Anda di halaman 1dari 10

ABSTRAK

Tindak Pidana Pencurian dengan kekerasan ini berbeda dengan pencurian


biasa, tindak pidana pencurian dengan kekerasan seperti pengrusakan, pemukulan,
pengkroyokan dan lain-lain, maka ancaman hukumannya pun berat dari pada
pencurian biasa, Permasalahan analisis adalah ;
(1) Bagaimanakah penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana pencurian dengan
kekerasan?
(2) Bagaimanakah hapusnya wewenang menuntut dan menjalankan pidana dalam
tindak pidana pencurian dengan kekerasan ?
Penerapan sanksi terhadap kasus tindak pidana pencurian dakta yang dengan
kekerasan dimana dalam perbuatannya yang dilakukan secara bersama- sama dengan
keadaan yang sadar dan perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan karena perbuatan
terdakwa sudah memenuhi unsur-unsur yang ada dalam rumusan delik yang
berlaku.Sudah di dasarkan pada fakta-fakta yang terungkap dipersidangan. Dalam
menjatuhkan suatu putusan Hakim wajib menggali dan memahami nilai-nilai luhur
yang hidup, ini bukan hanya untuk hakim saja sewaktu mengadili, bagaimana
mungkin hakim menggali ditingkat pengadilan, kalau sejak awal tidak dibawa oleh
polisi, dan tidak dibawa oleh jaksa. Bahwa selain nilai dalam undang-undang, nilai-
nilai yang berkembang dalam masyarakatpun harus dipertahankan dan dilaksanakan.
Kendala yang dihadapi hakim saat memberikan hukuman kepada pelaku turutserta
tindak pidana pencurian hakim mengalami kendala internal dan eksternal.

Kata Kunci: Pencurian, Turut Serta, Hapus nya kewenangan menuntut dan menjalankan
pidana.
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

pencurian adalah pengambilan properti milik orang lain secara tidak sah tanpa seizin
pemilik. Kata ini juga digunakan sebagai sebutan informal untuk sejumlah kejahatan terhadap
properti orang lain, seperti perampokan rumah, penggelapan, larseni, penjarahan,
perampokan, pencurian toko, penipuan dan kadang pertukaran kriminal. Dalam yurisdiksi
tertentu, pencurian dianggap sama dengan larseni; sementara yang lain menyebutkan
pencurian telah menggantikan larseni.1

Pencurian dengan pemberatan dan dengan kekerasan merupakan salah satu penyakit
masyarakat yang menunggal dengan kejahatan, yang dalam proses sejarah dari generasi ke
generasi ternyata kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang merugikan dan menyiksa
orang lain. Oleh karena itu perlu diupayakan agar masyarakat menghindari melakukan
pencurian dengan pemberatan maupun pencurian dengan kekerasan terhadap orang lain.
Mengenai kejahatan pencurian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
selanjutnya disingkat dengan (KUHP), yang dibedakan atas lima macam pencurian, yaitu :

1. Pencurian biasa (Pasal 362 KUHP);


2. Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP);
3. Pencurian ringan (Pasal 364 KUHP);
4. Pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP);
5. Pencurian dalam keluarga (Pasal 367 KUHP).
Tindak pidana pencurian selengkapnya dirumuskan dalam KUHP yaitu sebagai

Berikut:2

2 Pasal 362 : Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam
karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak
enam puluh rupiah. Jenis-jenis tindak pidana pencurian tersebut di atas yang dinamakan
tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok adalah tindak pidana pencurian biasa (Pasal 362
KUHP).
1
Wikipedia, “Pencurian”, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Pencurian, pada tanggal 17 April 2019,
pukul 14.24
2
KUHAP dan KUHP, EFATA Publishing, 2018, hlm.278
Sedangkan tindak pidana pencurian yang lainnya merupakan pencurian biasa yang disertai
dengan keadaan-keadaan khusus. Tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang
menyebabkan matinya orang diatur dalam Pasal 365 ayat (1) dan ayat (3) KUHP.

Pasal 365 ayat (1) dan (3) KUHP merumuskan :3

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang didahului,
disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan
maksud untuk mempersiap atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan,
untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai
barang yang dicurinya

(3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling lama lima
belas tahun.

Tindak pidana yang penulis teliti terdapat unsur “memberatkan” sebagaimana diatur dalam
Pasal 363 ayat (1) ke 5 KUHP, yaitu :

Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuan tahun dihukum : Ke-5. Pencurian yang
dilakukan oleh tersalah dengan masuk ketempat kejahatan itu atau dapat mencapai barang
untuk diambilnya, dengan jalan membongkar, memecah atau memanjat atau dengan jalan
memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu. Berkenaan dengan rumusan
Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP, R. Soesilo mengatakan:

1 Pencurian dalam pasal ini dinamakan pencurian dengan pemberatan atau pencurian dengan
kualifikasi dan diancam hokuman yang lebih berat. Apakah yang diartikan dengan pencurian
denan pemberatan itu? Ialah pencurian biasa disertai dengan salah satu keadaan seperti
berikut : Apabila pencurian itu dilakukan pada waktu malam, dalam rumah atau pekarangan
tertutup yang ada rumahnya. ”Malam” = waktu antara matahari terbenam dan terbit. Rumah
(woning)= tempat yang dipergunakan untuk berdiam siang malam, artinya untuk makan, tidur
dsb. Sebuah gudang atau toko yang tidak didiami siang malam, tidak masuk pengertian
rumah sebaiknya gubug, kereta, perahu dsb yang siang malam dipergunakan sebagai
kediaman, masuk sebutan rumah. Pekarangan tertutup = suatu pekarangan yang sekelilingnya
ada tanda-tanda batas yang kelihatan nyata seperti selokan, pagar bambu, pagar hidup, pagar
kawat dsb. Tidak perlu tertutup rapat-rapat, sehingga orang tidak dapat masuk sama sekali.
Disini pencuri itu harus betul-betul masuk ke dalam rumah dsb, dan melakukan pencurian

3
KUHAP dan KUHP, EFATA Publishing, 2018, hlm.279-280
disitu. Apabila ia berdiri diluar dan mengait pakaian melalui jendela dengan tongkat atau
mengulurkan tangannya saja ke dalam rumah untuk mengambil barang itu, tidak masuk
disini. Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 363 KUHP dan Pasal 365 KUHP juga
merupakan gequalificeerde diefstal atau suatu pencurian dengan kualifikasi ataupun
merupakan suatu pencurian dengan unsur-unsur memberatkan. Dengan demikian maka yang
diatur dalam Pasal 365 KUHP sesungguhnya hanyalah satu kejahatan, dan bukan dua
kejahatan yang terdiri atas kejahatan pencurian dan kejahatan pemakaian kekerasan terhadap
orang, dari kejahatan pencurian dengan kejahatan pemakaian kekerasan terhadap orang.2
Maka sudah jelas bahwa pada hakekatnya, pencurian dengan kekerasan adalah perbuatan
yang bertentangan.4

dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun hukum, serta membahayakan bagi
penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Ditinjau dari kepentingan
nasional, penyelenggaraan pencurian dengan kekerasan merupakan perilaku yang negatif dan
merugikan terhadap moral masyarakat. Pencurian dengan kekerasan dalam perspektif hukum
merupakan salah satu tindak pidana (delict) yang meresahkan dan merugikan masyarakat.
Perihal tentang yang disebut kekerasan itu Simons mengatakan:3 “Onder geweld zal ook hier
mogen worden verstan, elke uitoefening van lichamelijke kracht van niet al te geringe
betekenis”. Yang artinya : “Dapat dimasukkan dalam pengertian kekerasan yakni setiap
pemakaian tenaga badan yang tidak terlalu ringan”.

BAB II

PEMBAHASAN

Bagaimanakah penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana pencurian dengan


kekerasan?

Tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP sesungguhnya hanyalah satu
kejahatan, dan bukan dua kejahatan yang terdiri atas kejahatan pencurian dan kejahatan

4
Prasetyo Haribowo, “Tindak pidana pencurian dengan pemberatan”, diakses dari
http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/TINDAK%20PIDANA%20MELAKUKAN%20PENCURIAN
%20DENGAN%20PEMBERATAN.pdf , pada tanggal 17 April 2019, pukul 14.56
pemakaian kekerasan terhadap orang. Tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 365
KUHP juga merupakan gequalificeerde diefstal atau suatu pencurian dengan kualifikasi
ataupun merupakan suatu pencurian dengan unsur - unsur yang memberatkan. Menurut arrest
Hoge Raad arti dari kata yang memberatkan adalah karena di dalam pencurian itu, orang
telah memakai kekerasan atau ancaman kekerasan. 39 Dari perumusan Pasal 365 KUHP
dapat menyebutkan unsur - unsur tindak pidana pencurian dengan kekerasan dari ayat (1)
sampai dengan ayat (4). Adapun unsur - unsur tindak pidana ini adalah sebagai berikut :

Ayat (1) memuat unsur-unsur : 5

- Pencurian dengan :

- Didahului

- Disertai

- Diikuti

- Oleh kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap seseorang.

Unsur-unsur subyektifnya :

- Mempersiapkan atau mempermudah pencurian itu, atau

- Jika tertangkap tangan memberi kesempatan bagi diri sendiri atau peserta lain dalam
kejahatan itu.

Pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP, yang pada intinya memiliki unsur :

1. Maksud untuk “mempersiapkan pencurian”, yaitu perbuatan kekerasan atau ancaman


kekerasan yang mendahului pengambilan barang Misalnya : mengikat penjaga rumah,
memukul dan lain- lain.

2. Maksud untuk “mempermudah pencurian”, yaitu pengambilan barang dipermudah dengan


kekerasan atau ancaman kekerasan. Misalnya : menodong agar diam, tidak bergerak,
sedangkan si pencuri lain mengambil barang-barang dalam rumah.6

5
KUHAP dan KUHP, EFATA Publishing, 2018, hlm.279-280
6
Sri Rinjani Arifin, “Tinjauan yuridis terhadap tindak pidana dengan kekerasan, diakses dari
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/6149/SKRIPSI%20LENGKAP-PIDANA-SRI
%20RINJANI%20ARIFIN.pdf?sequence=1, pada tanggal 17 April 2019, pukul 16.34
Bagaimanakah hapusnya wewenang menuntut dan menjalankan pidana dalam tindak
pidana pencurian dengan kekerasan ?

Dalam bidang hukum pidana , hal ini diatur dalam Buku I Bab VIII dari Pasal 76 sampai
Pasal 86. Sebelum KUHP diundangkan pada tahun 1886 di Nederland dan tahun 1918 di
Indonesia masalah tersebut termasuk di dalam hukum acara pidana. Dulu alasan hapusnya
kewenangan untuk menuntut dan melaksanakan pidana tersebut dianggap sebagai alasan
hapusnya kewenangan untuk melaksanakan hak menuntut dan hapusnya kewenangan untuk
melaksanakan pidana, tetapi sejak saat itu dianggap sebagai alasan hapusnya hak menuntut
dan hapusnya pidana itu sendiri. Dari pasal- pasal dalam KUHP tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa terdapat beberapa alasan mengenai kedua hal tersebut. 7

Kewenangan menuntut pidana dapat hapus dengan alasan- alasan sebagai berikut:

1. Tidak adanya pengaduan pada delik- delik aduan

Dalam Bab VII Pasal 72-75 diatur mengenai siapa saja yang berhak mengadu
dan tenggang waktu pengaduan. Namun, ada pasal- pasal khusus mengenai delik
aduan ini, yaitu Pasal 284 (Perzinahan) yang berhak mengadu adalah suami/istrinya,
dan Pasal (Melarikan Wanita) yang berhak mengadu adalah: (1) jika belum cukup
umur oleh wanita yang bersangkutan atau orang yang memberikan izin bila wanita itu
kawin, (2) jika sudah cukup umur oleh wanita yang bersangkutan atau suaminya.

2. Nebis in idem (Telah dituntut untuk kedua kalinya)


Diatur dalam Pasal 76 KUHP ini diisyaratkan:
a. Telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap;
b. Orang terhadap siapa putusan itu dijatuhkan adalah sama;
c. Perbuatan yang dituntut adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu.
3. Terdakwa meninggal dunia (Pasal 77 KUHP)
Wewenang menuntut pidana menjadi gugur karena terdakwa meninggal dunia,
termasuk pada saat penuntutan telah dimulai ketika terdakwa masih hidup yang
kemudian meninggal dunia sebelum ada putusan akhir perkara, termasuk pula
terdakwa yang meninggal saat mengajukan banding maupun kasasi. Pasal 77 KUHP

7
Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H., M.Si., Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Depok, 2019, hlm.197-198
menyebutkan: “Hak menuntut hukuman gugur (Tidak laku lagi) lantaran sitertuduh
meninggal dunia” (Tidak dapat di teruskan ke ahli warisnya).8

4. Daluwarsa Penuntutan Pidana (Pasal 78 KUHP)


a. Tenggang waktu daluarsa ditetapkan dalam Pasal 78 KUHP yaitu:
- Untuk semua pelanggaran dan kejahatan percetakan sesudah 1 tahun
- Untuk kejahatan yang diancam denda, kurungan atau penjara maksimum 3
tahun daluwarsanya sesudah 6 tahun
- Untuk kejahatan yang diancam pidana penjara lenih dari 3 tahun daluwarsanya
12 tahun.\
- Untuk kejahatan yang diancam pidana mati atau seumur hidup daluarsanya
sesudah 18 tahun.
b. Menurut Pasal 78 (2) bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya
belum 18 tahun, masing- masing tenggang waktu daluwarsanya di atas menjadi
sepertiga.
c. Menurut Pasal 79, tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan
dilakukan, kecuali dalam hal- hal tertentu yang disebut dalam pasal tersebut.
d. Menurut pasal 80 ayat (1) tenggang waktu daluarsa terhenti/tercegah (gestuit)
apabila ada “tindakan penuntutan” (daad van vervolging). Pada mulanya tindakan
penuntutan diartikan secara luas yaitu mencakup juga tindakan0tindakan
pengusutan (daad van opsporing). Tetapi yurisprudensi kemudian menerima
pendapat yang sempit, yaitu hanya perbuatan- perbuatan penuntut umum yang
langsung menyangkut hakim dalam acara pidana (misal menyerahkan perkara
sidang, mendakwa/mengajukan tuduhan, memohon revisi) jadi tindakan
pengusutan tidak lagi dianggap termasuk tindakan penuntutan.
e. Menurut pasal 81 tenggang daluwarsa penuntutan tertunda/ tertangguhkan
(geschorst) apabila ada perselisihan prae-judisiil, yaitu perselisihan menurut
hukum perdata yang terlebih dahulu harus diselesaikan sebelum acara pidana
dapat di teruskan. Dalam hal ada penundaan/pertangguhan (schorsing) maka
tenggang waktu yang telah dilalui, sebelum diadakannya penundaan tetap
diperhitungkan terus. Hanya saja selama acara hukum perdata berlangsung dan
belum selesai, tenggang waktu daluwarsa tuntutan pidana dipertangguhkan. Ha
ini dimaksudkan agar terdakwa tidak di beri kesempatan untuk menunda- nunda
8
Bambang Widiyantoro, Bahan Kuliah Hukum Pidana, Karawang, 2016, hlm.71
penyelesaian perkara perdatanya dengan perhitungan dapat dipenuhinya tenggang
daluwarsa penuntutan pidana.9
5. Penyelesaian di luar sidang/Transaksi
Penghapusan hak penuntut bagi penuntut umum yang diatur dalam Pasal 82 KUHP
mirip dengan ketentuan hukum perdata mengenai transaksi atau perjanjian. Di satu
pihak penyedik atau penuntut umum dan pihak lainnya tersangka merupakan pihak-
pihak yang sederajat terhadap hukum. Dalam perjanjian ini penuntut umum wajib
menghentikan usaha penuntutan nya (bahkan hak nya untuk menuntut di hapuskan),
dan sebagai imbalannya tersangka wajib membayar maksimum denda yang hanya
satu- satunya diancamkan, ditambah dengan biaya penuntutan apabila usaha
penuntutan sudah mulai. Pembayaran harus dilakukan kepada penuntut umum dalam
waktu yang telah ditetapkan oleh penuntut umum tersebut. Kiranya tidak dapat
dipungkiri bahwa acara ini berasal dari hukum perdata, seperti hal nya: “kebolehan
pihak- pihak menyelesaikan suatu delik aduan”. Jelas bahwa cara ini bertentangan
dengan sifat hukum pidana yang merupakan bagian dari hukum publik. Namun
demikian, dalam perkara- perkara kecil (dalam hal ini pelanggaran yang hanya
diancam dengan pidana denda saja) sifat hukum publik itu perlu disimpangi untuk
mempermudah dan mempercepat acara penyelesaian nya.
Mengenai ketentuan ini terdapat perbedaan pendapat antara para sarjana. Para sarjana
yang tidak menyetujui ketentuan ini mengatakan antara lain:10
a. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan sifat hukum publik yang harus dimiliki
oleh hukum pidana;
b. Seolah- olah suatu pelanggaran dapat “dibeli” dengan uang. Yang dengan
demikian menguntungkan bagi mereka yang beruang. Berarti seolah- olah ada
diskriminasi antara yang kaya dan yang miskin terhadap hukum;
c. Tujuan dari preventif dan arti dari pidana ditiadakan;
d. Penyelesaian pelanggaran tersebut tidak diselesaikan di muka umum;
e. Ganjaran tersangka tersebut tidak seimbang, apabila diingat bahwa hakim
jarang sekali menjatuhkan pidanan maksimum.

9
M.Holyone N Singadimedja, S.H., M.H., Oci senjaya, S.H,M.H., Margo hadi pura, S.H., M.H., Hukum Pidana
Indonesia, Adhi Sarana Nusantara, Jakarta Selatan, 2019, hlm.184-185
10
E.Y. Kanter, S.H., M.H., S.R Sianturi, S.H., M.H., Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan
Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2018, hlm.432-433
Sebaliknya mereka yang menyetujui ketentuan ini mengutarakan hal- hal yang
sebaliknya seperti antara lain: tidak memperbesar biaya- biaya penyelesaian perkara
pelanggaran yang ringan- ringan saja; tidak memperbanyak “Cap terpidana”; bahwa
kalaupun pelanggaran ini diselesaikan di luar persidangan, tidak menggoncangkan
rasa keadilan di masyarakat, karena terdakwa telah dengan sukarela mengisi kas
negara dengan denda maksimum.11

6. Amnesti dan Abolisi (UU Drt No. 11 Tahun 1954)


Dengan pemberian amnesti, semua akibat hukum pidana terhadap orang yang telah
melakukan suatu tindak pidana dihapuskan, sedangkan dengan pemberian abolisi
hanya dihapuskan penuntutan terhadap mereka. Jadi abolisi hanya dapat sebelum ada
putusan sedang amnesti kapan saja dapat.

Hapusnya menjalankan pidana dapat terjadi karena beberapa hal. Pertama, hapusnya
menjalankan pidana sebagaimana yang terdapat dalam KUHP meliputi meninggalnya
terpidana dan daluwarsa. Kedua, hapusnya menjalankan pidana diluar KUHP, yakni grasi.
Masing- masing alasan hapusnya menjalankan pidana dijelaskan sebagai berikut:

1. Meninggalnya terpidana
Berdasarkab adagium nemopunitiur pro alieno delicto yang berarti tidak ada seorang
pun yang dihukum karena perbuatan orang lain, secara mutatis mutandis adagium a
quo juga berlaku terhadap gugur menjalani pidana karena terpidana meninggal dunia.
Hal ini pun secara eksplisit tertuang dalam pasal 63 KUHP yang menyatakan,
“Kewenangan menjalankan pidana hapus jika terpidana meninggal dunia”.
2. Daluwarsa
Sebagaimana hapusnya kewenangan penuntutan pidana, hapusnya menjalani pidana
juga dapat terjadi karena daluwarsa. Pada dasarnya daluwarsa hapusnya menjalankan
pidana sama dengan daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan pidanadengan
ketentuan sebagai berikut:
Pertama, tenggang waktu daluarsa mengenai semua pelanggaran lamanya dua tahun.
Kedua, kejahatan yang dilakukan dengan sarana percetakan, tenggang waktu
daluwarsa adalah lima tahun. Ketiga, daluwarsa menjalankan pidana terhadap
kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara
paling lama 3 tahun adalah 4 tahun. Keempat, daluwarsa menjalankan pidana terhadap
11
E.Y. Kanter, S.H., M.H., S.R Sianturi, S.H., M.H., Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan
Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2018, hlm.432-433
kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 3 tahun adalah 16 tahun.
Kelima, kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara, seumur
hidup, tidak mengenal daluwarsa menjalankan pidana. Keenam, tenggang waktu
daluarsa menjalankan pidana tidak boleh kurang dari lamanya pidana yang
dijatuhkan. Ketujuh, tenggang waktu daluwarsa mulai berlaku sejak esok harinya
setelah putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dijalankan.
Kedelapan, jika seorang terpidana melarikan diri, selama menjalani pidana, maka
pada esok harinya setelah melarikan diri, mulai berlaku tenggang daluwarsa baru.
Kesembilan, jika seorang terpidana pelepasan bersyaratnya dicabut, maka pada besok
harinya setelah pencabutan, mulai berlaku tenggang daluwarsa baru.
3. Grasi
Secara harfiah grasi berarti pengampunan. Grasi diartikan sebagai pengampunan yang
diberikan oleh kepala negara seseorang yang telah dijatuhi pidana. Dalam konstitusi,
grasi terdapat pada pasal 14 Ayat (1) UUD 1945, “Presiden memberi grasi dan
rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”. Hal ini berbeda
dengan Amnesti dan Abolisi yang mana sebelum memberikan nya, presiden harus
mendapatkan pertimbangan dari DPR.
Pelaksanaan grasi di indonesia diatuyr dalam undang- undang Nomor. 22 Tahun 2002
Tentang Grasi. Dalam undang- undang A Quo, grasi didefinisikan sebagai
pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan
pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden. Dengan demikian
pemberian grasi tidak serta merta menghapuskan kewenangan menjalankan pidana.
Grasi diajukan oleh terpidana terhadap putusan pengadilan yang telah menuntut
perkara terpidana dan Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.
Khusus terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan
permohonan grasi, pidana mati tidak dapat di laksanakan sebelum keputusan presiden
tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana.12

12
M.Holyone N Singadimedja, S.H., M.H., Oci senjaya, S.H,M.H., Margo hadi pura, S.H., M.H., Sistem Hukum
Pidana Indonesia, Multi Kreasindo, Bandung, 2017, hlm. 156-158

Anda mungkin juga menyukai