Anda di halaman 1dari 5

STUDI KASUS

DISKONTINUITAS DI PROVINSI SULAWESI BARAT

Dosen Pengampu :
Dr. Muhammad Idris, MP

Oleh :
FARIED BAINTA
P02191006

PRODI PERENCENAAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH/OTODA


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
DISKONTINUITAS DI SULAWESI BARAT

Pendahuluan
Bappeda sebagai organisasi yang sifatnya melaksanakan fungsi koordinasi organisasi
perangkat daerah Pemerintah Sulawesi Barat memiliki tugas untuk mensinkronkan seluruh
program dan kegiatan organisasi perangkat daerah untuk mencapai target-target yang
ditetapkan dalam RPJMD. Termasuk memastikan berjalannya program/kegiatan prioritas
Gubernur Sulawesi Barat, serta melakukan evaluasi terhadap program dan kegiatan yang
dilaksanakan.
Salah satu program/kegiatan yang pernah dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Barat yaitu
program Bangun Mandar yang dievaluasi Bappeda. Program Bangun Mandar sendiri adalah
singkatan dari Pembangunan Desa Mandiri berbasis Masyarakat. Program ini pertama kali
dicetuskan pada masa kepemimpinan Gubernur pertama Sulawesi Barat Bapak H. Anwar
Adnan Saleh tepatnya pada periode kedua pemerintahan beliau. Program ini ditandai dengan
lahirnya Peraturan Gubernur Sulawesi Barat Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pembangunan Desa
Mandiri berbasis Masyarakat. Lahirnya Program ini di dasari oleh keresahan akan kondisi
masyarakat di Provinsi Sulawesi Barat dimana pada saat itu sebagaian besar desa-desa yang ada
masih termasuk dalam kategori tertinggal dan sebagian masyarakatnya berada di bawah garis
kemiskinan. Maka untuk menpercepat akselerasi penanggulangan kemiskinan, pemerintah
sulawesi barat mencetuskan program untuk mengajak semua pemangku kepentingan untuk
fokus bekerjasama dan berkolaborasi dalam mengentaskan kemiskinan dan ketertinggalan
daerah yang ada di Sulawesi Barat.
Program Bangun Mandar mencoba melibatkan lebih banyak stakeholder seperti mulai
dari Konsultan, Fasilitator, Komunitas masyarakat, Pemerintah Kabupaten sebagai supervisor,
dan sampai pada pemerintah kecamatan dan pemerintah desa sebagai garda depan selain
tentunya organisasi perangkat daerah yang dibawah naungan pemerintah Provinsi Sulawesi
Barat sendiri. Kegiatan ini sebenarnya sangat bagus karena melibatkan beberapa stakeholder,
khususnya untuk organisasi perangkat daerah karena akan menuntaskan persoalan yang sama
sehingga setiap organisasi perangkat daerah memiliki tujuan dan fokus yang sama walaupun
dengan peran yang berbeda sehingga dari hal tersebut diharapkan ada akselerasi percepatan.
Secara konsep program/kegiatan Bangun Mandar sangat baik karena tujuan dari
program ini adalah untuk mendorong semakin efektifnya upaya penanggulangan kemiskinan
berbasis kemandirian desa melalui upaya pengintegrasian sumber daya, penguatan kelembagaan
dan norma serta pengembangan produk unggulan sesuai potensi desa dengan cara mendorong
sinergi antara arahan program/kegiatan Pemerintah Daerah dengan fasilitasi keberdayaan
masyarakat. Dengan manfaat yang diharapkan dari pelaksanaan program yaitu meningkatnya
kesadaran masyarakat tentang potensi diri, potensi lingkungan, serta masalah dan kebutuhan
terkait penanggulangan kemiskinan dan pengembangan kemandirian desa/kelurahan.

Permasalahan Diskontinuitas
Konsep program/kegiatan Bangun Mandar yang bagus tidak diikuti dengan pelaksanaan
yang baik dilapangan. Hal ini dilihat dengan tidak terjadinya kolaborasi yang baik antara
pemangku kepentingan yang disebapkan oleh ego sektoral masing-masing, baik itu antara
organisasi peragkat daerah di pemeritah Provinsi Sulawesi Barat sendiri maupun antara
Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat dengan Pemerintah Kabupaten. Salah satu faktor
penyebabnya adalah masalah poltik antara Gubernur dengan beberapa Bupati yang
menghasilkan hubungan yang tidak “mesra” saat itu, sehingga setiap program atau kebijakan
yang dikeluarkan oleh Gubernur tidak ditanggapi dengan baik oleh pemerintah kabupaten
sehingga program lama berjalan untuk proses koordinasi saja. Selain itu ego sektoral organisasi
perangkat daerah di Provinsi Sulawesi barat juga menjadi masalah yang sangat rumit, karena
masing-masing organisasi perangkat daerah bersikeras untuk tetap melaksanakan program dan
kegiatan rutin yang tidak prioritas. Dan yang lebih menyesakkan adalah para organisasi
perangkat daerah saling menuding dan menganggap bahwa ada organisasi perangkat daerah
tertentu yang diuntungkan oleh program tersebut dan tentunya akan mendapat penilain
“Istemewa” dari gubernur apabila kegiatan itu sukses dijalankan. Hal yang sama berlaku juga
untuk beberapa kabupaten yang kepala daerahnya tidak memiliki hubungan yang mesra dengan
pemerintah provinsi.
Imbas dari semua ketidakefektifan kebijakan ini adalah warga masyarakat sebagai objek
dari pembangunan itu sendiri, karena mereka tidak merasakan manfaat sesuai yang mereka
harapkan yaitu berupa kesejahteraan. Hasil dari ketidaksinkronan bisa dilihat dari berbagai
macam contoh kasus yang terjadi, seperti bantuan langsung yang yang diberikan kepada
masyarakat misalnya bantuan alat tradisional tenun sutra mandar kepada kelompok/komunitas
masyarakat pengrajin tenun, dimana bantuan alat tenun tradisional diberikan oleh dinas
Perdagangan, Perindutrian, Koperasi dan UKM Provinsi Sulawesi Barat namun terbengkalai
dan tidak digunakan karena benang sebagai bahan baku pembuat sutra tidak tersedia,
seyogyanya bahan tersebut disediakan oleh kabupaten karena merupkan kewenangan
kabupaten, dan itupun tidak bisa langsung tersedia karena melalui beberapa tahap mulai dari
pelatihan untuk warga yang akan menjadi pertenak ulat sutra sampai pemberian bantuan bibit
ulat sutra kebun untuk peternakan ulat sutra, dan ketika bahannya sudah ada mesin tenunnya
sudah ada beberapa bagian yang rusak karena lama tidak terpakai. Setelah permasalahan alat
tenun dan bahan selesai maka masalah selanjutnya adalah tentang bagaimana memasarkan
produk, siapa yang bertanggungjawab terhadap pemasaran produk setelah di produksi. Secara
teori dan tupoksi pemasaran produk berupa promosi biasanya diklakukan oleh Dinas
Penanaman Modal dengan mengikuti evet pameran atau melalui dinas priwisata dengan menjadi
sutra mandar sebagai produk souveinir khas Sulawesi Barat. Contoh kasus yang lain adalah
pembangunan gedung Balai Latihan Kerja (BLK) Sulawesi Barat yang telah lama direncanakan,
namun karena sinkronisasi program yang tidak berjalan dengan baik sehingga menemui banyak
kendala dilapangan seperti siapa yang menentukan lahan, siapa yang membebaskan lahan, siapa
yang membuat rancangan bangunan, siapa yang membuat jalan, siapa yang menyiapakan alat-
alat mesin dan siapa yag memberikan pelatihan.ketertlibatan berbagai macam organisasi
perangkat daerah untuk satu macam kegiatan justru membuat kegiatan tersebut menjadi
terkendala dan berjalan lamban. Dan masih banyak contoh kasus yang lain akibat dari tidak
berjalannya koordinasi yang baik atau tingginya ego sektoral antara organisasi perangkat
daerah yang ada. Hal mengakibatkan manfaat kegiatan yang dilaksanakan tidak dirasakan atau
manfaatnya tidak sesuai yang harapkan dan bahkan menjadi mubazir kerena tidak digunakan.
Selain ego sektoral faktor lain yang menjadi penyebab diskontinuitas sebuah program
atau kegiatan adalah kemampuan sumber daya manusia pada perangkat daerah di Provinsi
Sulawesi Barat, untuk level eselon II masih ada yang tidak memahami mana program dan
kegiatan yang merupakan prioritas dan bukan prioritas. Pada tahun 2014 pernah dilakukan
kegiatan studi banding pola percontohan (best practice) ke Lombok Nusa Tenggara Barat dalam
rangka untuk belajar dengan melihat langsung keberhasilan pemerintah Provinsi Nusa Tenggara
Barat dalam pengembangan Agorindustri. Kegiatan ini dilakukan bersama dengan beberapa
tenaga ahli Gubernur Sulawesi Barat salah satunya adalah bapak Prof. Basri Hasanuddin yang
merupakan mantan menteri Perekonomian dan Pengentasan Kemiskinan Republik Indonesia
dan Rektor Universitas Hasanuddin. Pada kesempatan tersebut Prof Basri Hasanuddin
mengharapkan kehadiran kepala organisasi perangkat daerah terkait kerana kegiatan ini sangat
penting, hasil dari kegiatan studi banding tersebut diharapkan dapat dijadikan pelajaran untuk
pengambilan kebijkan pada level pimpinan organisasi perangkat daerah untuk selanjutnya
diimplementasikan guna membantu masayarakat khususnya para pengusaha industri kecil
menengah. Namun pada kesempatan tersebut ada kepala dinas justru tidak hadir pada
pelaksanaan kegiatan dan hanya menugaskan sekretaris dan staf sedangkan sang kepala dinas
menurut info justru memilih liburan di Bali sehingga membuat beliau marah dan kecewa
sehingga melaporkan kejadian tersebut ke Gubernur, yang langsung ditanggapi dengan
mengeluarkan sanksi dengan menonjobakan pejabat tersebut tidak lama setelah kejadian itu.
Buruknya manajemen menghasilkan konfilk yang mengakibatkan program dan kegiatan
yang secara konsep sudah sangat baik tidak dapat berjalan sesuai yang diharapkan, fokus
pembanguanan organisasi perangkat daerah bukan pada program-program prioritas justru fokus
kepada hal-hal yang manfaatnya tidak dirasakan langsung oleh masayarakat. Studi banding
yang dilaksanakan untuk melihat keberhasilan daerah lain dalam pengembangan agroindustri
untuk menunjang program Bangun Mandar justru tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan
karena para pimpinan level atas (eselon II) acuh tak acuh dengan pelaksanaan kegiatan.
Kegiatan yang seyogyanya mempelajari bagaimana pengembangan agroindustri khusunya
pembanguan Rumah Kemasan serta bagaimana pengelolaanya justru tidak ditanggapi serius dan
malah menjadi ajang rekreasi. Dampak dari acuhnya para pengambil kebijakan terhadap hasil
pelaksanaan kegiatan adalah pembangunan rumah kemasan yang diharapkan segera terealisasi
setalah pelaksanaan studi banding selesai sampai akhir periode kedua gubernur sulawesi Barat
tidak pernah terealisasi. Contoh kasus lain dari buruknya manajemen adalah pembangunan
Balai Latihan Kerja sulawesi Barat yang juga tidak tereasliasi sampai akhir periode padahal itu
sangat penting dan diperlukan untuk memberikan pelatihan untuk warga masayarakat agar
masyarakat dapat meningkatkan kapasitas dan memiliki keterampilan. Itu hanya merupakn salah
satu contoh kasus gagalnya para organisasi perangkat daerah dalam membaca mana program/
kegiatan yang perlu diprioritaskan dan tidak perlu untuk dilaksanakan akibatnya terjadi
diskontinuitas. Para organsiasi perangkat daerah lebih senang melaksanakan kegiatan
sosialisasi di hotel mewah yang tentu biayanya sangat mahal dan mirisnya pesertanya adalah
orang-orang yang sama dari organisasi perangkat daerah lingkup pemerintah Provinsi Sulawesi
Barat.

Pengelolaan Diskontinuitas
Berdasarkan konflik yang terjadi diatas, bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa untuk
mengelola program dan kegiatan yang secara konsep sudah bagus, diperlukan kebijakan harus
agar lebih baik. Untuk kasus diatas ada beberapa langkah mengelola kegiatan agar terjadi
diskontinutitas.
Yang pertama adalah pentingnya untuk menempatkan orang-orang yang tepat pada
posisi tertentu agar program/kegiatan bisa berjalan sesuai yang telah direncanakan, tentunya
kegiatan diharapkan bukan hanya sekedar berjalan tetapi tujuan dari pelaksanaan kegiatan
tersebut tercapai, sehingga masyarakat sebagai objek dari pembangunan bisa merasakan
manfaat. Sumber daya manusia yang memiliki kemampuan kapasitas juga tidak cukup, sehingga
harus dibarengi dengan niat yang tulus dan kerja ikhlas yang memang betul-betul ingin
mengsejahterakan warga, bukan lagi memikirkan diri pribadi maupun kelompok agar tidak
terjadi diskontinuitas. Perlu ada perubahan pola pikir dari para dari semua elemen yang terlibat
dalam suatu program dan kegiatan khususnya ASN, karena masih banyak ASN dalam membuat
suatu kegiatan yang sifatnya “asal jadi” yang penting bisa dipertanggungjawabkan serta ada
keuntungan yang bisa diperoleh, banyak kegiatan organisasi perangkat daaerah yang terkesan
asal-asalan dan berulang-ulang. Kebiasan organisasi perangkat daerah yang dalam mengerjakan
suatu kegiatan yang asal-asalan membuat masyarakat memiliki persepsi yang tidak baik
terhadap kegiatan yang akan dikerjakan oleh pemerintah didaerah.
Yang kedua yatiu perlu dilakukan perencanaan jangka panjang (long-range planning) maupun
perencanaan yang berbasis pada tujuan untuk suatu kegiatan yang prioritas. Kebutuhan sebuah
perencanaan strategis disebabkan perubahan eksternal yang terjadi dengan cepat dan tidak
menentu. Hal ini akan menuntut organisasi perangkat daerah untuk melakukan adaptasi
terhadap perubahan itu secara internal agar mampu mempertahankan fungsi dan peranannya
dalam memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Oleh karena itu, organisasi perangkat
daerah harus mampu mengatasi lingkungan eksternal dan secara berkelanjutan melakukan
kajian terhadap kapasitas internal sebagai prasyarat untuk tetap memelihara dan
mempertahankan eksistensinya.
Yang ketiga yaitu perlu Pola pikir Mindset ASN Agar tidak terjadi diskontinuitas program dan
kegiatan diperlukan kepeminpinan dan dan manajemen yang baik untuk mencegah terjadinya
konflik kepentingan. Perubahan pola pikir asn juga perlu dilakukan agar bekerja sesuai dengan
semangat ASN yaitu semangat untuk mengabdi kepada negara dan bangsa bukan lagi untuk
mencari keuntungan. mengutamakan pencapaian tujuan dari pelaksanaan kegiatan, bukan lagi
asal kegiatan berjalan
Yang keempat yaitu pentingnya menjalin komunikasi dan koordinasi yang baik antara
pemerintah daerah provinsi dan kabupaten maupu antara organiasi perangkat daerah dibawah
naungan prcvini sulawesi barat agar terjadi sinergitas pembangunan. Ini dilakukan untuk
menjaga pembangunan fokus pada tujuan bersama yang ingin dicapai dengan mengedepankan
kepentingan masyarakat sebagai objek sasaran pembangunan. agar kegiatan berkesinambungan
dan.

Anda mungkin juga menyukai