Kawasan eks-tambang batubara pada umumnya meninggalkan dampak bagi lingkungan, khususnya pada dampak negatif. Hal ini disebabkan oleh kegiatan eksploitasi batubara yang melibatkan sejumlah kerusakan seperti pengupasan top soil atau lapisan organik pada lahan, perubahan bentuk permukaan bumi, meningkatnya nilai pH tanah, permasalahan lahan kritis, serta dampak lainnya. Permasalahan tersebut seringkali terjadi pada perusahaan pertambangan yang tidak memperhatikan dampak lingkungan, seperti yang terjadi pada sejumlah perusahaan tambang batubara di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Biaya pengelolaan kawasan eks-tambang batubara yang cukup besar serta kurangnya nilai ekonomi pada kegiatan pasca eksploitasi tambang batubara menjadi sebagian kecil dari penyebab kurangnya kesadaran perusahaan-perusahaan pertambangan batubara di Kabupaten Kutai Kartanegara. Melalui pemberitaan Prokal.co (2018), setidaknya tercatat 224 desa dari 841 desa di Provinsi Kalimantan Timur yang terancam dan beresiko tinggi akan keberadaan kawasan eks- tambang batubara, dimana Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan kabupaten dengan resiko paling tinggi dikarenakan terdapat hampir 600 izin usaha tambang yang tersebar di seluruh wilayah. Menurut Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kutai Kartanegara, menyebutkan bahwa terdapat 23.974,224 hektare lahan yang mengalami kerusakan serius akibat kegiatan eksploitasi tambang batubara. Sebaran kerusakan terdapat di sejumlah kecamatan, yakni di Kecamatan Loa Janan, Loa Kulu, Tenggarong Seberang, Samboja, Muara Jawa, Sangasanga, Anggana, Muara Badak dan Muara Kaman. Akan tetapi yang baru dapat dipulihkan hanya 8.876,105 hektare serta revegetasi seluas 9.851,583 hektare. Selebihnya dari luasan tersebut masih aktif maupun telah berhenti produksi dan dalam tahap penataan pasca eksploitasi. Belakangan ini Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan lokasi dari sebagian wilayah Ibukota Negara Baru (IKN) yang menjadi beranda bagi negara ini di mata dunia. Apabila permasalahan pengelolaan lahan pasca eksploitasi tambang batubara di Kabupaten Kutai Kartanegara tidak dapat diselesaikan, maka tidak hanya berdampak pada lingkungan melainkan pada kehidupan. 3.2 Solusi Pengelolaan Lahan Pasca Eksploitasi Tambang Batubara Dalam menyelesaikan permasalahan sebagaimana dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, diperlukan sebuah solusi yang dapat menjawab permasalahan tersebut. Adapun solusi yang dapat diterapkan dalam pengelolaan lahan pasca eksploitasi tambang batubara dijelaskan sebagai berikut ini.
3.2.1 Pemanfaatan Sumber Daya Lokal (In-Situ)
Pemanfaatan sumberdaya lokal (in-situ) menjadi sangat penting untuk dilakukan dalam usaha pemulihan atau reklamasi lahan bekas tambang. Investasi yang diperlukan untuk pemulihan lahan bekas tambang tergolong tinggi. Pendekatan pemanfaatan sumberdaya lokal yang tersedia secara in-situ, misalnya sebagai sumber bahan organik dan bahan pembenah tanah, merupakan salah satu opsi untuk menekan biaya reklamasi. Sumberdaya lokal yang dapat dikelola dan digunakan dalam proses reklamasi lahan bekas tambang diantaanya adalah kompos dari kotoran sapi, jerami, rumput lokal, dan tumbuhan air; biochar dari pupuk kandang, sekam padi, ranting kayu dan serbuk gergaji; serta pembenah tanah lainnya seperti lumpur sungai, abu batubara. Bahan-bahan tersebut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas lahan bekas tambang, akibat dari ketersediaan tanah lapisan atas yang sangat terbatas.
3.2.2 Penerapan Teknologi Fitoremediasi
Fitoremediasi, teknik yang melibatkan tumbuhan berklorofil untuk mengurangi kandungan polutan pada tanah dan air, cukup menjanjikan sebagai alternatif teknologi untuk membersihkan lingkungan dari polutan karena dinilai efektif, efisien, lebih ekonomis dan bersifat berkelanjutan. Hal ini karena fitoremediasi mampu mengurangi kandungan air asam tambang (AAT), penyebab tingginya kandungan logam dalam air dan tanah dengan cara menyerap logam tersebut melalui akar tumbuhan. Para ahli menyebutkan, melalui sistem rawa buatan, salah satu sistem pengelolaan AAT dengan tumbuhan sebagai pengakumulasi logam dalam air maupun tanah dengan tanaman air kelompok enceng gondok dan Lepironia sp. secara aerobik dan anaerobik yang dikombinasikan dengan sistem kapur anoksik mampu menaikkan pH AAT yang tadinya rendah yaitu 2,8 menjadi 7. Selain itu juga mampu menurunkan turbiditas dan konduktivitas, menyisihkan sulfat sekitar 67-90%, logam Fe mencapai 100% dan Al 93-97%. Penelitian lainnya juga membuktikan, enceng gondok mampu mengurangi konsentrasi logam berat pada AAT tanpa banyak menunjukkan gejala keracunan. Hal ini karena enceng gondok mempunyai sistem perakaran serabut dan mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tinggi sehingga akumulasi biomassanya juga besar. Selain mampu mengurangi kandungan AAT, hasil penelitian lainnya menunjukkan fitoremediasi juga mampu memperbaiki kesuburan tanah pada lahan bekas tambang batubara. Penggunaan tumbuhan yang mampu berasosiasi dengan bakteri atau mikoriza akan sangat membantu dalam proses pemulihan kesuburan tanah. Menurut para ahli, berbagai jenis fungi mikoriza arbuskula (FMA) mampu bersimbiosis dan berperan dalam stabilisasi serta penyerapan logam berat pada lahan kritis. Tumbuhan Brassicaceae dan Carryophylaceae yang dikenal sebagai tumbuhan hiperakumulator logam berat serta kelompok Leguminosae yang bersimbiosis dengan bakteri penambat nitrogen banyak dimanfaatkan sebagai jenis tanaman dalam revegetasi dan reklamasi lahan bekas tambang. 3.2.3 Pemanfaatan Lahan Bekas Tambang untuk Budidaya Tanaman Karet Tanaman karet adalah salah satu tanaman yang berpotensi digunakan sebagai tanaman reklamasi lahan bekas tambang, karena mempunyai adaptasi yang tinggi, dapat hidup pada dataran rendah sampai tinggi tempat 700 m dpl, dari beriklim kering hingga curah hujan mencapai 3.000 m/tahun, dari tanah berliat tinggi sampai tekstur tanah lepas. Tanaman karet dapat menyediakan bahan organik setiap tahun dari guguran daunnya. Karet mempunyai sifat menggugurkan daun secara berkala sekali setahun, guguran daun tersebut selain menambah kandungan bahan organik juga meningkatkan jumlah mikroorganisme di dalam tanah. 3.2.4 Restorasi Lahan Bekas Tambang dengan Tanaman Lokal Pemilihan dan penggunaan tanaman jenis lokal dalam kegiatan restorasi akan lebih memberikan jaminan keberhasilan karena jenis tersebut relatif lebih adaptif. Selain itu, menggunakan jenis lokal berarti telah menjaga keutuhan genetik dari populasi jenis lokal, serta mencegah terjadinya kemungkinan terjdinya invasi spesies dari jenis-jenis eksotik atau non lokal.