PEMBIMBING
dr. Dian, Sp.M
PENULIS
Siti Abila Zebadiah
030.14.177
PERSETUJUAN
REFERAT
Judul:
Ulkus Kornea Bakterialis
Nama:
Siti Abila Zebadiah
NIM:
030.14.177
Pembimbing
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya
dan merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. Kornea terdiri
atas lima lapisan, yaitu epitel, membran Bowman, stroma, membran Descement, dan
endotel.(1)
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem
pompa endotel terganggu sehingga terjadi dekompensasai endotel dan edema kornea.
Endotel tidak mempunya daya regenerasi.(1)
Sumber nutrisi kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus, aquous
humour, dan air mata. Kornea superfisial juga mendapat oksigen sebagian besar dari
atmosfir. Transparansi kornea dipertahankan oleh strukturnya seragam,
avaskularitasnya dan deturgensinya.(2)
Berbagai keluhan bisa terjadi pada kornea termasuk terbentuknya ulkus/tukak
kornea. Ulkus kornea merupakan diskontinuitas atau hilangnya sebagian permukaan
kornea akibat kematian jaringan kornea. Terbentuknya ulkus kornea diakibatkan oleh
adanya kolagenase yang dibentuk oleh sel epitel baru dan sel radang. Gejala dari
ulkus kornea yaitu nyeri, berair, fotofobia, blefarospasme, dan biasanya disertai
riwayat trauma pada mata.(2)
Ulkus tersebut bisa terdapat pada sentral kornea dan berpengaruh sekali pada
visus atau bisa terdapat di tepi kornea dan tidak terlalu berpengaruh pada visus. Ulkus
dapat terjadi akibat berbagai macam kondisi seperti infeksi, adanya benda asing
seperti sepotong rumput, pasir atau lumpur yang masuk kedalam mata, kekurangan
produksi air mata dan kegagalan palpebra menutup sempurna pada saat tidur.(3)
Ulkus kornea yang luas memerlukan penanganan yang tepat dan cepat untuk
mencegah perluasan ulkus dan timbulnya komplikasi seperti descementocele,
perforasi, endoftalmitis, bahkan kebutaan. Ulkus kornea yang sembuh akan
menimbulkan jaringan parut kornea dan merupakan penyebab kebutaan nomor dua di
Indonesia.(2)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2.1 Definisi
Ulkus kornea adalah kondisi patologis pada kornea, yang memiliki
karakteristik adanya infiltrat supuratif dan diskontinuitas pada jaringan kornea mulai
dari lapisan epitel sampai dengan stroma. Ulkus kornea paling sering disebabkan oleh
infeksi, dengan 90% infeksi kornea akibat bakteri. Ulkus kornea termasuk dalam
kondisi kedaruratan oftalmologis karena dapat menyebabkan munculnya kekeruhan
pada kornea yang dapat berakibat gangguan penglihatan dan bahkan kebutaan.(4)
Sering disertai dengan hipopion, suatu penumpukan sel inflamasi yang terlihat
sebagai lapisan sekret keruh di bagian bawah kamera okuli anterior. Hipopion pada
ulkus kornea bakterialis bersifat steril kecuali terdapat ruptur pada membran
Descemet. Pada beberapa bakteri dapat memberikan gambaran khas. Delapan puluh
persen kasus pada ulkus kornea disebabkan oleh Staphylococcus aureus,
Streptococcus pneumoniae dan Pseudomonas sp.(6)
2.2.2 Etiologi
1. Radang
2. Infeksi
3. Defisiensi vitamin A
4. Lagoftalmos akibat parese N. VII
5. Disfungsi saraf trigeminus (neurotrofik)(1,5)
BAKTERI :
Streptococcus alfa haemolitic
Staphylococcus aureus
Moraxella likuefasiens
Pseudomonas aeruginosa
Nocardia asteroides
Alcaligenes sp.
Streptococcus anaerobic
Streptococcus beta haemolitic
Enterobacter hanifae
Proteus sp.
Staphylococcus epidermidis(1)
2.2.4 Epidemiologi
Ulkus kornea dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, virus, ataupun
parasit. Insiden atau angka kejadian kasus bervariasi antara negara barat dan negara-
negara berkembang tergantung dari faktor predisposisinya. Sebagai contoh, di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, terdapat 88 kasus dari 202 kasus baru ulkus
kornea (43,6%). Angka tersebut sedikit berbeda dengan Thailand dan India.(3)
Penyebab terbanyak dari ulkus kornea adalah Streptococcus, Pseudomonas,
dan Staphylococcus. Penelitian di RSCM selama 20 tahun terakhir menemukan bahwa
Pseudomonoas aeruginosa (49%) dan Staphylococcus epidermidis (24%) adalah
penyebab tersering, dan selama 10 tahun terakhir penyebab ulkus kornea didominasi
oleh S. epidermidis.(3)
2.2.5 Patofisiologi
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan media refraksi yang dilalui
berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan strukturnya yang
uniform, avaskuler, dan deturgesens. Deturgesens, atau keadaan dehidrasi relatif
jaringan kornea, dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh
fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih berperan dibandingkan epitel dalam
mekanisme dehidrasi, dan cedera kimiawi atau fisik; pada cedera endotel jauh lebih
berat daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema
kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, cedera pada epitel hanya
menyebabkan edema lokal sesaat yang akan menghilang bila sel-sel epitel itu telah
beregenerasi.(5)
Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak
segera datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi.
Maka badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma
kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi
pembuluh darah yang terdapat di limbus dan tampak sebagai injeksi perikornea.
Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit
polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak
sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan
tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbullah ulkus kornea.(5)
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea
baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa
sakit juga diperberat dengan adanya gesekan palpebra (terutama palbebra superior)
pada kornea dan menetap sampai sembuh.(5)
Penyakit ini bersifat progresif, regresif atau membentuk jaringan parut. Ulkus
ini menyebar ke dua arah yaitu melebar dan mendalam. Jika ulkus yang timbul kecil
dan superficial maka akan lebih cepat sembuh dan daerah infiltrasi ini menjadi bersih
kembali, tetapi jika lesi sampai ke membran Bowman dan sebagian stroma maka akan
terbentuk jaringan ikat baru yang akan menyebabkan terjadinya sikatrik.(5)
Tanda:
- Injeksi siliar
- Hilangnya sebagian kornea dan adanya infiltrat
- Kekeruhan berwarna putih pada kornea dengan defek epitel yang bila diberi
pewarnaan fluoresens akan berwarna hijau ditengahnya.
- Iris sukar dilihat karena keruhnya kornea akibat edema dan infiltrasi sel
radang pada kornea.
- Tanda penyerta: penipisan kornea, lipatan descement, reaksi uvea (akibat
gangguan vaskularisasi iris) berupa suar, hipopion, hifema dan sinekia
posterior.(1)
2.2.8 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan oftalmologis dengan menggunakan slit lamp serta pemeriksaan
laboratorium. Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea, sering dapat
diungkapkan adanya riwayat trauma, benda asing, abrasi, adanya riwayat penyakit
kornea yang bermanfaat, misalnya keratitis akibat infeksi virus herpes simplek yang
sering kambuh. Hendaknya ditanyakan pula riwayat pemakaian obat topikal oleh
pasien seperti kortikosteroid yang merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri,
fungi, virus terutama keratitis herpes simplek.(5)
Pada pemeriksaan oftalmologis didapatkan gejala berupa adanya injeksi siliar,
kornea edema, terdapat infiltrat, hilangnya jaringan kornea disertai adanya jaringan
nekrotik. Pada kasus berat dapat terjadi iritis yang disertai dengan hipopion.(1)
Disamping itu perlu juga dilakukan pemeriksaan diagnostik seperti ketajaman
penglihatan, pemeriksaan slit-lamp, respon reflek pupil, pewarnaan kornea dengan zat
fluoresensi, dan scrapping untuk analisa atau kultur (pulasan gram, giemsa atau
KOH).(1)
Karena gambaran klinis tidak dapat digunakan untuk membuat diagnosis
etiologik secara spesifik, diperlukan pemeriksaan mikrobiologik, sebelum diberikan
pengobatan empirik dengan antibiotika. Pengambilan spesimen harus dari tempat
ulkusnya, dengan membersihkan jaringan nekrotik terlebih dahulu; dilakukan secara
aseptik menggunakan spatula Kimura, lidi kapas steril, kertas saring atau Kalsium
alginate swab. Pemakaian media penyubur BHI (Brain Heart Infusion Broth) akan
memberikan hasil positif yang lebih baik daripada penanaman langsung pada medium
isolasi. Medium yang digunakan adalah medium pelat agar darah, media coklat,
medium Sabaraud untuk jamur dan Thioglycolat. Selain itu dibuat preparat untuk
pengecatan gram. Hasil pewarnaan gram dapat memberikan informasi morfologik
tentang kuman penyebab yaitu termasuk kuman gram (+) atau Gram (-) dan dapat
digunakan sebagai dasar pemilihan antibiotika awal sebagai pengobatan empirik.(5)
2.2.10 Terapi
Pengobatan ulkus kornea umumnya adalah dengan pemberian sikloplegik,
antibiotika yang sesuai, dan pasien dirawat inap apabila menunjukkan adanya tanda-
tanda perforasi, pasien tidak dapat memberi obat sendiri, tidak adanya perbaikan
dengan pengobatan, dan perlunya pengobatan sistemik.(1)
Sebagai terapinya, antibiotik topikal tetes mata dapat mencapai level penetrasi
yang tinggi pada jaringan dan merupakan metode terapi pilihan pada kebanyakan
kasus. Terapi sistemik dapat dilakukan pada kasus penyebaran infeksi sklera atau
intraokular dan infeksi gonorhoea. Antibiotik topikal spektrum luas digunakan
sebagai terapi awal atau terapi empiris pada kasus ulkus kornea. Sikloplegik dapat
digunakan untuk mencegah terjadinya sinekia dan mengurangi nyeri. Ciprofloxacin
0.3%, ofloxacin 0.3%, and levofloxacin 1.5% merupakan pilihan pada terapi keratitis
bakterialis. Bila dibandingkan dengan ofloxacin 0.3 %, levofloxacin 1.5%
menunjukkan efikasi yang sebanding dengan hasil akhir reepitelialisasi lengkap dan
tanpa infiltrat yang progresif untuk dua kunjungan kontrol berurutan.(6)
Pemberian antibiotik sistemik dianjurkan pada kasus yang akut dan infeksi
berat dimana infeksi sudah mencapai sklera atau sudah ditemukan tanda-tanda
impending perforasi. Kecuali pada kasus gonococcal keratitis. Secara umum, regimen
inisial harus diamati dalam 48 jam pertama. Keratitis yang disebabkan oleh
Pseudomonas sp. dan organisme gram negatif lainnya, dapat menyebabkan kondisi
klinis yang akut dalam 24 – 48 jam.(6)
Pemberian terapi topikal sebaiknya dilakukan tappering (penurunan dosis
secara bertahap) bergantung pada respon klinis dan sifat virulensi patogen. Pemakaian
antibiotik topikal yang terlalu lama juga dapat menyebabkan toksis pada kornea yang
berakhir pada peluruhan kornea (corneal melting). Bila nantinya ditemukan defek
epitel persisten dan infeksi berada dalam pengawasan, terapi tambahan dapat
diberikan yaitu berupa lubrikan kornea, salep mata, lensa kontak bandage,
transplantasi membran amnion ataupun tarsoraphy. Sebagian besar tetes mata
antibiotik sebaiknya tidak ditappering dibawah tiga atau empat tetes dalam sehari
sebab dianggap subtherapeutic dan meningkatkan risiko resistensi antibiotik.(6)
Pemberian steroid pada kasus keratitis bakterial dianggap memberikan
manfaat dalam hal menekan inflamasi yang nantinya diharapkan mengurangi skar
pada kornea yang terkait pada rehabilitasi visus. Meskipun demikian pemberian
steroid masih menimbulkan kontroversi karena memiliki dampak imunosupresan
lokal, inhibisi dari sintesis kolagen yang dapat mempercepat peluruhan kornea
(corneal melting) dan peningkatan tekanan intraokular. Sehingga pada sebuah studi
disebutkan bahwa ulkus kornea yang disebabkan oleh Pseudomonas dan Nocardia di
kontraindikasikan untuk mendapat terapi kortikosteroid dengan alasan memperberat
virulensi bakteri.(6)
Pemberian vitamin C pada kasus ulkus kornea, secara ekperimen, telah
menunjukkan bahwa vitamin C telah memiliki peran dalam proses sintesis fibril
matriks ekstraselular pada jaringan kultur keratosit manusia yang berperan dalam
proses penyembuhan luka kornea. Menurut penelitian Cho et al., pemberian
suplementasi vitamin C dengan dosis per oral 3 gr/hari atau intravena 20 gram/hari
akan mengurangi ukuran opasitas kornea pada pasien ulkus kornea.(6)
Penatalaksanaan bedah:
a. Flap Konjungtiva
Tatalaksana kelainan kornea dengan flap konjungtiva sudah dilakukan
sejak tahun 1800-an. Indikasinya adalah situasi dimana pengobatan gagal,
kerusakan epitel berulang dan stroma ulserasi. Dalam situasi tertentu, flap
konjungtiva adalah pengobatan yang efektif dan definitif untuk penyakit
permukaan mata persisten.(2)
Tujuan dari flap konjungtiva adalah mengembalikan integritas
permukaan kornea yang terganggu dan memberikan metabolisme serta
dukungan mekanik untuk penyembuhan kornea. Flap konjungtiva bertindak
sebagai patch biologis, memberikan pasokan nutrisi dan imunologi oleh
jaringan ikat vaskularnya. Indikasi yang paling umum penggunaan flap
konjungtiva adalah dalam pengelolaan ulkus kornea persisten steril. Hal ini
mungkin akibat dari denervasi sensorik kornea (keratitis neurotropik yaitu,
kelumpuhan saraf kranial 7 mengarah ke keratitis paparan, anestesi kornea
setelah herpes zoster oftalmikus, atau ulserasi metaherpetik berikut HSK
kronis) atau kekurangan sel induk limbal. Penipisan kornea dekat limbus dapat
dikelola dengan flap konjungtiva selama kornea tidak terlalu menipis.(2)
b. Keratoplasti
Merupakan jalan terakhir jika penatalaksanaan diatas tidak berhasil.
Indikasi keratoplasti :
1. Dengan pengobatan tidak sembuh;
2. Terjadinya jaringan parut yang menganggu penglihatan;
3. Kedalaman ulkus telah mengancam terjadinya perforasi.(2)
2.2.11 Prognosis
Prognosis ulkus kornea tergantung pada tingkat keparahan dan cepat
lambatnya mendapat pertolongan, jenis mikroorganisme penyebabnya, dan ada
tidaknya komplikasi yang timbul. Ulkus kornea yang luas memerlukan waktu
penyembuhan yang lama, karena jaringan kornea bersifat avaskular. Semakin tinggi
tingkat keparahan dan lambatnya mendapat pertolongan serta timbulnya komplikasi,
maka prognosisnya menjadi lebih buruk. Penyembuhan yang lama mungkin juga
dipengaruhi ketaatan penggunaan obat.(8)
2.2.12 Komplikasi
Kebutaan parsial atau komplit
Kornea perforasi dapat berlanjut menjadi endoftalmitis dan panoftalmitis
Prolaps iris
Sikatrik kornea
Katarak
Glaukoma sekunder
Iridosiklitis
Descematocele(6,7)
BAB III
KESIMPULAN
2015.p.5-7,167-9.
https://emedicine.medscape.com/article/1195680-overview