Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

ULKUS KORNEA BAKTERIALIS

PEMBIMBING
dr. Dian, Sp.M

PENULIS
Siti Abila Zebadiah
030.14.177

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR ESNAWAN ANTARIKSA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 6 JANUARI – 7 FEBRUARI 2020
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PERSETUJUAN

REFERAT

Judul:
Ulkus Kornea Bakterialis
Nama:
Siti Abila Zebadiah
NIM:
030.14.177

Telah disetujui untuk dipresentasikan


Pada Hari , Februari 2020

Pembimbing

dr. Dian, Sp.M


BAB I
PENDAHULUAN

Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya
dan merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. Kornea terdiri
atas lima lapisan, yaitu epitel, membran Bowman, stroma, membran Descement, dan
endotel.(1)
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem
pompa endotel terganggu sehingga terjadi dekompensasai endotel dan edema kornea.
Endotel tidak mempunya daya regenerasi.(1)
Sumber nutrisi kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus, aquous
humour, dan air mata. Kornea superfisial juga mendapat oksigen sebagian besar dari
atmosfir. Transparansi kornea dipertahankan oleh strukturnya seragam,
avaskularitasnya dan deturgensinya.(2)
Berbagai keluhan bisa terjadi pada kornea termasuk terbentuknya ulkus/tukak
kornea. Ulkus kornea merupakan diskontinuitas atau hilangnya sebagian permukaan
kornea akibat kematian jaringan kornea. Terbentuknya ulkus kornea diakibatkan oleh
adanya kolagenase yang dibentuk oleh sel epitel baru dan sel radang. Gejala dari
ulkus kornea yaitu nyeri, berair, fotofobia, blefarospasme, dan biasanya disertai
riwayat trauma pada mata.(2)
Ulkus tersebut bisa terdapat pada sentral kornea dan berpengaruh sekali pada
visus atau bisa terdapat di tepi kornea dan tidak terlalu berpengaruh pada visus. Ulkus
dapat terjadi akibat berbagai macam kondisi seperti infeksi, adanya benda asing
seperti sepotong rumput, pasir atau lumpur yang masuk kedalam mata, kekurangan
produksi air mata dan kegagalan palpebra menutup sempurna pada saat tidur.(3)
Ulkus kornea yang luas memerlukan penanganan yang tepat dan cepat untuk
mencegah perluasan ulkus dan timbulnya komplikasi seperti descementocele,
perforasi, endoftalmitis, bahkan kebutaan. Ulkus kornea yang sembuh akan
menimbulkan jaringan parut kornea dan merupakan penyebab kebutaan nomor dua di
Indonesia.(2)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Histologi Kornea


Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya
dan merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. Kornea terdiri
atas lima lapisan, yaitu:
1. Epitel
- Terdiri atas lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih, sel
basal, sel poligonal, dan sel gepeng.
- Pada sel basal terjadi proses mitosis sel, dimana sel mudanya akan
terdorong ke depan menjadi sel gepeng. Sel basal berikatan erat dengan
sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya sehingga
menghambat aliran air, elektrolit, dan glukosa membentuk suatu barrier.
- Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila
terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
2. Membran Bowman
- Merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur dan tidak mempunyai daya
regenerasi.
3. Stroma
- Menyusun 90% ketebalan kornea.
- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen. Terbentuknya
kembali serat kolagen memakan waktu lama yaitu sekitar 15 bulan.
- Keratosit merupakan sel pada stroma kornea yang merupakan fibroblas
terletak di antara serat kolagen stroma. Keratosit diduga sebagai bahan
dasar pembentukan serat kolagen dalam penyembuhan pasca trauma.
4. Membran Descement
- Merupakan lapisan aselular yang bersifat sangat elastik dan berkembang
terus seumur hidup.
5. Endotel
- Memiliki satu lapisan, berbentuk heksagonal, dan tidak memiliki daya
regenerasi.(1)
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari nervus
siliar longus, nervus nasosilia, cabang kelima nervus siliar longus berjalan
suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane Bowman
melepaskan selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua
lapis terdepan tanpa ada ujung saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan
di daerah limbus. Daya regenerasi saraf setelah terputus di daerah limbus terjadi
dalam waktu tiga bulan.(1)

Gambar 1. Anatomi Kornea(1)

2.2 Ulkus Kornea

2.2.1 Definisi
Ulkus kornea adalah kondisi patologis pada kornea, yang memiliki
karakteristik adanya infiltrat supuratif dan diskontinuitas pada jaringan kornea mulai
dari lapisan epitel sampai dengan stroma. Ulkus kornea paling sering disebabkan oleh
infeksi, dengan 90% infeksi kornea akibat bakteri. Ulkus kornea termasuk dalam
kondisi kedaruratan oftalmologis karena dapat menyebabkan munculnya kekeruhan
pada kornea yang dapat berakibat gangguan penglihatan dan bahkan kebutaan.(4)
Sering disertai dengan hipopion, suatu penumpukan sel inflamasi yang terlihat
sebagai lapisan sekret keruh di bagian bawah kamera okuli anterior. Hipopion pada
ulkus kornea bakterialis bersifat steril kecuali terdapat ruptur pada membran
Descemet. Pada beberapa bakteri dapat memberikan gambaran khas. Delapan puluh
persen kasus pada ulkus kornea disebabkan oleh Staphylococcus aureus,
Streptococcus pneumoniae dan Pseudomonas sp.(6)

2.2.2 Etiologi
1. Radang
2. Infeksi
3. Defisiensi vitamin A
4. Lagoftalmos akibat parese N. VII
5. Disfungsi saraf trigeminus (neurotrofik)(1,5)

BAKTERI :
 Streptococcus alfa haemolitic
 Staphylococcus aureus
 Moraxella likuefasiens
 Pseudomonas aeruginosa
 Nocardia asteroides
 Alcaligenes sp.
 Streptococcus anaerobic
 Streptococcus beta haemolitic
 Enterobacter hanifae
 Proteus sp.
 Staphylococcus epidermidis(1)

2.2.3 Faktor Predisposisi


 Penggunaan lensa kontak
 Riwayat penyakit mata (keratitis, pterigium, endoftalmitis, panoftalmitis,
blefaritis, trikiasis)
 Trauma
 Riwata pembedahan pada mata(4,5)

2.2.4 Epidemiologi
Ulkus kornea dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, virus, ataupun
parasit. Insiden atau angka kejadian kasus bervariasi antara negara barat dan negara-
negara berkembang tergantung dari faktor predisposisinya. Sebagai contoh, di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, terdapat 88 kasus dari 202 kasus baru ulkus
kornea (43,6%). Angka tersebut sedikit berbeda dengan Thailand dan India.(3)
Penyebab terbanyak dari ulkus kornea adalah Streptococcus, Pseudomonas,
dan Staphylococcus. Penelitian di RSCM selama 20 tahun terakhir menemukan bahwa
Pseudomonoas aeruginosa (49%) dan Staphylococcus epidermidis (24%) adalah
penyebab tersering, dan selama 10 tahun terakhir penyebab ulkus kornea didominasi
oleh S. epidermidis.(3)

2.2.5 Patofisiologi
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan media refraksi yang dilalui
berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan strukturnya yang
uniform, avaskuler, dan deturgesens. Deturgesens, atau keadaan dehidrasi relatif
jaringan kornea, dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh
fungsi sawar epitel dan endotel.  Endotel lebih berperan dibandingkan epitel dalam
mekanisme dehidrasi, dan cedera kimiawi atau fisik; pada cedera endotel jauh lebih
berat daripada cedera pada epitel.  Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema
kornea dan hilangnya sifat transparan.  Sebaliknya, cedera pada epitel hanya
menyebabkan edema lokal sesaat yang akan menghilang bila sel-sel epitel itu telah
beregenerasi.(5)
Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak
segera datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi.
Maka badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma
kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi
pembuluh darah yang terdapat di limbus dan tampak sebagai injeksi perikornea.
Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit
polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak
sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan
tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbullah ulkus kornea.(5)
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea
baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa
sakit juga diperberat dengan adanya gesekan palpebra (terutama palbebra superior)
pada kornea dan menetap sampai sembuh.(5)
Penyakit ini bersifat progresif, regresif atau membentuk jaringan parut. Ulkus
ini menyebar ke dua arah yaitu melebar dan mendalam. Jika ulkus yang timbul kecil
dan superficial maka akan lebih cepat sembuh dan daerah infiltrasi ini menjadi bersih
kembali, tetapi jika lesi sampai ke membran Bowman dan sebagian stroma maka akan
terbentuk jaringan ikat baru yang akan menyebabkan terjadinya sikatrik.(5)

Stadium Ulkus Kornea


1. Stadium infiltrasi progresif
2. Stadium ulserasi aktif
3. Stadium regresif
4. Stadium penyembuhan/sikatrisasi(5)

1. Stadium Infiltrasi Progresif


Mikroorganisme mengalami kesulitan untuk melekat pada epitel, karena epitel
mempunyai permukaan yang licin, membran yang tidak dapat ditembus
mikroorganisme, dan ditambah dengan adanya refleks mengedip dari kelopak mata.
Tetapi dengan adanya penurunan alamiah ini maka kuman dapat melekat pada
permukaan epitel dan masuk ke dalam stroma melalui epitel yang rusak dan
melakukan replikasi.(5,6)
Dalam waktu 2 jam setelah kerusakan kornea timbul reaksi radang yang
diawali pelepasan faktor kemotaktif yang merangsang migrasi sel polimorphonuclear
(PMN) ke stroma kornea yang berasal dari lapisan air mata dan pembuluh darah
limbus. Apabila tidak terjadi infeksi maka sel PMN akan menghilang dalam waktu 48
jam dan epitel pulih dengan cepat.(5,6)
Ciri khas stadium ini adalah terdapatnya infiltrat dari leukosit PMN dan
limfosit ke dalam epitel dan stroma. Ciri klinis pada kornea terdapat kekeruhan yang
berwarna putih atau kekuning-kuningan, edema dan akhirnya terjadi nekrosis.
Keadaan tersebut tergantung pada virulensi kuman, mekanisme pertahanan tubuh dan
pengobatan antibiotika. Mikroorganisme akan difagosit oleh sel PMN. Sel ini akan
mengeluarkan enzim – enzim yang mencerna bakteri, dan juga merusak jaringan
sekitarnya.(5,6)

2. Stadium Ulserasi Aktif


Pada epitel dan stroma terjadi nekrosis, pengelupasan, dan timbul suatu
cekungan (defek). Jaringan sekitarnya terdapat infiltrasi sel radang, dan edema. Pada
pemeriksaan klinis terdapat kornea berwarna putih keabuan dengan dasar ulkus yang
nekrosis. Pada bilik mata depan timbul reaksi radang ringan atau sampai terbentuk
hipopion, dan blefarospasme pada kelopak mata. Penderita mengeluh rasa nyeri,
fotofobia, lakrimasi, dan penurunan tajam penglihatan. Ulkus meluas ke lateral atau
ke lapisan yang lebih dalam sehingga menimbulkan descemetokel, atau bahkan
sampai perforasi. (5,6)
3. Stadium Regresi
Pada stadium ini terjadi regresi dari perjalanan penyakit di atas, karena adanya
mekanisme pertahanan tubuh atau pengobatan. Ciri regresi tersebut antara lain,
berkurangnya keluhan rasa nyeri, fotofobia, lakrimasi dan keluhan – keluhan lainnya.
Secara klinis tampak infiltrat mengecil, batas ulkus lebih tegas, daerah nekrotik
mendangkal, tanda – tanda radang berkurang. (5,6)
4. Stadium Penyembuhan / Sikatrisasi
Pada penyembuhan timbul epitelisasi dari semua sisi ulkus, fibroblast
membentuk stroma baru dan dilanjutkan dengan pengeluaran debris. Stroma baru
terbentuk dibawah epitel dan menebal, sehingga epitel terdorong ke depan. Stroma
tersebut mengisi seluruh defek, sehingga permukaan kornea yang terinfeksi menjadi
rata atau meninggalkan sedikit cekungan. Pada stadium ini keluhan semakin
berkurang, tajam penglihatan mulai membaik. Jaringan nekrotik mulai diganti dengan
jaringan fibrosa, pembuluh darah mulai timbul dan menutup ulkus dengan membawa
fibrosa. Bila penyembuhan sudah selesai, pembuluh darah mengalami regresi.
Jaringan sikatrik yang terjadi tidak transparan, tetapi lama kelamaan kepadatannya
akan berkurang terutama pada dewasa muda dan anak – anak. Derajat sikatrisasi
setelah ulkus bermacam – macam mulai dari nebula, makula, dan leukoma. (5,6)

2.2.6 Manifestasi Klinis


Gejala:
- Eritema pada kelopak mata
- Mata merah
- Sekret mukopurulen
- Merasa ada benda asing di mata
- Sakit mata ringan hingga berat
- Fotofobia
- Mata berair
- Penglihatan kabur/menurun(2,4,6)

Tanda:
- Injeksi siliar
- Hilangnya sebagian kornea dan adanya infiltrat
- Kekeruhan berwarna putih pada kornea dengan defek epitel yang bila diberi
pewarnaan fluoresens akan berwarna hijau ditengahnya.
- Iris sukar dilihat karena keruhnya kornea akibat edema dan infiltrasi sel
radang pada kornea.
- Tanda penyerta: penipisan kornea, lipatan descement, reaksi uvea (akibat
gangguan vaskularisasi iris) berupa suar, hipopion, hifema dan sinekia
posterior.(1)

2.2.7 Klasifikasi Ulkus Kornea Bakterialis


Ulkus Streptokokus : Walaupun streptokokus pneumonia adalah penyebab yang
biasa terdapat pada keratitis bakterial, akhir-akhir ini prevalensinya banyak digantikan
oleh stafilokokus dan pseudomonas. Ulkus oleh streptokokus viridans lebih sering
ditemukan mungkin disebabkan karena pneumokokus adalah penghuni flora normal
saluran pernafasan, sehingga terdapat semacam kekebalan. Streptokokus pyogenes
walaupun seringkali merupakan bakteri patogen untuk bagian tubuh yang lain, kuman
ini jarang menyebabkan infeksi kornea.
Gambaran Klinis Ulkus kornea oleh bakteri Streptokokus : Ulkus berwarna kuning
keabu-abuan, berbetuk cakram dengan tepi ulkus menggaung. Ulkus cepat menjalar
ke dalam dan menyebabkan perforasi kornea, karena eksotoksin yang dihasilkan oleh
streptokok pneumonia.(5)

Ulkus Stafilokokus : Infeksi oleh Stafilokokus paling sering ditemukan. Dari 3


spesies stafilokokus Aureus, Epidermidis dan Saprofitikus, infeksi oleh Stafilokokus
aureus adalah yang paling berat, dapat dalam bentuk : infeksi ulkus kornea sentral,
infeksi ulkus marginal, infeksi ulkus alergi (toksik). Infeksi ulkus kornea oleh
Stafilokokus Epidermidis biasanya terjadi bila ada faktor pencetus sebelumnya seperti
keratopati bulosa, infeksi herpes simpleks dan lensa kontak yang telah lama
digunakan.
Gambaran Klinis Ulkus kornea oleh bakteri Stafilokokkus : pada awalnya berupa
ulkus yang berwarna putih kekuningan disertai infiltrat berbatas tegas tepat dibawah
defek epitel. Apabila tidak diobati secara adekuat, akan terjadi abses kornea yang
disertai oedema stroma dan infiltrasi sel lekosit. Walaupun terdapat hipopion ulkus
sering kali indolen yaitu reaksi radangnya minimal. Infeksi kornea marginal biasanya
bebas kuman dan disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap Stafilokokus
Aureus. (5)

Gambar 2. Ulkus Stafilokokus

Ulkus Pseudomonas : Berbeda dengan ulkus kornea sebelumnya, pada ulkus


pseudomonas bakteri ini ditemukan dalam jumlah yang sedikit. Bakteri pseudomonas
bersifat aerob obligat dan menghasilkan eksotoksin yang menghambat sintesis
protein. Keadaan ini menerangkan mengapa pada ulkus pseudomonas jaringan kornea
cepat hancur dan mengalami kerusakan. Bakteri pseudomonas dapat hidup dalam
kosmetika, cairan fluoresein, cairan lensa kontak.
Gambaran Klinis Ulkus kornea oleh bakteri pseudomonas : biasanya dimulai dengan
ulkus kecil dibagian sentral kornea dengan infiltrat berwarna keabu-abuan disertai
oedema epitel dan stroma. Ulkus kecil ini dengan cepat melebar dan mendalam serta
menimbulkan perforasi kornea. Ulkus mengeluarkan discharge kental berwarna
kuning kehijauan. (5)
Gambar 3. Ulkus Kornea Pseudomonas

2.2.8 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan oftalmologis dengan menggunakan slit lamp serta pemeriksaan
laboratorium. Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea, sering dapat
diungkapkan adanya riwayat trauma, benda asing, abrasi, adanya riwayat penyakit
kornea yang bermanfaat, misalnya keratitis akibat infeksi virus herpes simplek yang
sering kambuh. Hendaknya ditanyakan pula riwayat pemakaian obat topikal oleh
pasien seperti kortikosteroid yang merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri,
fungi, virus terutama keratitis herpes simplek.(5)
Pada pemeriksaan oftalmologis didapatkan gejala berupa adanya injeksi siliar,
kornea edema, terdapat infiltrat, hilangnya jaringan kornea disertai adanya jaringan
nekrotik. Pada kasus berat dapat terjadi iritis yang disertai dengan hipopion.(1)
Disamping itu perlu juga dilakukan pemeriksaan diagnostik seperti ketajaman
penglihatan, pemeriksaan slit-lamp, respon reflek pupil, pewarnaan kornea dengan zat
fluoresensi, dan scrapping untuk analisa atau kultur (pulasan gram, giemsa atau
KOH).(1)
Karena gambaran klinis tidak dapat digunakan untuk membuat diagnosis
etiologik secara spesifik, diperlukan pemeriksaan mikrobiologik, sebelum diberikan
pengobatan empirik dengan antibiotika. Pengambilan spesimen harus dari tempat
ulkusnya, dengan membersihkan jaringan nekrotik terlebih dahulu; dilakukan secara
aseptik menggunakan spatula Kimura, lidi kapas steril, kertas saring atau Kalsium
alginate swab. Pemakaian media penyubur BHI (Brain Heart Infusion Broth) akan
memberikan hasil positif yang lebih baik daripada penanaman langsung pada medium
isolasi. Medium yang digunakan adalah medium pelat agar darah, media coklat,
medium Sabaraud untuk jamur dan Thioglycolat. Selain itu dibuat preparat untuk
pengecatan gram. Hasil pewarnaan gram dapat memberikan informasi morfologik
tentang kuman penyebab yaitu termasuk kuman gram (+) atau Gram (-) dan dapat
digunakan sebagai dasar pemilihan antibiotika awal sebagai pengobatan empirik.(5)

2.2.9 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari ulkus kornea bakterialis adalah keratitis yang
disebabkan mikroorganisme lainnya (fungi, parasit, virus).(6)

Ulkus Kornea Herpes Zoster :


Biasanya diawali rasa sakit pada kulit dengan perasaan lesu. Gejala ini timbul
satu 1-3 hari sebelum timbulnya gejala kulit. Pada mata ditemukan vesikel kulit dan
edem palpebra, konjungtiva hiperemis, kornea keruh akibat terdapatnya infiltrat
subepitel dan stroma. Infiltrat dapat berbentuk dendrit yang bentuknya berbeda
dengan dendrit herpes simplex. Dendrit herpes zoster berwarna abu-abu kotor. Kornea
hipestesi tetapi dengan rasa sakit keadaan yang berat pada kornea biasanya disertai
dengan infeksi sekunder.(1,5)

Ulkus Kornea Herpes Simplex :


Infeksi primer yang diberikan oleh virus herpes simplex dapat terjadi tanpa
gejala klinik. Biasanya gejala dini dimulai dengan tanda injeksi siliar yang kuat
disertai terdapatnya suatu dataran sel di permukaan epitel kornea disusul dengan
bentuk dendrit atau bintang infiltrasi. Terdapat hipestesi pada kornea secara lokal
kemudian menyeluruh. Bentuk dendrit herpes simplex kecil, ulseratif, jelas diwarnai
dengan fluoresens dengan benjolan di ujungnya.(5)

Ulkus Kornea Fungi :


Mata dapat tidak memberikan gejala selama beberapa hari sampai beberapa
minggu sesudah trauma yang dapat menimbulkan infeksi jamur ini. Pada permukaan
lesi terlihat bercak putih dengan warna keabu-abuan yang agak kering. Tepi lesi
berbatas tegas, irregular, dan terlihat penyebaran seperti bulu pada bagian epitel.
Terlihat suatu daerah tempat asal penyebaran di bagian sentral sehingga terdapat
satelit-satelit disekitarnya. Tukak kadang-kadang dalam, seperti tukak yang
disebabkan bakteri. Pada infeksi kandida bentuk tukak lonjong dengan permukaan
naik. Dapat terjadi neovaskularisasi akibat rangsangan radang. Terdapat injeksi siliar
disertai hipopion.(5)

Ulkus Kornea Parasit :


Awalnya, dirasakan sakit yang tidak sebanding dengan temuan kliniknya,
kemerahan dan fotofobia. Tanda klinik khas adalah ulkus kornea indolen, cincin
stroma, dan infiltrat perineural.(5)

2.2.10 Terapi
Pengobatan ulkus kornea umumnya adalah dengan pemberian sikloplegik,
antibiotika yang sesuai, dan pasien dirawat inap apabila menunjukkan adanya tanda-
tanda perforasi, pasien tidak dapat memberi obat sendiri, tidak adanya perbaikan
dengan pengobatan, dan perlunya pengobatan sistemik.(1)
Sebagai terapinya, antibiotik topikal tetes mata dapat mencapai level penetrasi
yang tinggi pada jaringan dan merupakan metode terapi pilihan pada kebanyakan
kasus. Terapi sistemik dapat dilakukan pada kasus penyebaran infeksi sklera atau
intraokular dan infeksi gonorhoea. Antibiotik topikal spektrum luas digunakan
sebagai terapi awal atau terapi empiris pada kasus ulkus kornea. Sikloplegik dapat
digunakan untuk mencegah terjadinya sinekia dan mengurangi nyeri. Ciprofloxacin
0.3%, ofloxacin 0.3%, and levofloxacin 1.5% merupakan pilihan pada terapi keratitis
bakterialis. Bila dibandingkan dengan ofloxacin 0.3 %, levofloxacin 1.5%
menunjukkan efikasi yang sebanding dengan hasil akhir reepitelialisasi lengkap dan
tanpa infiltrat yang progresif untuk dua kunjungan kontrol berurutan.(6)
Pemberian antibiotik sistemik dianjurkan pada kasus yang akut dan infeksi
berat dimana infeksi sudah mencapai sklera atau sudah ditemukan tanda-tanda
impending perforasi. Kecuali pada kasus gonococcal keratitis. Secara umum, regimen
inisial harus diamati dalam 48 jam pertama. Keratitis yang disebabkan oleh
Pseudomonas sp. dan organisme gram negatif lainnya, dapat menyebabkan kondisi
klinis yang akut dalam 24 – 48 jam.(6)
Pemberian terapi topikal sebaiknya dilakukan tappering (penurunan dosis
secara bertahap) bergantung pada respon klinis dan sifat virulensi patogen. Pemakaian
antibiotik topikal yang terlalu lama juga dapat menyebabkan toksis pada kornea yang
berakhir pada peluruhan kornea (corneal melting). Bila nantinya ditemukan defek
epitel persisten dan infeksi berada dalam pengawasan, terapi tambahan dapat
diberikan yaitu berupa lubrikan kornea, salep mata, lensa kontak bandage,
transplantasi membran amnion ataupun tarsoraphy. Sebagian besar tetes mata
antibiotik sebaiknya tidak ditappering dibawah tiga atau empat tetes dalam sehari
sebab dianggap subtherapeutic dan meningkatkan risiko resistensi antibiotik.(6)
Pemberian steroid pada kasus keratitis bakterial dianggap memberikan
manfaat dalam hal menekan inflamasi yang nantinya diharapkan mengurangi skar
pada kornea yang terkait pada rehabilitasi visus. Meskipun demikian pemberian
steroid masih menimbulkan kontroversi karena memiliki dampak imunosupresan
lokal, inhibisi dari sintesis kolagen yang dapat mempercepat peluruhan kornea
(corneal melting) dan peningkatan tekanan intraokular. Sehingga pada sebuah studi
disebutkan bahwa ulkus kornea yang disebabkan oleh Pseudomonas dan Nocardia di
kontraindikasikan untuk mendapat terapi kortikosteroid dengan alasan memperberat
virulensi bakteri.(6)
Pemberian vitamin C pada kasus ulkus kornea, secara ekperimen, telah
menunjukkan bahwa vitamin C telah memiliki peran dalam proses sintesis fibril
matriks ekstraselular pada jaringan kultur keratosit manusia yang berperan dalam
proses penyembuhan luka kornea. Menurut penelitian Cho et al., pemberian
suplementasi vitamin C dengan dosis per oral 3 gr/hari atau intravena 20 gram/hari
akan mengurangi ukuran opasitas kornea pada pasien ulkus kornea.(6)

Penatalaksanaan bedah:
a. Flap Konjungtiva
Tatalaksana kelainan kornea dengan flap konjungtiva sudah dilakukan
sejak tahun 1800-an. Indikasinya adalah situasi dimana pengobatan gagal,
kerusakan epitel berulang dan stroma ulserasi. Dalam situasi tertentu, flap
konjungtiva adalah pengobatan yang efektif dan definitif untuk penyakit
permukaan mata persisten.(2)
Tujuan dari flap konjungtiva adalah mengembalikan integritas
permukaan kornea yang terganggu dan memberikan metabolisme serta
dukungan mekanik untuk penyembuhan kornea. Flap konjungtiva bertindak
sebagai patch biologis, memberikan pasokan nutrisi dan imunologi oleh
jaringan ikat vaskularnya. Indikasi yang paling umum penggunaan flap
konjungtiva adalah dalam pengelolaan ulkus kornea persisten steril. Hal ini
mungkin akibat dari denervasi sensorik kornea (keratitis neurotropik yaitu,
kelumpuhan saraf kranial 7 mengarah ke keratitis paparan, anestesi kornea
setelah herpes zoster oftalmikus, atau ulserasi metaherpetik berikut HSK
kronis) atau kekurangan sel induk limbal. Penipisan kornea dekat limbus dapat
dikelola dengan flap konjungtiva selama kornea tidak terlalu menipis.(2)
b. Keratoplasti
Merupakan jalan terakhir jika penatalaksanaan diatas tidak berhasil.
Indikasi keratoplasti :
1. Dengan pengobatan tidak sembuh;
2. Terjadinya jaringan parut yang menganggu penglihatan;
3. Kedalaman ulkus telah mengancam terjadinya perforasi.(2)

2.2.11 Prognosis
Prognosis ulkus kornea tergantung pada tingkat keparahan dan cepat
lambatnya mendapat pertolongan, jenis mikroorganisme penyebabnya, dan ada
tidaknya komplikasi yang timbul. Ulkus kornea yang luas memerlukan waktu
penyembuhan yang lama, karena jaringan kornea bersifat avaskular. Semakin tinggi
tingkat keparahan dan lambatnya mendapat pertolongan serta timbulnya komplikasi,
maka prognosisnya menjadi lebih buruk. Penyembuhan yang lama mungkin juga
dipengaruhi ketaatan penggunaan obat.(8)

2.2.12 Komplikasi
 Kebutaan parsial atau komplit
 Kornea perforasi dapat berlanjut menjadi endoftalmitis dan panoftalmitis
 Prolaps iris
 Sikatrik kornea
 Katarak
 Glaukoma sekunder
 Iridosiklitis
 Descematocele(6,7)
BAB III
KESIMPULAN

Ulkus kornea adalah kondisi patologis pada kornea, yang memiliki


karakteristik adanya infiltrat supuratif dan diskontinuitas pada jaringan kornea mulai
dari lapisan epitel sampai dengan stroma. Ulkus kornea paling sering disebabkan oleh
infeksi, dengan 90% infeksi kornea akibat bakteri. Ulkus kornea termasuk dalam
kondisi kedaruratan oftalmologis karena dapat menyebabkan munculnya kekeruhan
pada kornea yang dapat berakibat gangguan penglihatan dan bahkan kebutaan.

Terapi Ulkus Kornea


 Siklopegik
 Antibiotik yang sesuai
 Pasien dirawat bila terdapat tanda-tanda perforasi
 Pasien tidak dapat memberi obat sendiri
 Tidak terdapat reaksi obat
 Perlu obat sistemik
Pada ulkus kornea dilakukan pembedahan atau keratoplasti apabila :
 Dengan pengobatan tidak sembuh
 Terjadinya jaringan parut yang mengganggu penglihatan
Prognosis ulkus kornea tergantung pada tingkat keparahan dan cepat
lambatnya mendapat pertolongan, jenis mikroorganisme penyebabnya, dan ada
tidaknya komplikasi yang timbul. Ulkus kornea yang luas memerlukan waktu
penyembuhan yang lama, karena jaringan kornea bersifat avaskular. Semakin tinggi
tingkat keparahan dan lambatnya mendapat pertolongan serta timbulnya komplikasi,
maka prognosisnya menjadi lebih buruk. Penyembuhan yang lama mungkin juga
dipengaruhi ketaatan penggunaan obat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sidarta I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi: V. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

2015.p.5-7,167-9.

2. Farida Y. Corneal Ulcers Treatment. J Majority. 2015; 4(1): 119-27.

3. Asroruddin M, Nora RLD, Edward L, Sjamsoe S, Susiyanti M. Various

Factors Affecting The Bacterial Corneal Ulcer Healing: A 4-Years Study

In Referral Tertiary Eye Hospital In Indonesia. Medical Journal of

Indonesia. 2015; 24: 150-5.

4. Putri AM, Heryati S, Nasution N. Characteristics and Predisposing Factors

of Bacterial Corneal Ulcer in the National Eye Center, Cicendo Eye

Hospital, Bandung from January to December 2011. Althea Medical

Journal. 2015; 2(3): 443-7.

5. Vaughan, D.G., Asbury, T., General Ophtalmology. 19th Ed. McGraw-

Hill Education. 2015: 281-96.

6. Christine RN. Ulkus Kornea dengan Penyebab Bakteri; Sebuah Laporan

Kasus. Bunga Rampai Saintifika FK UKI. 2018; (7): 63-9.

7. Deschênes J. Corneal Ulcer. Medscape. 2019. Available at

https://emedicine.medscape.com/article/1195680-overview

8. Rahayu R, Wulan AJ. Laki‐laki 24 Tahun dengan Ulkus Kornea dan

Prolaps Iris Oculi Dextra. J Medula Unila. 2016; 5(2): 81-5.

Anda mungkin juga menyukai