Kata Kunci: Pencurian, Turut Serta, Hapus nya kewenangan menuntut dan menjalankan
pidana.
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
pencurian adalah pengambilan properti milik orang lain secara tidak sah tanpa seizin
pemilik. Kata ini juga digunakan sebagai sebutan informal untuk sejumlah kejahatan terhadap
properti orang lain, seperti perampokan rumah, penggelapan, larseni, penjarahan,
perampokan, pencurian toko, penipuan dan kadang pertukaran kriminal. Dalam yurisdiksi
tertentu, pencurian dianggap sama dengan larseni; sementara yang lain menyebutkan
pencurian telah menggantikan larseni.1
Pencurian dengan pemberatan dan dengan kekerasan merupakan salah satu penyakit
masyarakat yang menunggal dengan kejahatan, yang dalam proses sejarah dari generasi ke
generasi ternyata kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang merugikan dan menyiksa
orang lain. Oleh karena itu perlu diupayakan agar masyarakat menghindari melakukan
pencurian dengan pemberatan maupun pencurian dengan kekerasan terhadap orang lain.
Mengenai kejahatan pencurian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
selanjutnya disingkat dengan (KUHP), yang dibedakan atas lima macam pencurian, yaitu :
Berikut:2
2 Pasal 362 : Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam
karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak
enam puluh rupiah. Jenis-jenis tindak pidana pencurian tersebut di atas yang dinamakan
tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok adalah tindak pidana pencurian biasa (Pasal 362
KUHP).
1
Wikipedia, “Pencurian”, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Pencurian, pada tanggal 17 April 2019,
pukul 14.24
2
KUHAP dan KUHP, EFATA Publishing, 2018, hlm.278
Sedangkan tindak pidana pencurian yang lainnya merupakan pencurian biasa yang disertai
dengan keadaan-keadaan khusus. Tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang
menyebabkan matinya orang diatur dalam Pasal 365 ayat (1) dan ayat (3) KUHP.
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang didahului,
disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan
maksud untuk mempersiap atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan,
untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai
barang yang dicurinya
(3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling lama lima
belas tahun.
Tindak pidana yang penulis teliti terdapat unsur “memberatkan” sebagaimana diatur dalam
Pasal 363 ayat (1) ke 5 KUHP, yaitu :
Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuan tahun dihukum : Ke-5. Pencurian yang
dilakukan oleh tersalah dengan masuk ketempat kejahatan itu atau dapat mencapai barang
untuk diambilnya, dengan jalan membongkar, memecah atau memanjat atau dengan jalan
memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu. Berkenaan dengan rumusan
Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP, R. Soesilo mengatakan:
1 Pencurian dalam pasal ini dinamakan pencurian dengan pemberatan atau pencurian dengan
kualifikasi dan diancam hokuman yang lebih berat. Apakah yang diartikan dengan pencurian
denan pemberatan itu? Ialah pencurian biasa disertai dengan salah satu keadaan seperti
berikut : Apabila pencurian itu dilakukan pada waktu malam, dalam rumah atau pekarangan
tertutup yang ada rumahnya. ”Malam” = waktu antara matahari terbenam dan terbit. Rumah
(woning)= tempat yang dipergunakan untuk berdiam siang malam, artinya untuk makan, tidur
dsb. Sebuah gudang atau toko yang tidak didiami siang malam, tidak masuk pengertian
rumah sebaiknya gubug, kereta, perahu dsb yang siang malam dipergunakan sebagai
kediaman, masuk sebutan rumah. Pekarangan tertutup = suatu pekarangan yang sekelilingnya
ada tanda-tanda batas yang kelihatan nyata seperti selokan, pagar bambu, pagar hidup, pagar
kawat dsb. Tidak perlu tertutup rapat-rapat, sehingga orang tidak dapat masuk sama sekali.
Disini pencuri itu harus betul-betul masuk ke dalam rumah dsb, dan melakukan pencurian
3
KUHAP dan KUHP, EFATA Publishing, 2018, hlm.279-280
disitu. Apabila ia berdiri diluar dan mengait pakaian melalui jendela dengan tongkat atau
mengulurkan tangannya saja ke dalam rumah untuk mengambil barang itu, tidak masuk
disini. Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 363 KUHP dan Pasal 365 KUHP juga
merupakan gequalificeerde diefstal atau suatu pencurian dengan kualifikasi ataupun
merupakan suatu pencurian dengan unsur-unsur memberatkan. Dengan demikian maka yang
diatur dalam Pasal 365 KUHP sesungguhnya hanyalah satu kejahatan, dan bukan dua
kejahatan yang terdiri atas kejahatan pencurian dan kejahatan pemakaian kekerasan terhadap
orang, dari kejahatan pencurian dengan kejahatan pemakaian kekerasan terhadap orang.2
Maka sudah jelas bahwa pada hakekatnya, pencurian dengan kekerasan adalah perbuatan
yang bertentangan.4
dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun hukum, serta membahayakan bagi
penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Ditinjau dari kepentingan
nasional, penyelenggaraan pencurian dengan kekerasan merupakan perilaku yang negatif dan
merugikan terhadap moral masyarakat. Pencurian dengan kekerasan dalam perspektif hukum
merupakan salah satu tindak pidana (delict) yang meresahkan dan merugikan masyarakat.
Perihal tentang yang disebut kekerasan itu Simons mengatakan:3 “Onder geweld zal ook hier
mogen worden verstan, elke uitoefening van lichamelijke kracht van niet al te geringe
betekenis”. Yang artinya : “Dapat dimasukkan dalam pengertian kekerasan yakni setiap
pemakaian tenaga badan yang tidak terlalu ringan”.
BAB II
PEMBAHASAN
Tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP sesungguhnya hanyalah satu
kejahatan, dan bukan dua kejahatan yang terdiri atas kejahatan pencurian dan kejahatan
4
Prasetyo Haribowo, “Tindak pidana pencurian dengan pemberatan”, diakses dari
http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/TINDAK%20PIDANA%20MELAKUKAN%20PENCURIAN
%20DENGAN%20PEMBERATAN.pdf , pada tanggal 17 April 2019, pukul 14.56
pemakaian kekerasan terhadap orang. Tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 365
KUHP juga merupakan gequalificeerde diefstal atau suatu pencurian dengan kualifikasi
ataupun merupakan suatu pencurian dengan unsur - unsur yang memberatkan. Menurut arrest
Hoge Raad arti dari kata yang memberatkan adalah karena di dalam pencurian itu, orang
telah memakai kekerasan atau ancaman kekerasan. 39 Dari perumusan Pasal 365 KUHP
dapat menyebutkan unsur - unsur tindak pidana pencurian dengan kekerasan dari ayat (1)
sampai dengan ayat (4). Adapun unsur - unsur tindak pidana ini adalah sebagai berikut :
- Pencurian dengan :
- Didahului
- Disertai
- Diikuti
Unsur-unsur subyektifnya :
- Jika tertangkap tangan memberi kesempatan bagi diri sendiri atau peserta lain dalam
kejahatan itu.
Pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP, yang pada intinya memiliki unsur :
5
KUHAP dan KUHP, EFATA Publishing, 2018, hlm.279-280
6
Sri Rinjani Arifin, “Tinjauan yuridis terhadap tindak pidana dengan kekerasan, diakses dari
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/6149/SKRIPSI%20LENGKAP-PIDANA-SRI
%20RINJANI%20ARIFIN.pdf?sequence=1, pada tanggal 17 April 2019, pukul 16.34
Bagaimanakah hapusnya wewenang menuntut dan menjalankan pidana dalam tindak
pidana pencurian dengan kekerasan ?
Dalam bidang hukum pidana , hal ini diatur dalam Buku I Bab VIII dari Pasal 76 sampai
Pasal 86. Sebelum KUHP diundangkan pada tahun 1886 di Nederland dan tahun 1918 di
Indonesia masalah tersebut termasuk di dalam hukum acara pidana. Dulu alasan hapusnya
kewenangan untuk menuntut dan melaksanakan pidana tersebut dianggap sebagai alasan
hapusnya kewenangan untuk melaksanakan hak menuntut dan hapusnya kewenangan untuk
melaksanakan pidana, tetapi sejak saat itu dianggap sebagai alasan hapusnya hak menuntut
dan hapusnya pidana itu sendiri. Dari pasal- pasal dalam KUHP tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa terdapat beberapa alasan mengenai kedua hal tersebut. 7
Kewenangan menuntut pidana dapat hapus dengan alasan- alasan sebagai berikut:
Dalam Bab VII Pasal 72-75 diatur mengenai siapa saja yang berhak mengadu
dan tenggang waktu pengaduan. Namun, ada pasal- pasal khusus mengenai delik
aduan ini, yaitu Pasal 284 (Perzinahan) yang berhak mengadu adalah suami/istrinya,
dan Pasal (Melarikan Wanita) yang berhak mengadu adalah: (1) jika belum cukup
umur oleh wanita yang bersangkutan atau orang yang memberikan izin bila wanita itu
kawin, (2) jika sudah cukup umur oleh wanita yang bersangkutan atau suaminya.
7
Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H., M.Si., Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Depok, 2019, hlm.197-198
menyebutkan: “Hak menuntut hukuman gugur (Tidak laku lagi) lantaran sitertuduh
meninggal dunia” (Tidak dapat di teruskan ke ahli warisnya).8
9
M.Holyone N Singadimedja, S.H., M.H., Oci senjaya, S.H,M.H., Margo hadi pura, S.H., M.H., Hukum Pidana
Indonesia, Adhi Sarana Nusantara, Jakarta Selatan, 2019, hlm.184-185
10
E.Y. Kanter, S.H., M.H., S.R Sianturi, S.H., M.H., Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan
Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2018, hlm.432-433
Sebaliknya mereka yang menyetujui ketentuan ini mengutarakan hal- hal yang
sebaliknya seperti antara lain: tidak memperbesar biaya- biaya penyelesaian perkara
pelanggaran yang ringan- ringan saja; tidak memperbanyak “Cap terpidana”; bahwa
kalaupun pelanggaran ini diselesaikan di luar persidangan, tidak menggoncangkan
rasa keadilan di masyarakat, karena terdakwa telah dengan sukarela mengisi kas
negara dengan denda maksimum.11
Hapusnya menjalankan pidana dapat terjadi karena beberapa hal. Pertama, hapusnya
menjalankan pidana sebagaimana yang terdapat dalam KUHP meliputi meninggalnya
terpidana dan daluwarsa. Kedua, hapusnya menjalankan pidana diluar KUHP, yakni grasi.
Masing- masing alasan hapusnya menjalankan pidana dijelaskan sebagai berikut:
1. Meninggalnya terpidana
Berdasarkab adagium nemopunitiur pro alieno delicto yang berarti tidak ada seorang
pun yang dihukum karena perbuatan orang lain, secara mutatis mutandis adagium a
quo juga berlaku terhadap gugur menjalani pidana karena terpidana meninggal dunia.
Hal ini pun secara eksplisit tertuang dalam pasal 63 KUHP yang menyatakan,
“Kewenangan menjalankan pidana hapus jika terpidana meninggal dunia”.
2. Daluwarsa
Sebagaimana hapusnya kewenangan penuntutan pidana, hapusnya menjalani pidana
juga dapat terjadi karena daluwarsa. Pada dasarnya daluwarsa hapusnya menjalankan
pidana sama dengan daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan pidanadengan
ketentuan sebagai berikut:
Pertama, tenggang waktu daluarsa mengenai semua pelanggaran lamanya dua tahun.
Kedua, kejahatan yang dilakukan dengan sarana percetakan, tenggang waktu
daluwarsa adalah lima tahun. Ketiga, daluwarsa menjalankan pidana terhadap
kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara
paling lama 3 tahun adalah 4 tahun. Keempat, daluwarsa menjalankan pidana terhadap
11
E.Y. Kanter, S.H., M.H., S.R Sianturi, S.H., M.H., Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan
Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2018, hlm.432-433
kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 3 tahun adalah 16 tahun.
Kelima, kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara, seumur
hidup, tidak mengenal daluwarsa menjalankan pidana. Keenam, tenggang waktu
daluarsa menjalankan pidana tidak boleh kurang dari lamanya pidana yang
dijatuhkan. Ketujuh, tenggang waktu daluwarsa mulai berlaku sejak esok harinya
setelah putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dijalankan.
Kedelapan, jika seorang terpidana melarikan diri, selama menjalani pidana, maka
pada esok harinya setelah melarikan diri, mulai berlaku tenggang daluwarsa baru.
Kesembilan, jika seorang terpidana pelepasan bersyaratnya dicabut, maka pada besok
harinya setelah pencabutan, mulai berlaku tenggang daluwarsa baru.
3. Grasi
Secara harfiah grasi berarti pengampunan. Grasi diartikan sebagai pengampunan yang
diberikan oleh kepala negara seseorang yang telah dijatuhi pidana. Dalam konstitusi,
grasi terdapat pada pasal 14 Ayat (1) UUD 1945, “Presiden memberi grasi dan
rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”. Hal ini berbeda
dengan Amnesti dan Abolisi yang mana sebelum memberikan nya, presiden harus
mendapatkan pertimbangan dari DPR.
Pelaksanaan grasi di indonesia diatuyr dalam undang- undang Nomor. 22 Tahun 2002
Tentang Grasi. Dalam undang- undang A Quo, grasi didefinisikan sebagai
pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan
pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden. Dengan demikian
pemberian grasi tidak serta merta menghapuskan kewenangan menjalankan pidana.
Grasi diajukan oleh terpidana terhadap putusan pengadilan yang telah menuntut
perkara terpidana dan Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.
Khusus terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan
permohonan grasi, pidana mati tidak dapat di laksanakan sebelum keputusan presiden
tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana.12
12
M.Holyone N Singadimedja, S.H., M.H., Oci senjaya, S.H,M.H., Margo hadi pura, S.H., M.H., Sistem Hukum
Pidana Indonesia, Multi Kreasindo, Bandung, 2017, hlm. 156-158