Anda di halaman 1dari 23

TUGAS EKONOMI BISNIS FINANSIAL

DAMPAK COVID-19 TERHADAP PEREKONOMIAN

1. Mengukur Ongkos Ekonomi “Sesungguhnya” Dari Pandemi Covid-19 (Sumber:


http://sdgcenter.unpad.ac.id/mengukur-ongkos-ekonomi-sesungguhnya-dari-
wabah-covid-19/, tanggal 14 April 2020)

“Hasil analisis menyimpulkan bahwa, intervensi kuat (seperti melalui pembatasan


sosial berskala besar yg efektif) dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi tahun
2020 ke 1.0% tanpa stimulus fiskal dan 1.8% dengan stimulus fiskal. Akan tetapi,
dalam jangka panjang (2019-2030) akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi
lebih tinggi (5.1-5.2%) daripada skenario intervensi minimal (4.8%). Disimpulkan
pula bahwa nilai kerugian ekonomi dari strategi intervensi kuat tersebut jauh lebih
rendah daripada kerugian ekonomi skenario intervensi minimal. Selisih
kerugiannya bisa mencapai 5.600 trilyun rupiah tanpa memperhitungkan nilai
mortalitas, dan bisa mencapai 14,000 trilyun rupiah – hampir setara dengan nilai
total GDP Indonesia di tahun 2019 – jika memperhitungkan nilai ekonomi dari
mortalitas (avoidable deaths).”

Latar Belakang
Dalam konteks krisis pandemi Covid-19, publik berdebat tentang mana yang
harus diproritaskan: kesehatan ataukah ekonomi? Kesehatan umumnya diartikan
sebagai meminimumkan korban pandemi Covid-19 terutama tingkat kematian.
Sayangnya, ketika membahas ekonomi, kebanyakan orang mengartikan ekonomi
sebagai sesuatu yang sangat sempit, misalnya pendapatan, penghasilan, atau
pertumbuhan ekonomi (kalau dalam konteks ekonomi makro). Salah besar kalau
ekonomi hanya diartisempitkan sebagai hal-hal tersebut. Ilmu ekonomi
membahas aspek yang “jutaan” kali lebih luas dari hanya pendapatan, GDP atau
pertumbuhan ekonomi.
Ilmu ekonomi adalah ilmu tentang alokasi. Bagaimana mengalokasikan sumber
daya (dalam arti luas pula seperti aset, finansial juga alam, tenaga kerja, pikiran
dan lain sebagainya) yang sifatnya terbatas untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat (dalam arti luas) setinggi-tingginya. Jadi fungsi tujuan-nya (objective
function) adalah kesejahteraan, atau welfare, bukan pendapatan, atau GDP atau
pertumbuhan ekonomi. Betul, kesejahteraan adalah fungsi dari pendapatan,
tetapi jelas bukan satu-satunya.
Seandainya betul, pendapatan adalah satu-satunya, atau bahkan faktor utama
penentu kesejahteraan, tentunya ini tidak bisa menjelaskan apa yang
disebut Easterlin Paradox atau Scisor paradox. Seperti terlihat dalam Gambar 1
nampak bahwa peningkatan pendapatan (GNP) per kapita tidak sejalan dengan
peningkatan kebahagiaan. Ketika pendapatan meningkat, kebahagiaan
masyarakat tidak atau hanya sedikit mengalami kenaikan.

Gambar 1 Hubungan antara pendapatan per kapita dan kebahagian di Jepang


(kiri) dan Amerika (kanan)
Kesehatan tentunya salah-satu variabel terpenting yang mempengaruhi
kebahagiaan, atau kesejahteraan dalam arti luas, seperti juga, tingkat
pendidikan, pekerjaan layak, status sosial, kebebasan (freedom) dan lain-
sebagainya. Literatur tentang kebahagiaan sudah sangat gamblang
mengkonfirmasi hal-hal ini. Lihat misalnya Frey and Stutzer (2002) atau publikasi
tahunan dari World Happiness Report. Intinya, sangatlah tidak tepat,
mendikotomikan kesehatan dan ekonomi, atau kesehatan dan pendapatan,
keduanya dalam konteks ilmu ekonomi merupakan variabel-variabel yang harus
kita kelola dalam konteks utuh meningkatkan kesejahteraan. Pendapatan tanpa
kesehatan, bukan kesejahteraan. Pendapatan tanpa ‘nyawa’ atau kehidupan,
bukan pula kesejahteraan.
Demikian juga dalam mengukur manfaat dan biaya dari berbagai alternatif
intervensi kebijakan, seperti dalam konteks mengatasi pandemi Covid-19. Kita
harus melakukannya dalam kerangka yang utuh, yaitu kerangka kesejahteraan
(welfare). Artikel ini adalah sebuah upaya untuk mengestimasi ongkos ekonomi
yang lebih komprehensif dari berbagai alternatif skenario penanganan pandemi
Covid-19.
Metodologi
Secara lebih spesifik tujuan dari analisis ini adalah sebagai berikut: Dari
alternatif-alternatif skenario penanganan pandemi Covid-19 sebagai berikut: (a)
intervensi minimal; (b) intervensi kuat (suppresion misal melalui pembatasan
sosial berskala besar yg efektif); dan (c) intervensi kuat dibarengi dengan
stimulus fiskal, mana skenario yang paling memberikan ongkos ekonomi paling
rendah?
Gambar 2 Ilustrasi kerangka estimasi biaya ekonomi alternatif skenario
penanganan pandemi Covid-19
Gambar 2 mengilustrasikan kerangka pemikiran estimasi biaya ekonomi dari
alternatif skenario penanganan pandemi Covid-19 yang berbeda-beda. Jadi yang
akan dijadikan benchmark atau ukuran dalam membandingkan skenario yang
lebih baik (misal skenario 1 dan skenario 2, seperti di gambar) adalah
penjumlahan dari selisih kesejahteraan dengan adanya pandemi covid dengan
intervensi tertentu (C) dan kesejahteraan pada baseline dimana pandemi Covid-
19 tidak terjadi. Penjumlahan selama periode yang dipilih (2019-2030) dilakukan
pada selisih yang sudah dikonversi menjadi nilai sekarang (present value) untuk
mengakomodasi fakta bahwa nilai 1 rupiah di periode yang akan datang
memberikan kesejahteraan lebih rendah daripada 1 rupiah sekarang (r adalah
tingkat diskontonya, 5%). Jika dW1 (nilai absolutnya) lebih kecil daripada dW2,
maka skenario 1 lebih baik daripada skenario 2 karena memberikan ongkos
ekonomi lebih rendah, demikian pula sebaliknya.
Dalam artikel ini, analisis akan dilakukan dalam konteks ekonomi nasional
(Indonesia). Kemudian, apa yang menjadi indikator kesejahteraan? Ada
beberapa alternatif. GDP adalah salah satu alternatif. Akan tetapi GDP bukan
ukuran yang ideal karena beberapa hal. Pertama, dalam GDP terdapat neraca
perdagangan (Ekspor minus impor). Ekspor, yang dikonsumsi oleh orang di luar
negeri pada akhirnya akan menjadi kesejahteraan orang asing, jadi bukan bagian
dari kesejahteraan kita. Sebaliknya, impor adalah konsumsi kita yang
meningkatkan kebahagiaan jadi selayaknya dihitung sebagai bagian
kesejahteraan. Konsumsi rumah tangga bisa juga menjadi alternatif ukuran
kesejahteraan. Akan tetapi ini mengabaikan bahwa konsumsi pemerintah juga
pada akhirnya digunakan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Investasi
pun bisa kita interpretasikan sebagai peningkatan kesejahteraan yang tertunda,
sehingga selayaknya menjadi bagian dari ukuran kesejahteraan. Oleh karena itu
dalam analisis ini, kita akan menggunakan konsumsi rumah tangga, konsumsi
pemerintah, dan investasi sebagai indikator kesejahteraan (termasuk didalamnya
barang yang diproduksi dalam negeri maupun diimpor). Dalam sistem
pendapatan nasional indikator ini disebut dengan Gross National
Expenditure (GNE).
Di sisi lain, bahkan GNE hanya memperhitungkan kesejahteraan yang
bersumber dari aktivitas ekonomi pasar. Padahal kesejahteraan merupakan
fungsi dari banyak hal yang tidak diperjualbelikan di pasar dan tidak ada harga
pasarnya.
Dalam konteks pandemi Covid-19, salah satu yang paling penting adalah
mortalitas, atau nyawa manusia.[1] Kehilangan nyawa manusia jelas akan
mengurangi kebahagian, mengurangi kesejahteraan. Untuk itu dalam analisis ini
kita juga akan memasukan nilai mortalitas sebagai bagian dari ongkos ekonomi.
Untuk itu total kesejahteraan akan menjadi hasil penjumlahan dari GNE dan nilai
dari ongkos mortalitas. Ongkos mortalitas akan dihitung dengan konsep yang
disebut dengan the value of statistical life (VSL). VSL untuk Indonesia dihitung
dengan menggunakan angka yang dipublikasikan di Viscusi and Masterman
(2017) di Journal of Benefit Cost Analysis. Dengan menyesuaikannya ke angka
2020,[2] nilai VSL berdasarkan publikasi itu adalah sebesar Rp. 7,4 milyar per
jiwa.
Dengan demikian ongkos ekonomi sebuah skenario pandemi Covid-19 dan
alternatif penanganannya bisa ditulis sebagai berikut:

Dimana ∆W adalah ongkos ekonomi sebuah dampak pandemi Covid-19 dan


skenario penanganannya; Bt adalah kesejahteraan (GNE) pada tahun t pada
kondisi baseline tanpa ada pandemi; Ct adalah kesejahteraaan (GNE) pada
tahun t pada kondisi pandemi Covid-19 plus penanganannya; M adalah tingkat
mortalitas (jumlah orang yang mati) dan VSL adalah the value of statistical life.
Untuk menghitung dampak dari berbagai skenario penanganan pandemi Covid-
19 terhadap jumlah kematian (parameter M), digunakan dua studi. Yang
pertama studi yang dilakukan oleh tim dari MRC Centre for Global Infectious
Disease Analysis, Imperial College London dan studi yang dilakukan oleh
tim SimCovid gabungan dari peneliti dari berbagai universitas di Indonesia dan
luar negeri.[3]Dari kedua studi tersebut diambil dua skenario mortality, yaitu
sebesar 1.2 juta orang untuk skenario intervensi minimal (Skenario mitigasi dari
studi SimCovid), dan 60 ribu orang untuk skenario intervensi pembatasan sosial
berskala besar (PSBB) maksimal (Strong Supression dari studi tim MRC).

Gambar 3 Asumsi jumlah kematian (M)[3]


Untuk menganalisa dampak dari berbagai alternatif skenario pandemi Covid-19
dan penanganannya terhadap perekonomian, seperti pertumbuhan ekonomi,
GNE dan lain-lain, digunakan model Computable General Equilibrium (CGE)
IndoTERM.  Model CGE adalah model ekonomi yang mewakili perekonomian
nasional yang dilandasi perilaku ekonomi mikro yang rinci. Model-nya sendiri
dapat diwakili oleh sistem n persamaan non-linear dengan n variabel endogen
serta banyak variabel eksogen. Sistem persamaan tersebut berfungsi
menentukan harga dan kuantitas komoditas dan input (termasuk input primer
misalnya, tenaga kerja, modal, dan lahan serta input antara).
Persamaan dalam model IndoTERM merupakan representasi dari perilaku
optimal agen ekonomi yang rasional. Dalam hal ini produsen dan konsumen
berinteraksi dalam ekonomi pasar yang kompetitif. Interaksi ini membentuk
permintaan dan penawaran komoditas yang dipertemukan di pasar yang
dimodelkan sebagai sebuah equilibrium, keseimbangan atau market-clearing.
IndoTERM sendiri adalah model CGE antar-daerah yang bersifat bottom-
up. Bottom-up berarti bahwa ekonomi nasional merupakan agregasi dari ekonomi
sub-nasional. Tidak seperti jenis model multi-wilayah yang bersifat top-down,
dengan model bottom-up, setiap komoditas, tak terkecuali, memiliki persamaan
ekuilibrium (market-clearing) sendiri-sendiri untuk masing-masing daerah.
Dengan demikian, harga untuk masing-masing komoditas berbeda di setiap
daerah. Salah satu kegunaannya, kita bisa memformulasikan shock yang
sifatnya spesifik di daerah tertentu.  Pengembangan IndoTERM adalah hasil
kolaborasi dari berbagai institusi yaitu Center for Economics and Development
Studies (CEDS), Universitas Padjadjaran, Indonesia; Center for Policy Studies
(COP), Victoria University Australia; Asian Development Bank (ADB); AusAID;
dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional.
Penjelasan lebih rinci tentang model IndoTERM dan aplikasinya dapat dilihat
di Yusuf, Horridge & Louise (2018), sementara penjelasan konstruksi
databasenya dapat dilihat di Horridge & Yusuf, 2017. Deskripsi model dalam
bahasa Indonesia dapat diunduh disini. Model IndoTERM digunakan dalam
berbagai analisis diantaranya di Yusuf, Patunru & Resosudarmo (2016) , Patunru
& Yusuf (2016), atau Horridge et al (2016).
Dampak dari pandemi Covid-19, dalam simulasi ini, didekati dengan mekanisme
sebagai berikut.
a. Disrupsi dari rantai produksi global terhadap perdagangan internasional.
b. Penurunan dari aktivitas parawisata internasional.
c. Disrupsi produksi sebagai dampak dari karantina, social distancing, dan
berbagai pembatasan mobilitas sebagai dampak dari respon terhadap
pandemik.
d. Untuk dampak pandemi Covid-19 yang tidak tertangani dengan baik,
dilakukan melalui parameter mortalitas (penurunan labor supply),
kualitas human capital, dan kenaikan dari risk-premium Indonesia yang
menunjukkan peningkatan ketidakpercayaan pasar.
e. Dampak stimulus fiskal
Disrupsi rantai produksi global
Disrupsi rantai produksi global didekati dari penurunan permintaan ekspor produk
Indonesia. Nilai penurunan ekspor diestimasi dengan persamaan sebagai
berikut:
ei = ∑cSicgc
Dimana ei adalah persentase penurunan ekspor komoditi i sebagai dampak dari
pandemik Covid-19, Sic adalah share dari negara c terhadap ekspor
komoditi i dari Indonesia, dan gc penurunan pertumbuhan ekonomi
negara c sebagai dampak dari pandemik Covid-19. Data Sic didapatkan dari UN
COMTRADE database, sementara data gc diperoleh dari hasil analisis ADB
(2020) terkait dampak pandemik Covid-19 terhadap perekonomian internasional
dengan menggunakan model Multi-Regional Input Output (MRIO).
Penurunan sektor pariwisata internasional
Penurunan kunjungan wisman sebagai dampak dari pandemik Covid
dispesifikasikan sebagai penurunan vertikal dari kurva pemintaan ekspor sektor
terkait pariwisata (yaitu perhotelan, restoran dan transportasi) sebesar -50%.
Disrupsi aktivitas produksi
Disrupsi aktivitas produksi adalah penurunan produktivitas sebagai dampak dari
berbagai pembatasan, misalnya PSBB, yang dilakukan untuk mengurangi
penularan virus Covid-19. Dalam model ini diterjemahkan sebagai
penurunan total factor productivity bersifat sector-region-specifics. Artinya
nilai productivity shock-nya berbeda-beda tergantung sektornya apa dan
lokasinya di propinsi mana. Nilai productivity shock ini tergantung dari beberapa
asumsi yaitu (a) karena karakteristik proses produksi maka, sektor pertanian
efeknya minimal karena tidak begitu memerlukan physical distancing antara
pelakunya, sektor jasa diasumsikan lebih bisa memanfaatkan work from home,
sementara sektor industri manufaktur akan terkena dampak terbesar karena
karakteristik produksinya relatif membutuhkan sistem produksi massal; (b)
Tingkat informalitas dari sektor dan wilayah. Data tingkat informalitas dihitung
dari survey SAKERNAS (BPS); (c) Derajat enforcement dari pembatasan akan
cenderung lebih kuat di daerah-daerah berkepadatan penduduk tinggi karena
tingkat resiko penularannya tinggi. Diasumsikan pembatasan produksi efektif
terjadi hanya satu bulan.
Dampak permanen pandemi tak tertangani (Mitigation scenario of SimCovid
or unmitigated MDC, 1.2M death)
Untuk ini diasumsikan jumlah kematian 2/3 nya ditranslasikan menjadi
penurunan labor supply di tahun 2020 (0.6%). Berdasarkan studi Almond
(2006), diasumsikan juga pandemi yang tertangani dapat mengurangi
kualitas human capital sebesar yang ditranslasikan menjadi pengurangan labor
produktivity secara permanen sebesar 0.25%.  Selain itu, pandemi yang
tertangani yang mengakibatkan korban jiwa sampai ratusan ribu diasumsikan
dapat meningkatkan risk premium investasi Indonesia sebesar 2.5%.
Dampak stimulus fiskal
Pemerintah akan menggelontorkan stimulus Fiskal senilai Rp 405 trilyun untuk
meredam dampak sosial-ekonomi dari krisis Covid-19. Besaran stimulus yang
dialokasikan sebagai transfer langsung ke rumah tangga (135T), pengeluaran
pemerintah di sektor jasa-jasa (kesehatan) dan pemerintahan (103T), serta
memberikan bailout kepada industri (167T).
Selain skenario permanen, semua shock terhadap perekonomian diasumsikan
akan dikembalikan ke level awal dalam 5 tahun. Ini asumsi yang cukup
konservatif, karena literatur umumnya menunjukkan dampak ekonomi dari
pandemi dan bencana alam biasanya jauh lebih singkat.[4] Ringkasan dari
berbagai skenario tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1 Ringkasan skenario yang disimulasikan

Hasil dan Pembahasan


Sebelum membahas dampak utama terkait ongkos ekonomi, ada baiknya kita
melihat dampak dari berbagai skenario di atas terhadap pertumbuhan ekonomi
nasional untuk lebih memahami mekanisme dari dampak yang terjadi terhadap
perekonomian. Seperti terlihat pada Tabel 2, nampak bahwa dalam jangka
sangat pendek, yaitu di tahun 2020, strategi minimal intervention hanya
menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.9% persen poin. Jauh lebih kecil
dibandingkan skenario supression (-4.2 persen poin) atau bahkan
skenario supression dengan stimulus fiskal (-3.37 persen poin). Di tahun 2020,
skenario supression dengan stimulus mengakibatkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia menjadi 1.8% jauh lebih kecil dari baseline-nya yang sebesar 5.2%.
Akan tetapi, nampak bahwa dalam jangka panjang, justru
strategi supression lebih baik daripada minimal intervention. Dalam
skenario minimal intervention, pertumbuhan ekonomi 2019-2020 menjadi hanya
sebesar 4.8%, lebih kecil dibandingkan pada skenario supression (5.1%) dan
skenario supression dengan stimulus fiskal (di tahun 2020) sebeasar 5.2%.  Dari
sini saja jelas, bahwa jikapun pertumbuhan ekonomi jangka panjang (bukan
hanya pertumbuhan ekonomi di tahun 2020 saja) yang menjadi benchmark untuk
mencari skenario intervensi terbaik, maka strategi minimal intervention bukan
strategi yang dapat diambil. Strategi supression atau semaksimal mungkin
mengendalikan penularan virus adalah strategi yang memberikan imbas
pertumbuhan ekonomi tertinggi dalam jangka panjang.
Tabel 2 Dampak terhadap pertumbuhan ekonomi jangka pendek (2020)
dan jangka panjang (2019-2030)
Dampak terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi juga bervariasi (Gambar 3).
Propinsi yang paling terkena dampak diantaranya adalah Banten, DKI, Jabar,
Bali dan Jatim). Daerah-daerah tersebut, kecuali Bali yang terkena dampak
parah karena hampir tidak adanya aktivitas sektor pariwisata dan karena
konsentrasi sektor manufacturing berada di provinsi-provinsi besar di pulau Jawa
tersebut.

Gambar 3 Dampak skenario supression terhadap PDRB daerah (% baseline)


Menarik untuk melihat bagaimana strategi minimal intervention membuat
pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang tertekan. Gambar 4 di bawah
menunjukkan bagaimana variabel GDP, kesempatan kerja, investasi dan stok
kapital dalam skenario minimal intervention relatif terhadap baseline. Nampak
bahwa dampak permanen terhadap GDP awalnya disebabkan oleh
berkurangnya employment. Tenaga kerja juga nampak tidak kembali 100% ke
tren sekulernya. Setelah 2020, dampak menurunnya investasi sebagai dampak
dari bertambahnya risk premium investasi Indonesia mulai menggerus capital
stock membuat GDP Indonesia semakin lama semakin jauh dari baseline-nya.
Terdapat kecenderungan untuk perekonomian kembali ke tren sekulernya karena
investasi nampak menunjukkan titik balik, tapi dalam waktu yang cukup lama.
Gambar 4 Dampak terhadap GDP, Employment, Investment dan capital stock
dalam skenario intervensi minimal (% deviatsi dari baseline)
Dampak terhadap kesejahteraan
Salah satu komponen utama dari ukuran kesejahteraan dalam analisis ini adalah
GNE (Gross National Expenditure). Gambar 5 di bawah menunjukkan
perkembangan deviasi dari baseline (%) dari GNE untuk tiga skenario berbeda.
Gambar ini kemudian digunakan (dengan menggunakan data GNE 2019 sebagai
awal) untuk menghitung ongkos ekonomi dari berbagai skenario tersebut.
Hasilnya dapat dilihat di Tabel 3.

Gambar 5 Dampak terhadap GNE pada tiga skenario alternatif

Tabel 3 Net Present Value (NPV) dari Perubahan kesejahteraan (Ongkos


ekonomi) dalam Milyar Rupiah
Dari Tabel 3 bisa kita simpulkan bahwa, ongkos ekonomi berupa berkurangnya
kesejahteraan dalam skenario intervensi minimum adalah 9,127 trilyun rupiah
tanpa memperhitungkan nilai mortalitas (VSL) tapi menjadi hampir 2 kali lipat
(18,000 trilyun rupiah) jika memperhitungkan nilai mortalitas. Nampak bahwa
jikapun nilai mortalitas tidak diperhitungkan, skenario intervensi minimal
mengeluarkan ongkos ekonomi lebih dari dua kali lipat lebih besar dibandingkan
skenario supression dan supression dengan stimulus. Selisih ongkos dari
strategi minimum intervention dan skenario supression/stimulus  adalah sebesar
5,600 trilyun rupiah. Jika memperhitungkan nilai mortalitas selisih ongkos
ekonomi bahkan mencapai 14,000 trilyun rupiah, hampir setara dengan nilai GDP
Indonesia di tahun 2019.
Kesimpulan dan catatan akhir
Tujuan utama dari analisis ini adalah mengestimasi ongkos ekonomi yang lebih
komprehensif dari berbagai alternatif skenario penanganan pandemi Covid-19,
dalam hal ini skenario intervensi minimal, skenario intervensi kuat
(suppresion misal melalui pembatasan sosial berskala besar yg efektif); dan
skenario intervensi kuat dibarengi dengan stimulus fiskal. Metodologi yang
digunakan adalah kombinasi dari benefit cost analysis sederhana, model CGE
IndoTERM dan telaah literatur. Hasil analisis menyimpulkan bahwa, betul
intervensi kuat untuk meminimalisasi penyebaran virus Covid-19 dalam jangka
pendek (2020 saja) dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi lebih parah
dibandingkan skenario minimal intervension. Akan tetapi, kesimpulan ini hanya
berbasis satu variabel yaitu pertumbuhan ekonomi, yang tentunya, bukan satu-
satunya faktor ekonomi penting dalam analisis ekonomi. Kedua, kesimpulan yang
berbeda didapatkan dalam konteks jangka panjang, dimana justru pertumbuhan
ekonomi jangka panjang dapat lebih tertekan kalau skenario yang terjadi
adalah intervensi minimal. Demikian pula dalam konteks efisiensi analisa cost
benefit analysis (CBA). Analisis CBA menyimpulkan bahwa kerugian ekonomi
dari strategi intervensi kuat (supression) jauh lebih rendah daripada kerugian
ekonomi skenario intervensi minimal. Selisih kerugiannya bisa mencapai 5,600
trilyun rupiah kalau tanpa memperhitungkan nilai mortalitas, dan bahkan bisa
mencapai 14,000 trilyun rupiah – hampir setara dengan nilai total GDP Indonesia
di tahun 2019 – jika memperhitungkan nilai ekonomi dari mortalitas.
Tentunya banyak ketidaksempurnaan dalam analisis ini. Hasilnya sangat
mungkin sensitif terhadap asumsi-asumsi yang digunakan. Kajian selanjutnya,
atau lebih formal, tentunya memerlukan sensitivity analysis terhadap asumsi-
asumsi dan parameterisasi yang dilakukan. Walaupun demikian, dalam artikel ini
penulis telah mencoba untuk membuat asumsi se-plausible mungkin dan juga
mengandalkan referensi-referensi yang kredibel. Kritik dan saran untuk
penyempurnaan dari analisis ini akan disambut dengan tangan terbuka dan
apresiasi.
Kemudian, analisis ini juga tidak dimaksudkan untuk meramalkan apa yang akan
terjadi. Terlalu banyak ketidakpastian dalam tahapan krisis Covid-19 ini dan
informasi berubah cepat. Akan tetapi analisis ini mudah-mudahan bisa
memberikan gambaran yang lebih utuh bagaimana sebaiknya aspek ekonomi
ditempatkan dalam memilih strategi terbaik dalam mengelola kebijakan di era
krisis Covid-19 yang sekarang masih berlangsung. Sudut pandang jangka
pendek jangan mengaburkan kepentingan ekonomi jangka panjang. Demikian
juga pertumbuhan ekonomi, pendapatan masyarakat, apalagi jangka pendek,
bukan satu-satunya faktor penentu kesejahteraan. Nyawa manusia dan
kesehatan juga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi yang justru kalau tidak
dinilai secara benar dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang lebih besar
dalam jangka panjang.
Sebagai penutup, tentunya ongkos ekonomi jangka pendek (2020) sebagai
implikasi dari strategi supresi dapat sebagian diredam oleh stimulus fiskal. Akan
tetapi seperti yang dibahas di artikel ini, stimulus fiskal tidak dapat menutup
sepenuhnya ongkos ekonomi jangka pendek tersebut. Ongkos tersebut,
tentunya, berbeda-beda bebannya untuk setiap keluarga dan setiap individu.
Kelompok masyarakat menengah atas relatif lebih dapat bertahan dibandingkan
kelompok masyarakat miskin dan hampir miskin. Oleh karena itu kita, bersama
pemerintah, harus sebaik-baiknya melindungi kelompok rentan tersebut.
Indonesia bisa melakukannya karena mempunyai sistem perlindungan sosial
yang relatif maju dibandingkan negara-negara berkembang lainnya.

Referansi
[1] Dengan menghitung proporsinya terhadap pendapatan per kapita, dan
menggunakan angka pendapatan per kapita terbaru.
[2] ITB, UNPAD, UGM, Essex University, University of Southern Denmark, ITS,
Oxford University.
[3] * “0.2 deaths per 100,000 per week trigger” = suppression triggered when
weekly death rate reaches this threshold; ** “1.6 deaths per 100,000 per week
trigger” = suppression triggered when weekly death rate reaches this threshold
[4] Lihat https://hbr.org/2020/03/what-coronavirus-could-mean-for-the-global-
economy atau https://www.travelweekly.com/Travel-News/Travel-Agent-
Issues/Oxford-Economics-predicts-rapid-economic-recovery-post-coronavirus

2. Pendapatan usaha kecil 'pupus' akibat covid 19, pemerintah siapkan bantuan
sosial untuk pekerja harian (sumber: BBC,
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-52059235, tanggal 30 Maret 2020
Pemerintah tengah menyiapkan bantuan sosial sektor informal dan stimulus
ekonomi bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, UMKM untuk menjaga daya
beli di tengah tekanan ekonomi akibat wabah Covid-19.
Status tanggap darurat yang diterapkan di beberapa wilayah akibat wabah virus
corona, membuat pekerja di sektor informal dan UMKM tak bekerja dan terpaksa
pulang kampung.
Ketua Asoasasi UMKM Indonesia, Ikhsan Ingratubun, mengungkapkan
pendapatan usaha UMKM "pupus" gara-gara wabah Covid-19, sehingga mereka
kesulitan untuk membayar biaya-biaya dan gaji atau honor pekerja.
Dampaknya adalah banyak dari pekerja UMKM terpaksa pulang kampung.
"Akibat dari Covid-19, mengakibatkan pupus habis pendapatan per hari," ujar
Ikshan kepada BBC News Indonesia, Senin (30/03).
Di tengah ini, pemerintah mengatakan tengah menyiapkan kebijakan bantuan
sosial untuk menyokong sektor informal dan pekerja harian, serta memberi
stimulus bagi usaha kecil, mikro dan menengah.
Akan tetapi, pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia, Lina Miftahul
Jannah, mengingatkan pemerintah perlu berhati-hati agar kebijakan itu tepat
sasaran dan tak mengulangi penyelewengan seperti dalam penyaluran bantuan
langsung tunai (BLT).
Selama delapan hari terakhir, tercatat 876 armada bus antar provinsi yang
membawa kurang lebih 14.000 penumpang dari Jabodetabek, menuju Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta. Sebagian besar dari mereka
adalah pekerja informal yang mencari nafkah di ibu kota.
Mereka adalah pekerja warung, toko kecil, pedagang asongan, pedagang di
pasar, hingga pekerja lain yang menggantungkan hidup dari pendapatan harian
termasuk di pusat-pusat perbelanjaan dan pengendara ojek online.
Perlindungan sosial di sektor informal
Dalam rapat terbatas yang digelar Senin (30/03), Presiden Joko Widodo
mengakui bahwa banyak pekerja informal di Jabodetabek yang terpaksa pulang
kampung karena penghasilannya menurun sangat drastis atau bahkan hilang
sebagai imbas dari penerapan status tanggap darurat yang membatasi aktivitas
warga.
Dia mengatakan program perlindungan sosial dan stimulus ekonomi bagi pelaku
usaha informal dan UMKM harus segera diterapkan.
"Saya minta percepatan program social safety net atau jaring pengaman sosial,
yang memberikan perlindungan sosial di sektor informal dan pekerja harian
maupun program insentif ekonomi bagi usaha mikro, usaha kecil, betul-betul
segera dilaksanakan di lapangan," ujar Jokowi.
"Sehingga para pekerja informal, buruh harian, semuanya bisa memenuhi
kebutuhan dasarnya sehari-hari," ujarnya lagi.
Ketua Asiasasi UMKM Indonesia, Ikhsan Ingratubun berharap pekerja UMKM
yang terpaksa dirumahkan juga menjadi tanggungan bantuan ini.
"Karena kita nggak mampu membayar, karena berdasar pemasukkan daily.
Sejak tutup awal Maret, berarti kita tidak mampu membayar gaji karyawan yang
kita rumahkan," kata dia.
Sebelumnya, Sekretaris Kementerian Koordinator bidang Perekonomian,
Susiwijono Moegiarso mengatakan, bantuan sosial akan disalurkan kepada 29,3
juta penerima bantuan langsung tunai (BLT) yang tergolong dalam empat puluh
persen warga miskin.
Sekitar 15,2 juta di antaranya adalah masyarakat yang sudah terdata sebagai
penerima bantuan pangan non tunai, sementara sisanya masih dalam
pendataan.
Penyaluran BLT merupakan salah satu bagian dari paket stimulus lanjutan yang
kini sedang dipersiapkan oleh pemerintah.
Bantuan ini akan menyasar pekerja sektor informal, antara lain pekerja warung,
toko kecil, pedagang di pasar, hingga pekerja harian lainnya termasuk di pusat-
pusat perbelanjaan.
Namun, belum ada keterangan seperti apa skema penyaluran bantuan tersebut
dan berapa besaran BLT yang akan diberikan pemerintah.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia, Lina Miftahul Jannah,
pemerintah perlu mempertimbangkan skema penyaluran bantuan untuk pekerja
informal yang kebanyakan dari mereka tidak memiliki rekening bank. Sehingga,
penyaluran harus dilakukan secara tunai.
"Kalau bicara sektor informal, misalnya pengendara ojek online, mereka
dipastikan punya rekening, karena memang dari perusahaan mereka mewajibkan
[punya rekening]. Tapi bagaimana dengan pekerja informal lain yang belum tentu
punya rekening?," kata Lina.
Penyaluran secara tunai pun, lanjut Lina perlu hati-hati agar kebijakan itu tepat
sasaran dan tak mengulangi penyelewengan seperti dalam penyaluran bantuan
langsung tunai (BLT).
"Pembelajaran dari BLT, itu kan ada potongan-potongan dari mulai entah RT,
entah RW-nya. Artinya apa, tidak sampai full kepada masyarakat," ujarnya.
Berkaca pada apa yang terjadi di India yang kini tengah menerapkan karantina
wilayah atau lockdown, pemerintah India pekan lalu telah mengumumkan
bantuan senilai US$22 miliar bagi kaum miskin, yang dicairkan melalui transfer
tunai secara langsung, ada juga bahan pangan.
Namun, muncul kekhawatiran bantuan itu bakal tidak sampai ke pihak yang
benar-benar membutuhkan.
Keringanan pembayaran listrik
Ketua Asosiasi UMKM Indonesia, Ikhsan Ingratubun, berharap pemerintah
memberi keringanan pembayaran listrik dalam stimulus bagi UMKM yang akan
segera diumumkan.
Dia mengungkapkan bahwa stimulus yang sudah ada saat ini bagi UMKM untuk
menekan dampak ekonomi dari Covid-19 adalah keringanan pembayaran utang
dan pajak.
"Tetapi yang belum kita dengar adalah tentang pembayaran listrik, penundaan
pembayaran listrik," kata dia.
Padahal, biaya listrik merupakan salah satu komponen biaya yang harus
dikeluarkan oleh UMKM demi menjalankan operasional bisnisnya.
"Esensi dari jaminan sosial apabila menyentuh pengeluaran yang dikeluarkan
oleh para UMKM atau daily workers ini itu bisa menjadi pelipur lara atau duka
dari usaha kecil dan menengah akibat dari Covid-19," cetusnya.
Adapun PLN mengungkapkan akan memberikan keringanan tarif listrik di tengah
wabah virus corona, baik untuk sektor rumah tangga maupun industri.

3. Virus corona: Dampaknya 'lebih buruk daripada krisis finansial 2008'


dan pertumbuhan ekonomi dunia bisa tinggal separuh (Sumber:
BBC, https://www.bbc.com/indonesia/dunia-51720514, 3 Maret 2020

Menurut Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD),


pertumbuhan ekonomi bisa turun menjadi yang terburuk sejak 2009.
Ekonomi China, yang merupakan negara manufaktur raksasa dunia saat ini, juga
mengalami penurunan drastis.
Rantai pasokan terganggu menyebabkan pelambatan produksi.
OECD memperkirakan bahwa pertumbuhan dunia di tahun 2020 ini akan berkisar
pada angka 2,4%, turun dari angka 2,9% pada bulan November.
Namun menurut mereka, apabila wabah ini menjadi lebih intensif lagi,
pertumbuhan bisa hanya tinggal 1,5%, hampir separuh dari tahun lalu.
Ini dinyatakan sesudah Bank of England menyatakan akan membantu
menstabilkan pasar, yang mengalami kerugian minggu lalu.
Menurut perkiraan OECD, ekonomi global akan pulih lagi ke angka pertumbuhan
3,4% pada tahun 2021.
Ini dibuat dengan asumsi epidemi di China akan mencapai puncaknya pada
kuartal pertama tahun ini, dan wabah di tempat lain berlangsung ringan dan bisa
dikendalikan.
Namun gambaran ini bisa lebih buruk seandainya virus menyebar luas di Asia,
Eropa dan Amerika Utara.
Sepanjang bulan Februari, ekonomi China mengalami pertumbuhan terendah
sejak tahun 2005 seiring langkah pemerintah menangani penyebaran virus.
Menurut data dari Kantor Statistik Nasional China (ONE), patokan Purchasing
Managers' Index (PMI) dari sektor manufaktur jatuh 14,3 poin ke 35,7 setelah
sebelumnya mencapai angka 50 poin pada bulan Januari tahun ini.
Angka ini merupakan rekor terendah. Sebelumnya angka terendah terjadi pada
November 2008 ketika dunia terlanda krisis finansial global.
Angka PMI dihitung dengan data dari survei bulanan ke perusahaan sektor
swasta dan menjadi indikator kunci bagi kesehatan ekonomi suatu negara serta
bisa menggerakkan pasar keuangan.
Sektor manufaktur dunia saat ini sepertiganya berada di China.
China juga menjadi eksportir terbesar dunia, maka kejatuhan angka PMI meerka
akan memiliki dampak kepada negara-negara lain.
Minggu lalu, prediksi dampak penanganan virus corona terhadap perdagangan
dan ekonomi global sudah diumumkan.
Lembaga konsultan Capital Economics yang berkantor di London memperkitakan
wabah ini akan menghabiskan biaya hingga US$280 milar, hanya pada tiga
bulan pertama tahun 2020.
Angka ini lebih besar daripada anggaran tahunan Uni Eropa, setara kira-kira
pendapatan Microsoft atau Apple, dan delapan kali lipat anggaran tahunan
pemerintah Nigeria.
Pembatasan yang sedang diterapkan di negeri yang disebut "pabrik dunia" ini
sudah mempengaruhi beberapa perusahaan seperti Apple, Diageo, Jaguar, Land
Rover dan Volkswagen, yang tergantung pada produksi dan konsumsi China.
Menurut Bloomberg Economics, pabrik di China hanya beroperasi 60% hingga
70% dari kapasitas mereka minggu ini.
Kebanyakan pabrik tergantung pada 300 juta buruh yang dari berbagai kota di
China, yang sepertiganya masih belum bekerja lagi karena adanya karantina.
Para pemimpin China sudah meminta kepada pemerintah daerah, pabrik dan
buruh untuk mulai segera bekerja lagi, terutama di daerah-daerah yang tak
terlalu terdampak.
Namun hingga kini tanggapan masih lambat.
China adalah raksasa industri. Tetapi sektor smartphone menjadi salah satu
yang paling terdampak, karena negara ini adalah produsen dan pengekspor
perangkat terbesar di dunia.
Daftar ponsel yang mengalami kekurangan suku cadang termasuk iPhone Apple,
salah satu smartphone terlaris di planet ini.
Perusahaan teknologi itu mengumumkan pada 17 Februari bahwa produksi dan
penjualan produk andalannya itu telah terdampak wabah - dan menyatakan
bahwa pasokan iPhone di seluruh dunia "akan sementara dibatasi".
Riset pasar oleh Canalys telah memperkirakan penurunan hingga 50% dalam
pengiriman telepon pintar di China antara Oktober 2019 dan Maret 2020.
Di China, virus corona ini sudah punya dampak negatif terhadap konsumsi
domestik, salah satu landasan model ekonomi yang dipromosikan Presiden Xi
Jinping.
Toko-toko banyak yang tutup karena permintaan yang rendah. Ini disebabkan
banyak pelanggan masih memilih untuk tinggal di rumah dan tidak banyak
berbelanja, seperti dilaporkan Capital Economics.
Menurut asosiasi produsen makanan China, 93% restoran tutup selama epidemi
- juga selama Tahun Baru Imlek yang merupakan perayaan terbesar di China
yang bertepatan dengan dimulainya wabah.
Sektor ini diperkirakan merugi hingga 500 miliar yuan (sekitar Rp1.000 trilyun)
menurut data yang dikumpulkan EFE dari Beijing.
Ekonom Larry Hu, dari Macquarie Capital di Hong Kong, memperkirakan
ekonomi China bisa mengalami penyusutan dalam trimester pertama.
Ini akan menjadi yang pertamakalinya terjadi sejak Revolusi Budaya, seperti
dilaporkan oleh surat kabar South China Morning Post (SCMP)
Pertumbuhan ekonomi China tahun 2019 merupakan yang terendah selama tiga
dekade dan pemerintah berkeras bahwa pembangunan ekonomi dan sosial
mereka tetap bisa memenuhi target, sekalipun ada epidemi.
Pihak pemerintah China biasanya mengumumkan target-target ini - semisal GDP
atau inflasi - pada bulan Maret selagi ada rehat dalam sidang parlemen tahunan.
Namun karena wabah, pengumuman ini ditunda hingga waktu yang belum
ditentukan.
International Monetary Fund (IMF) menurunkan perkiraan pertumbuhan Produk
Domestik Bruto, PDB, China di tahun 2020 dari 6% menjadi 5,6%.
Menurut mereka, virus corona telah menghadapkan ekonomi global pada
"ketidakpastian yang mendesak" dan menjadi ancaman bagi pemulihan karena
adanya kemungkinan dampak terhadap rantai pasokan global.
Di tengah situasi tidak pasti ini, pihak berwenang China berusaha menyampaikan
pesan-pesan yang menenangkan.
Akhir pekan lalu misalnya, mereka menyatakan sekitar 90% perusahaan milik
negara telah memulai kembali kegiatannya, menurut surat kabar SCMP.
"Khususnya di sektor gas, minyak, komunikasi, listrik dan transportasi telah
beroperasi lebih dari 95%, dan beberapa sudah mencapai 100%," menurut
laporan komisi pengawas dan pengelola aset negara.
Sekalipun indikator-indikator ini berada di zona merah, penurunan produksi di
China punya dampak positif.
Berdasar pengamatan satelit pengawas polusi NASA, terdeteksi penurunan
nitrogen dioksida di China yang menandakan turunnya tingkat polusi di sana.
4. Ini Dampak Mengerikan COVID-19 ke Industri RI, THR Terancam? (Sumber:
CNBC, https://www.cnbcindonesia.com/market/20200331091721-17-148640/ini-
dampak-mengerikan-covid-19-ke-industri-ri-thr-terancam, 31 Maret 2020)

Kalangan pengusaha menilai virus corona telah membawa dampak negatif


besar terhadap perekonomian Indonesia. Sejumlah pemutusan hubungan
kerja (PHK) mulai terjadi. Bahkan ada kemungkinan karyawan tunjangan
hari raya (THR) tak bisa dibayarkan dan menjadi perhatian belakangan ini.

Pasalnya, virus corona telah menggangu mata rantai produksi industri


sehingga perputaran bisnis tak lancar, sementara kewajiban para
pengusaha tetap harus berjalan.

Wakil Ketua Umum Dewan Pertimbangan Kadin DKI Jakarta Sarman


Simanjorang menyebut bukan tidak mungkin pengusaha tidak mampu
membayar THR sepenuhnya karena dampak corona atau covid-19 sudah
sangat memukul sektor usaha.
Ia pun meminta payung hukum yang jelas terkait pembayaran THR ini. Jika
tidak, maka akan ada kesepakatan yang bakal sulit tercapai.

"Harapan saya maksimal minggu kedua April udah turun, kalau bisa
sebelum Ramadhan udah ada kebijakan dari pemerintah terkait opsi-opsi
apa yang dilakukan. Jadi saya katakan kalau opsi sama sekali nggak
mampu berikan. Kedua kalau mampu, mungkin tidak penuh gimana
solusinya? kalau mampu syukur-syukur. Jadi antara dua itu," kata Sarman
kepada CNBC Indonesia, Senin (30/3).
Kewajiban pembayaran THR sudah diatur oleh pemerintah melalui UU
nomor 13 tahun 2003. Dimana pengusaha wajib memberikan THR minimal
satu kali gaji bagi mereka yang sudah setahun bekerja.

Di sisi lain, kalangan pekerja jelas menolak mentah-mentah wacana


tersebut. Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat
Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar S. Cahyono menyebut, terhambatnya
kegiatan ekonomi selama satu bulan terakhir seharusnya tidak menjadi
alasan kesulitan membayar THR.

Pasalnya dalam rentang 9 bulan sebelumnya, sudah banyak keuntungan


yang diambil pengusaha. Sehingga, aturan membayar THR sepenuhnya
harus dilaksanakan.

Terlebih, momen lebaran yang biasanya terjadi perputaran uang besar, ini
peluang untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang didominasi buruh.
Salah satu caranya dengan memberikan stimulus lebih.

"Kita keberatan kalau THR hanya diberikan 50%. Dalam kondisi sulit
mestinya THR diberikan penuh, bahkan kalau bisa ditambahin untuk
tingkatkan daya beli pekerja.

"Corona satu bulanan, jadi nggak fair itu jadi alasan pengusaha untuk
nggak berikan THR secara penuh. karena THR kan rutinitas tahunan. Jadi
harus jauh-jauh hari dianggarkan dari keuntungan saban bulan itu untuk
pembayaran THR. Jangan karena permasalahan yang sebentar terjadi,
kemudian manja untuk tidak memberikan apa yang harusnya didapatkan
para buruh," kata Kahar kepada CNBC Indonesia, beberapa waktu lalu.

Bukan hanya persoalan THR, saat ini sudah ada informasi perusahaan
yang akan melakukan PHK kepada para pekerja.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal
mengatakan salah satu perusahaan yang akan melakukan PHK adalah PT
Akomoto Indonesia. Perusahaan yang berlokasi di Mojokerto, Jawa Timur
itu pada tanggal 24 Maret 2020 sudah mengirimkan surat kepada serikat
pekerja terkait dengan rencana perusahaan yang akan melakukan PHK
terhadap 26 orang pekerja.

Tidak jauh yakni di Sidoarjo, pekerja di PT Apie Indo Karunia juga


terancam PHK lantaran pemilik perusahaan mengaku sudah tidak punya
uang untuk memberikan upah.
"Sementara itu, ribuan buruh di perusahaan tekstil di Bandung yang habis
kontrak sudah tidak diperpanjang lagi. Hal yang sama juga terjadi di
banyak perusahaan lain. Dengan kata lain, mereka di PHK," tegasnya
dalam keterangan resmi seperti dikutip Sabtu (28/3/2020).

Kondisi ini sangatlah mengkhawatirkan. Bukan tidak mungkin, gelombang


PHK bisa terus berlanjut. Bahkan KSPI memprediksi, dalam 2 bulan akan
terjadi PHK puluhan ribu buruh. Bahkan jika permasalahan di atas tidak
segera diselesaikan, tidak menutup kemungkinan ratusan ribu buruh bakal
kehilangan pekerjaan

Said Iqbal mengingatkan, terdapat 4 hal yang memicu gelombang PHK.


Pertama, ketersediaan bahan baku di industri manufaktur yang mulai
menipis. Khususnya bahan baku yang berasal dari impor, seperti dari
negara China, dan negara-negara lain yang juga terpapar Corona.

Kedua, pelemahan rupiah terhadap dollar. Ketiga, penurunan jumlah


kunjungan wisatawan ke destinasi pariwisata. Keempat, anjloknya harga
minyak dan indeks harga saham gabungan (IHSG).

5. Dampak Covid-19 Terhadap Ekonomi Global 2020 (Sumber:


https://www.suarasurabaya.net/ekonomibisnis/2020/dampak-covid-19-terhadap-
ekonomi-global-2020/, 23 April 2020)

Ekonomi global dapat menyusut hingga satu persen pada 2020 karena pandemi
Virus Corona baru atau COVID-19, dan dapat berkontraksi lebih jauh jika
pembatasan kegiatan ekonomi diperpanjang tanpa respons fiskal memadai. Hal
itu disampaikan Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB (UN-DESA) yang
dilansir Antara pada Kamis (2/4/2020).
Pengarahan UN-DESA menemukan bahwa jutaan pekerja berisiko kehilangan
pekerjaan ketika hampir 100 negara menutup perbatasan nasional mereka. Itu
bisa berarti kontraksi ekonomi global 0,9 persen pada akhir 2020, atau bahkan
lebih tinggi jika pemerintah gagal memberikan dukungan pendapatan dan
membantu meningkatkan belanja konsumen.
Menurut perkiraan, penguncian di Eropa dan Amerika Utara memukul sektor jasa
dengan keras, terutama industri yang melibatkan interaksi fisik seperti
perdagangan ritel, rekreasi dan perhotelan dan transportasi. Secara kolektif,
industri-industri semacam itu mencakup lebih dari seperempat dari semua
pekerjaan di negara-negara tersebut.
Ketika bisnis kehilangan pendapatan, pengangguran cenderung meningkat
tajam, maka akan mengubah guncangan sisi penawaran menjadi guncangan sisi
permintaan yang lebih luas bagi perekonomian. Tingkat keparahan dampak akan
sangat tergantung pada durasi pembatasan pada pergerakan orang dan kegiatan
ekonomi serta pada skala dan kemanjuran respons oleh otoritas-otoritas
keuangan nasional.
Dengan latar belakang itu, UN-DESA bergabung dengan paduan suara di
seluruh sistem PBB yang menyerukan paket stimulus fiskal yang dirancang
dengan baik yang memprioritaskan pengeluaran kesehatan dan mendukung
rumah tangga yang paling terkena dampak pandemi.
“Diperlukan langkah-langkah kebijakan yang mendesak dan berani, tidak hanya
untuk menahan pandemi dan menyelamatkan nyawa, tetapi juga untuk
melindungi yang paling rentan di masyarakat kita dari kehancuran ekonomi dan
untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi serta stabilitas keuangan,” kata
Liu Zhenmin Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Ekonomi dan Sosial.
Analisis ini juga memperingatkan bahwa efek buruk dari pembatasan ekonomi
yang berkepanjangan di negara maju akan segera menyebar ke negara-negara
berkembang melalui jalur perdagangan dan investasi. Penurunan tajam dalam
pengeluaran konsumen di Uni Eropa dan Amerika Serikat akan mengurangi
impor barang-barang konsumsi dari negara-negara berkembang.
Negara-negara berkembang, terutama yang bergantung pada pariwisata dan
ekspor komoditas, menghadapi risiko ekonomi yang meningkat. Produksi
manufaktur global dapat berkontraksi secara signifikan, dan jumlah pelancong
yang anjlok kemungkinan akan merusak sektor pariwisata di negara-negara
berkembang pulau kecil, yang mempekerjakan jutaan pekerja berketerampilan
rendah.
Badan penerbangan sipil PBB, Organisasi Penerbangan Sipil Internasional,
menyambut baik komitmen para pemimpin ekonomi utama G20 akhir pekan lalu
yang menunjukkan bahwa dukungan fiskal yang berani diperlukan untuk
melindungi industri perjalanan global, untuk membantu pemulihan global dalam
beberapa bulan mendatang.
Sementara itu, penurunan pendapatan terkait komoditas dan pembalikan aliran
modal meningkatkan kemungkinan tekanan utang bagi banyak negara.
Pemerintah mungkin terpaksa membatasi pengeluaran publik pada saat mereka
perlu meningkatkan pengeluaran untuk menahan pandemi dan mendukung
konsumsi dan investasi.
Elliot Harris Kepala Ekonom dan Asisten Sekretaris Jenderal PBB untuk
Pembangunan Ekonomi mengatakan tujuan kolektif itu haruslah pemulihan yang
tangguh yang mengembalikan planet ini ke jalur yang berkelanjutan. “Kita tidak
boleh lupa bagaimana hal itu mempengaruhi populasi yang paling rentan dan
apa artinya bagi pembangunan berkelanjutan,” katanya.(ant/tin/ipg)

6. Dampak Pandemi Covid-19 Pada Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (sumber:


https://sukabumiupdate.com/detail/bale-warga/opini/66831-Dampak-Pandemi-
Covid-19-Pada-Pertumbuhan-Ekonomi-Indonesia, 28 Maret 2020)

Pandemi Covid-19 merupakan virus corona yang berasal dan pertama kali
muncul dari kota Wuhan, China pada akhir Desember 2019. Di duga Covid-19 ini
berasal dari hewan kelewar dan setelah di telusuri, orang-orang yang terinfeksi
virus ini merupakan orang-orang yang memiliki riwayat telah mengunjungi pasar
basah makanan laut dan hewan lokal di Wuhan, China.
Manusia merupakan mahluk sosial yang memungkinkan saling berinteraksi
secara langsung sehingga tingkat penyebaran pandemi Covid-19 semakin pesat,
hingga Kamis, 26 maret 2020 tercatat 198 negara yang terinfeksi oleh Covid-19.
Indonesia merupakan salah satu negara yang terinfeksi pandemi Covid-19, pada
26 Maret 2020 tercatat 893 orang positif virus Corona. Diantaranya, 35 orang
sembuh, 780 orang di rawat, dan 78 orang meninggal.
Salah satu penyebab virus corona mudah menyebar di Indonesia adalah karena
Indonesia merupakan negara dengan Sektor pariwisata. Sektor pariwisata
merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam pertumbuhan
perekonomian Indonesia dan memiliki kontribusi devisa terbesar kedua di
Indonesia setelah devisa hasil ekspor Kelapa Sawit.
Sektor pariwisata memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang pada
perekonomian Indonesia. Dampak jangka pendek dapat di rasakan secara
langsung, sedangkan dampak jangka Panjang dapat dilihat dengan
bertambahnya pendapatan nasional, namun dengan adanya Covid-19 semuanya
tak lagi sama.
Sektor pariwisata yang sekarang mengalami kelesuan sehingga daya beli
menurun secara drastis karena berkurangnya pengunjung baik turis lokal
maupun turis mancanegara, yang secara otomatis pendapatan dan devisa yang
di hasilkan dari sektor pariwisata semakin menurun.
Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan pemerintah pada 18 Maret 2020, segala
kegiatan di dalam dan di luar ruangan di semua sektor yang terkait pariwisata
dan ekonomi kreatif ditunda sementara waktu demi mengurangi penyebaran
corona.
Hal ini mengakibatkan sektor pariwisata menjadi lumpuh sementara, sehingga
pengangguran semakin bertambah karena pariwisata merupakan salah satu
wadah yang memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar tempat
wisata maupun masyarakat dari luar.
Contohnya, Aston Bogor Hotel & Resort melakukan penutupan yang di mulai
pada tanggal 22 Maret 2020 serta 120 karyawan dipulangkan karena adanya
penurunan bisnis yang di akibatkan oleh pandemi dari virus corona ini.
Bukan hanya sektor pariwisata yang mengalami kelumpuhan sementara, tetapi
para karyawan dari jenis perusahaan lainnya ikut merasakan dampak dari
pandemi Covid-19. Yang dimana pekerjaan atau kegiatan yang biasanya
dilakukan diluar rumah secara langsung sekaran terpaksa harus dilakukan di
dalam rumah.
Serta ada banyak pula karyawan yang terancam pemberhentian hak kerja (PHK)
karena banyak pekerjaan yang tidak memungkinkan untuk dikerjakan dirumah,
seperti halnya kegiatan produksi yang bergantung pada mesin yang berada di
tempat produksi.
PHK ini juga dilakukan karena kurangnya pembelian dari konsumen dan
dibatasinya ekspor ke negara tertentu sehingga akan menghambat ekspor dan
mengurangi pendapatan perusahaan, bahkan perusahaaan bisa mengalami
kerugian. Ada pun penyebab lain dari di PHK nya para karyawan yaitu karena
kelangkaan bahan baku untuk diproduksi yang di impor dari negara luar seperti
dari negara Thiongkok sehingga akan menghambat kegiatan industri.
Perusahaan yang berhenti beroperasi dan peningkatan jumlah angka
pengangguran dapat menghambat dan mengurangi produk domestik bruto (PDB)
serta menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Presiden Indonesia, Joko Widodo atau Jokowi mengungkapkan alasan mengapa
tidak mengeluarkan kebijakan lockdown dalam pencegahan penyebaran Covid-
19.
"Kemudian ada yang bertanya kenapa kebijakan lockdown tidak kita lakukan.
Perlu saya sampaikan setiap negara memiliki karakter berbeda-beda, budaya
berbeda-beda, kedisplinan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kita tidak
memilih jalan itu (lockdown)," kata Jokowi saat memberikan pengarahan kepada
gubernur se-Indonesia melalui video conference, Selasa (24/3/2020).
Presiden Indonesia tidak mengeluarkan kebijakan lockdown bukan tanpa alasan,
menurut beliau setiap negara memiliki karakter dan budaya yang berbeda-beda.
Beliau juga mengaku telah melakukan kalkulasi dan analisis yang matang
terhadap negara-negara yang melakukan kebijakan lockdown.
“Kebijakannya seperti apa semua dari Kemenlu dari Dubes yang ada terus kita
pantau setiap hari. Jadi yang paling pas di negara kita physical distancing,
menjaga jarak aman," jelas dia.
"Kalau itu bisa kita lakukan saya yakin kita bisa mencegah penyebaran Covid-19
ini," sambung Jokowi.
Jika presiden mengeluarkan kebijakan lockdown maka akan berdampak besar
pada pertumbuhan perekonomian Indonesia, hal ini di sebabkan oleh kegiatan
perekonomian yang akan berhenti secara besar-besaran. Sebagai gantinya
pemerintah juga mengeluarkan kebijakan lainnya seperti belajar, bekerja, dan
beribadah dari rumah untuk menekan penyebaran Covid-19.
Meskipun kebijakan tersebut di berlakukan, namun masih ada saja masyarakat
yang menyalahgunakan kebijakan ini, seperti kegiatan belajar dan bekerja di
rumah di gunakan untuk berlibur di luar kota.
Sehingga penyelewengan kebijakan ini dapat memperluas dan mempercepat
penyebaran virus Corona, baik dari yang disebarkan oleh para pengunjung
kepada masyarakat setempat, maupun yang disebarkan oleh masyarkat
setempat kepada para pengunjung.
Sebagai warga negara yang baik dan patuh pada pemerintah dan aturan kita
hanya perlu disiplin terhadap kebijakan social distancing dan physical distancing
(jaga jarak aman) #dirumahAja untuk meminimalisir penyebaran Covid-19 dan
perekonomian Indonesia cepat pulih kembali.

7.

Anda mungkin juga menyukai