Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TEORI MIKRO ISLAMI

SUB BAB :

1. PENDAHULUAN
2. RANCANG BANGUN EKONOMI ISLAM
a. Ekonomi Islam: Perbedaan Sudut Pandang
b. Prinsip-prinsip Umum Ekonomi Islam
1) Nilai-nilai Universal: Teori Ekonomi
2) Prinsip-prinsip Derivatif: Ciri-ciri Sistem Ekonomi Islam
3. TEORI KONSUMSI ISLAMI DAN TEORI PRODUKSI ISLAMI
4. MEKANISME PASAR ISLAMI

1. PENDAHULUAN
Ekonomi dalam kajian keilmuan dapat dikelompokkan ke dalam ekonomi mikro dan
ekonomi makro. Ekonomi mikro mempelajari bagaimana perilaku tiap-tiap individu dalam
setiap unit ekonomi, yang dapat berperan sebagai konsumen, pekerja, investor, pemilik tanah,
ataupun perilaku dari sebuah industri. Ekonomi mikro menjelaskan how dan why sebuah
pengambilan keputusan dalam setiap unit ekonomi.
Pembahasan ekonomi mikro konvensional didasarkan pada perilaku individu-individu yang
secara nyata terjadi di setiap unit ekonomi. Karna tidak adanya batasan syariah yang
digunakan, maka perilaku dari setiap individu dalam unit ekonomi tersebut akan bertindak
dan berperilaku sesuai dengan norma dan aturan menurut perspektifnya masing-masing.
Dalam ekonomi konvensional, kita tidak akan pernah menemukan bagaimana perilaku
seorang konsumen apabila ia memasukkan unsur pelarangan bunga dan kewajiban untuk
mengeluarkan zakat dalam setiap pengambilan keputusannya. Berbeda dengan ekonomi
mikro konvensional, dalam pembahasan ekonomi mikro islami, faktor moral atau norma yang
terangkum dalam tatanan syariah akan ikut menjadi variabel yang penting dan perlu dijadikan
sebagai alat analisis. Ekonomi mikro islami menjelaskan bagaimana sebuah keputusan
diambil oleh setiap unit ekonomi dengan memasukkan batasan-batasan syariah sebagai
variabel yang utama.
Dalam pembahasan mikro ekonomi islami, segala pembahsan yang ditujukan untuk
melakukan explanation dan prediction didasarkan pada teori. Teori dibangun untuk
menerangkan dari fenomena yang terjadi dalam suatu waktu dengan menggunakan hukum-
hukum dasar dan beberapa asumsi yang terpenuhi. Dalam pembentukan teori mikro ekonomi
islami, hukum-hukum dasar ekonomi murni(yang tidak mengandung nilai filosofi tertentu)
tetap digunakan sepanjang hukum tersebut tidak bertentangan dengan hukum syariah.
Kita berharap bahwa setelah mempelajari mikro ekonomi islami, kita akan mendapatkan
keyakinan yang kuat tentang teori ekonomi mikro islami yang relevan dan dapat diterapkan
dalam dunia nyata. Salah satu tujuan kita adalah bagaimana menerapkan prinsip-prinsip
ekonomi mikro islami dalam pengambilan keputusan agar mendapatkan solusi terbaik, yaitu
solusi yang akan menguntungkan kita dan tidak menzalimi orang lain.

2. RANCANG BANGUN EKONOMI ISLAM


a. Ekonomi Islam: Perbedaan Sudut Pandang
Sejauh ini kita telah mengetahui perbedaan-perbedaan yang yang diametral diantara
paradigma yang mendasari ekonomi konvensional dengan pardigma yang mendasari ekonomi
islami. Keduanya tidak mungkin dan tidak akan pernah mungkin untuk dikompromikan,
karena masing-masingnya didasarkan atas pandangan-dunia (weltanschauung) yang berbeda.
Ekonomi konvensional melihat ilmu sebagai sesuatu yang sekuler (berorientasi hanya pada
kehidupan duniawi-kini dan disini), dan sama sekali tidak tidak memasukkan Tuhan serta
tanggung jawab manusia kepada Tuhan diakhirat dalam bangun pemikirannya. Oleh karena
itu, ilmu konvensionalmenjadi bebas nilai (posivistik). Sementara itu, ekonomi islami justru
dibangun atas, atau paling tidak diwarnai oleh prinsip-prinsip religius (berorientasi pada
dunia- kini dan disini – dan sekaligus kehidupan akhirat – nanti dan disana). Sampai saat ini,
pemikiran ekonom-ekonom muslim kontemporer dapat kita klasifikasikan setidaknya
menjadi tiga mazhab yakni :
1. Mazhab Baqir as-Sadr
Mazhab ini di pelopori oleh Baqir as-Sadr dengan bukunya yang fenomenal: Iqtishaduna
(ekonomi kita). Mazhab ini berpendapat bahwa ilmu ekonomi (economics) tidak pernah bisa
sejalan dengan islam. Ekonomi tetap ekonomi, dan islam tetap islam. Keduanya tidak akan
pernah dapat disatukan karena keduanya berasal dari filosofi yang slaing kontradiktif. Yang
satu anti-islam, yang satunya islam.
Menurut mereka, perbedaan filosofi ini berdampak pada perbedan cara pandang keduanya
dalam melihat masalah ekonomi, menurut ilmu ekonomi, masalah ekonomi muncul karena
adanya keinginan manusia yang tidak terbatassementara sumber daya yang tersedia untuk
memuaskan keingunan manusia tersebut jumlahnya terbatas. Mazhab Baqir menolak
pernyataan ini, karena menurut mereka islam tidak mengenal adanya sumberdaya yang
terbatas. Dalil yang dipakai adalah Alquran:
“Sungguh telah Kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya” (QS Al-
Qamar : 49)
Dengan semikian, karena segala sesuatunyasudah terukur dengan sempurna, sebenarnya
Allah telah memberikan sumber daya yang cukup bagi seluruh manusia di dunia. Oleh karena
itu, menurut mereka islitah ekonomi islam adalah istilah yang bukan hanya tidak sesuai dan
salah, tetapi juga menyesatkan dan kontradiktif, karena itu adalah penggunaan istilah
ekonomi islam harus dohentikan. Sebagai gantinya, ditawarkan istilah baru yang berasal daru
filisofi islam, yakni Iqtishad. Menurut mereka, Iqtishad bukan sekeda terjemahan dari
ekonomi, Iqtishad berasal dari bahasa arab qasd yang secara harfiah berarti “ekuilibrium”
atau “keadaan sama, seimbang atau pertengahan”.

2. Mazhab Mainstream
Mazhab mainstream berbeda pendapat dengan mazhab Baqir. Mazhab kedua ini justru setuju
bahwa masalah ekonomi muncul karena sumber daya yang terbatas yang dihadapkan pada
keinginan manusia yang tidak terbatas. Namun, jika lita berbicara pada tempat dan waktu
tertentu, maka sangat mungkin terjadi kelangkaan sumber daya. Jadi keterbatasan sumber
daya memang ada, bahkan diakui pula oleh islam. Dalil yang dipakai adalah :
“Dan sungguh akan kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,
jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah sedikit berita gembira bagi orang-orang yang
sabar” (QS Al-Baqarah : 155)
Sedangkan keinginan manusia yang tidak terbatas dianggap sebagai hal yang alamiah.
Dalilnya :
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke liang kubur. Janganlah
kamu begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu)” (QS At-Takatsur : 1 –
5)

Dengan demikian, pandangan mazhab ini tentang masalah ekonomi hampir tidak ada bedanya
dengan pandangan ekonomi konvensional. Kelangkaan sumber dayalah yang menjadi
penyebab munculnya masalah ekonomi. Perbedaannya terletak pada cara menyelesaikan
masalah tersebut. Dilema sumber daya yang terbatas versus keinginan yang tak terbatas
memaksa manusia untuk melakukan pilihan-pilihan atas keinginannya. Kemudian manusia
membuat skala prioritas pemenuhan keinginan, dari yang paling penting sampai yang paling
tidak penting. Dalam ekonomi konvensional, pemilihan dan penentuan skala prioritas
dilakukan berdesarkan selera pribadi masing-masing. Manusia boleh mempertimbangkan
tuntutan agama, boleh juga mengabaikannya. Tetapi dalam ekonomi islami, keputusan
pilihan ini tidak dapat dilakukan semaunya saja. Perilaku manusia dalam setiap kehidupanya
termasuk ekonomi selalu dipandu oleh Allah lewat Alquran dan sunnah.
Tokoh-tokoh mazhab ini antaranya M.Umer Chapra, M.A Mannan, M. Nejatullah Shiddiqi
dan lain-lain.

3. Mazhab Alternatif-Kritis
Pelopor mazhab ini adalah Timur Kuran, Jomo, Muhammad Arif, dan lain-lain. Mazhab ini
mengkritik dua mazhab sebelumnya. Mazhab Baqir dikritik sebagi mazhab yang berusaha
untuk menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya sudah ditemukan oleh orang lain.
Menghancurkan teori lama, kemudian menggantinya dengan teori baru. Sementara itu
mazhab mainstream dikritiknya sebagai jiplakan dari ekonomi neoklasik dengan
menghilangkan variabel riba dan memasukkan variabel zakat serta niat.
Mazhab ini adalah sebuah mazhab yang kritis. Mereka berpendapat bahwa analisis kritis
bukan saja harus dilakukan terhadap sosialisme dan kapitalisme, tetapi juga terhadap
ekonomi islam itu sendiri. Mereka yakin bahwa islam pati benar, tetapu ekonomi islam belum
tentu benar karena ekonomi islam adalah hasil tafsiran manusia atas Alquran dan sunnah,
sehingga nilai kebenarannya tidak mutlak. Proporsi dan teori yang diajukan oleh ekonomi
islami harus selalu diuji kebenarannya sebagimana dilakukan terhadap ekonomi
konvensional.

b. Prinsip-prinsip Umum Ekonomi Islam


Walaupun pemikiran pakar tentang ekonomi islami terbagi-bagi kedalam tiga mazhab
tersebut, namun pada dasarnya mereka setuju dengan prinsip-prinsip umum yang
mendasarinya. Prinsip-prinsip umum ini membentuk keseluruhan kerangka ekonomi islami,
yang jika diibaratkan sebagai sebuah bangunan. Bangunan ekonomi islami didasarkan atas
lima nilai universal, yakni Tauhid (keimanan), ‘Adl (keadilan), Nubuwwah (kenabian),
Khilafah (pemerintahan), dan Ma’ad (hasil). Kelima nilai ini menjadi dasar inspirasi untuk
menyusun proposisi-proposisi dan teori-teori ekonomi islami. Dari kelima nilai universal
tersebut, dibangunlah tiga prinsip derivatif yang menjadi ciri-ciri dan cikal bakal sistem
ekonomi islami. Ketiga prinsip derivatif tersebut adalah multitype ownership, freedom to act,
dan social justice. Diatas semua nilai dan prinsip yang telah diuraikan diatas, dibangunlah
konsep yang memayungi kesemuanya, yakni konsep akhlak. Kerangka bangunan tersebut
dapat divisualisasikan sebagai berikut :
1. Nilai-nilai Universal Ekonomi Islam
Tauhid (Keesaan Tuhan)
Tauhid merupakan fondasi ajaran islam. Dengan tauhid, manusia menyaksikan bahwa “tiada
sesuatupun yang layak disembah selain Allah,” dan “tidak ada pemilik langit, bumi, dan
seisinya selain daripada Allah” (QS 2: 107, 5:17, 24:33). Karena Allah adalah pencipta alam
semesta dan seisinya sekaligus pemiliknya, termasuk pemilik manusia dan seluruh sumber
daya yang ada. Tujuan diciptakan manusi adalah untuk beribadah kepada-Nya. Karena itu,
segala aktivitas manusia dalam hubungannya dengan alam (sumber daya) dan manusia
(muamalah) dibingkai dengan kerangka hubungan dengan Allah. Karena kepada-Nya kita
akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita termasuk aktivitas ekonomi dan bisnis.

‘Adl (Keadilan)
Allah adalah pencipta segala sesuatu, dan salah satu sifat-Nya adalah adil. Dia tidak
membeda-bedakan perlakuan terhadap makhluk-Nya secara zalim. Manusia sebagai khalifah
di muka bumi harus memelihara hukum Allah di bumi, dan menjamin bahwa pemakaian
segala sumber daya diarahkan untuk kesejahteraan manusia, supaya semua mendapat manfaat
daripadanya secara adil dan baik. Dalam islam, adil didefinisikan sebagai “tidak menzalimi
dan tidak terzalimi”. Implikasi ekonomi dari nilai ini adalah bahwa pelaku ekonomi tidak
dibolehkan untuk mengejar keuntungan pribadi bila hal itu merugikan orang lain atau
merusak alam.

Nubuwwah (Kenabian)
untuk umat muslim, Allah telah mengirimkan”manusia model” yang terakhir dan sempurna
untuk diteladani sampai akhir zaman, Nabi Muhammad SAW. Sifat-sifat utama sang model
yang harus diteladani oleh manusia pada umumnya dan pelaku ekonomi dan bisnis pada
khususnya, adalah sebagai berikut :
a. Shiddiq (Jujur)
b. Amanah (Tanggung jawab, kepercayaan, dan kredibelitas)
c. Fathanah (Kecerdikan, kebijaksanaan, dan intelektualitas)
d. Tabligh (Komunikasi, keterbukaan, dan pemasaran)
Dengan demikian, kegiatan ekonomi dan bisnis manusia harus mengacu pada prinsip-prinsip
yang telah diajarkan oleh nabi dan rasul.
Khilafah (Pemerintahan)
Dalam Alquran, Allah berfirman bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di bumi,
artinya untuk menjadi pemimpin dan pemakmur bumi. Oleh karena itu, pada dasarnya setiap
manusia adalah pemimpin. Nabi bersabda “Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan akan
dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya”. Dalam islam, pemerintah
memainkan peranan yang kecil, tetapi sangat penting dalam perekonomian. Peran utamanya
adalah untuk menjamin perekonomian agar berjalan sesuai dengan syariah, dan untuk
memastikan supaya tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak manusia (Hisbah). Hal ini
dicapai dengan melindungi keimanan, jiwa, akal, kehormatan, dan kekayaan (Al-Ghazali).

Ma’ad (Hasil)
Walaupun sering kali diterjemahkan sebagai “kebangkitan”, tetapi secara harfiah ma’ad
berarti “kembali”. Karena kita semua akan kembali kepada Allah. Hidup manusia bukan
hanya di dunia, tetapi harus berlanjut hingga alam setelah dunia (akhirat). Ma’ad diartikan
juga sebagai imbalan/ganjaran. Implikasi nilai ini dalam kehidupan ekonomi dan bisnis
misalnya, diformulasikan oleh Imam Al-Ghazali yang menyatakan bahwa motivasi para
pelaku bisnis adalah untuk mendapatkan laba. Laba dunia dan laba akhirat. Karena itu konsep
legitimasi dalam islam.

2. Prinsip-Prinsip Derivatif: Ciri-Ciri Sistem Ekonomi Islam


Multitype Ownership (Kepemilikan Multijenis)
Nilai tauhid dan nilai adil melahirkan konsep multitype ownership. Dalam sistem kapitalis,
prinsip umum kepemilikan yang berlaku adalah kepemilikan swasta. Dalam sistem sosialis,
kepemilikan negara. Sedangkan dalam islam, berlaku prinsip kepemilikan multijenis, yakni
mengakui bermacam-macam bentuk kepemilikan, baik oleh swasta, negara, atau campuran.

Freedom to Act (Kebebasan Bertindak/Berusaha)


Ketika menjelaskan nilai nubuwwah, kita sudah sampai pada kesimpulan bahwa penerapan
nilai ini akan melahirkan pribadi-pribadi yang profesional dan prestatif dalam segala bidang.
Keempat nilai nubuwwah ini bila digabungkan dengan nilai keadilan dan nilai khilafah akan
melahirkan prinsip freedom to act pada setiap muslim, khususnya pelaku bisnis dan ekonomi.
Freedom to act bagi setiap individu akan menciptakan mekanisme pasar dalam
perekonomian. Karena itu, mekanisme pasar adalah keharusan dalam islam, dengan syarat
tidak ada distorsi (proses penzaliman). Negara bertugas menyingkirkan atau palin tidak
mengrangi market distorsi ini.

Social Justice (Keadilan Sosial)


Gabungan nilai khilafah dan nilai m’ad akan melahirkan prinsipkeadilan sosial. Dalam islam,
pemerintah bertanggung jawab mejamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya dan
menciptakan keseimbangan sosial antara yang kaya dan yang miskin. Dalam islam, keadilan
diartikan dengan suka sama suka (antarradminkum) dan satu pihak tidak menzalimi pihak
lain (latazlimuna wa la tuzlamun).
3. TEORI KONSUMSI ISLAMI DAN TEORI PRODUKSI ISLAMI

PRINSIP KONSUMSI DALAM ISLAM

A. Pengertian Konsumsi

Islam memberikan petunjuk dan arahan kepada manusia tentang bagaimana seharusnya
manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian pula dalam hal konsumsi, islam mengatur
bagaimana manusia dapat melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang membawa manusia
berguna bagi kemaslahatan hidupnya. Seluruh aturan islam mengenai aktivitas konsumsi
terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Perilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan al-
Qur’an dan as-Sunnah ini akan membawa pelakunya dari sifat yang hina karena perilaku
konsumsinya sehingga dapat mencapai keberkahan dan kesejahteraan hidup.

Dalam konvensional, konsumsi adalah memanfaat atau menghabiskan nilai guna suatu
barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan. Sedangkan dalam islam
konsumsi tidak hanya sekedar memanfaatkan nilai guna suatu barang dan jasa namun juga
harus memperhatikan kehalalan dari barang dan cara memperolehnya (al-A’raaf:32) & (al-
Baqarah:168), harus memperhatikan orang lain, tidak boros dan berlebihan dalam
penggunaannya (al-A’raaf: 29). Inti dari konsumsi dalam islam yaitu sesuai dengan al-Qur’an
dan as-Sunnah dan mengandung maslahah ( baik dan bermanfaat).

Islam mengharamkan kaum muslimin mengkonsumsi makanan yang haram dan keji
(kotor) karena akan berdampak buruk bagi keimanan, akhlak dan kesehatan. Karena
seseorang yang mengkonsumsi makanan yang haram dan keji (kotor) pastilah dia teman dari
setan yang terkutuk.

Allah sangat membenci orang yang berlebih-lebihan. Seseorang yang berbelanja dengan israf
tanpa skala prioritas maqasbid (maslahah), sehingga lebih besar spending-nya dari
penghasilannya, maka akan mencelakan dirinya dan rumahtangganya. Dia akan terjerat
hutang dan kesulitan berkepanjangan.

B. Tujuan Konsumsi

Tujuan utama konsumsi seoarang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk
beribadah kepada Allah. Sesungguhnya mengkonsumsi sesuatu dengan niat untuk
meningkatkan stamina dalam ketaatan pengamdian kepada Allah akan menjadikan konsusmsi
itu bemilai ibadah yang dengannya manusia mendapatkan pahala. Manusia berpakaian untuk
menutup aurat agar bisa shalat, haji, bergaul sosial dan terhindar dari perbuatan mesum (
nasab). Namun, dalam melakukan kegiatan konsumsi baik makan, minum dan berpakaian
tidaklah berlebih-lebihan dimana Al-Qur 'an telah mengungkapkan hakekat tersebut dalam
firman-Nya :
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid [534], makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan[535]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang berlebih-lebihan.”( al-A’raaf:31)
Oleh karena itu, konsumen yang rasional dalam ekonomi islam adalah konsumen
yang dapat mencapai kepuasan maksimum sesuai dengan norma-norma islam dengan
istilah maslahah. Jadi tujuan konsumen muslim bukanlah memaksimumkan utility,
tetapi memaksimumkan maslahah.

Ada beberapa aturan yang dapat dijadikan sebagai pegangan untuk mewujudkan rasionalitas
dalam berkonsumsi :
a. Tidak bermewah-mewahan
Tarf adalah sebuah sikap berlebihan dan bermewah-mewahan dalam menikmati
keindahan dan kenikmatan dunia. Islam sangat membenci tarf karena merupakan
perbuatan yang menyebabkan turunya azab dan rusaknya kehidupan umat serta tarf
juga merupakan perilaku yang jauh dari nilai-nilai syariah.
Allah SWT berfirman:
“ Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu? Dalam (siksaan) angin yang amat
panas dan air panas yang mendidih, dan dalam naungan mereka sebelum itu hidup
bermewah-mewahan.” (QS. Al-Waqi’ah:41-45)
b. Pelarangan Israf, Tabdzir, dan Saif
Israf adalah melampaui batas hemat dan keseimbangan dalam konsumsi.
Tabdzir adalah melakukan konsumsi secara berlebihan dan tidak proporsional. Ulama
fiqih mendefenisikan saif adalah orang yang tidak cerdas diman ia melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan syariah dan senantiasa menuruti hawa nafsu.
Allah SWT berfirman :
“ Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya,
harta ( mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai poko
kehidupan. Berikanlah mereka belanja dan pakaian ( dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” (QS. An-Nisa’:5)
c. Keseimbangan dalam Konsumsi
Konsumsi yang dijalankan oleh seorang muslim tidak boleh mengorbankan individu
dan masyarakat. Selain itu, tidak mendikotomikan antara kenikmatan dunia dan
akhirat.
d. Larangan Mengonsumsi Barang dan Jasa Berbahaya
Allah SWT berfirman :
“ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-Ma’idah:3)
Komoditas barang dan jasa yang dikonsumsi seorang muslim harus sesuai dengan
syariat. Dalam artian, barang dan jasa tersebut termasuk kategori thayyibah (baik lagi
bermanfaat).

Rasullulah SAW bersabda, “ Makanlah, minumlah, bersedekahlah, dan berpakaianlah selama


tidak disertai sikap boros dan sombong.” (HR. Ibnu Majah)

C. Prinsip Konsumsi Islam


Konsumsi islam senantiasa memperhatikan halal-haram, komitmen dan konsekuen
dengan kaidah-kaidah dan hukum-hukum syariat yang mengatur. Adapun kaidah/ prinsip
dasar konsumsi islami adalah (AI-Haritsi, 2006):
1. Prinsip syariah, yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan
konsumsi di mana terdiri dari:
Prinsip akidah, yaitu hakikat konsusmsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan/
beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk yang
mendapatican beban khalifah dan amanah di bumi yang nantinya diminta
pertanggungjawaban oteh penciptanya.
Prinsip ilmu, yaitu. seorang ketika akan mengkonsumsi hams tabu ilmu tentang barang
yang akan dikonsumsi dan hukam-hokum yang berkaitan dengannya apakah
merupakan sesuatu yang halal atau haram balk ditinjau dari zat, proses, maupun
tujuannya.
Prinsip amaliah, sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang
konsumsi islami tersebut. Seseorang ketika sudah berakidah yang lurus dan berilmu,
maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang halal atau
syubhat.
2. Prinsip kuantitas, yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah dijelaskan dalam
syariat islam, di antaranya
Sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya tengah-tengah antara menghamburkan
harta dengan pelit, tidak bermewah-mewah, tidak mubadzir, hemat
Sesuai antara pemasukan dan pengeluaran, artinya dalam mengkonsumsi harus
disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang
Menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi
juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri
3. Prinsip prioritas, di mana memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan
agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu
primer, yaitu konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan
menegakkan kemaslahatan dirinya dunia dan agamanya serta orang terdekatnya,
seperti makanan pokok
sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup yang
lebih balk, misalnya konsumsi madu, susu dan sebagainya.
tertier, yaitu untuk memenuhi konsumsi manusia yang jauh lebih membatuhkan.
4. Prinsip sosial, yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta
kehaxmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:
Kepentingan umat, yaitu sating menanggung dan menolong sebagaimana bersatunya
suatu badan yang apabila sakit pada salah satu anggotanya, maka anggota badan yang
lain juga akan merasakan sakitnya
Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baikdalam berkonsumsi apalagi jika dia
adalah seorang tokoh atau pejabat yang banyak mendapat sorotan di masyarakatnya.
Tidak membahayakan orang yaitu dalam mengkonsumsi justru tidak merugikan dan
memberikan madharat ke orang lain seperti merokok.
5. Prinsip Moralitas, yaitu terlihat dari ajaran islam yang menganjurkan menyebut nama
Allah sebelum dan sesudah makan dan minum serta mengucapkan alhamdulillah setelah
mengkonsumsinya.
6. Kaidah lingkungan, yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan kondisi potensi
daya dukung sumber daya atam dan kebertanjutannya atau tidak merusak lingkungan
7. Tidak meniru atau mengikuti perbuatan konsumsi yang tidak emcerminknn etika
konsusmsi islami seperti sutra menjamu dengan tujuan bersenang-senang atau
memaraerka kemewahan dan menghambur-hamburkan harta.

Prinsip-prinsip dasar konsumsi islami ini akan memiliki konsekuensi bagi pelakunya:
 Pertama, seseorang yang melakukan konsumsi harus beriman kepada kehidupan Allah
dan akhirat di mana setiap konsumsi Mon berakibat bagi kehidupannya di akhirat.
Diantara prinsip utarna keimanan adatah beriman dengan hari, akhirat, yaitu beriman
kepada semua yang diberitakan oleh Allah dan. Rasul-Nya tentang apa yang akan
dialarni manusia setelah mati, balk fitnah kubur berupa nikmat dan siksanya atau hari
kiantat dan setelah itu berupa surga dan neraka beserta penghuni, segala kenikmatan dan
siksaan yang ada didalamnya sebagai akibat dari perbuatan di dunia (Muhammad:15,
Al-Bacioroh:261,245).
Salah satu implikasi terhadap keimanan hari akhir akan terejawantahkan dalam
perilaku konsumsi hidup di alam dunia. Dalam Islam konsumsi dibagi menjadi tiga,
untuk memenuhi kebutuhan pribadi, memenuhi kebutuhan keluarga yang menjadi
ianggun.gannya dan dalam rangka fisabilillah. Ketiga. jenis konsumsi inilah yang
menjadi pilihan dan prioritas manusia watak mendahulukan atau mengakhirkanya
masing-masing jenis konsumsi akan memberi makna dan nitai sangat tergantung kepada
Mat. Konsumsi pribadi jika diniatkan dalam rangka ketakwaan, supaya badan kuat
dalam menjalankan ketaatan, maka konsumsi tersebut memilih dimensi akhirat.
Sebaliknya, jika konsumsi fisabilillah tidak diniatkan ikhlas untuk mendapatkan ridho
Allah, misal demi riya' atau sum'ah, maka justru konsumsi itu menjadi tidak bernilai dan
bahkan berdampak dosa/siksa di akhirat.
 Kedua, pada hakikatnya seam anugerah dan kenikmatan dari segala sumberdaya yang
diterima manusia merupakan ciptaan dan milik Allah secara mutlak dan akan kembali
kepada-Nya (Al-Baqarah:29). Manusia hanya sebagai pengemban amanah atas bumi
untuk memakmurkannya konsekuensinya adalah manusia harus menggunakan amanah
harta yang telah dianugerahkan kepadanya pada jalan yang disyariatkan.
Syariat islamiyyah dengan segala mantran dan tatanan tentang konsumsi yang
termaktub dalam Al-Quran maupun As- Sunnah. Keduanya merupakan sumber pijakan
utama dalam akhlak perilaku berkonsumsi. Syariat islamiyyah telah menjelaskan mana
yang halal dan mana yang haram. "Sesungguhnya yang halal itu adalah jelas dan yang
haram itu adalah jelas" (HR Muslim). "Tidaldah suatu perkara (kebaikan) yang
mendekatkan kepada surga kecuali telah dijelaskan, dan tidaklah suatu perkara yang
yang menjauhkan diri kalian dari neraka kecuali telah dijelaskan" (HR Abu Dawud).
Agama islam telah sempurna dan diridhoi, sehingga tidak ada perkara yang menyangkut
agama islam kecuali telah dijelaskan Manusia sebagai hanya ciptaan Allah hanya tinggal
menjalankan segala aturan yang telah ditetapkan.
 Ketiga, tingkat pengetahuan dan ketakwaan akan mempengaruhi perilaku konsumsi
seseorang. Seseorang itu dicitai berdasarkan ketakwaanya. "Sesungguhnya. yang paling
mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa". Seseorang tidaklah
menjadi tinggi di sisi Allah hanya karma banyaknya harta kekayaan yang dimilikinya.
Bahkan seseorang yang kaya tapi sombong dengan kekayaan yang dimilikinya justru
rendah kedudukannya. Seseorang yang bertakwa tahu bagaimana menyikapi harta. Pada
saat memiliki keluasan rizki, dia tahu bahwa pada hartanya terdapat bagian untuk orang
lain melalui zakat infak dan shodaqoh. Sebaliknya, ketika Allah menetapkan sedikit atau
kurang harta, dia tetap sabar, gala' ah (merasa cukup) dan tetap bersyukur dengan
sedikit atau kurangnya harta dia tetap istiqomah di atas keislamannya, meskipun
kekurangan Dia sadar bahwa harta hanya ujian. Ujian kedermawanan bagi yang diberi
keluasan harta dan ujian kesabaran bagi yang kekurangan harta.

D. Etika Konsumsi Islam


Adapun etika konsumsi islam harus memperhatikan beberapa hal, di antaranya
Adalah :
a) Jenis barang yang konsumsi adalah barang yang baik dan halal (halalan thoyyib;
yaitu :
 Zat, artinya secara materi barang tersebut telah disebutkan dalam hukum syariah:
i. Halal, di mana asal hukum makanan adalah boleh kecuali yang dilarang, AI-
Baqoroh:168-169, An-Nahl:66-69)
ii. Haram, di mana hanya beberapa jenis makanan yang dilarang seperti: babi,
darah (Al-Baqoroh:173, Al-Maidah:3,90)
 Proses artinya dalam prosesnya telah memenuhi kaidah syariah, misalnya:
i. sebelum makan basmalah, selesai hamdalah, menggunakan tangan kanan,
bersih
ii. Cara mendapatkannya tidak dilarang, misal : riba (Ali-Imran:130),
merampas (An-Nissa':6), judi (Al-Maidah:91), menipu, mengurangi
timbangan, tidak menyebut Allah ketika disembelih, proses tercekik,
dipukul, jatuh, ditanduk kecuali yang sempat disembelih sebelum matinya
(Al-Maidah:3)
b) Kemanfaatan/kegunaan barang yang dikonsumsi, artinya lebih memberikan manfaat
dan jauh dari merugikan baik dirinya maupun orang lain.
c) Kuantitas barang yang dikonsumsi tidak berlebihan dan tidak terlalu sedikit atau
kikir/bakhil, tapi pertengahan (Al-Furqon :67), serta ketika memiliki kekayaan
berlebih harus mau berbagi melalui zakat, infak, sedekah maupun wakaf dan ketika
kekurangan harus sabar dan merasa cukup dengan apa yang dimilikinya.

Meskipun syariat telah melarang mengkonsumsi beberapa jenis barang, ternyata Allah
masih meluaskan rahmnat-Nya dengan memberikan kelonggaran ketika seseorang dalam
keadaan darurat (emergency) menyangkut kehidupannya, maka dia boleh memakan sesuatu
yang haram dengan syarat pada dasarnya tidak menginginkan dan tidak berlebihan (Al-
An'am:145). Pada sisi lain, ketika diberi keluasan harta muslimin tidak berlebihan dalam
menggunakannya, sehingga melebihi batas dan dapat menjerumuskan ke dalam pemborosan
dan menelantarkan hak-hak yang wajib.
Dalam diri seorang muslim harus berkonsumsi yang membawa manfaat (maslahat) dan
bukan. merugikan (madhorot). Konsep maslahat menyangkut maqoshiq syariat (dien, nafs,
nasl, aql, maal), artinya harus memenuhi syarat agar dapat menjaga agamanya tetap muslim,
menjaga fisiknya agar tetap sehat dan kuat, tetap menjaga keturunan generasi manuia yang
baik, tidak merusak pola pikir akalnya dan tetap menjaga hartanya berkah dan berkembang.
Konsep maslahat lebih objektif karena bertolak dari al-hajat addhoruriyat (need), yaitu
prioritas yang lebih mendesak. Konsep maslahat individu senantiasa membawa dampak
terhadap maslahat umum/sosial

Konsumsi islami berjalan secara seimbang. Menunaikan nafkah yang wajib seperti
zakat, infak, shodaqoh, wakaf, kaffaroh (tebusan) dan lainnya dalam urusan yang bermanfaat
untuk mereka yang membutuhkan. Dalam berbagai lapangan kebaikan, urusan yang
mendesak, untuk kesempurnaan agama dan dunia tanpa menimbulkan kemadharatan bagi
dirinya, keluarga atau yang lainnya.
Inilah bukti kesederhanaan, kecerdasan dan bagusnya pengaturan. Dalarn pendekatan
model keseimbangan pendapatan nasional, zakat, infak dan
shadaqah dapat dijelaskan melalui model maslahah/kesejahteraan umat manusia yang lebih
luas.
Dalam ekonomi konvensional, keseimbangan pendapatan nasional :
Y= C (I)
dimana :
Y = pendapatan nasional dalam ekonomi konvensional
C = konsumsi dalam ekonomi konvensional
Sedangkan dalam ekonomi Islam, keseimbangan pendapatan nasional menjadi :
Yi = Cd + Ca
(2)
dimana :
Yi = pendapatan nasional dalam ekonomi islam
Cd = konsumsi untuk kepentingan dunia
Ca = konsumsi untuk kepentingan akhirat, yang terdiri dari konsumsi zakat (Cz)
ditambah dengan konsumsi infak dan sadaqah (Cis),
Ca = Cz + Cis

Sebagai contoh jika diasumsikan bahwa fungsi konsumsi C = 25 + 0,75 Y, di mana


dengan zakat sebesar 2,5 % ditambah infak dan shadaqab sebesar 2,5 % justru akan
meningkatkan pendapatan nasional. Secara matematis efektifitas zakat, infak dan shadaqah
dapat dibuktikan melalui persamaan keseimbangan pendapatan nasional.
a) Demi ekonomi konvensional keseimbangan terjadi pada saat Y = C
Y=25 +0,75Y
Y — 0,75 Y = 25
Y =100 (keseimbangan)
b) Dalam ekonomi islam, kondisi muzakki (pembayar zakat, infak dan shodaqoh) telah
memiliki tambahan pendapatan untuk mustahiq (penerima zakat yaitu orang miskin).
Dalam teori konsumsi islam terdiri dari konsumsi dunia (Cd) dan konsumsi akhirat
(Ca), Ci = Cd + Ca. Karenakonsumsi akhirat (Ca = Cz + Cis), maka konsumsi Islam
menjadi
Ci = Cd+ Cz + Cis
(3)
Cd=25 +0,75Y
Cz = 0,025 Y
Cis = 0,02511
Dalam ekonomi islam keseimbangan terjadi Y = Cd + Ca
Cd =a+bY(1—z—is)
= 25 + 0,75 (Y —0,025Y
= 25 + 0,75 (0,95Y)
=25+0,7125Y

Ca = Cz + Cis
=0,025Y + 0,025Y
=0,05Y
Ci = 25 + 0,7125 Y + 0,05Y
= 25 + 0,7625 Y

Karena dalam konsmnsi islam Y = Ci, maka


Y = 25 + 0,7625 Y
Y = 105,26316, dimAna
Cd = 25 + 0,7125 (105,26316)
=100 (inurAkki)
Ca = 0,05 (105,26316)
= 5,26136 (mustahiq)

Adapun pembuktian secara grafts sebagaimana ditunjiikkan dalam Gambar


Gambar 1: Efek Multiplier ZIS Terhadap Pendapatan Nasional

C Y= EA
Y=25 + 0,76875 Y
Y= 25+ 0,75 Y

25
45∙
Y

Pemisahan antara konsumsi zakat (Oz) dengan konsumsi infak dan shadagah)
dikarenakan antara zakat dengan infak dan shadagah memiliki perbedaan konsep dalam
pungutan dan penyalurannya. Zakat merupakan kewajiban bagi muslim yang memiliki
kekayaan yang telah mencapai nishab dan haul, sedangkan infak dan shadagah merupakan
idle fund yang tidak terikat nishab dan haul maupun besaran jumlah persentase yang harus
disalurkan. Semakin besar infak dan shadagah yang disalurkan, maka semakin besar pula
dampak multipliernya bagi perekonomian.

E. Teori Nilai Guna


Untuk mengetahui kepuasan seorang konsumen dapat diilustrasikan dalam bentuk
total utility ( nilai guna total) dan marginal utility (nilai guna tambahan). Total utility adalah
jumlah seluruh kepuasan yang diperoleh dalam mengkonsumsi sejumlah barang tertentu.
Sementara itu, marginal utility adalah penambahan atau pengurangan kepuasan sebagai
akibat dari penambahan dan pengurangan penggunaan satu unit barang.

Tabel Total Utility dan Marginal Utility

Qx Tux Mux
0 0
1 10 10
2 18 8
3 24 6
4 28 4
5 30 2
6 30 0
7 28 -2
8 24 -4
9 18 -6

Tabel ini menunjukkan ketika apel yang ke-4, total nilai gunanya meningkat dan nilai
gunanya marginalnya adalah positf. Ini berarti kepuasaan seseorang memakan apel mencapa
tingkat kepuasan yang maksimal pada apel yang ke-4. Namun, ketika memakan apel yang ke-
5 total utility menurun dan marginal utilitynya adalah negatif.

Bila ia makan apel lagi, akan berkurang tingkat kepuasannya. Ini berarti lebih baik
mengkonsumsi 4 apel daripada 5 apel, karena kepuasan yang diperoleh dari memakan 4 apel
lebih besar. Dalam keadaan seperti ini, berdasarkan etika konsumsi islam, seseorang
konsumen harus menghentikan konsumsi terhadap barang tersebut. Karena hal itu
menimbulkan disutility yang dalam istilah fiqh dikenal dengan mafsadah (kerusakan)

Keadaan ini dapat digambarkan pada kurva dibawah ini:


Jumlah apel yang dimakan
Total Utility
Marginal Utility

Kepuasan bukan didasarkan atas banyaknya yang dikonsumsi tapi didasarkan atas
baik atau buruknya sesuatu itu terhadap diri dan lingkungannya sesuai dengan kaidah:
“menolak segala bentuk kemudaratan lebih diutamakan daripada menarik manfaat.”
Imam Asy-Syathibi mengatakan, bahwa kemaslahatan manusia dapat teralisasi apabila lima
unsur pokok dapat diwujudkan dan dipelihara, yaitu:
 Agama (ad-din)
 Jiwa (an-nafs)
 Akal (al-‘aql)
 Keturunan (an-nasl)
 Harta (al-mal)
Dalam pemenuhan kebutuhan unsur pokok tersebut tentu harus sesuai dengan tuntunan
syariat islam.

Mengurangi konsumsi suatu barang sebelum mencapai kepuasan maksimal adalah


prinsip konsumsi yang diajarkan rasulullah, seperti makan sebelum lapar dan berhenti
sebelum kenyang.
Dalam teori ekonomi, setiap orang akan berusaha memaksimumkan kepuasan dari barang-
barang yang dikonsumsinya. Menurut teori nilai guna, untuk mewujudkan prinsip
pemaksimuman kepuasan konsumen yang mempunyai pendapatan terbatas, dilakukan dengan
pendekatan melalui kurva kepuasan sama ( indifference curve/IC) dan garis anggaran
pengeluaran (budget line)
1. Kurva Kepuasan Sama ( indifference curve/IC)
Indifference curve/IC adalah suatu kurva yang menggambarkan gabungan dari dua
barang yang akan memberikan kepuasan yang sama besar.
Penggabungan dua barang yang sama agar kepuasan tercapai, maka akan terjadi
pengurangan/pengorbanan terhadap barang lain. Pengorbanan ini dinamakan
marginal rate of subsitution (MRS).
Untuk menjelaskan kurva ini dapat diilustrasikan sebagai berikut: Seorang
mengkonsumsi makanan dan minuman. Digambarkan dengan enam kombinasi
makanan dan pakaian yang akan memberikan kepuasan yang sama besarnya. Apabila
ia memilih kombinasi A, ia mendapatkan 20 makanan dan 1 pakaian. Kepuasannya
berbeda dengan kombinasi B, yakni 16 makanan dan 2 pakaian.
Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel:

Gabungan Barang Makanan Pakaiana


A 14 2
B 8 3
C 6 4
D 4 6
E 3 8
F 2 14

2. Budget Line
Dalam kenyataannya, konsumen tidak dapat memperoleh semua barang yang
diingikannya, sebab dibatasi oleh anggaran yang dimiliki. Persoalan yang dihadapi
konsumen adalah bagaimana membelanjakan pendapatan sehingga dapat mencapai
kepuasan maksimum. Untuk itu, perlu ada analisis budget line yang menunjukkan
berbagai gabungan barang-barang yang dapat dibeli berdasarkan anggaran yang
ditetapkan.
Misalnya, seseorang mengeluarkan uang Rp 90.000,- untuk membeli pakaian dan
minuman. Misalnya, harga makanan Rp 6.000,- dan pakaian Rp 9.000,- setiap unit.
Kalau konsumen membeli 15 unit makanan ia harus membayar Rp 90.000,- sehingga
ia tidak bisa membeli satupun pakaian.Untuk menentukan kombinasi yang paling
baik, ia harus menghitung berapa banyak yang diperoleh dari kombinasi untuk
memaksimalkan pengeluaran total. Untuk lebih jelas kombinasi dari makanan dan
pakaian dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Kombinasi Makanan Pakaiana


A 15 0
B 12 2
C 9 4
D 6 6
E 3 8
F 0 10

Teori budget line ini bila dihubungkan dengan teori konsumsi islami menunjukkan,
bahwa seseorang dalam melakukan kegiatan konsumsi tidak hanya memperhitungkan
jumlah barang yang diperolehnya, tapi juga memperhatikan skala prioritas dan sisi
kemaslahatan dari berbagai barang yang akan dibeli.
Skala prioritas yang ditekankan mengaju pada tingkat kemaslahatan hidup manusia
meliputi: pertama, kemaslahatan dharuri (kebutuhan pokok) yakni Agama (ad-din),
Jiwa (an-nafs), Akal (al-‘aql), Keturunan (an-nasl), Harta (al-mal), kedua, kemaslahatan
hajjii (kebutuhan sekunder), ketiga, kemaslahatan tahsini (kebutuhan tertier). Dalam
pemenuhan ketiga kebutuhan tersebut aspek dharuri harus lebih didahulukan.

F. Kebutuhan (need) dan Keinginan (want)


Kebutuhan meliputi kebutuhan fisik dasar akan makanan, pakaian, keamanan,
kebutuhan sosial, serta kebutuhan individu akan pengetahuan, dan suatu keinginan untuk
mengekspresikan diri.
Sedangkan keinginan adalah sesuatu yang terkait dengan hasrat atau harapan seseorang, jika
dipenuhi belum tentu meningkatkan kesempurnaan fungsi manusia ataupun sesuatu.
Dalam perspektif ekonomi islam, pemenuhan kebutuhan diawali dengan kebutuhan
pokok yang merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sedangkan kebutuhan
yang bersifat sekunder yakni kebutuhan yang bersifat pelengkap yang mengokohkan,
menguatkan, dan melindungi kebutuhan yang bersifat hajjii. Jika kebutuhan ini tidak
terpenuhi, kehidupan pokok telah dipenuhi dengan baik. Dan begitupun dengan kebutuhan
tertier yang berfungsi menambah keindahan dan kesenangan hidup manusia.
Islam tidak melarang manusia untuk memenuhi kebutuhan ataupun keinginannya.
Selama hal itu mendatangkan kemaslahatan dan tidak mendatangkan mafsadah. Jadi,
parameter yang membedakan antara kebutuhan dan keinginan bisa lebih fleksible tergantung
pada kondisi ekonomi pendidikan serta pekerjaan seseorang.

G. Permintaan Islami

Pada dasarnya permintaan dalam islam memiliki faktor yang relatif sama, tapi
perbedaan mendasarnya adalah pada variabel tingkat ketakwaan /keimanan/kaidah dari
seorang muslim, di mana memperhatikan kaidah-kaidah syariah. Oleh sebab itu, fungsi
permintaan islami adalah:

Qdi = f (Px, Py, I, T, A)


(4)
Di mana Qdi adalah permintaan barang menurut islam dipengaruhi oleh harga barang
yang diminta, harga barang lain sebagai substitusi dan komplementer barang yang diminta,
pendapatan yang dimiliki, selera terhadap jenis barang yang diminta dan tingkat
keimanan/kaidah konsumen.
Dalam pembentukan kurva permintaan islami pada dasarnya ditentukan jenis barang
yang akan dikonsumsi, yaitu:
1. Barang halal, artinya jika barang itu adalah secara zatnya adalah barang yang
diperboleh.kan/halal secara syariah, maka dibedakan menjadi:
a. Al-haajat ad-dhoruriyat (needs), di mana permintaannya adalah hanya sebatas
kebutuhan dasar untuk fisik badannya agar tetap kuat dan sehat, sehingga kurva
permintaannya adalah inelastis semptuna
b. Ar-roghbat at-tahsiniyyat (wants), di mana permintaannya adalah sesuai
dengan kebutuhan yang lebih balk bagi fisiknya dan tidak berlebihan,
sehingga kurva permintaannya bersifat inelastis
c. Hedonistik materialistic, di mana permintaannya adalah inelastis
sempuma berhimpitan dengan sumbu harga (P), artinya tidak ada yang
diminta karena bersifat kemewahan dan kesombongan
d. Ibadah, di mana permintAanya adalah semakin besar seiring dengan
semakin besarnya tingkat keimana, sehingga tingkat kecondongannya
(slope) positif antara iman terhadap jumlah barang yang diminta.
1. Barang haram, artinya jikajenis barang tersbut adalah haram maka pada dasarnya barang
itu tidak boleh (permintaannya adalah nol), tapi dapat diperinci:
a. Tidak darurat, di mana permintaannya adalah inelastis sempuma
berhimpitan dengan sumbu harga (P), artinya tidak ada yang diminta
karena haram
b. Darurat, di mana permintaannya berupa titik (demand point) sesuai
dengan kadar kebutuhan untuk hidupnya saja dan tidak berlebihan serta
secara fitrah tidak menyukainya.

Secara grafis, beberapa model permintaan islami untuk permintaan barang halal
hedonis dan ibadah.
Gambar 1
Kurva Permintaan Islami
(Halal darurat dan tahsiniyah)

P
D Inelastis sempurna pada Q
qona’ah kebutuhan darurat/mendasar

Kurva permintaan islami barang


halal dan darurat (basic need)

0 Q darurat Q

P
D
Elastisitas <0, sewajarnya
Tidak berlebihan

Kurva permintaan islami barang


halal dan ar-roghbat at-tahsiniyat (want)

0 Q

Konsumsi/permintaan barang yang haram selain secara syariat dilarang, konsumennya


berdosa dan nanti di akhirat mendapat balasan berupa siksa, konsumsi barang haram jugs
memberikan dapak yang tidak baik, di antaranya adalah (Al-Haritsi, 2006): (1) Merusak
agama, karena telah melanggar syariat; (2) pengaruh terhadap ibadah menjadi tidak khusyu'
dan tingkat keikhlasannya berkurang; (3) pengaruh terhadap akhlak yang semakin rusak dan
jelek; (4) pengaruh terhadap kesatuanumat; (5) pengaruh terhadap kesehatan; (6)
menimbulkan kerusakan dan kemerosotan; (7) menimbulkan kehinaan dan
kenistaan hidup; dan (8) menimbulakan kehancuran ekonomi dan kemandekan produksi.

PRODUKSI DALAM ISLAM

Dalam Islam, barang yang ingin diproduksi, proses produksi, serta proses distribusi
harus sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dalam arti, semua kegiatan yang bersentuhan dengan
proses produksi dan distribusi harus dalam kerangka halal. Bagi seorang produsen muslim,
ada beberapa nilai yang dijadikan sebagai sandaran motivasi untuk melakukan proses
produksi. Pertama, profit bukanlah merupakan satu-satunya elemen pendorong bagi seorang
muslim untuk melakukan produksi, sebagaimana halnya yang terjadi pada sistem kapitalisme.
Walaupun demikian, Islam tidak menafikan hal tersebut. Dalam konteks teori produksi dalam
Islam, profit yang halal dan adil menjadi salah satu motivator bukan merupakan satu-satunya
tujuan.

Kedua, seorang produsen muslim harus memperhatikan dampak sosial (social return)
sebagai akibat atas proses produksi yang dilakukan. Produksi, harus memperhatikan efek
negatif yang dapat merugikan lingkungan, seperti; limbah produksi, pencemaran lingkungan,
kebisingan, ataupun hal lain yang dapat mengganggu ketentraman hidup masyarakat. Dengan
adanya proses produksi pada suatu lingkungan masyarakat diharapkan, akan mampu
mengatasi salah satu problematika sosial, yaitu masalah pengangguran. Human Resources
Manager (bagian personalia) seharusnya melakukan recruitment terhadap masyarakat yang
disesuaikan dengan kemampuan masing-masing, sehingga salah satu masalah sosial dapat
diselesaikan.

Selain itu, barang yang diproduksi seorang muslim, harus merefleksikan kebutuhan
dasar masyarakat. Ada beberapa barang dan jasa yang menjadi prioritas dan didahulukan
untuk diproduksi. Seyogyanya, produsen muslim tidak akan memproduksi barang dan jasa
yang bersifat tersier dan sekunder, selama kebutuhan primer masyarakat terhadap barang dan
jasa belum terpenuhi.

Ketiga, nilai-nilai spiritualisme. Dalam berproduksi, seorang muslim harus


memperhatikan nilai-nilai spiritualisme. Dalam arti, nilai tersebut harus dijadikan sebagai
penyeimbang untuk melakukan produksi. Di samping produksi bertujuan untuk mendapatkn
profit yang maksimal, seorang muslim harus mempunyai keyakinan bahwa apa yang ia
lakukan hanyalah semata-mata untuk mencari ridla Allah. Segala kegiatan produksi yang
dilakukan oleh seorang muslim, harus dalam kerangka menjaga perintah dan larangan Allah.
Dalam menetapkan harga atas barang dan jasa seyogyanya tidak ada pula pihak yang
terdzalimi, harus tetap menjaga nilai-nilai keadilan. Upah yang diberikan kapada karyawan
harus mencerminkan daya dan upaya yang telah dilakukan oleh karyawan, sehingga tidak
terdapat pihak yang tereksploitasi. Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai
spiritualisme merupakan pondasi dasar bagi seorang muslim untuk melakukan produksi.
Allah berfirman;

“ Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan “.(Al Qashas; 77).

Tujuan-Tujuan Produksi
Tujuan produksi dapat dibagi dalam dua tujuan utama, yaitu :
1. Kebutuhan primer tiap individu
Setiap muslim diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer hidupnya.
Tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer dapat menimbulkan masalah mendasar bagi
manusia lain menyangkut soal kehidupan sehari-hari dan dapat mempengaruhi ibadah
seseorang seperti dikemukakan dalam al-Qur’an :
5 (‫َو َ ال تُ ْؤتُوا ال ُّسفَهَا َء َأ ْم َواَل ُك ُم الَّتِي َج َع َ ل هَّللا ُ َل ُ ك ْم قِيَا ًما َوارْ ُُزقوهُ ْم فِيهَا َوا ْ كسُوهُ ْم َُوق ُولوا َلهُ ْم ( َقوْ ً ال َم ْع ُر ًوفا‬
Artinya : “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya,
harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.
Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-
kata yang baik.” (QS. An-Nisa : 5)

Islam menyediakan sarana hokum untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan primer


bagi setiap individu dengan pembolehan hak milik pribadi dan mewajibkan bekerja bagi yang
mampu dengan melakukan tindakan dalam menghasilkan komoditas baik barang maupun
jasa, yang disebut dengan produksi pada sumber-sumber ekonomi seperti pertanian,
perindustrian dan perdagangan.

2. Kebutuhan primer bagi seluruh rakyat


Dalam hal ini Negara berkewajiban untuk menjamin, pengaturannya dan
operasionalnya. Termasuk dalam kebutuhan-kebutuhan primer rakyat keseluruhan adalah
keamanan, pengobatan, dan pendidikan seperti sabda Rasulullah SAW dalam satu hadis :
20
‫ حدثنا مروان بن معاوية حدثنا‬: ‫حدثناعمرو بن ما لك و محمود بن خداش البغدادي قال‬
‫عبد الرحمن بن أبو شليمة األنصاري عن سلمة بن عبيد هللا بن محصن الخطمي عن أبيه‬
‫ من أصبح منكم امنا فى سربه‬:‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫وعانت له صحبه قال‬
7 .‫معافى في جسده عنده قوت يومه فكأنما حيزت له الدنيا‬
Artinya : “….Siapa yang ketika memasuki pagi hari mendapat keadaan aman kelompoknya,
sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu maka seolah-olah dunia telah
dimilikinya.”
Dalam literature fiqih tersedia cukup banyak pembahasan tentang tanggung jawab
Negara-negara menjamin bahwa seseorang tidak akan dibiarkan hidup sengsara tanpa adanya
bantuan
Prinsip-Prinsip Produksi
Prinsip-prinsip produksi (Mustofa Edwin,2006) adalah sebagai berikut

1. Tugas manusia di muka bumi sebagai khalifah Allah adalah memakmurkan bumi dengan
ilmu dan amalnya, karena sifat tersebut juga harus melandasi aktivitas manusia dalam
pemanfaatan bumi dan langit dan segala isinya.
2. Islam selalu mendorong kemajuan di bidang produksi. Menurut Yusuf Qardhawi, Islam
membuka lebar penggunaan metode ilmiah yang didasarkan pada penelitian, eksperimen, dan
perhitungan. Akan tetapi Islam tidak membenarkan penahanan terhadap hasil karya ilmu
pengetahuan dalam arti melepaskan dirinya dari Al-Qur’an dan hadis.
3. Teknik produksi diserahkan kepada keinginan dan kemampuan manusia seperti sabda nabi:
“kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian”.
4. Dalam berinovasi dan bereksperimen . pada prinsipnya agama Islam menyukai
kemudahan, menghindari mudarat dan memaksimalkan manfaat. Sesungguhnya Islam
menyuruh bekerja dan berbuat, bersikap hati-hati dan melaksanakan selama persyaratan.
Tawakal dan sabar adalah konsep penyerahan hasil kepada Allah SWT sebagai pemilik hak
prerogratif yang menentukan segala sesuatu setelah segala usaha dan persyaratan dipenuhi
dengan optimal.

FAKTOR PRODUKSI
Di kalangan para ekonom muslim, belum ada kesepakatan tentang faktor-faktor produksi.
(M. Nejatullah S., 1400). Faktor produksi yang disebutkan masing-masing ulama terdapat
perbedaan. Antara lain, Al Maududi dan Abu Suud menjelaskan faktor produksi terdiri atas
tanah (land), modal (capital), kerja (labor). Berbeda dengan yang disampaikan oleh M.A.
Mannan, beliau menyebutkan, faktor produksi hanyalah tanah, dan kerja. Menurut Mannan,
capital bukanlah merupakan faktor produksi yang independen, dikarenakan capital bukan
merupakan faktor ashal(asli), ia hanya merupakan manifestasi dan barang musytaq (hasil)
atas suatu pekerjaan. Sebenarnya, capital merupakan derivasi dari faktor produksi
kerja(labor). Dalam term konvensional, capital yang telah diberikan menuntut adanya return,
dan biasanya berupa interest rate (bunga). Walau demikian, terdapat kritik atas pendapat
Mannan, yang menjelaskan bahwa capital bukan merupakan faktor independen dalam proses
produksi;

a. Kita menyadari, capital merupakan manifestasi amal yang telah dikerjakan. Akan
tetapi, dewasa ini capital sudah dianggap sebagai faktor yang independen dan
mempunyai peran sendiri bagi produksi. Dalam sistem produksi modern, capital
merupakan sebuah kelaziman bagi proses produksi yang akan dilakukan. Diakui,
capital mempunyai kontribusi yang cukup berarti dalam proses menghasilkan barang
dan jasa ketika bergabung dengan faktor produksi yang lainnya. Selain itu, dengan
adanya capital, barang dan jasa yang dihasilkan mempunyai utility lebih dari yang
lain.
b. Yang dimaksud dengan capital, bukanlah uang semata. Uang hanya merupakan
medium of exchange (alat pembayaran) yang akan berubah menjadi capital setelah
uang tersebut diinvestasikan. Dalam pemahaman ekonomi, capital adalah semua
infrastruktur yang berfungsi untuk menjaga eksistensi sebuah perusahaaan. Seperti;
mesin, alat-alat produksi, transportasi, dan lainnya. Atas kontribusinya dalam
meningkatkan nilai suatu barang dan jasa, capital berhak mendapat return
(kompensasi). Return yang diberikan tidak harus berupa harga yang fixed (pre-
determined), akan tetapi bisa diwujudkan dengan uang sewa ataupun prosentase (bagi
hasil) atas profit yang didapatkan.

Menurut Al Najjar, faktor produksi hanya terdiri dari dua elemen, yaitu kerja (labor),
dan capital. Al Najjar berpendapat, land merupakan bagian dari capital, sedangkan
manajemen merupakan manifestasi pekerjaan. Abu Sulaiman menyatakan, kerja bukanlah
merupakan faktor produksi, pemikiran tersebut muncul berdasarkan atas falsafah kapitalisme
yang menganggap produksi merupakan tujuan akhir kegiatan ekonomi. Menurut dia, faktor
produksi hanya terdiri capital, dan land (M. Nejatullah Siddiqi, ibid). Menurut syariah,
hukum asal dalam bermuamalah (bertransaksi) adalah ibahah (diperbolehkan) sepanjang
tidak ditemukan nash atau dalil yang melarang atas langkah dan tindakan yang kita ambil.
Maka, tidak ada salahnya apabila kita (Islam) mengadopsi pemikiran konvensionl tentang
faktor-faktor yang berfungsi sebagai elemen penunjang kegiatan produksi. Dapat
disimpulkan, faktor-faktor produksi adalah kerja, modal (capital) ,dan sumber daya alami
(natural resources), dengan pemahaman yang berbeda.

MEKANISME PASAR ISLAMI


Objek dari ilmu ekonomi adalah produsen, konsumen dan government. Dimana ke
semua objek tersebut akan dipertemukan dalam mekanisme pasar, baik pasar tenaga kerja,
pasar barang ataupun pasar modal. Dengan keta lain, mekanisme pasar adalah terjadinya
interaksi antara permintaan dan penawaran yang akan menentukan tingkat harga tertentu.
Pasar: Pemikiran Ilmuwan Muslim
Catatatan tertulis ulama klasik muslim tentang mekanisme pasar misalnya dapat kita
jumpai dalam kitab Al-Kharaj (Abu Yusuf 731-798), kitab Ihya Ulumuddin (Al-Ghazali
1058-1111), kitab Majmu Fatawa Syakh Al-islami dan kitab Al-hisbah fi al-Islami(Ibnu
Taimiyah1263-1328). Dan kitab muqaddimah (Ibni Khaldun 1332-1404).
Abu Yusuf tercatat sebagai ulama terawal yang mulai menyinggung mekanisme pasar. Ia
misalnya memperhatikan peningkatan dan penurunan produksi dalam kaitannya dengan
perubahan harga. Dalam literatur kontemporer, fenomena yang berlaku pada masa Abu Yusuf
dapat dijelaskan dalam teori permintaan. Teori ini menjelaskan hubungan antara harga
dengan banyaknya kuantitas yang diminta. Dimana hubungan harga dan kuantitas dapat
diformulasikan sebagai berikut :
D = Q = f(P)
Formulasi ini menunjukkan bahwa pengaruh harga dengan kuantitas suatu komoditi adalah
negatif. Dapat disimpulkan bahwa hukum permintaan mengatakan bila harga komoditi naik,
maka akan direspon oleh penurunan jumlah barang yang diminta, dan sebaliknya. Abu Yusuf
membantah pemahaman seperti ini, karena pada kenyataanya tidak selalu terjadi bahwa bila
persediaan barang sedikit harga akan mahal, dan bila persediaan barang melimpah harga
akan murah. Abu Yusuf menyatakan,
“Kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi harganya mahal dan kadang-kadang makanan
sedikit tetapi murah”
Dari pernyataan tersebut tampaknya Abu Yusuf menyangkal pendapat mengenai hubungan
terbalik antara persediaan barang dengan harga karena pada kenyataannya harga tidak
bergantung pada permintaan saja, tetapi juga tergantung pada kekuatan penawaran. Abu
Yusuf menyatakan,
“Tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal tersebut
ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan karena melimpahnya
makanan, demikian juga mahal tidak disebabkan karena kelangkaan makanan. Murah dan
mahal merupakan ketentuan Allah”

Al-Ghazali : Keseimbangan Penawaran dan Permintaan


Walaupun Al-Ghazali tidak menjelaskan permintaan dan penawaran dalam terminologi
modern, beberapa paragraf dalam tulisannya jelas menunjukkan bentuk kurva penawaran dan
permintaan. Untuk kurva penawaran, dinyatakan “Jika petani tidak mendapatkan pembeli
dan barangnya, maka ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah”.

Al-Ghazali juga memahami konsep elastisitas permintaan, kutipannya ialah :


“Mengurangi margin keuntungan dengan menjual pada harga lebih murah akan
meningkatkan volume penjualan dan pada gilirannya hal ini akan meningkatkan
keuntungan”.

Anda mungkin juga menyukai