Tulang Lelee
Tulang Lelee
DISUSUN OLEH :
KETUA :
ANGGOTA :
Kapsul merupakan suatu bentuk sediaan padat, dimana satu macam bahan obat
atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam cangkang atau
wadah kecil yang umumnya dibuat dari gelatin yang sesuai (Ansel, 1989). Gelatin
merupakan bahan yang sesuai untuk pembentukan cangkang kapsul karena edible dan
larut, membentuk cangkang yang kuat, lapis tipis dan berubah dari bentuk larutan
menjadi bentuk gel sedikit diatas temperatur lingkungan. Gelatin segera larut dalam air
pada temperatur tubuh, dan tidak larut jika temperatur turun dibawah 30 ̊C (Agoes,
2008)
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam memproduksi bentuk sediaan farmasi, banyak bahan makanan yang
ditambahkan untuk meningkatkan mutu sediaa farmasi tersebut. Salah satu contohnya adalah
dengan penggunaan gelatin. Gelatin merupakan suatu protein yang berbentuk gel.
Pemanfaatan gelatin dalam bidang industri makanan sangat luas, salah satunya adalah sebagai
bahan baku pembuatan kapsul. Tidak hanya pada industri farmasi, gelatin juga dimanfaatkan
dalam dunia fotografi digunakan untuk proses pembuatan film. Gelatin dapat diperoleh dari
hasil konversi kolagen yang secara alami terdapat pada tulang atau kulit hewan. Konversi
kolagen menjadi gelatin dapat dilakukan melalui proses asam maupun proses basa, yang
selanjutnya dilakukan pemanasan pada saat ekstraksi. Di Indonesia, gelatin masih sangat
diragukan kehalalannya karena diperoleh dengan mengimpornya dari berbagai negara, salah
satunya adalah negara China. Gelatin dari China umumnya dibuat dari tulang babi. Untuk
mengurangi ketergantungan dari negara lain dan memenuhi hukum syariat Islam yang
mewajibkan umatnya mengkonsumsi dari bahan yang halal, maka perlu dilakukan penelitian
pembuatan gelatin dengan bahan baku alternatif yang dapat diterima seluruh masyarakat
Kapsul merupakan suatu bentuk sediaan padat, dimana satu macam bahan obat atau
lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam cangkang atau wadah kecil
yang umumnya dibuat dari gelatin yang sesuai (Ansel, 1989). Gelatin merupakan bahan yang
sesuai untuk pembentukan cangkang kapsul karena edible dan larut, membentuk cangkang
yang kuat, lapis tipis dan berubah dari bentuk larutan menjadi bentuk gel sedikit diatas
temperatur lingkungan. Gelatin segera larut dalam air pada temperatur tubuh, dan tidak larut
jika temperatur turun dibawah 30 ̊C (Agoes, 2008).
Bahan yang umumnya digunakan dalam pembuatan kapsul pada industri farmasi yaitu
gelatin. Kapsul gelatin cangkang keras digunakan sebagai obat kapsul komersial. Data dari
Gelatin Manufacturers of Europe pada tahun 2005, produksi gelatin dunia terbesar berasal
dari bahan baku kulit babi yakni 44,5% (136.000 ton), kedua dari kulit sapi 27,6% (84.000
ton), ketiga dari tulang 26,6% (81.000 ton) dan sisanya berasal dari selainnya 1,3% (4.000
ton) (Harianto et al. 2008). Data menunjukkan sebagian besar gelatin berasal dari sapi dan
babi, hal tesebut membatasi konsumen vegetarian, Muslim, Yahudi, dan Hindu yang tidak
dapat mengkonsumsinya (Fonkwe et al. 2005). Asal bahan baku gelatin tersebut juga
memiliki risiko kontaminasi virus yang menyebabkan penyakit bovine spongiform
encephalopathy (BSE), foot and mouth disease (FMD), dan swine infl uenza (Eveline et al.
2011). Ku et al. (2010) menyatakan bahwa kapsul gelatin memiliki beberapa kekurangan
antara lain memiliki reaktivitas terhadap komponen pengisi, terdapat interaksi dengan
polimer anion dan kation. Kekurangan lain dari kapsul gelatin yaitu kelarutan gelatin dalam
air mengurangi pelepasan obat lambat dari penghancuran cangkang kapsul.
Salah satu alternatif untuk mengganti gelatin sapi dalam pembuatan cangkang kapsul
adalah gelatin ikan. Menurut Wasswa et.al (2007) gelatin ikan dapat diaplikasikan dalam
bidang industri pangan dan pharmasi. Penggunaan gelatin ikan untuk bidang pangan dan
farmasi harus memenuhi sifat-sifat reologi yang sesuai dengan maksud penggunaannya
tersebut. Menurut Paranginangin dkk (2005) standar gelatin untuk keperluan farmasi harus
memiliki spesifikasi untuk kadar air adalah 14%. Kekuatan gel dalam kisaran 240 bloom
sampai 140 bloom. Viskositas dalam kisaran 4,7 cPS sampai 3,2 cPs. Kadar abu dalam
kisaran 1 % sampai 2%. Derajat keasaman (pH) dalam kisaran 5,5 sampai 5,7.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Junianto, dkk (2006) “karakteristik proksimat
dan fisikokimia gelatin yang dihasilkan dari ekstraksi tulang ikan tuna, tulang ikan nila dan
tulang campuran ikan nila-tuna memenuhi standar sebagai bahan farmasi”. Penelitian
pemanfaatan limbah tulang lele (clarias gariepinus) sebagai alternatif dalam bahan baku
pembuatan cangkang kapsul ini bertujuan untuk mengetahui potensi tulang lele sebagai bahan
alternatif pembuatan kapsul dan mempelajari sifat-sifat fisikokimia (bobot, kadar air,
ketahanan dalam larutan asam dan sifat kelenturan) cangkang kapsul yang dibuat dari gelatin
tulang ikan lele.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas dapat diangkat perumusan masalah yaitu “Bagaimana
pemanfaatan limbah tulang lele (clarias gariepinus) sebagai alternatif dalam bahan baku
pembuatan cangkang kapsul dan sifat-sifat fisikokimia (bobot, kadar air, ketahanan dalam
larutan asam dan sifat kelenturan) cangkang kapsul yang dibuat dari gelatin tulang ikan
lele.?”
1.3 Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui pemanfaatan limbah tulang lele (clarias gariepinus) sebagai alternatif
dalam bahan baku pembuatan cangkang kapsul.
2. Tujuan Khusus
Mengetahui cara pembuatan cangkang, komposisi limbah tulang lele (clarias
gariepinus) sebagai alternatif dalam bahan baku pembuatan cangkang kapsul dan dan
mengetahui sifat-sifat fisikokimia (bobot, kadar air, ketahanan dalam larutan asam
dan sifat kelenturan) cangkang kapsul yang dibuat dari gelatin tulang ikan lele.
.
1.4 Urgensi Penelitian
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Junianto, dkk (2006) “karakteristik proksimat
dan fisikokimia gelatin yang dihasilkan dari ekstraksi tulang ikan tuna, tulang ikan nila dan
tulang campuran ikan nila-tuna memenuhi standar sebagai bahan farmasi”. Penelitian
pemanfaatan limbah tulang lele (clarias gariepinus) sebagai alternatif dalam bahan baku
pembuatan cangkang kapsul ini bertujuan untuk mengetahui potensi tulang lele sebagai bahan
alternatif pembuatan kapsul dan mempelajari sifat-sifat fisikokimia (bobot, kadar air,
ketahanan dalam larutan asam dan sifat kelenturan) cangkang kapsul yang dibuat dari gelatin
tulang ikan lele.
2.4 Kapsul
Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang
dapat larut. Cangkang umumnya terbuat dari gelatin, tetapi dapat juga terbuat dari pati atau
bahan lain yang sesuai (Ditjen POM, 1995). Kapsul dapat didefinisikan sebagai bentuk
sediaan padat, dimana satu macam obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang
dimasukkan ke dalam cangkang atau wadah kecil yang dapat larut dalam air (Ansel, 2005).
Pada umumnya cangkang kapsul terbuat dari gelatin. Tergantung pada formulasinya kapsul
dapat berupa kapsul gelatin lunak atau keras. Bagaimana pun, gelatin mempunyai beberapa
kekurangan, seperti cangkang kapsul gelatin menjadi rapuh jika disimpan pada kondisi
kelembaban relatif yang rendah (Chang, dkk., 1998). Kerapuhan ini juga terjadi jika
cangkang kapsul gelatin diisikan dengan bahanbahan higroskopik (Kontny, dkk., 1989).
Selain itu, gelatin umumnya berasal dari tulang, kulit dan jaringan ikat hewan, seperti sapi
atau babi, sehingga membatasi penggunaannya oleh vegetarian, Yahudi, Muslim dan Hindu.
Hal ini karena mereka tidak dapat memakan produk sampingan dari sapi atau babi (Hidakaa,
dkk., 2003).
2.7 Lele
2.7.1. Definisi Lele
Lele merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan tubuh memanjang dan kulit licin. Di Indonesia
ikan lele mempunyai beberapa nama daerah, antara lain: ikan kalang (Padang), ikan maut (Gayo,
Aceh), ikan pintet (Kalimantan Selatan), ikan keling (Makasar), ikan cepi (Bugis), ikan lele atau lindi
(Jawa Tengah). Sedang di negara lain dikenal dengan nama mali (Afrika), plamond (Thailand), ikan
keli (Malaysia), gura magura (Srilangka), ca tre trang (Jepang). Dalam bahasa Inggris disebut pula
catfish, siluroid, mudfish dan walking catfish. Di Indonesia, setidaknya terdapat dua spesies ikan lele
yang biasa dibudidayakan masyarakat yaitu spesies Clarias batrachus dan Clarias gariepinus. Dari dua
spesies ini, ada beberapa ikan lele yang dikategorikan unggul yaitu lele dumbo, lele sangkuriang dan
lele phyton. Setiap jenis ikan lele tersebut memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing.
Klasifikasi lele menurut Suhestri, S, 2014 adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum :Vertebrata
Class : Pisces
Subclass : Telostei
Ordo : Ostariophysi
Subordo : Siluroidea
Family : Clariidae
Genus : Clarias
Spesies : Clarias batrachus
(SNI,. (2000)
2.7.2. Kandungan Lele
Kandungan gizi dalam ikan lele dibutuhkan oleh tubuh manusia seperti sumber energi,
protein,lemak, kalsium (Ca), fosfor (P), zat besi (Fe), natrium, tiamin (B1), riboflavin (B2)
dan niasin (Azhar,2006). Tulang ikan mengandung sel-sel hidup dan matrik intraseluler
dalambentuk garam mineral. Garam mineral tersebut terdiri dari kalsium fosfat sebanyak
80% dan sisa sebagian besar terdiri dari kalsium karbonat dan magnesium fosfat 100 cm3
dari tulang yang mengandung 10.000 mg kalsium. Tulang juga digunakan untuk menampung
mineral lainnya (Frandson,1992 dalam Tababaka, 2004). Pembuatan gelatin dengan
menggunakan tulang ikan lele sebagai bahan baku dapat membantu meningkatkan nilai
ekonomis limbah tulang ikan lele yang selama ini belum termanfaatkan secara maksimal dan
mengatasi masalah kehalalan produk gelatin. Selain itu pada penelitian ini dilakukan dengan
proses asam dimana proses asam lebih menguntungkan karena membutuhkan waktu yang
lebih singkat serta biaya yang lebih murah. (Permata W, Y. dkk. 2016)
2.7.3. Fungsi Kandungan Lele
Keunggulan ikan lele dibandingkan dengan produk hewani lainnya adalah kaya akan leusin dan lisin.
Leusin (C6H13NO2) merupakan asam amino esensial yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan
anak-anak dan menjaga keseimbangan nitrogen. Leusin juga berguna untuk perombakan dan
pembentukan protein otot. Sedangkan lisin merupakan salah satu dari 9 asam amino esensial yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan. Lisin termasuk asam amino yang sangat
penting dan dibutuhkan sekali dalam pertumbuhan dan perkembangan anak (Zaki, 2009)
2.7.4. Lokasi Pengambilan Lele
Di daerah Colomadu, Solo, Jawa Tengah
3.1.2 Pembuatan Ekstrak Falavonoid Kulit Lemon dan Akar Bengkoang Dengan
Pelarut
Kulit lemon dan akar bengkoang dicuci bersih, kemudian diangin-anginkan dan
dilakukan pengeringan dengan oven pada suhu 40o C hingga kering lalu diayak dengan
pengayak no. 40 mesh. Setelah diperoleh serbuk simplisia kulit lemon dan akar
bengkoang, selanjutnya dilakukan proses ekstraksi dengan soxletasi secara terpisah antara
kulit lemon dan akar bengkoang. Timbang serbuk kulit lemon dan akar bengkoang 500
gram, dibungkus kertas saring dan dimasukan ke tabung soxlet aliri etanol 70% sebanyak
500 ml kemudian pasang kondensor dan dilakukan pemanasan pada suhu titik didih
pelarut, dibiarkan terjadi sirkulasi sampai pelarut menjadi jernih. Larutan yang diperoleh
selanjutnya dirotaevaporasi dengan tekanan dan suhu sesuai pelarut sampai diperoleh
ekstrak kering. Selanjutnya menghitung kadar flavonoid dalam kulit lemon dan akar
bengkoang menggunakan spektrofotometri UV-Vis. Kemudian membuat sediaan gel
dengan konsentrasi yang berbeda-beda dan dilakukan pengujian fisik dan uji fungi
Trichophton rubrum.
3.1.3 Pengujian efektifitas ekstrak kulit lemon dan akar bengkuang sebagai
antidermatofisis
Penentuan KHM (Konsentrasi Hambat Minimum) flavonoid kulit lemon dan akar
bengkoang terhadap jamur Trichophton rubrum dilakukan dengan membuat lempeng agar
dari campuran 20 mL NA (Nutrient Agar) steril dan 100 µL jamur Trichophton rubrum
yang telah disuspensikan dalam media cair TSB (Tryptone Soya Broth) dalam cawan petri.
NA yang sudah padat dibuat lubang dengan menggunakan perforator. KHM dilakukan
dengan melarutkan flavonoid dalam akuades, ekstrak dimasukkan dalam lubang dengan
berbagai variasi konsentrasi flavonoid. Konsentrasi yang digunakan adalah 5%, 10%,
15%, 20%, dan 25%.
3.1.4 Pembuatan Formulasi Sediaan Gel Ekstrak Kulit Lemon dan Akar Bengkoang
Tabel 3.1 Formulasi Sediaan Gel Kulit Lemon dan Akar Bengkoang
Komposisi Formula
Ekstrak kulit lemon 5% 10% 15% 20% 25%
Ekstrak akar bengkoang 5% 10% 15% 20% 25%
HPMC 3 3 3 3 3
Gliserin 10 10 10 10 10
Propylenglikol 15 15 15 15 15
Methyl paraben 0,25 0,25 0,25 0,25 0,25
Pewangi lemon qs Qs qs qs Qs
Akuades 100 100 100 100 100
3.1.5 Pembuatan Basis Gel Ekstrak Kulit Lemon dan Akar Bengkoang
Semua bahan ditimbang, HPMC dilarutkan dengan akuades dingin secukupnya
hingga mengembang. Larutkan gliserin dengan methyl paraben hingga larut dan homogen.
Campurkan kedua massa tersebut dan tambahkan Propylenglikol hingga terbentuk massa
gel yang homogen.
3.1.6 Pembuatan Sediaan Gel Ekstrak Kulit Lemon dan Akar Bengkoang
Timbang semua bahan, 5% kulit lemon dan akar bengkoang, 10% kulit lemon dan
akar bengkoang, 15% kulit lemon dan akar bengkoang, 20% kulit lemon dan akar
bengkoang, dan 25% kulit lemon dan akar bengkoang. Campurkan masing-masing
formula dengan basis gel sedikit demi sedikit aduk hingga homogen.
3.1.7 Evaluasi Gel Kulit Lemon dan Akar Bengkoang
a. Pengujian Organoleptis
Sediaan diuji secara organoleptis meliputi warna, bentuk, dan bau dari sediaan gel.
b. Pengujian pH
Pengukuran pH sediaan dilakukan dengan cara menggunakan pH meter. pH sediaan
masker gel peel-off harus disesuaikan dengan pH kulit yaitu 4,5-6,5.
c. Pengujian viskositas
Pengujian viskositas dilakukan dengan menggunakan viskometer Brookfield, dengan
spindel yang sesuai (spindel no.5) pada 100 rpm. Tunggu hingga nilai viskositas muncul
pada alat.
d. Pengujian homogenitas
Pengujian homogenitas dilakukan dengancara mengoleskan sediaan gel secukupnya
pada kaca transparan. Homogenitas ditunjukkan dengan tidak adanya butiran kasar pada
sediaan.
Alur Penelitian
Replikasi 2
Uji Fungi Trichophyton rubrum
Analisa Hasil