Anda di halaman 1dari 14

PROPOSAL PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

Pemanfaatan Limbah Tulang Lele (Clarias gariepinus) Sebagai Alternatif


Dalam Bahan Baku Pembuatan Cangkang Kapsul

DISUSUN OLEH :
KETUA :
ANGGOTA :

FAKULTAS KEDOKTERAN PRODI FARMASI


UNIVERSITAS SULTAN AGUNG
SEMARANG
2016
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Biodata Ketua Dan Anggota.........................................................
11
Lampiran 2 Justifikasi Anggaran ....................................................................
15
Lampiran 3 Susunan Organisasi Tim Kegiatan Dan Pembagian Tugas..........
18
Lampiran 4 Surat Pernyataan Ketua Pelaksana ..............................................
20
RINGKASAN

Kapsul merupakan suatu bentuk sediaan padat, dimana satu macam bahan obat
atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam cangkang atau
wadah kecil yang umumnya dibuat dari gelatin yang sesuai (Ansel, 1989). Gelatin
merupakan bahan yang sesuai untuk pembentukan cangkang kapsul karena edible dan
larut, membentuk cangkang yang kuat, lapis tipis dan berubah dari bentuk larutan
menjadi bentuk gel sedikit diatas temperatur lingkungan. Gelatin segera larut dalam air
pada temperatur tubuh, dan tidak larut jika temperatur turun dibawah 30 ̊C (Agoes,
2008)
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam memproduksi bentuk sediaan farmasi, banyak bahan makanan yang
ditambahkan untuk meningkatkan mutu sediaa farmasi tersebut. Salah satu contohnya adalah
dengan penggunaan gelatin. Gelatin merupakan suatu protein yang berbentuk gel.
Pemanfaatan gelatin dalam bidang industri makanan sangat luas, salah satunya adalah sebagai
bahan baku pembuatan kapsul. Tidak hanya pada industri farmasi, gelatin juga dimanfaatkan
dalam dunia fotografi digunakan untuk proses pembuatan film. Gelatin dapat diperoleh dari
hasil konversi kolagen yang secara alami terdapat pada tulang atau kulit hewan. Konversi
kolagen menjadi gelatin dapat dilakukan melalui proses asam maupun proses basa, yang
selanjutnya dilakukan pemanasan pada saat ekstraksi. Di Indonesia, gelatin masih sangat
diragukan kehalalannya karena diperoleh dengan mengimpornya dari berbagai negara, salah
satunya adalah negara China. Gelatin dari China umumnya dibuat dari tulang babi. Untuk
mengurangi ketergantungan dari negara lain dan memenuhi hukum syariat Islam yang
mewajibkan umatnya mengkonsumsi dari bahan yang halal, maka perlu dilakukan penelitian
pembuatan gelatin dengan bahan baku alternatif yang dapat diterima seluruh masyarakat
Kapsul merupakan suatu bentuk sediaan padat, dimana satu macam bahan obat atau
lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam cangkang atau wadah kecil
yang umumnya dibuat dari gelatin yang sesuai (Ansel, 1989). Gelatin merupakan bahan yang
sesuai untuk pembentukan cangkang kapsul karena edible dan larut, membentuk cangkang
yang kuat, lapis tipis dan berubah dari bentuk larutan menjadi bentuk gel sedikit diatas
temperatur lingkungan. Gelatin segera larut dalam air pada temperatur tubuh, dan tidak larut
jika temperatur turun dibawah 30 ̊C (Agoes, 2008).
Bahan yang umumnya digunakan dalam pembuatan kapsul pada industri farmasi yaitu
gelatin. Kapsul gelatin cangkang keras digunakan sebagai obat kapsul komersial. Data dari
Gelatin Manufacturers of Europe pada tahun 2005, produksi gelatin dunia terbesar berasal
dari bahan baku kulit babi yakni 44,5% (136.000 ton), kedua dari kulit sapi 27,6% (84.000
ton), ketiga dari tulang 26,6% (81.000 ton) dan sisanya berasal dari selainnya 1,3% (4.000
ton) (Harianto et al. 2008). Data menunjukkan sebagian besar gelatin berasal dari sapi dan
babi, hal tesebut membatasi konsumen vegetarian, Muslim, Yahudi, dan Hindu yang tidak
dapat mengkonsumsinya (Fonkwe et al. 2005). Asal bahan baku gelatin tersebut juga
memiliki risiko kontaminasi virus yang menyebabkan penyakit bovine spongiform
encephalopathy (BSE), foot and mouth disease (FMD), dan swine infl uenza (Eveline et al.
2011). Ku et al. (2010) menyatakan bahwa kapsul gelatin memiliki beberapa kekurangan
antara lain memiliki reaktivitas terhadap komponen pengisi, terdapat interaksi dengan
polimer anion dan kation. Kekurangan lain dari kapsul gelatin yaitu kelarutan gelatin dalam
air mengurangi pelepasan obat lambat dari penghancuran cangkang kapsul.
Salah satu alternatif untuk mengganti gelatin sapi dalam pembuatan cangkang kapsul
adalah gelatin ikan. Menurut Wasswa et.al (2007) gelatin ikan dapat diaplikasikan dalam
bidang industri pangan dan pharmasi. Penggunaan gelatin ikan untuk bidang pangan dan
farmasi harus memenuhi sifat-sifat reologi yang sesuai dengan maksud penggunaannya
tersebut. Menurut Paranginangin dkk (2005) standar gelatin untuk keperluan farmasi harus
memiliki spesifikasi untuk kadar air adalah 14%. Kekuatan gel dalam kisaran 240 bloom
sampai 140 bloom. Viskositas dalam kisaran 4,7 cPS sampai 3,2 cPs. Kadar abu dalam
kisaran 1 % sampai 2%. Derajat keasaman (pH) dalam kisaran 5,5 sampai 5,7.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Junianto, dkk (2006) “karakteristik proksimat
dan fisikokimia gelatin yang dihasilkan dari ekstraksi tulang ikan tuna, tulang ikan nila dan
tulang campuran ikan nila-tuna memenuhi standar sebagai bahan farmasi”. Penelitian
pemanfaatan limbah tulang lele (clarias gariepinus) sebagai alternatif dalam bahan baku
pembuatan cangkang kapsul ini bertujuan untuk mengetahui potensi tulang lele sebagai bahan
alternatif pembuatan kapsul dan mempelajari sifat-sifat fisikokimia (bobot, kadar air,
ketahanan dalam larutan asam dan sifat kelenturan) cangkang kapsul yang dibuat dari gelatin
tulang ikan lele.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas dapat diangkat perumusan masalah yaitu “Bagaimana
pemanfaatan limbah tulang lele (clarias gariepinus) sebagai alternatif dalam bahan baku
pembuatan cangkang kapsul dan sifat-sifat fisikokimia (bobot, kadar air, ketahanan dalam
larutan asam dan sifat kelenturan) cangkang kapsul yang dibuat dari gelatin tulang ikan
lele.?”
1.3 Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui pemanfaatan limbah tulang lele (clarias gariepinus) sebagai alternatif
dalam bahan baku pembuatan cangkang kapsul.
2. Tujuan Khusus
Mengetahui cara pembuatan cangkang, komposisi limbah tulang lele (clarias
gariepinus) sebagai alternatif dalam bahan baku pembuatan cangkang kapsul dan dan
mengetahui sifat-sifat fisikokimia (bobot, kadar air, ketahanan dalam larutan asam
dan sifat kelenturan) cangkang kapsul yang dibuat dari gelatin tulang ikan lele.
.
1.4 Urgensi Penelitian
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Junianto, dkk (2006) “karakteristik proksimat
dan fisikokimia gelatin yang dihasilkan dari ekstraksi tulang ikan tuna, tulang ikan nila dan
tulang campuran ikan nila-tuna memenuhi standar sebagai bahan farmasi”. Penelitian
pemanfaatan limbah tulang lele (clarias gariepinus) sebagai alternatif dalam bahan baku
pembuatan cangkang kapsul ini bertujuan untuk mengetahui potensi tulang lele sebagai bahan
alternatif pembuatan kapsul dan mempelajari sifat-sifat fisikokimia (bobot, kadar air,
ketahanan dalam larutan asam dan sifat kelenturan) cangkang kapsul yang dibuat dari gelatin
tulang ikan lele.

1.5 Luaran Yang Diharapkan


Luaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah berupa hasil sediaan kapsul yang terbuat
dari bahan dasar tulang lele sebagai bahan alternatif pembuatan kapsul dengan memenuhi
sifat-sifat fisikokimia (bobot, kadar air, ketahanan dalam larutan asam dan sifat kelenturan)
sebagai cangkang kapsul yang memenuhi standar gelatin untuk sediaan farmasi, khususnya
untuk mendukung salah satu sentra produksi ikan lele terbesar adalah Boyolali, Jawa Tengah.
Boyolali memiliki usaha kecil menengah (UKM) yang menghasilkan keripik ikan lele dan
abon ikan lele. Tulang ikan lelehanya dianggap limbah dan belum dimanfaatkan sebagai
bahan dasar sediaan farmasi. Tulang ikan lele juga dapat digunakan sebagai bahan baku
industri farmasi (bahan dasar kapsul) pengganti tulang sapi. Selain itu juga akan dihasilkan
artikel ilmiah yang dapat dipublikasikan secara luas kepada masyarakat dalam jurnal ilmiah
nasional atau seminar nasional.
1.6 Manfaat
Hasil penelitian ini sangat bermanfaat bagi banyak pihak. Bagi praktisi, hasil
penelitian ini merupakan landasan dan petunjuk dalam pengembangan potensi limbah tulang
khususnya tulang ikan lele sebagai alternatif dalam pembuatan cangkang kapsul. Bagi
masyarakat, hasil penelitian ini merupakan informasi yang sangat berguna untuk menambah
pengetahuan mengenai pemanfaatan limbah ikan sebagai alteratif pembuatan cangkang
kapsul yang nantinya akan menjadi suatu sumber pendapatan yang dapat dimanfaatkan
kedepannya. Bagi pihak swasta (industri farmasi), hasil penelitian ini diharapkan sebagai
langkah awal untuk mengembangkan potensi limbah yang dapat diolah menjadi suatu
alternatif pembuatan suatu sediaan farmasi .
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gelatin
Gelatin adalah senyawa turunan kolagen yang terdapat pada kulit, tulang dan jaringan ikat
hewan yang dihidrolisis dengan asam atau basa (Tazwir dkk., 2008). Peranginangin (2004),
menyatakan dalam industri pangan gelatin sangat bermanfaat (miracle food) karena
peranannya yang sulit tergantikan. Sebagian besar dari total produksi gelatin diaplikasikan
pada industri makanan dalam bentuk edible gelatin. Dalam pembuatan bakery, gelatin
digunakan sebagai bahan penstabil dan pengisi. Pemanfaatan gelatin pada produk non pangan
adalah industri farmasi, teknik dan kosmetik. Pada bidang farmasi, gelatin digunakan dalam
pembuatan kapsul, berperan sebagai agen pengikat untuk tablet dan pastilles, penyamar rasa
pada pil, pengganti serum, mikroenkapsulasi vitamin, dan penstabil emulsi. Pada industri
teknik gelatin digunakan dalam bahan pembuatan lem, kertas, cat yang berperan sebagai
pengikat, dan penstabil emulsi. Dalam industri kosmetik digunakan dalam lipstik, shampo
dan sabun. (Peranginangin, 2004)

2.2 Kandungan Gelatin


Gelatin mengandung protein yang sangat tinggi dan rendah kadar lemaknya. Gelatin kering dengan
kadar air 8-12% mengandung protein sekitar 84-86% Protein, lemak hampir tidak ada dan 2-4%
mineral. Dari 10 jenis asam amino essensial yang dibutuhkan tubuh, gelatin mengandung 9 jenis
asam amino essensial, satu asam amino essensial yang hampir tidak terkandung dalam gelatin yaitu
Treptophane.
2.3 Bahaya Gelatin Sapi Dan Babi
Masyarakat Yahudi dan 2 Islam memiliki pantangan untuk mengonsumsi bahan-bahan dari babi,
sedangkan masyarakat Hindu tidak mengonsumsi bahan-bahan dari sapi. Adanya penyakit Bovine
Spongiform Encephalopathy (BSE) atau dikenal sapi gila (mad cow) juga merupakan kendala
pemakaian gelatin dari sapi. Oleh karenanya, pencarian gelatin alternatif yang tidak bersumber dari
babi dan sapi sangat dibutuhkan dan Banyak bibit penyakit yang dibawa babi Cacing pita (Taenia
solium), Cacing spiral (Trichinella spiralis), Cacing tambang (Ancylostoma duodenale), Cacing paru
(Paragonimus pulmonaris), Cacing usus (Fasciolopsis buski), Cacing Schistosoma (japonicum), Bakteri
Tuberculosis (TBC), Bakteri kolera (Salmonella choleraesuis), Bakteri Brucellosis suis, Virus cacar
(Small pox), Virus kudis (Scabies), Parasit protozoa Balantidium coli, Parasit protozoa Toxoplasma
gondii. (Karim dan Bhat, 2009). Dalam hal tersebut, gelatin ikan merupakan alternatif yang potensial
untuk mengganti peranan gelatin mamalia (babi dan sapi) dalam beberapa penggunaan.

2.4 Kapsul
Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang
dapat larut. Cangkang umumnya terbuat dari gelatin, tetapi dapat juga terbuat dari pati atau
bahan lain yang sesuai (Ditjen POM, 1995). Kapsul dapat didefinisikan sebagai bentuk
sediaan padat, dimana satu macam obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang
dimasukkan ke dalam cangkang atau wadah kecil yang dapat larut dalam air (Ansel, 2005).
Pada umumnya cangkang kapsul terbuat dari gelatin. Tergantung pada formulasinya kapsul
dapat berupa kapsul gelatin lunak atau keras. Bagaimana pun, gelatin mempunyai beberapa
kekurangan, seperti cangkang kapsul gelatin menjadi rapuh jika disimpan pada kondisi
kelembaban relatif yang rendah (Chang, dkk., 1998). Kerapuhan ini juga terjadi jika
cangkang kapsul gelatin diisikan dengan bahanbahan higroskopik (Kontny, dkk., 1989).
Selain itu, gelatin umumnya berasal dari tulang, kulit dan jaringan ikat hewan, seperti sapi
atau babi, sehingga membatasi penggunaannya oleh vegetarian, Yahudi, Muslim dan Hindu.
Hal ini karena mereka tidak dapat memakan produk sampingan dari sapi atau babi (Hidakaa,
dkk., 2003).

2.5 Ekstraksi dan Metode Demineralisasi


2.6.1. Definisi Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarik kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari
bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Depkes RI, 2000). Ekstraksi gelatin dari tulang ikan
juga merupakan usaha pemanfaatan limbah pengolahan ikan. Selama ini tulang ikan sebagai limbah
belum termanfaatkan secara optimal, yaitu hanya digunakan untuk bahan pembuatan pakan ternak
ataupun pupuk sehingga nilai ekonomisnya rendah. Selain itu, pemanfaatan tulang ikan sebagai
bahan baku gelatin merupakan pengolahan bersih (cleaner production) dari pengolahan ikan.
Produksi bersih merupakan konsep pengolahan untuk mengurangi dampak terhadap pencemaran
lingkungan (Hariyanto, 2010).
2.6.2. Definisi Demineralisasi
Proses demineralisasi adalah suatu proses penghilangan garam-garam mineral yang ada
didalam air seperti kalsium (Ca) dan magnesium (Mg), sehingga air yang dihasilkan mempunyai
kemurnian yang tinggi. Pada dasarnya proses ini seperti apa yang dilakukan didalam pelunakan air
secara pertukaran ion. Bahan penukar ion yang digunakan terdiri dari penukar kation dan penukar
anion. Penukar kation dikenal orang dengan sebutan Resin asam karena penukar ion- nya adalah ion
hydrogen (H+ ), sedangkan penukar anion dikenal dengan sebutan Resin basa karena penukar ion-
nya adalah ion hidroksida (OH-). Resin asam secara umum ditulis dengan simbol H2R dan Resin basa
dengan simbul R(OH)2. Kedua macam Resin ini dapat ditempatkan secara terpisah pada dua buah
bejana ataupun dalam satu buah bejana (Toker, Riza 2011).

2.6 Keuntungan dan Kerugian Metode Demineralisasi


Pada percobaan Yenita Permata W., dkk 2016 pembuatan kapsul dengan menggunakan metode
demineralisasi mendapatkan hasil Karakteristik gelatin hasil percobaan sudah memenuhi standar
mutu gelatin, namun untuk karakteristik kadar abu dan kadar protein belum memenuhi standar
mutu gelatin. Menurut Austin et al.(1981) metode demineralisasi memiliki kelemahan yaitu
mengalami deasetilasi sehingga tingkat kemurniannya rendah.

2.7 Lele
2.7.1. Definisi Lele
Lele merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan tubuh memanjang dan kulit licin. Di Indonesia
ikan lele mempunyai beberapa nama daerah, antara lain: ikan kalang (Padang), ikan maut (Gayo,
Aceh), ikan pintet (Kalimantan Selatan), ikan keling (Makasar), ikan cepi (Bugis), ikan lele atau lindi
(Jawa Tengah). Sedang di negara lain dikenal dengan nama mali (Afrika), plamond (Thailand), ikan
keli (Malaysia), gura magura (Srilangka), ca tre trang (Jepang). Dalam bahasa Inggris disebut pula
catfish, siluroid, mudfish dan walking catfish. Di Indonesia, setidaknya terdapat dua spesies ikan lele
yang biasa dibudidayakan masyarakat yaitu spesies Clarias batrachus dan Clarias gariepinus. Dari dua
spesies ini, ada beberapa ikan lele yang dikategorikan unggul yaitu lele dumbo, lele sangkuriang dan
lele phyton. Setiap jenis ikan lele tersebut memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing.
Klasifikasi lele menurut Suhestri, S, 2014 adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum :Vertebrata
Class : Pisces
Subclass : Telostei
Ordo : Ostariophysi
Subordo : Siluroidea
Family : Clariidae
Genus : Clarias
Spesies : Clarias batrachus
(SNI,. (2000)
2.7.2. Kandungan Lele
Kandungan gizi dalam ikan lele dibutuhkan oleh tubuh manusia seperti sumber energi,
protein,lemak, kalsium (Ca), fosfor (P), zat besi (Fe), natrium, tiamin (B1), riboflavin (B2)
dan niasin (Azhar,2006). Tulang ikan mengandung sel-sel hidup dan matrik intraseluler
dalambentuk garam mineral. Garam mineral tersebut terdiri dari kalsium fosfat sebanyak
80% dan sisa sebagian besar terdiri dari kalsium karbonat dan magnesium fosfat 100 cm3
dari tulang yang mengandung 10.000 mg kalsium. Tulang juga digunakan untuk menampung
mineral lainnya (Frandson,1992 dalam Tababaka, 2004). Pembuatan gelatin dengan
menggunakan tulang ikan lele sebagai bahan baku dapat membantu meningkatkan nilai
ekonomis limbah tulang ikan lele yang selama ini belum termanfaatkan secara maksimal dan
mengatasi masalah kehalalan produk gelatin. Selain itu pada penelitian ini dilakukan dengan
proses asam dimana proses asam lebih menguntungkan karena membutuhkan waktu yang
lebih singkat serta biaya yang lebih murah. (Permata W, Y. dkk. 2016)
2.7.3. Fungsi Kandungan Lele
Keunggulan ikan lele dibandingkan dengan produk hewani lainnya adalah kaya akan leusin dan lisin.
Leusin (C6H13NO2) merupakan asam amino esensial yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan
anak-anak dan menjaga keseimbangan nitrogen. Leusin juga berguna untuk perombakan dan
pembentukan protein otot. Sedangkan lisin merupakan salah satu dari 9 asam amino esensial yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan. Lisin termasuk asam amino yang sangat
penting dan dibutuhkan sekali dalam pertumbuhan dan perkembangan anak (Zaki, 2009)
2.7.4. Lokasi Pengambilan Lele
Di daerah Colomadu, Solo, Jawa Tengah

BAB 3. METODE PENELITIAN


3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Tempat penilitian dilakukan di laboratorium Farmasi dan Laboratorium Biologi Fakultas
Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung Semarang. Penelitian ini akan dilakukan selama
5 bulan dari bulan Agustus-Januari 2018.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
Bahan utama dari penelitian ini adalah tulang ikan lele segar yang diperoleh dari ternak lele
di daerah Colomadu, Solo, Jawa Tengah. Bahan-bahan kimia yang digunakan pada penelitian
ini adalah aquadest, HCl 37%, H2SO4 98%, asam oksalat, natrium boraks, NaOH, indikator
phenolphtalein, indikator metil merah, kristal KBr, dan kertas saring Whatman no.42.
Sedangkan alat-alat yang digunakan untuk pembuatan dan analisa karakteristik gelatin tulang
ikan lele adalah neraca analitis, pH-meter, Moisture Balance, Viskometer Brookfield, hot
plate, oven, mesin pencetak kapsul dari PT. KapsulIndo.

3.3 Metode Penelitian


3.3.1. Pengumpulan Bahan
Pengumpulan bahan hewan lele diambil di daerah Colomadu, Solo, Jawa Tengah pada usia 4
bulan dengan sejumlah 3 Kg.
3.3.2. Metode Ekstraksi dan Demineralisasi
Tulang ikan lele dicuci dengan air hangat untuk menghilangkan sisa daging yang menempel,
selanjutnya dengan jeruk nipis untuk mengangkat lemak yang masih menempel pada tulang
dan dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 60°C hingga massa konstan. Setelah
kering tulang ikan lele tersebut dipotong-potong ± 1cm. Kemudian dilakukan penimbangan
tulang ikan lele kering seberat 20 gram untuk masing-masing kondisi operasi dan dilakukan
demineralisasi dalam 100 mL larutan HCl dengan variasi konsentrasi HCl 2%, 4%, 6%, 8%
selama 24 jam. Tulang hasil demineralisasi berupa ossein tadi dicuci dengan air mengalir
hingga pH 5. Dilakukan proses ekstraksi menggunakan aquadest pada suhu70°C dengan ratio
massa ossein : volume aquades 1:2, dan variasi waktu ekstraksi 1 jam, 3 jam, 5 jam, dan 7
jam. Hasil ekstraksi disaring menggunakan kertas saring Whatman no. 42, dan dimasukkan
ke dalam cup yang berlapis plastik. Hasil penyaringan pada cup dikeringkan dengan oven
pada suhu ± 60°C hingga berat konstan. Kemudian dihaluskan hingga menjadi serbuk gelatin.
Lalu dikirimkan kepada pihak PT. Kapsul Indo untuk diproses menjadi Kapsul keras.
3.3.3. Pembuatan Kapsul
Dikirim ke pihak PT. Kapsul Indo untuk diproses menjadi kapsul keras

3.4 Uji Evaluasi


3.4.1. Identifikasi gelatin (JECFA 2003)
Secara fisik gelatin yang dihasilkan akan larut dalam air panas dan membentuk gel ketika didinginkan
pada suhu 10 oC selama ±17 jam. Jika gel dipanaskan akan cair kembali dan membentuk gel jika
didinginkan seperti pada proses awal.
3.4.2. Viskositas (British Standard 757 1975)
Larutan gelatin dengan konsentrasi 6,67 % (b/b) disiapkan dengan akuades kemudian diukur
viskositasnya menggunakan alat brookfield synchro-lecric viscometer. Pengukuran dilakukan pada
suhu 60 oC dengan kecepatan 60 rpm. Nilai viskositas dinyatakan dalam satuan centipoises (cP).
3.4.3. Kadar air (AOAC 1995)
Cawan porselen dikeringkan pada suhu 105 °C selama 1 jam. Kemudian didinginkan dan ditimbang.
Contoh yang akan ditentukan kadar airnya ditimbang sebanyak 5 gram. Cawan yang telah berisi
contoh dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105 °C sampai beratnya konstan.
3.1.1 Determinasi Tanaman

3.1.2 Pembuatan Ekstrak Falavonoid Kulit Lemon dan Akar Bengkoang Dengan
Pelarut
Kulit lemon dan akar bengkoang dicuci bersih, kemudian diangin-anginkan dan
dilakukan pengeringan dengan oven pada suhu 40o C hingga kering lalu diayak dengan
pengayak no. 40 mesh. Setelah diperoleh serbuk simplisia kulit lemon dan akar
bengkoang, selanjutnya dilakukan proses ekstraksi dengan soxletasi secara terpisah antara
kulit lemon dan akar bengkoang. Timbang serbuk kulit lemon dan akar bengkoang 500
gram, dibungkus kertas saring dan dimasukan ke tabung soxlet aliri etanol 70% sebanyak
500 ml kemudian pasang kondensor dan dilakukan pemanasan pada suhu titik didih
pelarut, dibiarkan terjadi sirkulasi sampai pelarut menjadi jernih. Larutan yang diperoleh
selanjutnya dirotaevaporasi dengan tekanan dan suhu sesuai pelarut sampai diperoleh
ekstrak kering. Selanjutnya menghitung kadar flavonoid dalam kulit lemon dan akar
bengkoang menggunakan spektrofotometri UV-Vis. Kemudian membuat sediaan gel
dengan konsentrasi yang berbeda-beda dan dilakukan pengujian fisik dan uji fungi
Trichophton rubrum.
3.1.3 Pengujian efektifitas ekstrak kulit lemon dan akar bengkuang sebagai
antidermatofisis
Penentuan KHM (Konsentrasi Hambat Minimum) flavonoid kulit lemon dan akar
bengkoang terhadap jamur Trichophton rubrum dilakukan dengan membuat lempeng agar
dari campuran 20 mL NA (Nutrient Agar) steril dan 100 µL jamur Trichophton rubrum
yang telah disuspensikan dalam media cair TSB (Tryptone Soya Broth) dalam cawan petri.
NA yang sudah padat dibuat lubang dengan menggunakan perforator. KHM dilakukan
dengan melarutkan flavonoid dalam akuades, ekstrak dimasukkan dalam lubang dengan
berbagai variasi konsentrasi flavonoid. Konsentrasi yang digunakan adalah 5%, 10%,
15%, 20%, dan 25%.
3.1.4 Pembuatan Formulasi Sediaan Gel Ekstrak Kulit Lemon dan Akar Bengkoang
Tabel 3.1 Formulasi Sediaan Gel Kulit Lemon dan Akar Bengkoang
Komposisi Formula
Ekstrak kulit lemon 5% 10% 15% 20% 25%
Ekstrak akar bengkoang 5% 10% 15% 20% 25%
HPMC 3 3 3 3 3
Gliserin 10 10 10 10 10
Propylenglikol 15 15 15 15 15
Methyl paraben 0,25 0,25 0,25 0,25 0,25
Pewangi lemon qs Qs qs qs Qs
Akuades 100 100 100 100 100

3.1.5 Pembuatan Basis Gel Ekstrak Kulit Lemon dan Akar Bengkoang
Semua bahan ditimbang, HPMC dilarutkan dengan akuades dingin secukupnya
hingga mengembang. Larutkan gliserin dengan methyl paraben hingga larut dan homogen.
Campurkan kedua massa tersebut dan tambahkan Propylenglikol hingga terbentuk massa
gel yang homogen.
3.1.6 Pembuatan Sediaan Gel Ekstrak Kulit Lemon dan Akar Bengkoang
Timbang semua bahan, 5% kulit lemon dan akar bengkoang, 10% kulit lemon dan
akar bengkoang, 15% kulit lemon dan akar bengkoang, 20% kulit lemon dan akar
bengkoang, dan 25% kulit lemon dan akar bengkoang. Campurkan masing-masing
formula dengan basis gel sedikit demi sedikit aduk hingga homogen.
3.1.7 Evaluasi Gel Kulit Lemon dan Akar Bengkoang
a. Pengujian Organoleptis
Sediaan diuji secara organoleptis meliputi warna, bentuk, dan bau dari sediaan gel.
b. Pengujian pH
Pengukuran pH sediaan dilakukan dengan cara menggunakan pH meter. pH sediaan
masker gel peel-off harus disesuaikan dengan pH kulit yaitu 4,5-6,5.
c. Pengujian viskositas
Pengujian viskositas dilakukan dengan menggunakan viskometer Brookfield, dengan
spindel yang sesuai (spindel no.5) pada 100 rpm. Tunggu hingga nilai viskositas muncul
pada alat.
d. Pengujian homogenitas
Pengujian homogenitas dilakukan dengancara mengoleskan sediaan gel secukupnya
pada kaca transparan. Homogenitas ditunjukkan dengan tidak adanya butiran kasar pada
sediaan.
Alur Penelitian

Determinasi tumbuhan lemon dan bengkoang

Pembuatan ekstrak kulit lemon dan akar


bengkoang

Pembuatan gel peel-off ekstrak kulit lemon dan akar bengkoang


dengan konsentrasi yang berbeda (basis, kontrol (+), 5%,10%,

Evaluasi uji sifat

Organoleptis pH Viskositas Homogenitas

Replikasi 2
Uji Fungi Trichophyton rubrum

Analisa Hasil

3.5 Luaran yang diharapkan


Luaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah berupa hasil sediaan gel yang
mengandung kulit buah lemon dan akar bengkoang yang telah terbukti memiliki efek
sebagai antidermatofitosis , khususnya untuk mendukung pengembangan potensi
tanaman herbal serta menurunkan limbah kulit lemon dan akar bengkoang yang tidak
termanfaatkan. Selain itu juga akan dihasilkan artikel ilmiah yang dapat dipublikasikan
secara luas kepada masyarakat dalam jurnal ilmiah nasional atau seminar nasional.
Secara berkelanjutan hasil penelitian ini diharapkan dapat memanfaatkan limbah
limbah kulit lemon dan akar bengkoang sebagai antidermatofitosis.
3.6 Indikator capaian
Target yang akan dicapai dan menjadi indikator keberhasilan adalah dapat
dibuatnya sediaan dalam bentuk gel dari ekstrak kulit lemon dan akar bengkoang yang
berpotensi dalam menghambat pertumbuhan fungi Trichophyton rubrum sehingga
dapat bermanfaat bagi masyarakat yaitu dapat dijadikan dalam pengobatan untuk
dermatofitosis dan artikel ilmiah yang di publikasikan di Publikasi Nasional
Terakreditasi dan dapat dipublikasikan secara luas.
3.7 Teknik pengumpulan data
Data yang diambil merupakan data primer yaitu data yang diambil dari daya
hambat masing-masing kelompok uji terhadap fungi Trichophyton rubrum untuk
melihat konsentrasi minimum dan optimum yang dapat menghambat pertumbuhan
fungi Trichophyton rubrum sehingga dapat memberikan efek antidermatofitosis.
3.8 Analisis data
Uji normalitas dan homogenitas data dilakukan dengan uji Kolmogrov-Smirnov.
Analisis data dilakukan dengan one way ANOVA. Pada uji one way ANOVA akan
dilakukan uji statistik untuk melihat perbedaan siginifikan antar kelompok uji yang
efektif untuk menghambat pertumbuhan fungi Trichophyton rubrum.
3.9 Cara penafsiran
Uji statistik one way ANOVA. Kriteria ujinya adalah bila nilai signifikansi
(Asymp.Sig.) lebih kecil dari 0,05 maka data dikatakan ada perbedaan signifikan, bila
nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 maka data tidak ada perbedaan signifikan anatar
kelompok uji dalam menghambat pertumbuhan fungi Trichophyton rubrum.
3.10 Penyimpulan hasil penelitian
Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa efek antidermatofitosis dari ekstrak
kulit lemon dan akar bengkoang dalam sediaan gel yang dijadikan untuk pengobatan
dermatofitosis dilihat dari kemampuan ekstrak menghambat pertumbuhan fungi
Trichophyton rubrum.

Anda mungkin juga menyukai