Hikma Wati Askep TBC
Hikma Wati Askep TBC
DI SUSUN OLEH :
PRODI : S1 KEPERAWATAN
NPM : 1420117096
SEMESTER : IV
TAHUN AKADEMIK
2019/2020
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan waktu yang telah di tentukan.
Makalah dengan judul “ ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TB PARU ”.
Saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang talah membantu saya untuk menyelesaikan
makalah ini. Dan saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, dan dalam menyusun
makalah ini saya sudah berusaha sebaik mungkin dengan kemampuan saya agar makalah ini
menjadi sempurna. Kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menjadikan makalah ini
jauh lebih baik lagi. Semoga bermanfaat bagi saya untuk kedepannya.
Wassalamualaikum Wr.Wb
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.....................................................................................................................
2.1.8 Penatalaksanaan............................................................................................................
PENDAHULUAN
Centres for Desease Control (CDC) melaporkan pada tahun 2015, dalam laporan District
of Columbia terdapat 9.557 kasus TB Paru, meningkat 1,6% tahun 2014 di Dunia. Dua puluh
tujuh negara bagian di dunia dilaporkan peningkatan jumlah kasus TB paru dari tahun 2014, dan
empat negara (California, Texas, New York, dan Florida) menyumbang 50,6% penderita TB
paru dari total kasus nasional di Amerika Serikat. Tahun 2013, kejadian TB paru terus secara
bertahap menurun antara orang kulit hitam non Hispanik atau Afrika Amerika (-6,4%), kulit
putih non-Hispanik (-12,1%), dan Hispanik atau Latin (-4,0%). Sementara kejadian TB paru
tingkat Asia juga menurun 2013-2015 (-1,0%), pada tahun 2015 tingkat kejadian TB secara
keseluruhan untuk Asia selama tiga kali lebih tinggi. Angka prevalensi TB paru di Indonesia
pada tahun 2014 menjadi sebesar 647 orang dari 100.000 penduduk. Angka penderita TB paru
ini meningkat dari tahun 2013, penderita TB paru pada tahun 2013yang berjumlah 272 dari
100.000 penduduk. (WHO, 2015)
Angka keberhasilan pengobatan pada tahun 2014 sebesar 81,3% sedangkan WHO
menetapkan standar angka keberhasilan pengobatan sebesar 85%.Sementara Kementerian
Kesehatan menetapkan target minimal 88% untuk angka keberhasilan pengobatan pada tahun
2014.Dengan demikian pada tahun 2014, Indonesia tidak mencapai standar angka keberhasilan
pengobatan pada kasus TB paru.Berdasarkan hal tersebut, pencapaian angka keberhasilan
pengobatan tahun 2014tidak memenuhi target rentra tahun 2014 (Kemenkes RI. 2015).
Hasil observasi didapatkan keluhan pasien banyak mengalami sesak nafas dan dahak
(secret) yang sulit dikeluarkan, nyeri dada, badan terasa lemah, nafsu makan menurun.Diagnosa
keperawatan yang muncul adalah gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan
membran alveolar-kapiler, ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan mokus
dalam jumlah berlebihan, eksudat dalam jalan alveoli, sekresi bertahan/sisa sekresi,
ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi, ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan. Peran
perawat pada pasien TB paru yakni melakukan tindakan keperawatan untuk membantu
memenuhi kebutuhan dasar pada pasien dan membantu mengurangi keluhan yang dirasakan,
perawat mengatur posisi duduk pasien dengan semi fowler agar pasien tidak merasakan sesak
nafas, selain itu perawat melakukan nebulizer yang berguna untuk mempermudah pasien untuk
mengeluarkan secretnya. Perawat juga mengontrol pemberian OAT pada pasien penderita TB
paru, selain itu perawat memberikan edukasi mengenai faktor pemicu TB paru dan menjauhi
faktor resiko TB paru serta perawat memberikan dukungan moril dan motivasi untuk
kesembuhan pasien TB paru. Pasien TB paru bukan hanya membutuhkan perawatan secara fisik
akan tetapi juga membutuhkan perawatan secara psikososial karena pasin TB paru cenderung
mengalami harga diri rendah serta isolasi sosial yang dikarenakan TB paru dapat menginfeksi
siapapun sehingga orang lain cenderung menjauhi atau membatasi aktivitasnya dengan penderita
TB paru.Maka dari itu pentingnya tenaga perawat untuk melakukan asuhan keperawatan sebagai
edukator, motivator dan fasilitator pada pasien dengan TB paru.
PEMBAHASAN
2.1.1 PENGERTIAN
Tuberkulosis atau TB paru adalah suatu penyakit menular yang paling sering mengenai parenkim
paru, biasanya disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.TB paru dapat menyebar ke setiap bagian
tubuh, termasuk meningen, ginjal, tulang dan nodus limfe (Smeltzer&Bare, 2015).Selain itu TB paru
adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yakni kuman aerob yang dapat hidup
terutama di paru atau di berbagai organ tubuh lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang
tinggi (Tabrani Rab, 2010). Pada manusia TB paru ditemukan dalam dua bentuk yaitu: (1) tuberkulosis
primer: jika terjadi pada infeksi yang pertama kali, (2) tuberkulosis sekunder: kuman yang dorman pada
tuberkulosis primer akan aktif setelah bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi
tuberkulosis dewasa (Somantri, 2009)
Menurut Robinson, dkk (2014),TB Paru merupakan infeksi akut atau kronis yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis di tandai dengan adanya infiltrat paru, pembentukan granuloma dengan
perkejuan, fibrosis serta pembentukan kavitas.
Tuberkulosis (TB) paru adalah infeksi pada paru-paru dan kadang pada struktur-struktur
disekitarnya, yang disebabkan oleh Mycrobacterium tuberculosis (Saputra, 2010). Sedangkan menurut
Rubenstein, dkk (2007), Tuberkulosis (TB) adalah infeksi batang tahan asam-alkohol (acid-alcoholfast
bacillus/AAFB) Mycrobacterium tuberkulosis terutama mengenai paru, kelenjar getah bening, dan usus.
2.1.2 ETIOLOGI
TB paru disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang dapat ditularkan ketika
seseorang penderita penyakit paru aktif mengeluarkan organisme.Individu yang rentan menghirup droplet
dan menjadi terinfeksi.Bakteria di transmisikan ke alveoli dan memperbanyak diri.Reaksi inflamasi
menghasilkan eksudat di alveoli dan bronkopneumonia, granuloma, dan jaringan fibrosa (Smeltzer&Bare,
2015).Ketika seseorang penderita TB paru batuk, bersin, atau berbicara, maka secara tak sengaja
keluarlah droplet nuklei dan jatuh ke tanah, lantai, atau tempat lainnya. Akibat terkena sinar matahari atau
suhu udara yang panas, droplet atau nuklei tadi menguap. Menguapnya droplet bakteri ke udara dibantu
dengan pergerakan angin akan membuat bakteri tuberkulosis yang terkandung dalam droplet nuklei
terbang ke udara. Apabila bakteri ini terhirup oleh orang sehat, maka orang itu berpotensi terkena bakteri
tuberkulosis (Muttaqin Arif, 2012).
Menurut Smeltzer&Bare (2015), Individu yang beresiko tinggi untuk tertular virus tuberculosis adalah:
b. Individu imunnosupresif (termasuk lansia, pasien dengan kanker, mereka yang dalam terapi
kortikosteroid, atau mereka yang terinfeksi dengan HIV).
c. Pengguna obat-obat IV dan alkhoholik. d. Individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat
(tunawisma; tahanan; etnik dan ras minoritas, terutama anak-anak di bawah usia 15 tahun dan dewasa
muda antara yang berusia 15 sampai 44 tahun).
e. Dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya (misalkan diabetes, gagal ginjal kronis, silikosis,
penyimpangan gizi).
g. Pekerjaan (misalkan tenaga kesehatan, terutama yang melakukan aktivitas yang beresiko tinggi.
TB paru diklasifikasikan menurut Wahid & Imam tahun 2013 halaman 161 yaitu:
B. Pembagian secara aktivitas radiologis TB paru (koch pulmonum) aktif, non aktif dan quiescent (bentuk
aktif yang mulai menyembuh)
Tuberkulosis minimal Terdapat sebagian kecil infiltrat nonkavitas pada satu paru maupun kedua
paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.
Moderately advanced tuberculosis Ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm. Jumlah
infiltrat bayangan halus tidak lebih dari 1 bagian paru.Bila bayangan kasar tidak lebih dari
sepertiga bagian 1 paru.
Far advanced tuberculosis Terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi keadaan pada moderately
advanced tuberkulosis.
Klasifikasi TB paru dibuat berdasarkan gejala klinik, bakteriologik, radiologik, dan riwayat pengobatan
sebelumnya.Klasifikasi ini penting karena merupakan salah satu faktor determinan untuk menentukan
strategi terapi. Sesuai dengan program Gerdunas-TB (Gerakan Terpadu Nasional Penanggulan
Tuberkulosis) klasifikasi TB paru dibagi sebagai berikut:
2) Gejala klinik tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru.
3) Radiologik menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan serial foto yang tidak
berubah.
Manifestasi Klinis Arif Mutaqqin (2012), menyatakan secara umum gejala klinik TB paru primer dengan
TB paru DO sama. Gejala klinik TB Paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau
gejala organ yang terlibat ) dan gejala sistematik.
1) Gejala respratorik
a) Batuk
Keluhan batuk, timbul paling awal dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan.
b) Batuk darah Keluhan batuk darah pada klien TB Paru selalu menjadi alasan utama klien untuk
meminta pertolongan kesehatan.
c) Sesak nafas Keluhan ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal
yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothoraks, anemia, dan lain-lain.
d) Nyeri dada Nyeri dada pada TB Paru termasuk nyeri pleuritik ringan.Gejala ini timbul apabila
sistem persarafan di pleura terkena TB.
2) Gejala sistematis
a) Demam Keluhan yang sering dijumpai dan biasanya timbul pada sore atau malam hari mirip demam
atau influenza, hilang timbul, dan semakin lama semakin panjang serangannya, sedangkan masa bebas
serangan semakin pendek.
b) Keluhan sistemis lain Keluhan yang biasa timbul ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat
badan, dan malaise.Timbulnya keluhan biasanya bersifat gradual muncul dalam beberapa
minggusampai bulan.Akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, dan sesak nafas. Gejala
reaktivasi tuberkulosis berupa demam menetap yang naik dan turun (hectic fever), berkeringat pada
malam hari yang menyebabkan basah kuyup (drenching night sweat), kaheksia, batuk kronik dan
hemoptisis.Pemeriksaan fisik sangat tidak sensitif dan sangat non spesifik terutama pada fase awal
penyakit.Pada fase lanjut diagnosis lebih mudah ditegakkan melalui pemeriksaan fisik, terdapat
demam penurunan berat badan, crackle, mengi, dan suara bronkial. (Darmanto, 2009)
Gejala klinis yang tampak tergantung dari tipe infeksinya.Pada tipe infeksi yang primer dapat tanpa gejala
dan sembuh sendiri atau dapat berupa gejala neumonia, yakni batuk dan panas ringan. Gejala TB, primer
dapat juga terdapat dalam bentuk pleuritis dengan efusi pleura atau dalam bentuk yang lebih berat lagi,
yakni berupa nyeri pleura dan sesak napas. Tanpa pengobatan tipe infeksi primer dapat sembuh dengan
sendirinya, hanya saja tingkat kesembuhannya 50%. TB postprimer terdapat gejala penurunan berat
badan, keringat dingin pada malam hari, tempratur subfebris, batuk berdahak lebih dari dua minggu,
sesak napas, hemoptisis akibat dari terlukanya pembuluh darah disekitar bronkus, sehingga menyebabkan
bercak-bercak darah pada sputum, sampai ke batuk darah yang masif, TB postprimer dapat menyebar ke
berbagai organ sehingga menimbulkan gejala-gejala seperti meningitis, tuberlosis miliar, peritonitis
dengan fenoma papan catur, tuberkulosis ginjal, sendi, dan tuberkulosis pada kelenjar limfe dileher, yakni
berupa skrofuloderma.(Tabrani Rab, 2016)
2.1.5 KOMPLIKASI
Menurut Wahid&Imam (2013), dampak masalah yang sering terjadi pada TB paru adalah:
1. Hemomtisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena
syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
3. Bronki ektasis (peleburan bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses
pemulihan atau reaktif) pada paru.
4. Pneumothorak (adanya udara dalam rongga pleura) spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan
paru.
5. Penyebaran infeksi keorgan lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal, dan sebagainya.
2.1.6 PATOFISIOLOGI
Virus masuk melalui saluran pernapasan dan berada pada alveolus. Basil ini langsung
membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit memfagosit bakteri namun tdak membunuh, sesudah hari-
hari pertama leukosit diganti dengan makrofag. Alveoli yang terserang mengalami konsolidasi. Makrofag
yeng mengadakan infiltrasi bersatu menjadi sel tuberkel epiteloid. Jaringan mengalami nekrosis keseosa
dan jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa dan membentuk jaringan parut kolagenosa, Respon radang
lainnya adalah pelepasan bahan tuberkel ke trakeobronkiale sehingga menyebabkan penumpukan sekret.
Tuberkulosis sekunder muncul bila kuman yang dormant aktif kembali dikarenakan imunitas yang
menurun (Price dan Lorraine, 2007; Amin dan Asril, 2007).
2.1.7 PATHWEY
Mycrobacterium Tuberculosis
Alveolus
Respon Radang
Anoreksia , mual
Terbentuk sel tuberkel
muntah
epiteloid Batuk
Nekrosis kaseose
Droplet Gangguan
Nyeri keseimbangan nutrisi
Granulase kurang dari kebutuhan
Resiko tinggi
Jaringan perut penyebaran
kolagenosa infeksi
Kerusakan membran
alveolar
Intoleransi Sumber : Sylvia dan Lorraine, 2007 ; Amin dan Asril, 2007 ;
aktivitas
NANDA, 2011; Wilkinson, 2007; Doenges, 2005.
2.1.8 PENATALAKSANAAN
Menurut Zain (2001) membagi penatalaksanaan tuberkulosis paru menjadi tiga bagian, pengobatan, dan
penemuan penderita (active case finding).
1. Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat dengan penderita TB paru
BTA positif. Pemeriksaan meliputi tes tuberkulin, klinis dan radiologis. Bila tes tuberkulin positif,
maka pemeriksaan radiologis foto thoraks diulang pada 6 dan 12 bulan mendatang. Bila masih negatif,
diberikan BCG vaksinasi. Bila positif, berarti terjadi konversi hasil tes tuberkulin dan diberikan
kemoprofilaksis.
2. Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok kelompok populasi tertentu misalnya:
3. Vaksinasi BCG Tabrani Rab (2010), Vaksinasi BCG dapat melindungi anak yang berumur kurang dari
15 tahun sampai 80%, akan tetapi dapat mengurangi makna pada tes tuberkulin. Dilakukan
pemeriksaan dan pengawasan pada pasien yang dicurigai menderita tuberkulosis, yakni:
Pada etnis kulit putih dan bangsa Asia dengan tes Heaf positif dan pernah berkontak dengan
pasien yang mempunyai sputum positif harus diawasi.
Walaupun pemeriksaan BTA langsung negatif, namun tes Heafnya positif dan pernah berkontak
dengan pasien penyakit paru.
Yang belum pernah mendapat kemoterapi dan mempunyai kemungkinan terkena.
Bila tes tuberkulin negatif maka harus dilakukan tes ulang setelah 8 minggu dan ila tetap negatif
maka dilakukan vaksinasi BCG. Apabila tuberkulin sudah mengalami konversi, maka pengobatan
harus diberikan.
4. Kemoprofilaksis dengan mengggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan dengan tujuan
menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih sedikit. Indikasi kemoprofilaksis primer
atau utama ialah bayi yang menyusu pada ibu dengan BTA positif, sedangkan kemoprofilaksis
sekunder diperlukan bagi kelompok berikut:
Bayi dibawah lima tahun dengan hasil tes tuberkulin positif karena resiko timbulnya TB milier
dan meningitis TB,
Anak dan remaja dibawah dibawah 20 tahun dengan hasil tuberkulin positif yang bergaul erat
dengan penderita TB yang menular,
Individu yang menunjukkan konversi hasil tes tuberkulin dari negatif menjadi positif,
Penderita yang menerima pengobatan steroid atau obat immunosupresif jangka panjang,
Penderita diabetes melitus.
5. Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberkulosis kepada masyarakat di tingkat
puskesmas maupun ditingkat rumah sakit oleh petugas pemerintah maupun petugas LSM (misalnya
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Paru Indonesia-PPTI). (Mutaqqin Arif, 2012) Arif
Mutaqqin (2012), mengatakan tujuan pengobatan pada penderita TB paru selain mengobati, juga untuk
mencegah kematian, kekambuhan, resistensi terhadap OAT, serta memutuskan mata rantai penularan.
Untuk penatalaksanaan pengobatan tuberkulosis paru, berikut ini adalah beberapa hal yang penting
untuk diketahui. Mekanisme Kerja Obat anti-Tuberkulosis (OAT)
c. Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas bakteriostatis terhadap bakteri tahan
asam.
Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Etambutol, asampara-amino salistik, dan
sikloserine.
Intraseluler, kemungkinan masih dapat dimusnahkan oleh Isoniazid dalam keadaan telah terjadi
resistensi sekunder. Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2-3
bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan).Panduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan
obat tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah
Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Streptomisin, dan Etambutol (Depkes RI, 2004) Untuk
keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu berdasarkan lokasi TB paru,
berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologi, apusan sputum dan riwayat pengobatan
sebelumnya.Disamping itu, perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB paru yang
dikenal sebagai Directly Observed Treatment Short Course (DOTSC). DOTSC yang
direkomendasikan oleh WHO terdiri atas lima komponen,yaitu:
a. Adanya komitmen politis berupa dukungan para pengambil keputusan dalam penanggulangan
TB paru.
c. Pengobatan TB paru dengan paduan OAT jangka pendek dibawah pengawasan langsung oleh
Pengawas Menelan Obat (PMO), khususnya dalam dua bulan pertama di mana penderita harus
minum obat setiap hari. d. Kesinambungan ketersediaan paduan OAT jangka pendek yang
cukup. Pencatatan dan pelaporan yang baku.
2.2 ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT TB PARU
2.2.1Indentitas
Identitas pasien
Nama : Tn. J
Umur : 60 tahun
Agama : Islam
Status : menikah
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : swasta
Nomor RM : 393188
Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret, sekret kental.
Nyeri berhubungan dengan batuk menetap dan inflamasi paru
Risiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan adanya infeksi kuman tuberkulosis.
Gangguan pola tidur berhubungan dengan sesak napas dan batuk menetap.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan dan inadekuat oksigen untuk beraktivitas.
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret, sekret kental.
Diagnosa ini penulis tegakkan sebab ditemukan data subjektif : pasien mengatakan batuk
berdahak, pasien mengatakan sesak napas. Objektif : auskultasi : creakles pada percabangan bronkus,
TTV : TD : 110/70 mmHg, S : 36 C, N : 84 x/menit, RR : 28 x/menit, sekret kental.
Berdasarkan data-data yang diperoleh dan diagnosa, penulis menyusun intervensi sebagai
berikut : kaji fungsi pernapasan (bunyi napas, kecepatan, kedalaman, penggunaan otot asseroris). Catat
kemampuan untuk mengeluarkan mulkosa/batuk efektif. Berikan pasien posisi semi/fowler tinggi, ajarkan
batuk efektif dan latihan napas dalam. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, penghisapan sesuai
keperluan. Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali kontraindikasi, anjurkan pasien
minum air putih hangat banyak. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi.
Dalam pelaksanaannya tidak semua intervensi dilakukan, bersihkan sekret dari mulut dan trakea,
penghisapan sesuai keperluan tidak dilakukan karena pasien sudah mampu mengeluarkan sekret dengan
nafas dalam dan batuk efektif
Dari hasil evaluasi penulis, masalah bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan
penumpukan sekret, sekret kental hanya dapat teratasi sebagian dalam waktu 3 x 24 jam. Terbukti
dengan data subjektif pasien mengatakan masih batuk dan sesak napas berkurang, dan objektif pasien
bernapas menggunakan otot bantu pernapasan leher, napas dangkal cepat, suara napas creakles pada
percabangan bronkus, RR : 28 x/menit. Dibandingkan dengan kriteria hasil mempertahankan jalan napas
pasien, pasien dapat mengeluarkan sekret dengan batuk efektif, pasien menunjukkan perilaku untuk
memperbaiki/mempertahankan bersihan jalan napas, sesak napas berkurang, batuk berkurang.
Diagnosa ini penulis tegakkan sebab ditemukan data subjektif : pasien mengatakan nyeri pada
dada saat batuk, pengkajian nyeri : P : batuk menetap, Q : menusuk, R : dada, S : 5, T : timbul kadang-
kadang saat batuk.. Objektif : pasien meringis kesakitan, TTV : TD : 130/80 mmHg, S : 36,3 C, N : 74
x/menit, RR : 28 x/menit. BTA positif .
Intervensi berikut penulis susun berdasarkan data dalam pengkajian yang menunjukkan bahwa
pasien mengalami nyeri akut, adapun intervensinya sebagai berikut : observasi karakteristik nyeri
(PQRST). Observasi TTV. Beri posisi yang nyaman . Ajarkan teknik relaksasi napas dalam. Anjurkan
pasien menekan dada saat batuk. Kolaborasi dalam pemberian analgesik sesuai indikasi.
Dalam pelaksanaannya semua intervensi telah dilakukan selama tindakan keperawatan selama 3 x
24 jam. Namun implementasi memberikan lingkungan yang nyaman dan tenang kurang begitu efektif,
dikarenakan kondisi ruangan kelas 3 yang penuh dengan pasien dan keluarga yang lain dan letak tempat
tidur yang berdekatan serta pengunjung yang banyak berdatangan.
Dari hasil evaluasi penulis, didapatkan masalah nyeri akut berhubungan dengan inflamasi paru
dan batuk menetap dapat teratasi dalam waktu 3 x 24 jam. Terbukti dengan data pasien mengatakan nyeri
sudah berkurang dan mampu mengontrol nyeri, pasien relaks, pengkajian nyeri : P = batuk menetap, Q =
menusuk, R = dada, S = 3, T = timbul kadang-kadang saat batuk, TTV : TD :130/80mmHg, S : 36,3 C,
RR : 28 x/menit, N : 74 x/menit, dibandingkan dengan kriteria hasil yaitu menyatakan nyeri berkurang
dan terkontrol, pasien tampak rileks, skala nyeri 3.
3. Risiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan adanya infeksi kuman tuberkulosis.
Diagnosa ini penulis tegakkan sebab ditemukan data subjektif : pasien mengatakan sering kontak
dengan orang lain, pasien mengatakan batuk di depan orang lain tanpa menutup mulut, pasien
mengatakan membuang dahak pada plastik yang ditali dan dibuang di tempat sampah. Objektif : pasien
sering batuk di depan orang lain tanpa menutup mulut. BTA positif.
Berdasarkan data-data yang diperoleh dan diagnosa, penulis menyusun intervensi sebagai
berikut : kaji patologi penyakit dan potensial penyebaran infeksi melalui droplet udara selama batuk,
bersin, meludah, bicara, tertawa. Identifikasi orang lain yang berisiko, contoh : anggota rumah, sahabat
karib dan tetangga. Observasi TTV. Anjurkan pasien untuk batuk / bersin dan mengeluarkan dahak pada
tisu dan membuang dahak si tempat tertutup, menghindari meludah sembarangan dan cuci tangan yang
tepat. Tekankan pentingnya tidak menghentikan obat. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi
dengan rasional untuk mempercepat penyembuhan infeksi.
Dalam pelaksanaannya semua intervensi telah dilakukan selama tindakan keperawatan selama 3 x
24 jam. Namun Identifikasi orang lain yang berisiko, contoh : anggota rumah, sahabat karib dan tetangga
kurang begitu terlaksana dengan baik, dikarenakan kurangnya kesadaran keluarga untuk memeriksakan
diri terkait penularan TB Paru walaupun sudah mengerti tentang penularan TB Paru dan tidak adanya
tindakan isolasi bagi pasien TB Paru.
Dari hasil evaluasi penulis, masalah risiko tinggi penyebaran infeksi hanya dapat teratasi sebagian
dalam waktu 3 x 24 jam. Terbukti dengan data pasien mengatakan pasien mengatakan sudah menutup
mulut saat batuk/bersin, membuang dahak di tempat tertutup, menghindari meludah sembarangan dan
cuci tangan tepat, tidak ada anggota keluarga, orang dekat yang mempunyai gejala sama dengan pasien,
TTV : TD : 130/80 mmHg, S : 36,3 C, N : 74 x/menit, RR : 28 x/menit, yang dibandingkan dengan
kriteria hasil yaitu mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan risiko penyebaran infeksi,
menunjukkan/melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang aman.
4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sesak napas dan batuk menetap.
Diagnosa ini penulis tegakkan sebab ditemukan data subjektif : pasien mengatakan tidur tidak
nyenyak dan sering terbangun karena batuk, pasien mengatakan batuk berdahak, pasien mengatakan sesak
napas, pasien mengatakan kurang puas saat tidur dan pasien tidur ± 6-7 jam sehari dan tidur siang ± 1-2
jam. Objektif : kantong mata bawah hitam, konjungtiva anemis.
Berdasarkan data-data yang diperoleh dan diagnosa, penulis menyusun intervensi sebagai
berikut : observasi pola tidur pasien dan TTV. Identifikasi faktor yang mempengaruhi masalah tidur.
Berikan lingkungan yang nyaman dan tenang. Berikan posisi yang nyaman. Kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian terapi.
Dalam pelaksanaannya semua implementasi sesuai dengan intervensi, dan semua intervensi telah
dilakukan selama tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam. Namun implementasi memberikan
lingkungan yang nyaman dan tenang kurang begitu efektif, dikarenakan kondisi ruangan kelas 3 yang
penuh dengan pasien dan keluarga yang lain dan letak tempat tidur yang berdekatan serta pengunjung
yang banyak berdatangan.
Dari hasil evaluasi penulis, masalah gangguan pola tidur berhubungan dengan sesak napas dan
batuk teratasi dalam waktu 3 x 24 jam. Hal ini terbukti dengan data pasien mengatakan tidurnya sudah
nyenyak dan sedikit bangun karena batuk, pasien tidur ± 7-8 jam pada malam hari, ± 1 jam siang hari,
TTV : TD : 130/80 mmHg, S : 36,3 C, N : 74 x/menit, RR : 28 x/menit, yang dibandingkan dengan
kriteria hasil yaitu pasien mampu tidur tanpa gangguan, TTV normal, kebutuhan tidur terpenuhi minimal
8 jam.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan dan inadekuat oksigen untuk beraktivitas.
Diagnosa ini penulis tegakkan sebab ditemukan data subjektif : pasien mengatakan badannya
lemas, pasien mengatakan kepalanya pusing, Pasien mengatakan sesak napas. Objektif : pasien hanya
ditempat tidur dan saat beraktivitas dibantu oleh keluarga, RR = 28 x/menit, Hb = 11,1 g/dl.
Berdasarkan data-data yang diperoleh dan diagnosa, penulis menyusun intervensi sebagai
berikut : observasi respon pasien terhadap aktivitas. Catat laporan dispnea, peningkatan kelemahan atau
kelelahan. Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi. Jelaskan
pentingnya istirahat dalam rencana pengobatandan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat. Bantu
pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat. Anjurkan keluarga untuk membantu pasien saat
beraktivitas. Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan. Berikan kemajuan peningkatan aktivitas
selama fase penyembuhan. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi.
Dalam pelaksanaannya semua intervensi telah dilakukan selama tindakan keperawatan selama 3 x
24 jam. Namun pada intervensi menciptakan lingkungan yang nyaman kurang begitu terlaksanakan
dikarenakan lingkungan yang ramai oleh keluarga pasien dan pengunjung yang berdatangan.
Dari hasil evaluasi penulis, masalah intoleransi aktivitas hanya dapat teratasi sebagian dalam
waktu 3 x 24 jam. Terbukti dengan data pasien mengatakan masih lemes dan hanya mampu beraktivitas
sedikit, pasien masih dibantu jika beraktivitas, RR : 28 x/menit yang dibandingkan dengan kriteria hasil
melaporkan atau menunjukan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan adanya
dispnea, kelemahan berlebihan, dan tanda vital normal.
Di dalam kasus ini terdapat 2 diagnosa yang ada dalam teori tapi tidak muncul dalam kasus, yaitu
: gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, gangguan pertukaran gas. Hal ini dikarenakan hal ini
kurang ditemukannya data pengkajian yang mendukung ditegakkannya diagnosa tersebut.
BAB III
3.1 KESIMPULAN
Setelah melakukan asuhan keperawatan pada Tn. J selama tiga hari dan melakukan pengkajian
kembali baik secara teoritis maupun secara tinjauan kasus didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengkajian dilakukan dengan dua metode yaitu pola Gordon dan head to toe yang mendukung
ditegakkannya diagnosa.
2. Setelah dilakukan pengkajian dan analisa kasus muncul lima diagnosa pada pasien yaitu bersihan jalan
napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret dan sekret kental, nyeri akut berhubungan
dengan inflamasi paru dan batuk menetap, risiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan adanya
infeksi kuman tuberkulosis, gangguan pola tidur berhubungan dengan sesak napas dan batuk, intoleransi
aktivitas berhubungan dengan keletihan dan inadekuat oksigen untuk beraktivitas Semua diagnosa yang
muncul dalam kasus sesuai dengan teori.
3. Intervensi yang disusun penulis berdasarkan pada data yang muncul dalam pengkajian yang sesuai
untuk menegakkan diagnosa. Selain itu sejalan dengan teori dalam tinjauan keperawatan.
4. Implementasi yang dilakukan sudah sesuai dengan intervensi dalam teori. Namun terdapat beberapa
intervensi yang tidak dapat dilakukan dikarenakan keterbatasan fasilitas dan kebijakan dari rumah sakit.
Selain ituterdapat faktor penghambat yang membuat beberapa implementasi dalam pelaksanaannya
kurang maksimal.
5. Mengacu pada intervensi dan implementasi dari hasil evaluasi, ada 2 diagnosa yang teratasi : nyeri akut
berhubungan dengan inflamasi paru dan batuk menetap, dan gangguan pola tidur berhubungan dengan
sesak napas dan batuk. Selain itu ada 3 diagnosa yang teratasi sebagian : bersihan jalan nafas tidak efektif
berhubungan dengan penumpukan sekret, sekret kental, risiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan
dengan adanya infeksi kuman tuberkulosis, dan intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan dan
inadekuat oksigen untuk beraktivitas.
3.2 SARAN
1. Pasien lebih kooperatif, selalu memperhatikan serta tidak melakukan halhal yang menyimpang dari
petunjuk dokter dan perawat
2. Keluarga senantiasa memotivasi pasien dan keluarga untuk selalu menjaga pola hidup dan kesehatan
pasien.
3. Perawat sebagai tim kesehatan sangat perlu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan agar mampu
merawat pasien secara komprehensif dan optimal.