Anda di halaman 1dari 3

BAB III

SOLUSI PERMASALAHAN

3.1 Permasalahan Kawasan Eks-Tambang Batubara


Kawasan eks-tambang batubara pada umumnya meninggalkan dampak bagi
lingkungan, khususnya pada dampak negatif. Hal ini disebabkan oleh kegiatan eksploitasi
batubara yang melibatkan sejumlah kerusakan seperti pengupasan top soil atau lapisan
organik pada lahan, perubahan bentuk permukaan bumi, meningkatnya nilai pH tanah,
permasalahan lahan kritis, serta dampak lainnya. Permasalahan tersebut seringkali terjadi
pada perusahaan pertambangan yang tidak memperhatikan dampak lingkungan, seperti yang
terjadi pada sejumlah perusahaan tambang batubara di Kabupaten Kutai Kartanegara,
Provinsi Kalimantan Timur. Biaya pengelolaan kawasan eks-tambang batubara yang cukup
besar serta kurangnya nilai ekonomi pada kegiatan pasca eksploitasi tambang batubara
menjadi sebagian kecil dari penyebab kurangnya kesadaran perusahaan-perusahaan
pertambangan batubara di Kabupaten Kutai Kartanegara.
Melalui pemberitaan Prokal.co (2018), setidaknya tercatat 224 desa dari 841 desa di
Provinsi Kalimantan Timur yang terancam dan beresiko tinggi akan keberadaan kawasan eks-
tambang batubara, dimana Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan kabupaten dengan
resiko paling tinggi dikarenakan terdapat hampir 600 izin usaha tambang yang tersebar di
seluruh wilayah. Menurut Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kutai
Kartanegara, menyebutkan bahwa terdapat 23.974,224 hektare lahan yang mengalami
kerusakan serius akibat kegiatan eksploitasi tambang batubara. Sebaran kerusakan terdapat di
sejumlah kecamatan, yakni di Kecamatan Loa Janan, Loa Kulu, Tenggarong Seberang,
Samboja, Muara Jawa, Sangasanga, Anggana, Muara Badak dan Muara Kaman. Akan tetapi
yang baru dapat dipulihkan hanya 8.876,105 hektare serta revegetasi seluas 9.851,583
hektare. Selebihnya dari luasan tersebut masih aktif maupun telah berhenti produksi dan
dalam tahap penataan pasca eksploitasi. Belakangan ini Kabupaten Kutai Kartanegara
merupakan lokasi dari sebagian wilayah Ibukota Negara Baru (IKN) yang menjadi beranda
bagi negara ini di mata dunia. Apabila permasalahan pengelolaan lahan pasca eksploitasi
tambang batubara di Kabupaten Kutai Kartanegara tidak dapat diselesaikan, maka tidak
hanya berdampak pada lingkungan melainkan pada kehidupan.
3.2 Solusi Pengelolaan Lahan Pasca Eksploitasi Tambang Batubara
Dalam menyelesaikan permasalahan sebagaimana dijelaskan pada sub-bab
sebelumnya, diperlukan sebuah solusi yang dapat menjawab permasalahan tersebut. Adapun
solusi yang dapat diterapkan dalam pengelolaan lahan pasca eksploitasi tambang batubara
dijelaskan sebagai berikut ini.

3.2.1 Pemanfaatan Sumber Daya Lokal (In-Situ)


Pemanfaatan sumberdaya lokal (in-situ) menjadi sangat penting untuk dilakukan
dalam usaha pemulihan atau reklamasi lahan bekas tambang. Investasi yang diperlukan untuk
pemulihan lahan bekas tambang tergolong tinggi. Pendekatan pemanfaatan sumberdaya lokal
yang tersedia secara in-situ, misalnya sebagai sumber bahan organik dan bahan pembenah
tanah, merupakan salah satu opsi untuk menekan biaya reklamasi. Sumberdaya lokal yang
dapat dikelola dan digunakan dalam proses reklamasi lahan bekas tambang diantaanya adalah
kompos dari kotoran sapi, jerami, rumput lokal, dan tumbuhan air; biochar dari pupuk
kandang, sekam padi, ranting kayu dan serbuk gergaji; serta pembenah tanah lainnya seperti
lumpur sungai, abu batubara. Bahan-bahan tersebut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
kualitas lahan bekas tambang, akibat dari ketersediaan tanah lapisan atas yang sangat
terbatas.

3.2.2 Penerapan Teknologi Fitoremediasi


Fitoremediasi, teknik yang melibatkan tumbuhan berklorofil untuk mengurangi
kandungan polutan pada tanah dan air, cukup menjanjikan sebagai alternatif teknologi untuk
membersihkan lingkungan dari polutan karena dinilai efektif, efisien, lebih ekonomis dan
bersifat berkelanjutan.
Hal ini karena fitoremediasi mampu mengurangi kandungan air asam tambang (AAT),
penyebab tingginya kandungan logam dalam air dan tanah dengan cara menyerap logam
tersebut melalui akar tumbuhan.
Para ahli menyebutkan, melalui sistem rawa buatan, salah satu sistem pengelolaan
AAT dengan tumbuhan sebagai pengakumulasi logam dalam air maupun tanah dengan
tanaman air kelompok enceng gondok dan Lepironia sp. secara aerobik dan anaerobik yang
dikombinasikan dengan sistem kapur anoksik mampu menaikkan pH AAT yang tadinya
rendah yaitu 2,8 menjadi 7. Selain itu juga mampu menurunkan turbiditas dan konduktivitas,
menyisihkan sulfat sekitar 67-90%, logam Fe mencapai 100% dan Al 93-97%.
Penelitian lainnya juga membuktikan, enceng gondok mampu mengurangi konsentrasi
logam berat pada AAT tanpa banyak menunjukkan gejala keracunan. Hal ini karena enceng
gondok mempunyai sistem perakaran serabut dan mempunyai kecepatan pertumbuhan yang
tinggi sehingga akumulasi biomassanya juga besar.
Selain mampu mengurangi kandungan AAT, hasil penelitian lainnya menunjukkan
fitoremediasi juga mampu memperbaiki kesuburan tanah pada lahan bekas tambang batubara.
Penggunaan tumbuhan yang mampu berasosiasi dengan bakteri atau mikoriza akan sangat
membantu dalam proses pemulihan kesuburan tanah.
Menurut para ahli, berbagai jenis fungi mikoriza arbuskula (FMA) mampu
bersimbiosis dan berperan dalam stabilisasi serta penyerapan logam berat pada lahan kritis.
Tumbuhan Brassicaceae dan Carryophylaceae yang dikenal sebagai tumbuhan
hiperakumulator logam berat serta kelompok Leguminosae yang bersimbiosis dengan bakteri
penambat nitrogen banyak dimanfaatkan sebagai jenis tanaman dalam revegetasi dan
reklamasi lahan bekas tambang.
3.2.3 Pemanfaatan Lahan Bekas Tambang untuk Budidaya Tanaman Karet
Tanaman karet adalah salah satu tanaman yang berpotensi digunakan sebagai tanaman
reklamasi lahan bekas tambang, karena mempunyai adaptasi yang tinggi, dapat hidup pada
dataran rendah sampai tinggi tempat 700 m dpl, dari beriklim kering hingga curah hujan
mencapai 3.000 m/tahun, dari tanah berliat tinggi sampai tekstur tanah lepas. Tanaman karet
dapat menyediakan bahan organik setiap tahun dari guguran daunnya. Karet mempunyai sifat
menggugurkan daun secara berkala sekali setahun, guguran daun tersebut selain menambah
kandungan bahan organik juga meningkatkan jumlah mikroorganisme di dalam tanah.
3.2.4 Restorasi Lahan Bekas Tambang dengan Tanaman Lokal
Pemilihan dan penggunaan tanaman jenis lokal dalam kegiatan restorasi akan lebih
memberikan jaminan keberhasilan karena jenis tersebut relatif lebih adaptif. Selain itu,
menggunakan jenis lokal berarti telah menjaga keutuhan genetik dari populasi jenis lokal,
serta mencegah terjadinya kemungkinan terjdinya invasi spesies dari jenis-jenis eksotik atau
non lokal.

Sumber:
https://kaltim.prokal.co/read/news/347708-akibat-tambang-kerusakan-meradang
https://www.korankaltim.com/advertorial/read/10346/23-ribu-hektare-lahan-rusak-akibat-tambang

Anda mungkin juga menyukai