Anda di halaman 1dari 18

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PENCUCIAN UANG DI INDONESIA

Diajukan untuk menyelesaikan salah satu tugas Kuliah Kapita Selekta Pidana
Dosen Pembimbing :
Farah Gitty Devianty, S.H., M.H.

Disusun Oleh
Romario Roberto Bolang : 41151010160055

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LANGLANGBUANA
BANDUNG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak pemerintah mengeluarkan aturan dalam bidang ekonomi salah satunya
Undang Undang No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, maka sejak itu pula
dunia perbankan mengalami perkembangan yang pesat. Persyaratan yang mudah
menyebabkan setiap orang bisa mendirikan perbankan. Dampak dari aturan dalam
bidang perbankan di samping memberikan keuntungan/kebaikan terdapat pula dampak
negatif yaitu perkembangan kejahatan ekonomi khususnya kejahatan perbankan,baik
bank sebagai korban maupun bank sebagai pelaku.
Terdapat perbedaan penggunaan istilah misalnya kejahatan di bidang
perbankan, kejahatan perbankan, kejahatan terhadap perbankan dan tindak pidana
perbankan. Kejahatan perbankan bisa diartikan sebagai tindak pidana di bidang
perbankan yang dalam pengertian ini mencangkup segala perbuatan yang melanggar
hukum yang ada kaitannya dengan bisnis perbankan. Dalam pengertian ini pula
tercakup bank sebagai pelaku dan sebagai korban . Terhadap istilah seperti ini,banyak
orang yang tidak sependapat.Sebagian orang berpendapat sebagai kejahatan di bidang
perbankan, kejahatan perbankan, kejahatan terhadap perbankan dan tindak pidana
perbankan.
Moch Anwar dalam bukunya “ Tindak Pidana bidang perbankan “ merumuskan
tindak pidana perbankan sebagai segala jenis perbuatan melangggar hukum yang
berhubungan dengan kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Rumusan
seperti ini menurut penulis kurang komprehennsif,karena masih banyak kegiatan-
kegiatan perbankan yang tidak ter-cover. Oleh karena itu,hendaknya rumusan tindak
pidana perbankan harus luwes yaitu segala perbuatan yang bertentangan dengan
aturan perundang-undangan dan kebiasaan-kebiasaan yang berhubungan dengan
dunia perbankan. Tindak pidana di bidang perbankan adalah segala jenis perbuatan
melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan usaha bank,
baik bank sebagai sasaran maupun bank sebagai sarana. Sedangkan tindak pidana
perbankan merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh bank.
Kejahatan di bidang perbankan adalah kejahatan apapun yang menyangkut
perbankan.Misalnya pencucian uang yang selanjutnya disebut money laundering,
seseorang merampok bank adalah kejahatan di bidang perbankan, jadi pengertiannya
sangat luas. Sedangkan kejahatan perbankan adalah bentuk perbuatan yang telah
diciptakan oleh undang-undang perbankan yang merupakan larangan dan
keharusan,misalnya larangan mendirikan bank gelap dan pembocoran rahasia bank.
Perbedaan istilah ini menyebabkan/berpengaruh terhadap penegakan hukum,
kejahatan perbankan akan ditindak melalui ketentuan pidana, sedangkan kejahatan di
bidang perbankan ditindak melalui undang-undang di luar undang- undang perbankan.
Secara sederhana bisa dirumuskan bahwa tindak pidana perbankan adalah jenis
perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan menjalankan usaha
bank,baik baik sebagai sasaran maupun bank sebgai sarana,sedangkan tindak pidana
perbankan merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh bank.
Kecermatan menentukan suatu perbuatan merupakan tindak pidana perbankan
atau tindak pidana di bidang perbankan perlu dilakukan.Hal ini mengingat dalam
proses/hukum acara terjadi perbedaan antara satu dengan yang lainnya.
Kegiatan pencucian uang hampir selalu melibatkan perbankan karena adanya
globalisasi perbankan sehingga melalui sistem pembayaran terutama yang bersifat
elektronik (electronic funds transfer), dana hasil kejahatan yang pada umumnya dalam
jumlah besar akan mengalir atau bahkan bergerak melampaui batas negara dengan
memanfaatkan faktor rahasia bank yang umumnya dijunjung tinggi oleh perbankan.
Demikian pula tidak hanya aspek hukum yang terkait dari kejahatan ini, tetapi juga
aspek non hukum lainnya seperti ekonomi, politik, dan sosial budaya
Berbagai kejahatan, baik yang dilakukan perseorangan maupun perusahaan
dalam batas wilayah negara maupun melintasi batas wilayah negara lain semakin
meningkat. Kejahatan dimaksud berupa perdagangan minuman keras, judi,
perdagangan gelap senjata, korupsi, penyelundupan. Agar tidak mudah dilacak
oleh penegak hukum mengenai asal-usul dana kejahatan tsb, maka pelakunya tidak
langsung menggunakan dana dimaksud tapi diupayakan untuk
menyamarkan/menyembunyikan asal usul dana tersebut dengan cara tradisional,
misalnya melalui kasino, pacuan kuda atau memasukkan dana tersebut ke dalam
sistem keuangan atau perbankan. Upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan
asal-usul dana yang diperoleh dari tindak pidana dimaksud dikenal dengan money
laundering
Saat ini pelaku tindak kejahatan mempunyai banyak pilihan mengenai di mana
dan bagaimana mereka menginginkan uang hasil kejahatan menjadi kelihatan ‘bersih’
dan ‘sah menurut hukum’. Perkembangan teknologi perbankan internasional yang telah
memberikan jalan bagi tumbuhnya jaringan perbankan lokal/regional menjadi suatu
lembaga keuangan global telah memberikan kesempatan kepada pelaku money
laundering untuk memanfaatkan jaringan layanan tersebut yang berdampak uang hasil
transaksi ilegal menjadi legal dalam dunia bisnis di pasar keuangan internasional. Saat
ini kegiatan pencucian uang telah melewati batas juridiksi yang menawarkan tingkat
kerahasiaan yang tinggi atau menggunakan bermacam mekanisme keuangan
dimana uang dapat ‘bergerak’ melalui bank, money transmitters, kegiatan usaha
bahkan dapat dikirim ke luar negeri sehingga menjadi clean-laundered money.
Kejahatan  money laundering  tidak hanya merupakan permasalahan di
bidang penegakan hukum, namun juga menyangkut ancaman keamanan nasional dan
internasional suatu negar. Sehubungan dengan hal tersebut upaya untuk mencegah
dan memberantas praktik pemutihan uang telah menjadi perhatian internasional yang
antara lain dilakukan dengan melakukan kerjasama bilateral maupun multilateral. 

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian tindak pencucian uang menurut UU 25 tahun 2003.
2. Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pencucian uang menurut UU
25 tahun 2003.
3. Bentuk-bentuk tindak pidana kasus pencucian uang di Indonesia

C. Metode Penulisan

a. Pendekatan masalah
Penulisan ini menggunakan pendekatan secara yuridis normatif, yang dilakukan
dengan mengindentifikasi permasalahan yang menjadi pokok bahasan kemudian dikaji
berdasarkan peraturan perundang-undangan dengan menggunakan bahan hukum
b. Sumber bahan hukum
(1) Bahan hukum primer :
Bahan hukum yang bersifat mengikat berupa peraturan perundang- undangan yang
berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahannya yang dibahas yang meliputi
antara lain :
i. Undang - Undang No.1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang - Undang Hukum
Pidana;
ii. Undang - Undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ;
iii. Undang - Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan ;
iv. Undang – Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
v. Undang – Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(2) Bahan hukum sekunder


Bahan hukum yang sifatnya menjelaskan bahan hukum primer , dalam hal ini
bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang berupa buku-buku literature ,
catatan kuliah , karya ilmiah dan berbagai artikel-artikel yang berkaitan dengan
permasalahan diatas baik yang dimuat di media cetak maupun di situs-situs yang
menampilkan penulisan hukum pidana dan/ atau tentang perbankan khususnya
kejahatan pencucian uang dalam perbankan.
BAB II
LANDASAN TEORI

A. TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG


I. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang
Istilah pencucian uang atau money laundring telah di kenal sejak tahun 1930 di
Amerika Serikat,yaitu ketika Mafia membeli perusahaan yang sah dan resmi sebagai
salah satu strateginya .Investasi terbesar adalah perusahaan pencucian pakaian atau
Laundromat yang ketika itu terkenal di Amerika Serikat ,yaitu ketika Mafia membeli
perusahaan pencucian pakaian ini perkembang maju,dan berbagai perolehan uang
hasil kejahatan seperti dari cabang usaha lainnya ditanamkan ke perusahaan
pencucian pakaian ini,seperti uang hasil minuman keras illegal,hasil perjudian dan hasil
usaha pelacuran. Pada tahun 1980-an uang hasil kejahatan semakin
berkembang,dengan berkembangnya bisnis haram seperti perdagangan narkotika dan
obat bius yang mencapai miliarab rupiah sehingga kemudian muncul istilah narco
dollar,yang berasal dari uang haram perdagangan narkotika.
Kejahatan pencucian uang ( money laundring ) belakangan ini makin mendapat
perhatian khusus dari berbagai kalangan, yang bukan saja dalam skala nasional, tetapi
juga meregional dan mengglobal melalui kerja sama antar negara-negara. Gerakan ini
terpicu oleh kenyataan di mana kini semakin maraknya kejahatan money laundering
dari waktu ke waktu, sementara kebenyakan negara belum menetapkan sistem
hukumnya untuk memerangi atau menetapkannya sebagai kejahatan yang harus
diberantas. Sebegitu besarnya dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap
perekonomian suatu negara, sehingga negara-negara di dunia dan organisasi
internasional merasa tergugah dan termotivasi untuk menarik perhatian yang lebih
serius terhadap pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang. Hal ini
didorong karena kejahatan money laundering mempengaruhi sistem perekonomian
khususnya menimbilkan dampak negatif baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pengertian Money Laundring :
Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang memberikan definisi pencucian uang dalam Pasal 1 angka 1 yang
berbunyi sebagai berikut:
“Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan,
membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar
negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya
atau patut dicurigai merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk
menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehinnga seolah-olah
menjadi Harta Kekayaan yang sah.”
Menurut Black’s Law Dictionary mengartikan money laundering diartikan
sebagai:
istilah yang digunakan untuk menggambarkan investasi atau pengalihan bentuk uang
mengalir pemerasan, transaksi narkoba, dan salah satu sumber yang ilegal ke saluran
sah sehingga sumber aslinya tidak dapat ditelusuri”.
Menurut Konvensi PBB Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan
Illegal Narkotika, Obat- obatan Berbahaya dan Psikotropika Tahun 1988 (the United
Nations Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psychotropic
Substances of 1988), money laundering “adalah Konversi atau pengalihan harta,
mengetahui bahwa kekayaan tersebut berasal dari serius (dpt dituduh) pelanggaran
atau pelanggaran, atau dari tindakan partisipasi dalam tindak pidana atau pelanggaran,
untuk tujuan menyembunyikan atau menyamarkan kekayaan yang tidak sah atau
membantu apapun orang yang terlibat dalam komisi seperti suatu pelanggaran atau
pelanggaran untuk menghindari konsekuensi hukum dari tindakannya, atau
penyembunyian atau penyamaran yang sifat benar, sumber, lokasi, sifat, gerakan, hak-
hak yang berkaitan dengan, atau kepemilikan properti, mengetahui bahwa kekayaan
tersebut berasal dari seorang yang serius (dpt dituduh) pelanggaran atau pelanggaran
atau dari suatu tindakan seperti partisipasi dalam suatu tindak pidana atau
pelanggaran.
Menurut Welling, money laundering adalah proses yang satu counceals
keberadaan, sumber ilegal, pendapatan, dan tahan penyamaran bahwa pendapatan
untuk membuatnya tampak sah)”.
Pamela H. Bucy dalam bukunya yang berjudul White Collar Crime: Cases and
Marerial, money laundering adalah penyembunyian keberadaan, sifat ilegal sumber
dana ilegal sedemikian rupa sehingga dana akan muncul sah jika ditemukan)”
Dapat disimpulkan bahwa Pencucian Uang adalah kegiatan-kegiatan yang
merupakan proses yang dilakukan oleh seorang atau organisasi kejahatan terhadap
uang haram(uang yang berasal dari tindak kejahatan) dengan maksud
menyembunyikan asal usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang
berwenang melakukan penindakan terhadap tindak kejahatan dengan cara terutama
memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga
apabila uang tersebut kemudian dikeluarkan dari sistem keuangan itu, maka uang
tersebut telah berubah menjadi sah.
Melalui money laundering pendapatan atau kekayaan yang berasal dari kegiatan
yang melawan hukum diubah menjadi aset keuangan yang seolah-olah berasal dari
sumber yang sah/legal.
Dalam perkembangan selanjutnya, yang termasuk kategori Pencucian Uang
adalah orang yang membantu seseorang untuk menyembunyikan sebuah rumah yang
diketahuinya atau patut diketahuinya dibeli dengan menggunakan uang hasil korupsi,
Undang-undang No. 15 Tahun 2002 di dalam Pasal 3 ayat (2) bahkan memasukkan
unsur percobaan, pembantuan, atau permufakatan melakukan tindak pidana pencucian
uang sebagai tindak pidana yang diancam pidana penjara dan pidana denda.
Sebagaimana diketahui, pemanfaatan bank dalam kejahatan pencucian uang
dapat berupa:
a.    menyimpan uang hasil tindak pidana dengan nama palsu;
b.    menyimpan uang di bank dalam bentuk deposito/tabungan rekening/giro;
c.    menukar pecahan uang hasil kejahatan dengan pecahan lainnya yang lebih besar
atau kecil;
d.   bank yang bersangkutan dapat diminta untuk memberikan kredit kepada nasabah
pemilik simpanan dengan jaminan uang yang disimpan pada bank yang bersangkutan;
e.    menggunakan fasilitas transfer atau EFT (Electronic Fund Transfer);
f.     melakukan transaksi ekspor impor fiktif dengan menggunakan sarana Lie dengan
memalsukan dokumen-dokumen yang dilakukan bekerja sarna dengan oknum pejabat
terkait; dan
g.    pendirian/pemanfaatan bank gelap

    II. Proses Pencucian uang ( Money Laundryng )


Namun demikian, non-bank financial institution juga merupakan target yang tak
kalah menarik bagi para pelaku pencucian uang. Kenyataan menunjukkan bahwa
dalam beberapa tahun terakhir para pelaku pencucian uang telah membuat langkah
terobosan dengan mempergunakan lembaga keuangan non bank sebagai sarana
pencucian uang. Secara sederhana, proses pencucian uang dapat dikelompokkan pada
tiga kegiatan, yakni placement, layering dan integration
I. Tahap Penempatan / placement
Placement merupakan metode yang paling banyak digunakan oleh para pelaku
dalam hubungan dengan lembaga keuangan non bank. Perusahaan asuransi misalnya
dapat dimanfaatkan melalui pembelian asuransi jiwa yang merupakan suatu tahapan
melakukan placement dan sekaligus memuat unsur layering dan integration.
Pengiriman uang melalui perusahaan pengiriman uang (money transfer), placement
pada lembaga pembiayaan dan venture capital serta pelunasan pinjaman pada
perusahaan sewa guna usaha (leasing) merupakan modus-modus yang dapat
digunakan oleh para pelaku pencucian uang dengan menggunakan non-bank financial
institution.

Tahap ini merupakan menempatakan Dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas
kriminal, misalnya dengan mendepositkan uang kotor tersebut ke dalam sistem
keuangan. Bentuk kegiatan ini antara lain sebagai berikut:
1. Penyelundupan Dana (Menempatkan Dana pada Bank).
2. Menyetorkan uang pada bank pada bank sebagai pembayaran kredit untuk
mengaburkan audit trail.
3. Menyeludupkan uang tunai dari suatu Negara ke Negara lain.
4. Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah sehingga mengubah kas menjadi
kredit pembiayaan.
5. Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi,
misalnya bisnis properti, membelikan hadiah yang nilainya tinggi / mahal sebagai
penghargaan / hadiah kepada pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui
bank atau perusahaaan jasa keuangan lain.

II. Tahap Pelapisan / layering


Pelapisan (layering) bertujuan menghilangkan jejak, baik ciri-ciri aslinya atau asal
usul dari uang tersebut. Misalnya melakukan transfer Dana dari beberapa rekening ke
lokasi lainnya atau dari suatu negara ke negara lain dan dapat dilakukan beberapa kali.
Biasanya cara ini di lakukan dengan meminta kredit di bank dan dengan uang kotornya
dipakai untuk membiayai suatu kegiatan usaha secara legal.Dengan melakukan cara
seperti ini, maka kelihatannya bahwa kegiatan usahanya yang secara legal tersebut
tidak merupakan hasil dari uang kotor itu melainkan dari perolehan kredit bank tadi.
Bentuk kegiatan ini antara lain;
1. Transfer dana dari suatu bank ke bank lain
2. Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang
sah
3. Memindahkan uang tunai lintas batas Negara melalui jaringan kegiatan usaha
yang sah.
III. Tahap Penyatuan / integration
Tahap ini merupakan tahap menyatukan kembali uang-uang kotor tersebut
setelah melalui tahap-tahap placement atau layering di atas, yang untuk selanjutnya
uang tersebut dipergunakan dalam berbagai kegiatan-kegiatan legal. Sehingga uang
kotor itu kelihatan syah.
Dalam Undang - Undang TPPU pengertian tindak pidana pencucian uang diatur
dalam pasal 3 dan pasal 6. Pasal3 menyebutkan, barang siapa dengan sengaja
menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau
menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan,
menyembunyikan asal-usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan
pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama lima belas tahun dan
denda. paling sedikit lima miliar rupiah dan paling banyak lima belas miliar
rupiah. Sementara itu Pasal 6 Undang-undang yang sarna mengatur, bahwa setiap
orang yang menerima atau menguasai:penempatan, pentransferan, pembayaran,
hibah, sumbangan, penitipan dan penukaran harta kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan dengan hukuman
yang sarna seperti diatur dalam Pasal.

B. PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN


UANG

I. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang


Menurut Undang- Undang no.25 tahun 2003
Guna mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang maka menurut Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang selanjutnya disebut TPPU di
bentuklah Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan yang selanjutnya disebut PPATK.
Lembaga ini merupakan lembaga independen yang memiliki tugas dan wewenang
untuk melakukan pemeriksaan atas tindakan-tindakan yang dicurigai berkaitan dengan
tindak pidana pencucian uang.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) atau The Indonesian
Financial Transaction Reports and Analysis Centre (INTRAC) dibentuk dengan
kewenangan untuk melaksanakan kebijakan pencegahan dan pemberantasan
pencucian uang sekaligus membangun rezim anti pencucian uang di Indonesia.
Dengan ini maka pemberantasan tindak pidana sudah beralih orientasinya dari
“menindak pelakunya” kearah menyita “hasil tindak pidana”; Dengan dinyatakan money
laundering sebagai tindak pidana dan dengan adanya sistem pelaporan transaksi dalam
jumlah tertentu dan transaksi yang mencurigakan, maka hal ini lebih memudahkan bagi
para penegak hukum untuk menyelidiki kasus pidana sampai kepada tokoh-tokoh yang
ada dibelakangnya.
Menurut Pasal 26 Undang-Undang No.25 Tahun 2003,fungsi Pusat Pelaporan Analisis
Transaksi Keuangan yang selanjutnya disebut PPATK mempunyai tugas sebagai
berikut :
a. Mengumpulkan , menyimpan , menganalisis , mengevaluasi,informasi yang diperoleh
PPATK sesuai dengan dengan Undang – Undang ini;
b. Memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh Penyedia Jasa
keuangan;
c. Membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan transaksi keuangan
mencurigakan;
d. memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang informasi
yang diperoleh PPATK sesuai dengan ketentuan dalam Undang – Undang ini;
e. membuat pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa keuangan tentang
kewajibannya yang ditentukannya dalam Undang – Undang ini atau dengan peraturan
perundang- undangan lain,dan membantu dalam mendeteksi perilaku nasabah yang
mencurigakan;
f. memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya – upaya pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
g. melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana
pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan;
h. membuat dan memberikan laporan mengenai hasil analisis transaksi keuangan dan
kegiatan lainnya secara berkala 6 ( enam ) bulan sekali kepada Presiden,Dewan
perwakilan rakyat,lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap
Penyedia Jasa Keuangan;
Memberikan informasi kepada public tentang kinerja kelembagaan sepanjang
pemberian informasi tersebut tidak bertentangan dengan Undang – undang ini.
Wewenang PPATK, yaitu: Meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa
Keuangan; Meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan
terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan oleh penyidik atau
penuntut umum; Melakukan audit terhadap Penyedia Jasa Keuangan mengenai
kepatuhan, kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang dan terhadap
pedoman pelaporan mengenai transaksi keuangan; Memberikan pengecualian
kewajiban pelaporanmengenai transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai.
Pesatnya kemajuan teknologi dan arus globalisasi di sektor perbankan membuat
industri ini menjadi lahan empuk bagi para pelaku kejahatan pencucian uang. Pelaku
kejahatan dapat memanfaatkan bank untuk kegiatan pencucian uang.
Sesuai Pasal 26 Undang – Undang TPPU, tugas PPATK antara lain: mengumpulkan,
menyimpan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi yang diperoleh, membuat
pedoman mengenai tata cara pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan,
memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi lain yang berwenang mengenai
informasi yang diperoleh sesaui ketentuan Undang - Undang, memberikan rekomendasi
kepada Pemerintah sehubungan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang, melaporkan hasil analisis terhadap transaksi keuangan yang
berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian untuk kepentingan
penyidikan dan Kejaksaan untuk kepentingan penuntutan dan pengawasan, membuat
dan menyampaikan laporan mengenai analisis transaksi keuangan dan kegiatan
lainnya secara berkala kepada Presiden, DPR dan lembaga yang berwenang
melakukan pengawasan bagi Penyedia  Jasa Keuangan yang selanjutnya disebut PJK.
Sedangkan kewenangan PPATK sesuai Pasal 27 antara lain: meminta dan
menerima laporan dari PJK, meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan
atau penuntutan terhadap tindak pidana pencuian uang yang telah dilaporkan kepada
penyidik atau penunut umum.
Dari tugas dan kewenangan yang diamanatkan oleh Undang – Undang Tindak Pidana
Pencucian Uang, maka PPATK setidaknya memiliki 5 fungsi yaitu sebagai berikut :
a. PPATK sebagai Intelijen Keuangan.
Pengumpulan data (Data Collection) yaitu pengumpulan berbagai informasi dari
segala sumber baik dari aparat penegak hukum, PJK maupun individual, seperti:
laporan yang diwajibkan oleh UU TPPU kepada PJK dan Ditjend Bea dan Cukai;
informasi dari regulator; hasil penyelidikan dan penyidikan pihak Kepolisian; informasi
dari Kantor imigrasi; dan hasil permintaan informasi dari pihak lain.
Evaluasi data (data evaluation) yaitu melakukan penyaringan data atau informasi
yang diterimaagar proses analisis dapat dilakukan dengan lebih  baik dan pada
gilirannya dapat dihasilkan suatu kesimpulan yang relatif tepat.
Penyimpanan (collation) yaitu kegiatan penyimpanan secara aman dan rapi
terhadap informasi benar-benar relevan melalui system peng-index-an dan cross
referenced.
Analysis adalah proses penggabungan dan pengkajian atas semua informasi
yang dimiliki sehingga nantinya dapat membentuk suatu pola atau arti tersendiri.
Berdasarkan pola tersebut dapat dibuat suatu hipotesa atau beberapa hipotesa yang
tentunya masih perlu dilakukan pengujian atas hipotesa tersebut. Dalam melakukan
kegiatan analisis ini, dapat digunakan suatu analytical tools & techniques seperti link
charting, event charting, flow charting,  activity charting, dan data correlation
Dissemination of Intelligence yaitu penyampaian hasil analisis (kesimpulan /
ramalan / perkiraan) yang didapat dari ke-empat proses di atas kepada pihak-pihak
yang membutuhkan seperti aparat penegak hukum, regulator atau pihak lainnya.
Re-evaluation adalah proses review yang dilakukan secara berkesinambungan
atas seluruh proses intelijen yang dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi
setiap kelemahan/kekurangan yang ada dalam setiap tahapan proses intelijen. Dengan
demikian  kelemahan yang ada tersebut dapat segera ditanggulangi.

b. PPATK dalam Kewenangan Mengeluarkan Pengaturan.


Untuk membantu PJK dalam mengidentifikasi transaksi keuangaan
mencurigakan dan melaporkannya kepada PPATK, PPATK telah menerbitkan
Keputusan Kepala PPATK yang berisi pedoman bagi penyedia jasa keuangan. No.
2/4/KEP.PPATK/2003 Tentang Pedoman Identifikasi Transaksi Keuangan
Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan, tanggal 15 Oktober 2003. Pedoman ini
berlaku bagi PJK berbentuk bank umum, Bank Perkreditan Rakyat, perusahaan efek,
pengelola reksa dana, bank kustodian, perusahaan perasuransian, dana pensiun, dan
lembaga pembiayaan. Pedoman ini dikeluarkan dalam rangka memberikan
pemahaman dan acuan kepada PJK tentang bagaimana melakukan identifikasi
transaksi keuangan mencurigakan dengan tepat, untuk menghasilkan laporan LTKM
yang berkualitas.
PPATK juga telah mengeluarkan Keputusan Kepala PPATK No.
2/6/KEP.PPATK/2003 Tentang Pedoman Tata Cara Pelaporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan, tanggal 15 Oktober 2003.
Kedua pedoman di atas melengkapi Keputusan Kepala PPATK No.
2/1/KEP.PPATK/2003 Tentang Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang Bagi Penyedia Jasa Keuangan, tanggal 9 Mei 2003,
yang berlaku bagi seluruh PJK. Tujuan pedoman umum ini adalah untuk memberikan
gambaran umum mengenai rezim anti pencucian uang yang dapat digunakan sebagai
acuanc bagi PJK untuk membantu mendeteksi kegiatan pencucian uang.

c. Mediator antara sektor lembaga keuangan dan penegakan hukum.


d. Pembantuan (assistancy) dalam penegakan hukum
PPATK senantiasa memberikan bantuan dalam upaya penegakan hukum terkait
dengan tindak pidana berdimensi ekonomi melalui pemberian informasi transaksi
keuangan. Di samping itu, PPATK sering pula dimintai keterangannya sebagai ahli
dalam kasus tindak pidana pencucian uang.
e. Pengawasan kepatuhan
Dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan pelaporan, sejak Juli 2005 
sd. Juni 2006 telah dilakukan audit kepada 28 kantor bank di beberapa daerah seperti
Jakarta, Surabaya, Lampung, Mataram, Kupang, Medan, Palembang, Manado,
Padang, Makasar, Ambon, Balikpapan, dan Pontianak. Audit juga dilakukan terhadap
23 Penyedia Jasa Keuangan berbentuk non-bank.
II. Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia
Undang – Undang tindak pidana pecucian uang menetapkan perbuatan-
perbuatan yang tergolong tindak pidana pencucian uang adalah
a. Perbuatan yang dengan sengaja menempatkan, mentransfer, membayarkan atau
membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar
negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahui atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dengan maksud menyembunyikan atau
menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana (Pasal 3 ayat 1)
b. Perbuatan percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak
pidana pencucian uang (Pasal 3 ayat 2).
c. Perbuatan menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran,
hibah, sumbangan, penitipan, penukaran harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana (Pasal 6 ayat 1).Tindak pidana lainnya yang
berkaitan dengan pencucian uang dengan pemberian sanksi pidana dalam UU TPPU
adalah :
1.      Penyedia Jasa Keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan
yang diwajibkan dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp250 juta dan paling
banyak Rp1.000 juta (Pasal 8).
2.      Setiap orang yang tidak melaporkan pembawaan uang tunai dalam rupiah
sejumlah Rp100 juta atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara yang dibawa
ke dalam atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 9).
3.      PPATK, penyidik, saksi, penuntut umum, hakim atau orang lain yang terkait
dengan perkara tindak pidana pencucian uang yang sedang diperiksa, melanggar
larangan menyebut identitas pelapor (Pasal 10).
4.    Direksi, pejabat, atau pegawai penyedia jasa keuangan yang memberitahukan
kepada pengguna jasa keuangan atau orang lain baik langsung atau tidak langsung
mengenai laporan transaksi keuangan mencurigakan yang sedang disusun atau telah
disampaikan kepada PPATK, dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 5
tahun serta denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp1.000 juta (Pasal
17A)
5.      Pejabat atau pegawai PPATK atau penyelidik/penyidik, penuntut umum, hakim
dan siapapun juga yang membocorkan informasi yang diwajibkan oleh UU TPPU
karena melaksanakan tugasnya, apabila sengaja dipidana penjaran 5 sampai dengan
15 tahun dan jika tidak sengaja dipidana penjara 1 sampai dengan 3 tahun (Pasal 10A).
Undang – Undang tindak pidana pencucian uang telah mengatur adanya perlindungan
bagi perusahaan jasa keuangan.perlindungan tersebut adalah :
1) Perusahaan jasa keuangan tidak terkena sanksi rahasia bank (Pasal 47 ayat 2 UU
Perbankan) dalam hal :
a. Melaksanaan kewajiban pelaporan kepada PPATK sebagaimana  diatur dalam Pasal
13 (Pasal 14)
b. Memberikan informasi dan segala keterangan kepada PPATK dlm rangka audit
(Pasal 27 ayat 3)
c. Memberikan keterangan rahasia bank kepada penyidik, penuntut umum dan hakim 
(Pasal 33 ayat 2)
2) Perusahaan Jasa Keuangan, pejabat, serta pegawainya tidak dapat dituntut baik
secara perdata dan pidana atas pelaksanaan kewajiban pelaporan (Pasal 15 dan Pasal
43)
3) Pihak pelapor diberikan perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan
ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan atau hartanya termasuk keluarganya
(Pasal 40 ayat 1)
4) Dalam praktek, perlindungan bisa berasal dari Perusahaan Jasa Keuangan itu
sendiri terkait dengan pembocoran informasi atas laporan transaksi keuangan
mencurigakan yang sedang disusun atau sudah dilaporkan kepada PPATK (Pasal
17A). Sumber keterangan dan laporan transaksi keuangan wajib dirahasiakan dalam
persidangan (Pasal 10 A ayat 2) dan kewajiban bagi hakim untuk mengingatkan kepada
semua pihak agar tidak mengungkap identitas pelapor (Pasal 41).
Untuk lebih menguatkan upaya perlindungan di atas, Kapolri telah mengeluarkan
peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Kapolri No.Pol.: 17 Tahun 2005 tentang
Tata Cara Pemberian Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor dan Saksi Dalam
TPPU. Dalam ketentuan ini, antara lain diatur bahwa pemberi Perlindungan Khusus 
adalah Aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia, sedangkan pemohon/penerima
Perlindungan Khusus : Pelapor, Saksi, PPATK, Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa : Pelapor adalah : (a) Reporting Parties/Pihak
Pelapor/PJK dan (b) setiap orang yang melaporkan dugaan terjadinya TPPU; saksi
adalah orang yg memberi keterangan dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan
tentang perkara TPPU yg didengar, dilihat dan atau dialami sendiri; dan Keluarga
adalah keluarga inti (suami/istri dan anak dari pelapor dan saksi). Sedangkan yang
dilindungi adalah : keamanan pribadi dari ancaman fisik atau mental; harta benda;
perahasiaan dan penyamaran identitas; dan pemberian keterangan tanpa bertatap
muka (konfrontasi) dengan tersangka atau terdakwa. 

III. Upaya Pencegahan Pencucian Uang Secara Internasional


Strategi untuk menanggulangi pencucian uang pertama kali diatur di Amerika
Serikat pada tahun 1986. Pada waktu itu USA kewalahan menghadapi kejahatan
perdagangan narkotika yang amat merugikan Negara. Selain itu juga negara-negara
lainnya menyetujui untuk mengatur antipencucian uang di negaranya guna
memberantas kejahatan. Upaya-upaya internasional untuk memberantas kejahatan
pencucian uang tertuang dalam berbagai konvensi seperti Convention against Illicit
Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances pada tahun 1988. Disusul dengan
United Nations Congres on the Prevention of Crime and Treatment of Offenders pada
tahun 1995 yang berisi 17 kasus paling serius didunia dan pencucian uang mrpakan
uarutan yang pertama. Kemudian United Nations Against Transnational Organized
Crime, Laundering Procced of Crimes.pada konvensi ini kembali menekankan bahaya
pencucian uang dan upaya memberantasnya serta memberantas terorisme.
Pada bulan Juli 1989 negara-negara G-7 (USA, Kanada, Inggris, Italia, Belanda,
Jerman, Prancis) dalam G-7 Summit di Prancis membentuk FATF (Financial Task
Force on Money Laundering). Pada tahun 1990 FATF menerapkan The Forty
Recommendation yang berisi peranan sistem hukum nasional guna mengatasi
pencucian uang (4 butir), kedua, peranan sistem dan lembaga keuangan dalam
strategi melawan pencucian uang haram (22 butir), ketiga, Pengukuhan kerjasama
internasional antarlembaga maupun antarnegara (11 butir). Setelah tragedi WTC 11
september 2001, FATF menetapkan delapan rekomendasi untuk menindaklanjuti dan
mendukung pemerintah USA, adapun delapan rekomendasi tersebut:
a) Penindakan atas kegiatan pendanaan terorisme telah diratifikasi sesuai dengan
konvensi PBB tahun 1999 dan pelaksanaannya secara penuh sesuai dengan
hukum yang berlaku disuatu Negara.
b) Menetapkan bahwa pendanaan terorisme merupakan tindakan kriminal. Dan
menindaklanjuti kegiatan pencucian uang.
c) FATF menindaklanjuti kegiatan teroris dan pendukungnya dengan membekukan
dana dan kekayaannya.
d) Lembaga perbankan maupun non-perbankan masing-masing Negara wajib
melaporkan transaksi yang mencurigakan kepada otoritas yang kompeten.
e) Dilakukan kerjasama internasional untuk saling tukar-menukar informasi agar
tidak memberikan perlindungan terhadap pendanaan teroris.
f) Masing-masing Negara menetapkan berbagai aturan yang terkait dengan
perizinan, pendaftaran individu, badan/lembaga yang melakukan kegiatan jasa
pengiriman uang, baik melalui sistem formal/informal.
g) Masing-masing Negara mengusyut secara tuntas asal usul pengiriman uang,
sumber dana, dan berwenang melakukan tindakan secara intensif.

h) Masing-masing Negara diminta untuk meninjau ulang aturan yang berlaku untuk
meninjau ulang aturan yang berlaku pada lembaga-lembaga resmi keuangan
untuk tidak menyalahgunakan fasilitas yang diberkan untuk kegiatan terorisme.
Secara internasional lembaga-lembaga yang menindaklanjuti atau menangani
analisis keuangan yang mencurigakan dalam rangka identifikasi proses pencucian uang
antara lain seperti, FIU (Financial Intelegence Unit), APG (Asia Pasific Group and
Money Laundering).

BAB III
ANALISIS PEMBAHASAN
Pada masa sekarang sudah banyak orang yang tahu bahwa istilah “money
laundering”(pencucian uang) dirty   money   (“uang   kotor”)
sangat   erat   sekali   hubungannya. Keduanya, bagaikan dua sisi mata uang yang tak
terpisahkan. Uang kotor ini, yang ada kalanya juga disebut dengan istilah “uang haram”,
diperoleh pelakunya dengan cara melawan hukum seperti mencuri, merampok,
memproduksi dan menjual narkoba, menipu, korupsi, dan sebagainya. Agar aparat
penegak hukum tidak mencurigai uang kotor itu berasal dari hasil tindak pidana, maka
salah satu cara yang dapat dilakukan oleh pelakunya ialah dengan praktik pencucian
uang, misalnya dengan membeli saham/properti, untuk membuat uang kotor itu
nantinya menjadi seolah-olah bersumber dari suatu kegiatan yang sah.
Salah satu lembaga pemerintah Indonesia Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK)
mulai berani menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang untuk menjerat koruptor. Meski telah disahkan hampir dua
tahun lalu, penggunaan UU TPPU ini oleh KPK baru dimulai pada era pimpinan KPK
periode ketiga.
Misalnya untuk menjerat mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad
Nazaruddin dalam kasus pembelian saham maskapai penerbangan nasional Garuda
Indonesia. Nazaruddin pun dijerat sebagai tersangka pencucian uang dalam kasus ini.
Diduga, uang yang digunakan Nazaruddin melalui Grup Permai untuk membeli saham
Garuda berasal dari korupsi. Yang kedua terhadap mantan anggota Badan Anggaran
DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Wa Ode Nurhayati. KPK menduga terdapat
rekening sejumlah Rp 10 miliar milik Wa Ode yang disamarkan untuk kepentingan
pencucian uang melalui sejumlah transaksi.
Meski UU TPPU  disahkan tahun 2010, KPK periode kedua masih belum berani
menggunakan UU ini untuk menjerat koruptor. Padahal, dalam UU TPPU disebutkan, s
alah satu tindak pidana asal pencucian uang adalah korupsi. KPK pun
berwenang menyidik kasus pencucian uang yang tindak pidana asalnya dari korupsi.

Penerapan Teori Terhadap Pencucian Uang di Indonesia


Komisi Pemberantasan Korupsi mulai berani menggunakan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang untuk menjerat koruptor. Misalnya
untuk menjerat mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin
dalam kasus pembelian saham maskapai penerbangan nasional Garuda Indonesia. Ia
pun dijerat sebagai tersangka pencucian uang, diduga uang yang digunakan
Nazaruddin melalui Grup Permai untuk membeli saham Garuda berasal dari korupsi.
Yang kedua mantan anggota Badan Anggaran DPR dari Fraksi Partai Amanat
Nasional, Wa Ode Nurhayati. KPK menduga terdapat rekening sejumlah Rp 10 miliar
milik Wa Ode yang disamarkan untuk kepentingan pencucian uang melalui sejumlah
transaksi.
Penggunaan UU TPPU terbukti efektif memiskinkan koruptor. Dalam putusan terhadap
Bahasyim dan Gayus, hakim memvonis keduanya agar menyerahkan harta kekayaan
yang diduga diperoleh dengan cara ilegal saat mereka bekerja sebagai pegawai Ditjen
Pajak.
Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah adalah:
Pencucian uang atau money laundry adalah perbuatan menempatkan,
mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,menyumbangkan,
menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan
maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga
seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Guna mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang maka menurut
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang selanjutnya
disebut TPPU di bentuklah Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan yang selanjutnya
disebut PPATK. Lembaga ini merupakan lembaga independen yang memiliki tugas dan
wewenang untuk melakukan pemeriksaan atas tindakan-tindakan yang dicurigai
berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang.

DAFTAR PUSTAKA
Undang - Undang No.1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang - Undang Hukum Pidana;
diunduh pukul 17.25 wib 25/03/2020
Undang - Undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ; diunduh
pukul 18.25 wib 25/03/2020
Undang - Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan ;
Undang – Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana diunduh pukul 19. 35
wib 25/03/2020
www.google.com/pengertian tindak pidana perbankan ; di akses pada 25/03/2020
www.google.com/perbedaan tindak pidana di bidang perbankan dengan tindak pidana
perbankan/rizal saputra/ diunduh pukul 19.15 wib 15/11/2012

Anda mungkin juga menyukai