untuk mendapatkan
seperti pasien pascoperasi dna luka makanan sampingan yang juga tetap
bakar, trauma, demam, dan luka). sesuai kebutuhan nutrisi klien.
4. Berikan pasien minuman dan camilan
bergizi, tinggi protein, tinggi kalori
yang siap dikonsumsi, bila
memungkinkan.
LAMPIRAN PATOFIS
DAFTAR PUSTAKA
Cahyono, Suharjo B. 2009. Batu Empedu. Yogyakarta: Kanisus
Herdman, T.Heather. 2010. NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2009-2011. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba
Medika
Sherlock, Sheila. 1990. Penyakit Hati dan Sistem Saluran Empedu. Jakarta: Widya Medika.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku dari Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC
Sulaiman, Ali dkk. 1990. Gastroenterologi Hepatologi. Jakarta : CV.Sagung Seto
Suratun dan Lusianah. 2010. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media
Tjokronegoro, Arjatmo dan Utama, Hendra. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta