Anda di halaman 1dari 26

PENGELOLAANKAWASAN EKS-TAMBANG BATUBARA PASCA EKSPLOITASI

YANG BERKELANJUTAN DAN BERWAWASAN LINGKUNGAN


STUDI KASUS PT. KALTIM PRIMA COAL
Mata Kuliah : Wawasan Teknologi Lingkungan

Dosen Pengampu:
Intan Dwi Wahyu Setyo Rini, S.T., M.T.

Disusun Oleh:
Mohammad Arif Yuniar (07171046)
Cintiya (08171009)
Frigate Rario Yusuf (08171022)
Hairun Nisa (08171023)
Muhammad Fauzi (07181052)

INSTITUT TEKNOLOGI KALIMANTAN


BALIKPAPAN
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA)
yang sangat besar. Salah satu kekayaan alam indonesia adalah material dalam bumi yang
untuk mendapatkannya harus dilakukan penambangan, material tersebut berupa berupa batu
bara.
Provinsi yang memiliki sumber daya alam sektor pertambangan salah satunya adalah
provinsi Kalimantan Timur. Menurut UU No 4 tahun 2009 pasal 1 ayat 1, Pertambangan
adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan
pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi
kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan
penjualan, serta kegiatan pascatambang. Setelah kegiatan penambangan dilakukan
selanjutnya melakukan reklamasi. Menurut UU No 4 tahun 2009 pasal 1 ayat 26, Reklamasi
adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata,
memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi
kembali sesuai peruntukannya. (UU No 4 Tahun 2009)
Berdasarkan data yang di himpun oleh “Jaringan Advokasi Tambang” (JATAM), di
kalimantan timur terdapat sebanyak 1.735 lubang tambang yang dibiarkan dan tidak
dilakukan reklamasi oleh perusahaan tambang dan telah memakan korban jiwa sebanyak 36
orang. (JATAM, 2019).
Sebagai lokasi yang akan menjadi ibu kota negara, perlu untuk dilakukan kajian terkait
pengeloaan lahan bekas tambang menjadi kawasan dengan daya guna ekonomis di
kalimantan timur yang nantinya akan berguna untuk menyokong ibu kota negara serta
meningkatkan per ekonomian masyarakat sekitar lahan bekas tambang.

1.2 Rumusan Masalah


Permasalahan pada tugas besar wawasan teknolongi lingkungan ini adalah :
Bagaimana langkah pengembangan serta pengelolaan lahan bekas tambang yang
berkelanjutan di kalimantan timur guna menyokong ibu kota negara?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari tugas besar wawasan teknolongi lingkungan ini adalah:

1
Untuk mengembangkan serta mengelola lahan bekas tambang menjadi kawasan dengan
daya guna ekonomis guna menyokong ibu kota negara.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pertambangan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan
batubara, pertambangan ialah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral, atau batubara yang meliputi penyidikan
umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,
pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
1. Penyidikan umum
Tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regional dan
indikasi adanya mineralisasi
2. Eksplorasi
Memperoleh informasi secara terperinci dan teliti mengenai lokasi, bentuk, dimensi,
sebaran, kualitas serta sumber daya terukur dari bahan galian, dan infomasi mengenai
lingkungan sosial dan hidup
3. Studi kelayakan
Mendapatkan informasi mengenai keseluruhan aspek yang berkaitan untuk menentukan
kelayakan ekonomis dan teknis usaha termasuk analisis mengenai dampak lingkungan
serta perencanaan pascatambang.
4. Konstruksi
Pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak
lingkungan
5. Penambangan
Memproduksi mineral dan atau batubara mineral ikutannya
6. Pengolahan
Meningkatkan mutu mineral dan atau batubara serta untuk memanfaatkan dan
memperoleh mineral ikutan
7. Pengangkutan
Memindahkan mineral dan atau batubara dari daerah tambang atau tempat pengolahan
dan pemurnian sampai ke tempat penyerahan
8. Penjualan
Menjual hasil pertambangan mineral atau batubara

3
9. Pascatambang
Kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh
kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi
sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan
Kemudian selain itu, berdasarkan Badan Pusat Statistik Pertambangan ialah kegiatang
penggalian suatu galian yang bernilai serta berharga yang berasal dari dalam kulit bumi, baik
pada permukaan bumi, bawah bumi, maupun di bawah permukaan air atau laut. Galian yang
dihasilkan berupa salah satunya ialah minyak yang digunakan sebagai bahan bakar minnyak
kendaraan, kemudian itu terdapat gas bumi, pasir besi, bijih nikel, bijih tembaga, bijih emas,
bijih mangan, bijih timah, bijih bauksit, dan batu bara. Lalu tahapan dari pertambangan antara
lain ialah
1. Prospeksi
Prospeksi merupakan penyelidikan atau pencarian dalam menemukan endapan alam
2. Eksplorasi
Setelah dilakukannya prospeksi kemudian dilakukannya eksplorasi yang merupakan
kegiatan untuk mendapatkan ukuran, posisi, kadar rata-rata, serta bentuk dari endapan
alam tersebut
3. Eksploitasi
Pada tahapan ini dilakukannya kegiatan yang melibatkan lebih banyak pekerja karna
untuk mengangkut, pengambilan, bahan galian tersebut hingga ke tempat pencucian
atau pengolan, hingga ke tempat pemasaran
4. Pengolahan
Setelah dilakukannya eksploitasi kemudian dilakukannya pemurnian ataupun
meninggikan kadar dari bahan galian yang telah diangkur dengan cara memisahkan
bahan galian yang berharga dengan bahan galian yang tidak berharga. Lalu setelah
dipisahkan, bahan galian yang tidak berharga tersebut dibuang dengan salah satu
caranya ialah menggunakan bahan kimia.

2.2 Dampak dari Pertambangan


Setiap kegiatan pastinya memiliki dampak baik dari positif serta negatif, termasuk dari
kegiatan dari penambangan. Berdasarkan dari Fachlevi, putri, simanjuntak (2015) diketahui
dampak positif dari pertambangan ialah terciptanya peluang kerja dan peningkatan aktivitas
ekonomi local. Kemudian dampak negatif dari pertambangan ialah, berubahnya kelestarian
alam dan lingkungan dari bentuk topografinya, terbentuknya lubang yang besar, gangguan

4
hidrologi, penurunan mutu udara dan hilangnya ekosistem alami. Lalu, pertiwi (2011)
menyatakan bahwa pertambangan memiliki dampak negatif karna merusak fisik lingkungan
antara lain yaitu jalan, pencemaran dari udara, air, serta menimbulkan kebisingan.
Kemudian berdasarkan Homenauck dalam Hadi (2005) dampak sosial ekonomi
dikategorikan dalam kelompok real impact dan special impact. Dari sisi real impact dampak
yang ditemui ialah akibat dari aktivitas proyek, pra konstruksi, konstruksi, operasi, dan pasca
operasi. Contoh dari dampak tersebut ialah migrasi penduduk, kebisingan, dan polusi udara.
Kemudian dari sisi special impact ialah dampak yang berasal dari presepsi masyarakat
terhadap resiko dari adanya proyek. Lalu berdasarkan Apriyanto dan Rika (2012) dampak
kegiatan pertambangan barubara pada aspek social ialah memicu timbulnya migrrasi yang
masuk, timbulnya kejadian konflik, merenggangnya hubungan kekerabatan, dan
menimbulkan praktek prostitusi yang dilegalkan pemerintah daerah. Lalu dari aspek
ekonomi, menambah peluang usaha untuk masyarakat sekitar. Dengan demikian bahwa
aktivitas pertambangan batubara memiliki perubahan terhadap kualitas lingkungan

2.3 Kebijakan Pengelolaan Tambangan di Provinsi Kalimantan Timur


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan
batubara menimbang
a. bahwa mineral dan batubara yang terkandung wilayah hukum pertambangan Indonesia
merupakan kekayaan alam yang tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
yang mempunyai peranaan penting dalam memenuhi hajat orang banyak, karena itu
pengelolaannya harus dikuasai oleh negara untuk memberi nilai tambah secara nuata
bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat secara berkeadilan
b. bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan
usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah
mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada
pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan;
c. bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional,
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan sudah tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan
perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat
mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal,

5
transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna menjamin
pembangunan nasional secara berkelanjutan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan mineral dan batubara
menimbang bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang pertambangan mineral dan batubara perlu menetapkan peraturan pemerintah
tentang pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan
mineral dan batubara.
Kemudian berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor
26 Tahun 2018 tentang pelaksanaan kaidah pertambangan yang baik dan pengawasan
pertambangan mineral dan batubara menimbang bahwa untuk memberikan suatu pedoman
pelaksanaan kaidah Teknik pertambangan yang baik sebagaimana dumaksud pada Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara serta untuk
melaksanakan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan pengellaan usaha pertambangan mineral dan batubara, perlu
menetapkan peraturan menteru energi dan sumber daya mineral tentang pelaksanaan kaidah
pertambangan yang baik dan pengawasan pertambangan mineral dan batubara.

2.4 Upaya Kegiatan Pasca Tambang


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara, menjelaskan bahwa reklamasi merupakan kegiatan yang dilakukkan sepanjang
sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki
kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya.
Kegiatan reklamasi menghubungkan dengan kegiatan pertambangan, yaitu memperbaiki atau
memulihkan kembali lahan dan vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak akibat dampak dari
kegiatan usaha pertambangan dan energi, serta dilakukkan secara oprimal sesuai dengan
peruntukkannya.
Restorasi merupakan tindakan upaya dengan membawa ekosistem yang telah
terdegradasi kembali menjadi semirip mungkin dengan kondisi aslinya atau sebelumnya.
Rehabilitas merupakan kegiaan dalam memperbaiki, memulihkan kembali dan
meningkatan kondisi lahan yang telah rusak (kritis) agar dapat berfungsi secara optimal, baik
sabagai undsur produksi, media pengatur tata air, maupun sebagai unsur dalam perlindungan
alam lingkungan.

6
2.5 Pemeliharaan Pasca Penambangan
Pemeliharaan yang dilakukkan pasca penambangan (Parasdita dalam Oktoruna, 2017),
diantaranya
1. Pemeliharaan Lereng (Jenjang)
Jika dimensi lereng yang digunakan menunjukkan bahwa lereng akhir penambangan
dalam keadaan stabil, dilakukkannya pemeliharaan lereng lebih didominasi dengan cara
penanaman pohon di jenjang akhir penambangan sebagai bentuk upaya dari revegetasi serat
mengambil atau mengeruk batuan di jenjang yang menggantung jika ada.
2. Pemeliharaan Tanaman Revegetasi
Tujuan dalam pemeliharaan tanaman revegetasi pasca penambangan adalah untuk
menjaga semua tanaman yang direvegetasi tumbuh baik dan sehat. Pemeliharaan ini dapat
menjaga semua jenis tumbuhan yang ditanam agar tidak mengalami gangguan atau
kerusakan, baik disebabkan karena kegiatan manusia ataupun akibat dari kegiatan hama dan
penyakit yang dapat menyerang tanaman.
3. Pemeliharaan Lubang Bekas Penambangan
Pemeliharaan terhadap lubang bekas kegiatan penambangan, bertujuan untuk mencegah
banjir atau meluapnya air ke permukaan, dikarenakan seluruh bekas penambangan
dimanfaatkan sebagai kolam resapan dan koram kerambah ikan. Upaya yang akan dilakukkan
dengan cara pemantauan terhadap jenjang, saluran air di sekeliling lubang dan tanggul
penahan air.
4.

7
BAB III
SOLUSI PERMASALAHAN

3.1 Permasalahan Kawasan Eks-Tambang Batubara


Kawasan eks-tambang batubara pada umumnya meninggalkan dampak bagi
lingkungan, khususnya pada dampak negatif. Hal ini disebabkan oleh kegiatan eksploitasi
batubara yang melibatkan sejumlah kerusakan seperti pengupasan top soil atau lapisan
organik pada lahan, perubahan bentuk permukaan bumi, meningkatnya nilai pH tanah,
permasalahan lahan kritis, serta dampak lainnya. Menurut Muhdar (2015), eks-tambang
batubara memiliki kerentanan tinggi terhadap kerusakan ekologis dan bahkan menyimpan
bencana ekologis pada masa depan apabila perlindungan terhadap hutan tidak dilindungi.
Permasalahan tersebut seringkali terjadi pada perusahaan pertambangan yang tidak
memperhatikan dampak lingkungan, seperti yang terjadi pada sejumlah perusahaan tambang
batubara di Provinsi Kalimantan Timur. Biaya pengelolaan kawasan eks-tambang batubara
yang cukup besar serta kurangnya nilai ekonomi pada kegiatan pasca eksploitasi tambang
batubara menjadi sebagian kecil dari penyebab kurangnya kesadaran perusahaan-perusahaan
pertambangan batubara di Provinsi Kalimantan Timur. Disamping itu, pemerintah kurang
berhati-hati dalam memberikan kebijakan terkait eksploitasi mineral batubara terutama dalam
memberikan izin dan memperketat pengawasan tindakan usaha pertambangan ilegal. Hal ini
menyebabkan munculnya tambang ilegal yang tidak bertanggung jawab serta meninggalkan
kerusakan secara masif melalui bekas lubang tambang yang ditinggalkan.
Belakangan ini Provinsi Kalimantan Timur ditetapkan sebagai lokasi wilayah Ibukota
Negara (IKN) baru Republik Indonesia. sebagai IKN, Provinsi Kalimantan Timur perlu untuk
membenahi permasalahan defortasi yang terjadi akibat eksploitasi batubara yang dilakukan
melalui tambang terbuka (open pit mining). Terlebih lagi pada lokasi IKN terletak berdekatan
dengan wilayah-wilayah konsesi usaha pertambangan batubara, diantaranya pada Kabupaten
Kutai Kartanegara dimana terdapat hampir 600 izin usaha tambang batubara dengan
kerusakan lahan serius seluas 23.974,224 ha yang tersebar di lima kecamatan yang berbatasan
langsung dengan IKN baru. Adapun lahan yang mampu dipulihkan sebesar 9.851,583 ha.
Melihat kondisi yang demikian, perlu bagi perusahaan tambang pemilik konsesi serta
pemerintah menemukan solusi yang tepat mereklamasi lokasi eks-tambang batubara pasca
eksploitasi.
Kalimantan Timur merupakan provinsi dengan deposit batubara terbesar kedua nasional
yakni 28%, dimana formasi batuan penyusun yang membentang sepanjang pesisir timur

8
pulau Kalimantan menyimpan cadangan mineral yang besar. Mineral tersebut tertimbun
dibawah sejumlah hutan yang menutupi kawasan tersebut dengan kedalaman tanah yang
tidak terlalu dalam. Hal ini yang mendasari tambang terbuka sebagai metode yang efektif
dalam mengeksploitasi mineral batubara pada sejumlah wilayah di Kalimantan Timur (Sari,
2007). Adapun Subarudi (2013) menjelaskan bahwa kegiatan tambang terbuka sangat
berkontribusi terhadap laju deforestasi dan degradasi hutan. Tercatat bahwa laju pertumbuhan
luasan lahan kritis di Provinsi Kalimantan Timur yang diakibatkan oleh kegiatan
pertambangan adalah 300 ha per tahun, dimana sebelumnya seluas 1.840.181 ha pada tahun
2007 meningkat menjadi 2.8444.134 pada tahun 2011. Adapun perubahan drastis pada luasan
lahan kritis yang sebelumnya 16.124 ha pada tahun 2007 menjadi 325.357 ha pada 2011.
Deforetasi yang disebabkan oleh kegiatan eksploitasi tambang memberikan efek buruk bagi
lingkungan serta keberlangsungan generasi selanjutnya. Maka dari itu, perusahaan pemegang
izin usaha tambang batubara perlu untuk melakukan langkah dalam mereklamasi bekas
kegiatan eksploitasi yang dilakukan. Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan (2013)
menyebutkan bahwa tidak semua pemegang izin PKP2B (Perjanjuan Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara) mereklamasi area konsesinya. Tercatat terdapat 111 unit IPPKH
yang membuka izin pembukaan lahan pertambangan sebesar 81.129 ha, namun yang
dilakukan reklamasi sebesar 28.487 ha atau hanya 35% dari luas lahan yang dibuka.
Disamping itu sejumlah kawasan yang telah direklamasi dinilai kurang memuaskan,
khususnya pemilihan pohon untuk revegetasi. Tanaman endemik bukan menjadi prioritas
perusahaan dalam mengganti hutan yang telah dirusak, melainkan jenis-jenis tanaman yang
cepat tumbuh di lahan tersebut. Sehingga perusahaan pemegang IPPKH yang dinyatakan
berhasil dalam merevegetasi lahan eks-tambang adalah 12 dengan luasan 892,9 ha atau
37,6% dari luas reklamasi
Deforestasi yang terjadi di Provinsi Kalimantan Timur menjadi tantangan besar bagi
perusahaan tambang dalam bertanggung jawab keberlanjutan sumberdaya alam. Salah satu
ancaman yang tengah dihadapi pada saat ini adalah Taman Nasional Kutai yang berlokasi di
Sangatta, Kabupaten Kutai Timur. Lokasi Taman Nasional Kutai bertepatan pada seberang
kegiatan eksploitasi yang dilakukan oleh PT. Kaltim Prima Coal yang dibatasi oleh Sungai
Sangatta. Taman Nasional Kutai merupakan rumah bagi sejumlah flora dan fauna endemik
Kalimantan Timur, diantaranya 1.148 jenis flora yang teridentifikasi (32 jenis anggrek, 76
jenis Dipterocarpaceae dan 254 jenis tumbuhan obat). Disamping itu terdapat pula 368 jenis
burung dan 80 jenis mamalia (Balai TN Kutai, 2017). Kegiatan eksploitasi mineral batubara
yang dilakukan oleh PT. Kaltim Prima Coal cukup memberi ancaman, mengingat lokasi yang

9
berdampingan dengan TN Kutai. Hal ini dapat ditunjukkan melalui peta lokasi studi Taman
Nasional Kutai dan PT. Kaltim Prima Coal pada Gambar 3.1 sebagai berikut.

10
Gambar 3.1 Peta Lokasi Studi Taman Nasional Kutai dan PT. Kaltim Prima Coal 1
Sumber: Olahan Penulis, 2020
Kegiatan penambangan terbuka (open pit mining) yang dilakukan oleh PT. Kaltim
Prima Coal menyebabkan pembukaan lahan secara masif serta menghapus ribuan hektar
hutan yang dimulai sejak tahun 1988. Penambangan diawali dengan pengerukan permukaan
tanah yang menyebabkan terkupasnya lapisan top soil, lapisan dengan unsur organik yang
kaya. Hal tersebut menyebabkan larutnya lapisan tersebut dan kadar zat hara pada lahan
menurun drastis. Keberadaan zat hara sangat membantu keberlangsungan makhluk hidup,
khususnya tanaman. Sehingga apabila unsur zat hara mendekati nihil pada suatu wilayah,
akan sulit untuk suatu tumbuhan dapat bertahan hidup. Disamping itu, keberadaan
penambangan terbuka pun menjadi ancaman bagi tanaman dan satwa yang memiliki habitat
di lokasi penambangan. Tanpa adanya zat hara maka tumbuhan tidak dapat tumbuh pada
lahan serta satwa tidak dapat hidup apabila tidak adanya habitat. Dalam jangka waktu yang
dekat, kepunahan pada tumbuhan serta satwa lokal akan semakin besar peluang untuk terjadi.
Apabila kegiatan penambangan terbuka yang dilakukan oleh PT. Kaltim Prima Coal tidak
memperhatikan lingkungan, kerusakan dapat berdampak langsung pada Taman Nasional
Kutai. Oleh sebab itu diperlukan solusi yang dapat mengembalikan kondisi alam pada
kawasan eks-tambang batubara pasca eksploitas, sehingga dapat meminimalisir dampak
negatif dari kegiatan tambang terbuka.

Gambar 3.2 Tambang Terbuka PT. Kaltim Prima Coal


Sumber: www.kpc.co.id

3.2 Solusi Pengelolaan Lahan Pasca Eksploitasi Tambang Batubara


Dalam menyelesaikan permasalahan sebagaimana dijelaskan pada sub-bab sebelumnya,
diperlukan sebuah solusi yang dapat menjawab permasalahan tersebut. Adapun solusi yang
dapat diterapkan dalam pengelolaan lahan pasca eksploitasi tambang batubara diperlukan
solusi yang efektif dan tepat sasaran karena lahan pasca eksploitasi tambang batu bara

1
memiliki jenis tanah yang berbeda dari tanah pada umumnya. Sehingga pemilihan jenis
tanaman sangat penting dalam menentukan keberhasilan proses revegetasi. Kesalahan dalam
pemilihan jenis menghantarkan pada kegagalan revegetasi. Pada lahan bekas tambang
batubara yang sangat terbuka dengan tanah yang marginal maka jenis yang dipilih sebaiknya
memiliki kriteria sebagai berikut (Balai Besar Penelitiaan Dipterokarpa, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan, 2016):

1. Jenis tanah yang cepat tumbuh namun tidak memerlukan kadar hara yang tinggi
Jenis yang cepat tumbuh adalah jenis yang relatif lebih efektif dalam menyerap air,
unsur hara dan energi matahari serta CO2, karena percepatan pertumbuhan berkaitan
erat dengan proses metabolisme fisologis terutama fotosintesa. Oleh karena kondisi
tanah bekas tambang kondisinya miskin unsur hara, maka perlu dipertimbangkan
pemilihan jenis cepat tumbuh yang tidak rakus hara. Jenis yang cepat tumbuh biasanya
relatif lebih cepat membentuk sistem percabangan untuk membentuk strata tajuk. Strata
tajuk yang rimbun akan mengurangi intensitas cahaya matahari yang jatuh ke lantai
hutan sehingga dapat menurunkan suhu dan penguapan air serta menjaga kelembaban
udara di bawah tajuk. Strata tajuk juga dapat berfungsi dalam mengurangi laju angin
dan mengurangi energi kinetik butiran air hujan yang jatuh ke atas permukaan tanah
sehingga dapat melindungi kerusakan fisik tanah dari hantaman air hujan yang dapat
merusak agregat tanah dan mudah terbawa erosi. Tanaman yang cepat tumbuh sangat
berperan dalam mempercepat proses pembentukan iklim mikro dan perbaikan kondisi
tanah sehingga mempercepat pula proses suksesi vegetasinya kerena menciptakan
kondisi yang memungkinkan bagi masuk dan tumbuhnya jenis vegetasi lain.

2. Merangsang datangnya vektor pembawa biji


Jenis terpilih sebaiknya memiliki daya tarik bagi hadirnya satwa liar misalnya
memiliki bunga, buah, biji atau daunnya disuka satwa liar. Biasanya jenis yang disukai
satwa di hutan adalah kelompok jenis Ficus spp karena kelompok jenis ini dapat
memproduksi banyak buah dan disukai hampir oleh seluruh jenis satwa liar. Pada
beberapa jenis ficus biasanya mempunyai percabangan yang dapat memberikan
kenyamanan bagi kehadiran burung dan atau sebagai tempat bersarang. Kondisi seperti
ini akan mempercepat dalam merangsang hadirnya satwa seperti kelompok avifauna.
Satwa liar yang datang diharapkan membawa biji dalam tinja yang dibuangnya pada
lahan yang direstorasi. Bila kondisi iklim mikro memungkinkan maka akan tumbuh

2
menjadi generasi baru. Pengaliran biji jenis baru ke lokasi yang direstorasi tergantung
pada ketersediaan sumber biji dari lokasi hutan terdekat. Jarak menjadi pembatas bila
wilayah jelajah satwa pembawa biji tidak luas. Menurut Parrota et al. (1997), hadirnya
regenerasi jenis baru yang dibawa satwa liar tergantung pada jarak yang ditempuh
satwa dari hutan terdekat sebagai sumber benih, daya tarik tanaman untuk satwa liar
dan kondisi lingkungan iklim mikro di tempat jatuhnya biji yang memungkinkan
tumbuhnya propagul baru.
Lebih bagus lagi bila jenis terpilih dapat merangsang hadirnya kelompok semut,
cacing dan jenis-jenis mikroorganisme tanah lainnya, yang dapat mempengaruhi
struktur dan rongga-rongga tanah serta mempercepat proses penguraian serasah dan
nutrien untuk peningkatan kesuburan tanah.
Jenis yang memiliki peran mempercepat proses suksesi disebut sebagai Katalitik
jenis. Jenis Katalitik adalah jenis yang mampu merangsang kehadiran, pertumbuhan
dan perkembangan jenis lain pada lahan yang direstorasi melalui penciptaan iklim
mikro dan perbaikan tanah (Cherr, Schplberg dan Sorley, 2006). Oleh karena itu dalam
kegiatan revegetasi lahan bekas tambang diperlukan pemilihan jenis yang bersifat
katalitik untuk menciptakan kondisi yang preferable bagi hadir dan tumbuhnya spesies
lain pada lahan yang di revegetasi.

3. Jenis lokal pioner


Jenis pioner memerlukan banyak cahaya dan mampu tumbuh pada lahan marginal
sehingga secara teoritis cocok untuk lahan bekas tambang yang terbuka dan miskin
hara. Sitorus dan Badri (2008) menyarankan menggunakan jenis lokal dalam kegiatan
revegetasi karena jenis lokal karena mudah beradaptasi dengan kondisi setempat yang
marginal. Dengan kemampuan adaptasi yang baik akan mengurangi resiko kegagalan
dan memberikan jaminan keberhasilan pertumbuhan yang lebih baik daripada jenis
yang didatangkan dari luar habitatnya.
Secara ekologis jenis pioner lokal dipastikan sangat sesuai dengan iklim setempat.
Namun demikian kondisi tanah pada lahan yang akan dilakukan kegiatan revegetasi
mungkin akan menjadi pembatas bagi pertumbuhan tanaman, oleh karena itu ujicoba
jenis perlu dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis mana yang mampu tumbuh dan
lebih adaftif pada kondisi habitat yang berbeda dari habitat aslinya. Disisi lain upaya
upaya yang berhubungan dengan peningkatan kesuburan tanah tetap diperlukan untuk
meningkatkan keberhasilan pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik..

3
4. Mudah dan murah dalam perbanyakan, penanaman dan pemeliharaan
Jenis terpilih sebaiknya mudah dibudidayakan. Misalnya jenis yang memproduksi
buah dalam jumlah banyak. Jenis pioner biasanya berbuah kecil-kecil dalam jumlah
banyak untuk membangun soil seed bank. Jenis yang akan dipilih diharapkan adalah
jenis-jenis yang mudah hidup dan dari segi biaya baik pada saat penanaman maupun
pasca penanaman dalam hal ini pemeliharaannya relatif murah.

5. Menghasilkan serasah yang banyak dan mudah terdekomposisi


Sebagian besar jenis cepat tumbuh biasanya juga menghasilkan serasah yang relatif
banyak dan diharapkan mudah dan cepat terdekomposisi. Serasah adalah bahan organik
penting pembentuk agregat tanah, struktur tanah dan pencegah erosi (Giddens dan Rao,
1975). Sebelum terdekomposisi serasah juga dapat berperan sebagai mulsa yang dapat
membantu meningkatkan kelembaban tanah. Serasah yang terdekomposisi berperan
penting dalam perbaikan sifat fisik, kimia dan bilogi tanah. Mudah terdekomposisi
berarti mampu menyerap air, memiliki kandungan kimia yang kaya karbohidrat, dan
tidak banyak mengandung lignin serta zat-zat lainnya yang sulit diuraikan. Pada kondisi
seperti ini serasah dapat berfungsi sebagai media tumbuh berbagai mikroorganisme
pengurai untuk merombak serasah menjadi bahan organik yang dibutuhkan bagi
pertumbuhan tanaman. Disisi lain bertambahnya bahan organik dalam jangka waktu
tertentu dapat merubah warna tanah menjadi coklat hingga hitam, merangsang granulasi
agregat, menurunkan plastisitas, kohesi dan meningkatan kemampuan menahan air
(Soepardi, 1983). Kondisi tanah seperti ini sangat dibutuhkan untuk mempercepat
kesuburan tanah dan tingkat pertumbuhan tanaman.

6. Sistim perakaran yang baik dan mampu bersimbiosis dengan mikroba tertentu
Akar memiliki peran penting sebagai penopang tumbuhnya pohon, penyerap dan
sekaligus alat transport air dan mineral bagi tanaman. Jenis yang akan dipilih untuk
kegiatan reklamasi pasca tambang sebaiknya memiliki sistem perakaran yang baik dan
mampu bersimbiosi dengan jenis jamur dan bakteri tertentu. Akar yang tumbuh baik
adalah yang mempunyai sistem perakaran dengan asosiasi tanaman inang dan jamur
mikoriza sehingga meningkatkan penyerapan unsur hara, memperbaiki struktur tanah
meningkatkan toleransi tanaman terhadap kekeringan juga faktor pengganggu lain,
seperti salinitas tinggi, logam berat, dan ketidakseimbangan hara. Bila terjadi simbiosis

4
antara bakteri maupun jamur dengan akar maka terjalin sinergi yang menguntungkan
bagi kedua belah pihak karena ketersediaan unsur hara dan air sangat terbatas pada
lahan marginal.

Hal penting setelah mempertimbangkan keenam karakter di atas, adalah mencari


informasi karakteristik lahan yang akan ditanam seperti informasi sifat fisik tanah (tekstur,
solum dan kelembaban) dan kimia tanah (pH, KTK), informasi curah hujan, angin,
temperatur, topografi, hama dan penyakit serta hewan lokal yang ada di sekitar lokasi, setelah
informasi itu terkumpul barulah pemilihan jenis diputuskan dengan menyesuaikan dengan
kondisi yang ada.
Dari ke enam karakter tersebut diatas, jenis-jenis yang telah diuji coba dilapangan dan
berhasil baik antara lain (Setiadi 2003): Macaranga hypoleuca, Vitex pubescens, Trema
orientalis, Endospermum diadenum, Mallotus spp., Ficus spp Hibiscus tiliaceus, Ploiarium
alternifolium, Melastoma sp., Adenanthera sp, Neonauclea sp., dan Cratoxylon sp..
Perusahaan pertambangan besar biasanya memiliki komitmen yang relatif lebih baik
dalam melaksanakan reklamasi dan revegetasi lahan pasca tambang. Pengelolaan lingkungan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan penambangan. Salah satu pengelolaan
lingkungannya adalah reklamasi lahan pasca penambangan. Berdasarkan Kepmen. PE No.
1211.K/008/M.PE/95 reklamasi didifinisikan sebagai kegiatan yang bertujuan memperbaiki
atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan
umum, agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai dengan peruntukannya. Sesuai dengan
definisinya, tujuan utama reklamasi adalah menjadikan kawasan yang rusak atau tak berguna
menjadi lebih baik dan bermanfaat. Berikut adalah adalah penerapan solusi reklamasi lahan
pasca tambang (Balai Besar Penelitiaan Dipterokarpa, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan, Kementerian Kehutanan, 2016):

3.2.1 Pemulihan Lahan Pasca Tambang sebagai Habitat Satwa


PT. Kaltim Prima Coal (KPC), pemegang kuasa penambangan batu bara yang berlokasi
di Kutai Timur, Kalimantan Timur, menerapkan ekstraksi bahan galian dengan sistem
terbuka. Sejak beroperasi PT. KPC memiliki komitmen untuk memulihkan kerusakan
lingkungan dengan melakukan kegiatan reklamasi dan revegetasi pasca tambang. Reklamasi
dan revegetasi areal bekas tambang di PT KPC dimulai sejak tahun 1996 sampai 2009 dengan
luas lebih dari 5000 ha. Sebelum dilakukan penanaman bibit dengan jarak tanam (3 x 6) m
dilakukan penanaman dengan tanaman legum penutup tanah (legume cover crops = LCC)

5
untuk mempersiapkan kondisi lahan yang sesuai untuk mendukung pertumbuhan yang baik
bagi tanaman pohon. Jenis yang ditanam antara lain adalah johar (Cassia siamea), laban
(Vitex pubescens), ketapang (Terminalia catapa), sengon falcataria), gmelina (Gmelina
arborea), jabon (Anthocephalus chinensis). Keberhasilan kegiatan ini dapat dilihat dari
struktur vegetasi dan profil tegakan di hutan revegetasi pada tingkatan pohon umur 6 tahun,
10 tahun dan 12 tahun. Perlakuan lain juga dapat dilihat di beberapa plot revegetasi dengan
penanaman pionir yang diselingi dengan jenis meranti-merantian (Shorea spp.).

Tanaman hasil revegetasi pada areal bekas tambang kini telah membentuk ekosistem
hutan dan telah mampu memberikan fungsi-fungsi hutan, seperti sebagai penjaga dan
pemulih kesuburan tanah, pengatur tata air, pengendali iklim mikro dan habitat berbagai jenis
satwaliar. Beberapa areal yang telah direvegetasi tersebut bahkan telah mampu memberikan
habitat bagi orangutan (Pongo pygmaeus) dan satwa liar lainnya seperti beruang madu
(Helarctos malayanus), Kucing congkok (Prionailurus bengalensis), Pelanduk napu (Tragulus
napu), dan Kijang Muntjak (Muntiacus muntjak) (Boer et. al. 2009).

Selain satwa yang telah disebutkan di atas, ternyata Rusa Sambar juga termasuk di
dalamnya. Hutan reklamasi bekas tambang batu bara di Sangata, Kalimantan Timur,
mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai habitat satwa khususnya satwa herbivora,
yaitu rusa sambar (Rusa unicolor) yang merupakan jenis rusa setempat. Penangkaran rusa
dimungkinkan karena areal bekas tambang ditumbuhi oleh beberapa jenis rumput dan legum
yang berpotensi dalam penyediaan hijauan pakan bagi satwa herbivora, khususnya rusa. Jenis
rumput tersebut tumbuh terhampar sebagai padang perumputan (grazing area) yang
umumnya ditanam secara sengaja untuk perbaikan ekosistem lingkungan bekas tambang.
Nurrahmadani (2013) menyatakan bahwa habitat asli rusa sambar berupa hutan payau atau
berair, tetapi dengan berkembangnya areal perkebunan kelapa sawit di habitat rusa sambar
tersebut rusa tetap mampu bertahan dan dapat berkembang biak dengan baik.
Rusa sambar menggunakan vegetasi hutan dataran rendah, hutan rawa air tawar, padang
rumput, dan semak belukar (Mustari et al. 2012). Garsetiasih (2007) menyatakan bahwa jenis
semak dan legum yang biasa dimakan rusa di antaranya pacing (Costus speciasus) dan
kaliandra (Calliandra callothyrsus). Amiati et al. (2015) menyatakan bahwa di penangkaran
selain menyukai jenis rumput-rumputan, rusa juga menyukai hijauan daun seperti babadotan
(Ageratum conyzoides), daun cabe-cabe (Asystasia spp.), dan gewor (Commelina
benghalensis). Rusa membutuhkan padang perumputan terutama untuk aktivitas makan dan
bermain. Padang perumputan sudah digunakan di beberapa penangkaran rusa, di antaranya

6
penangkaran rusa Ranca Upas Bandung yang dikelola oleh Perum Perhutani UNIT III Jawa
Barat. Potensi padang perumputan penangkaran rusa di Ranca Upas (Bandung Selatan)
dengan luas 4,5 ha, pada musim kemarau dapat mendukung 21 ekor dan pada saat musim
hujan 40 ekor (Garsetiasih dan Heriyanto 2005).
Rusa merupakan satwa liar yang dilindungi. Satwa ini berfungsi dalam rantai makanan
suatu ekosistem dan mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi karena hampir semua yang
ada pada rusa, yaitu kulit, rangga (tanduk muda), dan dagingnya dapat dimanfaatkan. Di
Kalimantan Timur setiap tahun diburu tidak kurang dari 5.000 ekor rusa sambar dengan
produksi karkas mencapai 412.500 kg, atau setara dengan sekitar 250 ton daging (Jamal et al.
2005). Untuk mengurangi perburuan dan memenuhi kebutuhan daging alternatif,
pembangunan penangkaran atau budi daya rusa perlu direalisasikan, karena hasilnya berupa
turunan kedua (F2) dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani bagi
masyarakat, dan diharapkan dapat mengurangi perburuan liar.
Areal hutan reklamasi bekas tambang batu bara di PT Kaltim Prima Coal (KPC)
Sangata, Kalimantan Timur, mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai habitat
penangkaran rusa. Hal ini didukung oleh tingkat kerapatan tegakan hutan reklamasi dengan
diameter ≥10 cm di hutan sekunder East Dump I (kerapatan 256 pohon/ha), Hutan Sekunder
Hatari (kerapatan 416 pohon/ha), Arboretum (kerapatan336 pohon/ha), dan Hutan
Sekunder/Danau Agati (kerapatan 228 pohon/ha) dapat memenuhi kebutuhan naungan rusa
jika dikembangkan dengan sistem ranch. Jenis, jumlah, dan biomassa yang dihasilkan
tumbuhan bawah yang berpotensi sebagai pakan sebesar 5,6 t/ha dalam bobot basah atau 1,63
t/ha dalam bobot kering dapat memenuhi kebutuhan hijauan pakan rusa dalam jumlah yang
besar. Areal yang paling
ideal untuk dijadikan pengembangan habitat rusa, yaitu areal Blok Mentari Dam dengan
pendugaan daya dukung sebesar 8 individu/ha (Garsetiasih dan Heriyanto 2017).

3.2.2 Revegetasi dengan Jenis Tanaman Pionir Endemik Estetik


Tanaman pionir merupakan kelompok tanaman yang pertama kali tumbuh pada lahan
yang ekstrim yaitu pada lahan yang telah mengalami kerusakan misalnya akibat bencana
alam, penambangan, kebakaran hutan dan lain-lain (Widyasari, dkk., 2010). Fungsi tanaman
pionir pada lahan yang terganggu adalah membantu meningkatkan kesuburan tanah karena
mengeluarkan eksudat akar yang mampu menarik PGPR, dan mencegah erosi karena sistem
perakarannya mampu menahan tanah dari gerusan air (Septiani, dkk., 2015).

7
Penggunaan jenis tanaman pionir estetik telah diterapkan oleh PT Adaro Indonesia
sebagai salah satu kontraktor Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara
(PKP2B) yang melakukan kegiatan eksplorasi dan penambangan batubara. Luas wilayah
pertambangan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara PT Adaro Indonesia
seluas 35.800 Ha (tiga puluh lima ribu delapan ratus hektar). Tahapan revegetasi yang di
lakukan antara lain pada saat pegambilan biji tambang, tanah pucuk diamankan, ditimbun
dilokasi yang telah ditentukan. Tatacara penimbunan top soil di tempat penyimpanan
sementara, dengan mempertimbangkan beberapa hal antara lain aman dari banjir atau
terganggu untuk operasional, kemiringan slope maksimum 21 derajat. Kemudian top soil
ditanami cover crop sesegera mungkin supaya tidak tererosi baik secara manual maupun
dengan teknik hidroseeding. Top soil akan dihamparkan pada lahan yang telah siap untuk
revegetasi. Penghamparan top soil dilakukan sedemikian rupa sehingga jumlah top soil yang
ada dapat mencukupi untuk menutup lahan yang akan ditanami dengan ketebalan maksimum
10 cm.
Tanaman yang dikembangkan di PT Adaro adalah jenis-jenis tanaman pionner,
endemic dan estitika (Ketapang, Sengon, Johar, Meranti, Alaban, Eucalyptus, Cemara,
Mahoni, Pinus, Pulai, Bambu, Trembesi, Gmelina, Waru, Jabon, dll). Lubang tanam
berukuran 40 x 40 cmx 40cm dan jarak tanam 3 x 3 m atau 3 x 4 meter dan ditambahkan
pupuk organik. Pemeliharaan meliputi penyiangan, pengontrolan gulma, pemupukan ulang,
pembersihan hama dan penyakit dan pencegahan kebakaran.
Dari hasil pengukuran keliling batang, tinggi dan penutupan tajuk untuk jenis cemara,
eucalyptus, akasia dan sengon menunjukkan keberhasilan. Data menunjukkan pertumbuhan
yang terus meningkat. Hal ini juga menunjukkan tanaman hasil revegetasi dapat bertahan
(sustain) pada areal reklamasi bekas tambang (Balai Besar Penelitiaan Dipterokarpa, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan, 2016).

3.2.3 Skema Pelaksanaan Reklamasi Pasca Eksploitasi Tambang Batubara


Dalam pelaksanaan konsep reklamasi melalui pengembalian habitat satwa serta
revegetasi, perlu dipahami terlebih dahulu peraturan yang berlaku dalam menetapkan skema
kegiatan pasca eksploitasi tambang batubara. Adapun dasar hukum yang menjadi acuan
adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi
dan Pasca Tambang. Melalui peraturan tersebut, rencana reklamasi disusun dalam jangka 5
tahun dengan memuat:
1. Tata guna lahan sebelum dan sesudah ditambang;

8
2. Rencana pembukaan lahan;
3. Program reklamasi terhadap lahan terganggu yang meliputi lahan bekas tambang
dan lahan di luar bekas tambang yang bersifat dan/atau permanen;
4. Kriteria keberhasilan meliputi standar keberhasilan penataan lahan, revegetasi,
pekerjaan sipil, dan penyelesaian akhir; dan
5. Rencana biaya terdiri atas biaya langsung dan biaya tidak langsung.
Sedangkan pada rencana pascatambang, memuat:
1. Profil wilayah;
2. Deskripsi kegiatan pertambangan,
3. Rona lingkungan akhir lahan pascatambang,
4. Program pascatambang, meliputi: reklamasi pada lahan bekas tambang dan lahan
di luar bekas tambang, pemelihaan hasil reklamasi, pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat, dan pemantauan.
5. Organisasi termasuk jadwal pelaksanaan pascatambang,
6. Rencana biaya pascatambang meliputi biaya langsung dan biaya tidak langsung.
Adapun menurut Pasal 21 dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa pelaksanaan
reklamasi dilakukan paling lambat 30 hari kalender setelah tidak ada kegiatan usaha
pertambangan pada lahan terganggu. Sedangkan menurut Pasal 22, laporan kegiatan
reklamasi disampaikan kepada Menteri atau Kepala Daerah, memperoleh evaluasi dari
Menteri dan Kepala Daerah 30 hari semenjak diterimanya laporan.
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 26
Tahun 2018 Tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang Baik dan Pengawasan
Pertambangan Mineral dan Batubara. Pada peraturan tersebut disebutkan bahwa pemegang
Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi wajib melakukan reklamasi rahap operasi
produksi dan pascatambang. Rencana reklamasi dan pascatambang terlebih dahulu disetujui
oleh Menteri atau Gubernur sesuai dengan kewenangannya.

9
Tabel 3.1 Skema Pelaksanaan Program Reklamasi Pasca Eksploitasi Tambang Batubara
Tahun Pertama Kedua Ketiga Keempat
No Program Durasi Pelaksana
Kuartal 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Eksploitasi - Perusahaan
Berhenti
2 Persiapan 6 bln Perusahaan
Bibit (dengan
memberdayakan
masyarakat)
3 Peningkatan 1 thn Perusahaan
Zat Hara
4 Penanaman 2 thn Perusahaan(dengan
Kembali memberdayakan
(Revegetasi) masyarakat)
5 Laporan 1 thn Perusahaan
6 Evaluasi 1 thn Menteri ESDM
atau Gubernur atau
Bupati atau
Walikota
7 Pemantauan 5 thn Perusahaan
8 Penangkaran 2 thn Perusahaan
Satwa (dengan
memberdayakan
masyarakat)

1
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara


Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2018 tentang
Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang Baik dan Pengawasan Pertambangan Mineral
dan Batubara
Apriyanto, Dedek, Harini, dan Rika. 2012. Dampak Kegiatan Pertambangan Barubara
Terhadap Kondisi Ekonomi Masyarakat di Kelurahan Loa Ipuh Daratm Tenggarong,
Kutai Kartanegara. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Fachlevi, Teuku Ade, Putri, Eka Intan, Simanjuntak,dan Sahat M.H. 2015. Dampak dan
Evaluasi Kebijakan Pertambangan Batubara di Kecamatan Mereubo. Bogor : Institut
Pertanian Bogor.
Hadi, Sudharto P. 2005. Aspek Sosial Amdal. Yogyakarta : Gadja Mada University Press.
Oktorina, Sarita. 2017. Kebijakan Reklamasi dan Revegetasi Lahan Bekas Tambang (Studi
Kasus Tambang Batubara Indonesia). Surabaya : UIN Sunan Ampel Surabaya.
Pertiwi, H.D. 2011. Dampak Keberadaan Perusahaan Pertambangan Batubara Terhadap
Aspek Ekologi, Sosial, Dan Ekonomi Masyarakat di Era Otonomi Daerah (Kasus:
Kelurahan Sempaja Utara, Kecamatan Smarinda Utara, Kota Samarinda). Bogor :
Institut Pertanian Bogor.

Tolong ini dihapus


https://kaltim.prokal.co/read/news/347708-akibat-tambang-kerusakan-meradang
https://www.korankaltim.com/advertorial/read/10346/23-ribu-hektare-lahan-rusak-akibat-
tambang

Tambahan Pustaka Bab III


Subarudi, Rudi, Hariadi Kartodihardjo, Sudarsono Soedomo, dan Hadiyanto Sapardi. 2016.
Kebijakan Usaha Tambang Batubara di Kawasan Hutan: Studi Kasus Kalimantan
Timur. Bogor : Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Sari, Nilam, dan R. M. Omon. 2007. Persepsi Masyarakat Terhadap Alih Fungsi Hutan
Lindung Bukit Soeharto Menjadi Pertambangan Batu Bara. Samboja : Loka Litbang
Satwa Primata Samboja.

1
Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan. 2013. Data dan Informasi Penggunaan Kawasan
Hutan 2013. Jakarta : Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian
Kehutanan.
Balai Taman Nasional Kutai. 2017. Profil Taman Nasional Kutai. Sangatta : Taman Nasional
Kutai.
Balai Besar Penelitiaan Dipterokarpa. 2016. Status Riset Reklamasi Pasca Tambang Batu
Bara. Samarinda : Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian
Kehutanan
Setiadi, Y. 2006. Bahan Kuliah Ekologi Restorasi. Program Studi Ilmu Pengetahuan
Kehutanan. Bogor : Institut Pertanian Bogor
Boer, C., Soetedjo, Harmonis, dan Suba, R.B. 2009. Analisis Interelasi Tumbuhan dan Satwa
di Areal Reklamasi-Rehabilitasi Pasca Tambang Batubara. Samarinda : Kerjasama
Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT) Universitas Mulawarman dengan PT. Kaltim
Prima Coal.
Septiani, D., Haris, G., dan Nery S. 2015. Komunitas Vegetasi Pionir dan Perkiraan
akumulasi Biomassa pada Lahan Gambut Bekas Terbakar di Area Transisi Cagar
Biosfer GiamSiak Kecil Bukit Batu Riau. Riau : Universitas Riau
Widyasari, NAE, Bambang HS., Solichin, I. 2010. Pendugaan Biomassa dan Karbon Terikat
di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Rawa Gambut Bekas Terbakar di Sumatra
Selatan. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Garsetiasih, R. 2002. Determinasi Daya Cerna Rusa (Cervus Timorensis) Menggunakan
Campuran Rumput (Paspalum Dilatatum) dengan Daun Beringin (Ficus Benjamina),
Daun Kabesak (Acacia Leucophloea), Daun Turi (Sesbania Grandiflora). Aceh Besar :
Universitas Syiah
Garsetiasih, R. 2007. Daya Dukung Kawasan Hutan Baturraden sebagai Habitat
Penangkaran Rusa. Bogor : Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam.
Garsetiasih, R. 2013. Daya Dukung Padang Perumputan Banteng (Bos javanicus d’Alton
1823): Studi Kasus di Sadengan dan Sumber Gedang, Jawa Timur. Bogor : Pusat
Litbang Hutan dan Konservasi Alam.
Garsetiasih, R. dan Heriyanto, N.M. 2005. Studi Potensi Pakan Rusa (Cervus Timorensis
Rusa De Blainville) di Penangkaran Ranca Upas, Ciwidey Bandung, Jawa Barat.
Bogor : Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam.

2
Amiati, D.A., Masyud, B. dan Garsetiasih, R. 2015. Pengaruh Pengunjung Terhadap
Perilaku dan Pola Konsumsi Rusa Timor di Hutan Penelitian Dramaga. Bogor : Pusat
Litbang Hutan dan Konservasi Alam.
Jamal, J., Semiadi, G. dan Hamsun, M. 2005. Nilai Gizi Daging Rusa Timor (Cervus
Timorensis) Hasil Perburuan. Bogor : LIPI.
Nurrahmadani, Efandi. 2013. Upaya Pelestarian Rusa Sambar di Pusat Penangkaran Rusa
di Desa Api-Api, Kecamatan Waru, Kabupaten Penajam Paser Utara. Samarinda :
Unversitas Mulawarman.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi dan
Pasca Tambang
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 26 Tahun
2018 Tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang Baik dan Pengawasan
Pertambangan Mineral dan Batubara

Anda mungkin juga menyukai