Latar Belakang
Dalam konteks krisis pandemi Covid-19, publik berdebat tentang mana yang
harus diproritaskan: kesehatan ataukah ekonomi? Kesehatan umumnya diartikan
sebagai meminimumkan korban pandemi Covid-19 terutama tingkat kematian.
Sayangnya, ketika membahas ekonomi, kebanyakan orang mengartikan ekonomi
sebagai sesuatu yang sangat sempit, misalnya pendapatan, penghasilan, atau
pertumbuhan ekonomi (kalau dalam konteks ekonomi makro). Salah besar kalau
ekonomi hanya diartisempitkan sebagai hal-hal tersebut. Ilmu ekonomi
membahas aspek yang “jutaan” kali lebih luas dari hanya pendapatan, GDP atau
pertumbuhan ekonomi.
Ilmu ekonomi adalah ilmu tentang alokasi. Bagaimana mengalokasikan sumber
daya (dalam arti luas pula seperti aset, finansial juga alam, tenaga kerja, pikiran
dan lain sebagainya) yang sifatnya terbatas untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat (dalam arti luas) setinggi-tingginya. Jadi fungsi tujuan-nya (objective
function) adalah kesejahteraan, atau welfare, bukan pendapatan, atau GDP atau
pertumbuhan ekonomi. Betul, kesejahteraan adalah fungsi dari pendapatan,
tetapi jelas bukan satu-satunya.
Seandainya betul, pendapatan adalah satu-satunya, atau bahkan faktor utama
penentu kesejahteraan, tentunya ini tidak bisa menjelaskan apa yang
disebut Easterlin Paradox atau Scisor paradox. Seperti terlihat dalam Gambar 1
nampak bahwa peningkatan pendapatan (GNP) per kapita tidak sejalan dengan
peningkatan kebahagiaan. Ketika pendapatan meningkat, kebahagiaan
masyarakat tidak atau hanya sedikit mengalami kenaikan.
Referansi
[1] Dengan menghitung proporsinya terhadap pendapatan per kapita, dan
menggunakan angka pendapatan per kapita terbaru.
[2] ITB, UNPAD, UGM, Essex University, University of Southern Denmark, ITS,
Oxford University.
[3] * “0.2 deaths per 100,000 per week trigger” = suppression triggered when
weekly death rate reaches this threshold; ** “1.6 deaths per 100,000 per week
trigger” = suppression triggered when weekly death rate reaches this threshold
[4] Lihat https://hbr.org/2020/03/what-coronavirus-could-mean-for-the-global-
economy atau https://www.travelweekly.com/Travel-News/Travel-Agent-
Issues/Oxford-Economics-predicts-rapid-economic-recovery-post-coronavirus
2. Pendapatan usaha kecil 'pupus' akibat covid 19, pemerintah siapkan bantuan
sosial untuk pekerja harian (sumber: BBC,
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-52059235, tanggal 30 Maret 2020
Pemerintah tengah menyiapkan bantuan sosial sektor informal dan stimulus
ekonomi bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, UMKM untuk menjaga daya
beli di tengah tekanan ekonomi akibat wabah Covid-19.
Status tanggap darurat yang diterapkan di beberapa wilayah akibat wabah virus
corona, membuat pekerja di sektor informal dan UMKM tak bekerja dan terpaksa
pulang kampung.
Ketua Asoasasi UMKM Indonesia, Ikhsan Ingratubun, mengungkapkan
pendapatan usaha UMKM "pupus" gara-gara wabah Covid-19, sehingga mereka
kesulitan untuk membayar biaya-biaya dan gaji atau honor pekerja.
Dampaknya adalah banyak dari pekerja UMKM terpaksa pulang kampung.
"Akibat dari Covid-19, mengakibatkan pupus habis pendapatan per hari," ujar
Ikshan kepada BBC News Indonesia, Senin (30/03).
Di tengah ini, pemerintah mengatakan tengah menyiapkan kebijakan bantuan
sosial untuk menyokong sektor informal dan pekerja harian, serta memberi
stimulus bagi usaha kecil, mikro dan menengah.
Akan tetapi, pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia, Lina Miftahul
Jannah, mengingatkan pemerintah perlu berhati-hati agar kebijakan itu tepat
sasaran dan tak mengulangi penyelewengan seperti dalam penyaluran bantuan
langsung tunai (BLT).
Selama delapan hari terakhir, tercatat 876 armada bus antar provinsi yang
membawa kurang lebih 14.000 penumpang dari Jabodetabek, menuju Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta. Sebagian besar dari mereka
adalah pekerja informal yang mencari nafkah di ibu kota.
Mereka adalah pekerja warung, toko kecil, pedagang asongan, pedagang di
pasar, hingga pekerja lain yang menggantungkan hidup dari pendapatan harian
termasuk di pusat-pusat perbelanjaan dan pengendara ojek online.
Perlindungan sosial di sektor informal
Dalam rapat terbatas yang digelar Senin (30/03), Presiden Joko Widodo
mengakui bahwa banyak pekerja informal di Jabodetabek yang terpaksa pulang
kampung karena penghasilannya menurun sangat drastis atau bahkan hilang
sebagai imbas dari penerapan status tanggap darurat yang membatasi aktivitas
warga.
Dia mengatakan program perlindungan sosial dan stimulus ekonomi bagi pelaku
usaha informal dan UMKM harus segera diterapkan.
"Saya minta percepatan program social safety net atau jaring pengaman sosial,
yang memberikan perlindungan sosial di sektor informal dan pekerja harian
maupun program insentif ekonomi bagi usaha mikro, usaha kecil, betul-betul
segera dilaksanakan di lapangan," ujar Jokowi.
"Sehingga para pekerja informal, buruh harian, semuanya bisa memenuhi
kebutuhan dasarnya sehari-hari," ujarnya lagi.
Ketua Asiasasi UMKM Indonesia, Ikhsan Ingratubun berharap pekerja UMKM
yang terpaksa dirumahkan juga menjadi tanggungan bantuan ini.
"Karena kita nggak mampu membayar, karena berdasar pemasukkan daily.
Sejak tutup awal Maret, berarti kita tidak mampu membayar gaji karyawan yang
kita rumahkan," kata dia.
Sebelumnya, Sekretaris Kementerian Koordinator bidang Perekonomian,
Susiwijono Moegiarso mengatakan, bantuan sosial akan disalurkan kepada 29,3
juta penerima bantuan langsung tunai (BLT) yang tergolong dalam empat puluh
persen warga miskin.
Sekitar 15,2 juta di antaranya adalah masyarakat yang sudah terdata sebagai
penerima bantuan pangan non tunai, sementara sisanya masih dalam
pendataan.
Penyaluran BLT merupakan salah satu bagian dari paket stimulus lanjutan yang
kini sedang dipersiapkan oleh pemerintah.
Bantuan ini akan menyasar pekerja sektor informal, antara lain pekerja warung,
toko kecil, pedagang di pasar, hingga pekerja harian lainnya termasuk di pusat-
pusat perbelanjaan.
Namun, belum ada keterangan seperti apa skema penyaluran bantuan tersebut
dan berapa besaran BLT yang akan diberikan pemerintah.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia, Lina Miftahul Jannah,
pemerintah perlu mempertimbangkan skema penyaluran bantuan untuk pekerja
informal yang kebanyakan dari mereka tidak memiliki rekening bank. Sehingga,
penyaluran harus dilakukan secara tunai.
"Kalau bicara sektor informal, misalnya pengendara ojek online, mereka
dipastikan punya rekening, karena memang dari perusahaan mereka mewajibkan
[punya rekening]. Tapi bagaimana dengan pekerja informal lain yang belum tentu
punya rekening?," kata Lina.
Penyaluran secara tunai pun, lanjut Lina perlu hati-hati agar kebijakan itu tepat
sasaran dan tak mengulangi penyelewengan seperti dalam penyaluran bantuan
langsung tunai (BLT).
"Pembelajaran dari BLT, itu kan ada potongan-potongan dari mulai entah RT,
entah RW-nya. Artinya apa, tidak sampai full kepada masyarakat," ujarnya.
Berkaca pada apa yang terjadi di India yang kini tengah menerapkan karantina
wilayah atau lockdown, pemerintah India pekan lalu telah mengumumkan
bantuan senilai US$22 miliar bagi kaum miskin, yang dicairkan melalui transfer
tunai secara langsung, ada juga bahan pangan.
Namun, muncul kekhawatiran bantuan itu bakal tidak sampai ke pihak yang
benar-benar membutuhkan.
Keringanan pembayaran listrik
Ketua Asosiasi UMKM Indonesia, Ikhsan Ingratubun, berharap pemerintah
memberi keringanan pembayaran listrik dalam stimulus bagi UMKM yang akan
segera diumumkan.
Dia mengungkapkan bahwa stimulus yang sudah ada saat ini bagi UMKM untuk
menekan dampak ekonomi dari Covid-19 adalah keringanan pembayaran utang
dan pajak.
"Tetapi yang belum kita dengar adalah tentang pembayaran listrik, penundaan
pembayaran listrik," kata dia.
Padahal, biaya listrik merupakan salah satu komponen biaya yang harus
dikeluarkan oleh UMKM demi menjalankan operasional bisnisnya.
"Esensi dari jaminan sosial apabila menyentuh pengeluaran yang dikeluarkan
oleh para UMKM atau daily workers ini itu bisa menjadi pelipur lara atau duka
dari usaha kecil dan menengah akibat dari Covid-19," cetusnya.
Adapun PLN mengungkapkan akan memberikan keringanan tarif listrik di tengah
wabah virus corona, baik untuk sektor rumah tangga maupun industri.
"Harapan saya maksimal minggu kedua April udah turun, kalau bisa
sebelum Ramadhan udah ada kebijakan dari pemerintah terkait opsi-opsi
apa yang dilakukan. Jadi saya katakan kalau opsi sama sekali nggak
mampu berikan. Kedua kalau mampu, mungkin tidak penuh gimana
solusinya? kalau mampu syukur-syukur. Jadi antara dua itu," kata Sarman
kepada CNBC Indonesia, Senin (30/3).
Kewajiban pembayaran THR sudah diatur oleh pemerintah melalui UU
nomor 13 tahun 2003. Dimana pengusaha wajib memberikan THR minimal
satu kali gaji bagi mereka yang sudah setahun bekerja.
Terlebih, momen lebaran yang biasanya terjadi perputaran uang besar, ini
peluang untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang didominasi buruh.
Salah satu caranya dengan memberikan stimulus lebih.
"Kita keberatan kalau THR hanya diberikan 50%. Dalam kondisi sulit
mestinya THR diberikan penuh, bahkan kalau bisa ditambahin untuk
tingkatkan daya beli pekerja.
"Corona satu bulanan, jadi nggak fair itu jadi alasan pengusaha untuk
nggak berikan THR secara penuh. karena THR kan rutinitas tahunan. Jadi
harus jauh-jauh hari dianggarkan dari keuntungan saban bulan itu untuk
pembayaran THR. Jangan karena permasalahan yang sebentar terjadi,
kemudian manja untuk tidak memberikan apa yang harusnya didapatkan
para buruh," kata Kahar kepada CNBC Indonesia, beberapa waktu lalu.
Bukan hanya persoalan THR, saat ini sudah ada informasi perusahaan
yang akan melakukan PHK kepada para pekerja.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal
mengatakan salah satu perusahaan yang akan melakukan PHK adalah PT
Akomoto Indonesia. Perusahaan yang berlokasi di Mojokerto, Jawa Timur
itu pada tanggal 24 Maret 2020 sudah mengirimkan surat kepada serikat
pekerja terkait dengan rencana perusahaan yang akan melakukan PHK
terhadap 26 orang pekerja.
Ekonomi global dapat menyusut hingga satu persen pada 2020 karena pandemi
Virus Corona baru atau COVID-19, dan dapat berkontraksi lebih jauh jika
pembatasan kegiatan ekonomi diperpanjang tanpa respons fiskal memadai. Hal
itu disampaikan Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB (UN-DESA) yang
dilansir Antara pada Kamis (2/4/2020).
Pengarahan UN-DESA menemukan bahwa jutaan pekerja berisiko kehilangan
pekerjaan ketika hampir 100 negara menutup perbatasan nasional mereka. Itu
bisa berarti kontraksi ekonomi global 0,9 persen pada akhir 2020, atau bahkan
lebih tinggi jika pemerintah gagal memberikan dukungan pendapatan dan
membantu meningkatkan belanja konsumen.
Menurut perkiraan, penguncian di Eropa dan Amerika Utara memukul sektor jasa
dengan keras, terutama industri yang melibatkan interaksi fisik seperti
perdagangan ritel, rekreasi dan perhotelan dan transportasi. Secara kolektif,
industri-industri semacam itu mencakup lebih dari seperempat dari semua
pekerjaan di negara-negara tersebut.
Ketika bisnis kehilangan pendapatan, pengangguran cenderung meningkat
tajam, maka akan mengubah guncangan sisi penawaran menjadi guncangan sisi
permintaan yang lebih luas bagi perekonomian. Tingkat keparahan dampak akan
sangat tergantung pada durasi pembatasan pada pergerakan orang dan kegiatan
ekonomi serta pada skala dan kemanjuran respons oleh otoritas-otoritas
keuangan nasional.
Dengan latar belakang itu, UN-DESA bergabung dengan paduan suara di
seluruh sistem PBB yang menyerukan paket stimulus fiskal yang dirancang
dengan baik yang memprioritaskan pengeluaran kesehatan dan mendukung
rumah tangga yang paling terkena dampak pandemi.
“Diperlukan langkah-langkah kebijakan yang mendesak dan berani, tidak hanya
untuk menahan pandemi dan menyelamatkan nyawa, tetapi juga untuk
melindungi yang paling rentan di masyarakat kita dari kehancuran ekonomi dan
untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi serta stabilitas keuangan,” kata
Liu Zhenmin Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Ekonomi dan Sosial.
Analisis ini juga memperingatkan bahwa efek buruk dari pembatasan ekonomi
yang berkepanjangan di negara maju akan segera menyebar ke negara-negara
berkembang melalui jalur perdagangan dan investasi. Penurunan tajam dalam
pengeluaran konsumen di Uni Eropa dan Amerika Serikat akan mengurangi
impor barang-barang konsumsi dari negara-negara berkembang.
Negara-negara berkembang, terutama yang bergantung pada pariwisata dan
ekspor komoditas, menghadapi risiko ekonomi yang meningkat. Produksi
manufaktur global dapat berkontraksi secara signifikan, dan jumlah pelancong
yang anjlok kemungkinan akan merusak sektor pariwisata di negara-negara
berkembang pulau kecil, yang mempekerjakan jutaan pekerja berketerampilan
rendah.
Badan penerbangan sipil PBB, Organisasi Penerbangan Sipil Internasional,
menyambut baik komitmen para pemimpin ekonomi utama G20 akhir pekan lalu
yang menunjukkan bahwa dukungan fiskal yang berani diperlukan untuk
melindungi industri perjalanan global, untuk membantu pemulihan global dalam
beberapa bulan mendatang.
Sementara itu, penurunan pendapatan terkait komoditas dan pembalikan aliran
modal meningkatkan kemungkinan tekanan utang bagi banyak negara.
Pemerintah mungkin terpaksa membatasi pengeluaran publik pada saat mereka
perlu meningkatkan pengeluaran untuk menahan pandemi dan mendukung
konsumsi dan investasi.
Elliot Harris Kepala Ekonom dan Asisten Sekretaris Jenderal PBB untuk
Pembangunan Ekonomi mengatakan tujuan kolektif itu haruslah pemulihan yang
tangguh yang mengembalikan planet ini ke jalur yang berkelanjutan. “Kita tidak
boleh lupa bagaimana hal itu mempengaruhi populasi yang paling rentan dan
apa artinya bagi pembangunan berkelanjutan,” katanya.(ant/tin/ipg)
Pandemi Covid-19 merupakan virus corona yang berasal dan pertama kali
muncul dari kota Wuhan, China pada akhir Desember 2019. Di duga Covid-19 ini
berasal dari hewan kelewar dan setelah di telusuri, orang-orang yang terinfeksi
virus ini merupakan orang-orang yang memiliki riwayat telah mengunjungi pasar
basah makanan laut dan hewan lokal di Wuhan, China.
Manusia merupakan mahluk sosial yang memungkinkan saling berinteraksi
secara langsung sehingga tingkat penyebaran pandemi Covid-19 semakin pesat,
hingga Kamis, 26 maret 2020 tercatat 198 negara yang terinfeksi oleh Covid-19.
Indonesia merupakan salah satu negara yang terinfeksi pandemi Covid-19, pada
26 Maret 2020 tercatat 893 orang positif virus Corona. Diantaranya, 35 orang
sembuh, 780 orang di rawat, dan 78 orang meninggal.
Salah satu penyebab virus corona mudah menyebar di Indonesia adalah karena
Indonesia merupakan negara dengan Sektor pariwisata. Sektor pariwisata
merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam pertumbuhan
perekonomian Indonesia dan memiliki kontribusi devisa terbesar kedua di
Indonesia setelah devisa hasil ekspor Kelapa Sawit.
Sektor pariwisata memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang pada
perekonomian Indonesia. Dampak jangka pendek dapat di rasakan secara
langsung, sedangkan dampak jangka Panjang dapat dilihat dengan
bertambahnya pendapatan nasional, namun dengan adanya Covid-19 semuanya
tak lagi sama.
Sektor pariwisata yang sekarang mengalami kelesuan sehingga daya beli
menurun secara drastis karena berkurangnya pengunjung baik turis lokal
maupun turis mancanegara, yang secara otomatis pendapatan dan devisa yang
di hasilkan dari sektor pariwisata semakin menurun.
Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan pemerintah pada 18 Maret 2020, segala
kegiatan di dalam dan di luar ruangan di semua sektor yang terkait pariwisata
dan ekonomi kreatif ditunda sementara waktu demi mengurangi penyebaran
corona.
Hal ini mengakibatkan sektor pariwisata menjadi lumpuh sementara, sehingga
pengangguran semakin bertambah karena pariwisata merupakan salah satu
wadah yang memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar tempat
wisata maupun masyarakat dari luar.
Contohnya, Aston Bogor Hotel & Resort melakukan penutupan yang di mulai
pada tanggal 22 Maret 2020 serta 120 karyawan dipulangkan karena adanya
penurunan bisnis yang di akibatkan oleh pandemi dari virus corona ini.
Bukan hanya sektor pariwisata yang mengalami kelumpuhan sementara, tetapi
para karyawan dari jenis perusahaan lainnya ikut merasakan dampak dari
pandemi Covid-19. Yang dimana pekerjaan atau kegiatan yang biasanya
dilakukan diluar rumah secara langsung sekaran terpaksa harus dilakukan di
dalam rumah.
Serta ada banyak pula karyawan yang terancam pemberhentian hak kerja (PHK)
karena banyak pekerjaan yang tidak memungkinkan untuk dikerjakan dirumah,
seperti halnya kegiatan produksi yang bergantung pada mesin yang berada di
tempat produksi.
PHK ini juga dilakukan karena kurangnya pembelian dari konsumen dan
dibatasinya ekspor ke negara tertentu sehingga akan menghambat ekspor dan
mengurangi pendapatan perusahaan, bahkan perusahaaan bisa mengalami
kerugian. Ada pun penyebab lain dari di PHK nya para karyawan yaitu karena
kelangkaan bahan baku untuk diproduksi yang di impor dari negara luar seperti
dari negara Thiongkok sehingga akan menghambat kegiatan industri.
Perusahaan yang berhenti beroperasi dan peningkatan jumlah angka
pengangguran dapat menghambat dan mengurangi produk domestik bruto (PDB)
serta menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Presiden Indonesia, Joko Widodo atau Jokowi mengungkapkan alasan mengapa
tidak mengeluarkan kebijakan lockdown dalam pencegahan penyebaran Covid-
19.
"Kemudian ada yang bertanya kenapa kebijakan lockdown tidak kita lakukan.
Perlu saya sampaikan setiap negara memiliki karakter berbeda-beda, budaya
berbeda-beda, kedisplinan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kita tidak
memilih jalan itu (lockdown)," kata Jokowi saat memberikan pengarahan kepada
gubernur se-Indonesia melalui video conference, Selasa (24/3/2020).
Presiden Indonesia tidak mengeluarkan kebijakan lockdown bukan tanpa alasan,
menurut beliau setiap negara memiliki karakter dan budaya yang berbeda-beda.
Beliau juga mengaku telah melakukan kalkulasi dan analisis yang matang
terhadap negara-negara yang melakukan kebijakan lockdown.
“Kebijakannya seperti apa semua dari Kemenlu dari Dubes yang ada terus kita
pantau setiap hari. Jadi yang paling pas di negara kita physical distancing,
menjaga jarak aman," jelas dia.
"Kalau itu bisa kita lakukan saya yakin kita bisa mencegah penyebaran Covid-19
ini," sambung Jokowi.
Jika presiden mengeluarkan kebijakan lockdown maka akan berdampak besar
pada pertumbuhan perekonomian Indonesia, hal ini di sebabkan oleh kegiatan
perekonomian yang akan berhenti secara besar-besaran. Sebagai gantinya
pemerintah juga mengeluarkan kebijakan lainnya seperti belajar, bekerja, dan
beribadah dari rumah untuk menekan penyebaran Covid-19.
Meskipun kebijakan tersebut di berlakukan, namun masih ada saja masyarakat
yang menyalahgunakan kebijakan ini, seperti kegiatan belajar dan bekerja di
rumah di gunakan untuk berlibur di luar kota.
Sehingga penyelewengan kebijakan ini dapat memperluas dan mempercepat
penyebaran virus Corona, baik dari yang disebarkan oleh para pengunjung
kepada masyarakat setempat, maupun yang disebarkan oleh masyarkat
setempat kepada para pengunjung.
Sebagai warga negara yang baik dan patuh pada pemerintah dan aturan kita
hanya perlu disiplin terhadap kebijakan social distancing dan physical distancing
(jaga jarak aman) #dirumahAja untuk meminimalisir penyebaran Covid-19 dan
perekonomian Indonesia cepat pulih kembali.
7.