Setelah abad pertama masehi terlewati, perlahan-lahan kemajuan di bidang pengetahuan termasuk farmasi di Barat mengalami kemunduran, dikenal dengan abad kegelapan (Dark Age). Kebangkitan di dunia farmasi selanjutnya diilhami dengan turunnya Al-Qur'an seiiring dengan kemajuan bangsa arab yang merupakan pusat peradaban dunia termaju saat itu, dimana ilmuan ilmuan islam berpatokan pada Al-Qur'an dan Metode pengobatan nabawi (Nabi), disamping penelitian dan pengembangan lainnya. Mulai Abad ke-9 terus berkembang hingga abad ke-13 melalui berbagai karya asli dan terjemahan, dunia arab telah menjembatani ilmu yang menghubungkan yunani dengan dunia farmasi modern saat sekarang ini. Puncak sumbangan dunia Arab-islam dalam perkembangan farmasi dapat dikatakan ketika adanya suatu panduan praktek kefarmasian pada tahun 1260 M yang disusun oleh seorang ahli kefarmasian berpengalaman dari mesir (Abu'l-Muna Al- Kohen al-Attar), dalam panduan praktek kefarmasian tersebut Attar menuliskan pengalaman hidupnya serta ilmu dalam seni apotek atau seni dalam meracik obat, yang sebagian besar juga menguraikan etika farmasis sebagai profesi kesehatan. Ilmuan Farmasi yang terkenal pada zaman ini antara lain :Yuhanna bin Masawayah (777-875), Abu Hasan Ali Bin Sahl Rabban Al-tabari (808), Sabur bin Sahl, Zayd Hunayn bin Ishaq al ibadi (809-873), dan lain lainnya. 2. Menjelang Abad pertengahan dan Abad ke 20 Seiring meningkatnya jenis obat-obatan, rumitnya ilmu mengenai obat dan penanganan serta penggunaannya, yang dulunya pekerjaan ini masih dipelajari dan dikerjakan dalam kedokteran. Pada tahun 1240 M raja Jerman Frederick II secara resmi memisahkan ilmu farmasi dari kedokteran, sehingga sekarang dikenal ilmu farmasi dan ilmu kedokteran. Tokoh selanjutnya yang berpengaruh adalah Philippus Aureolus Theopharastus Bombastus von hoheaheim, ia juga dikenal dengan nama Paracelcus (1493-1542 M) seorang dokter dan ahli kimia, yang merubah paradigma ilmu farmasi yang mulanya berdasarkan ilmu tumbuhan menjadi profesi yang berkaitan erat dengan ilmu kimia, Paracelcus juga berhasil menyiapkan obat kimiawi yang dipakai sebagai obat internal untuk melawan penyakit tertentu. Menjelang abad ke-20 penelitian farmasi awal mulai banyak dilakukan, beberapa penelitian tentang farmasi pada abad ini diantaranya sebagai berikut: 1. Karl Wilhelm (1742-1786) seorang ahli farmasi Swiss berhasil menemukan zat kimia seperti asam laktat, asam sitrat, asam oksalat, asam tartrat dan asam arsenat. 2. Scheele juga berhasil mengidentifikasi gliserin, menemukan cara baru membuat calomel, dan asam benzoat serta menemukan oksigen. 3. Friedrick Seturner merupakan ahli farmasi Jerman (1783-1841) berhasil mengisolasi morpin dari opium, pada tahun 1805, seturner juga menganjurkan suatu seri isolasi dari tumbuhan lainnya juga. 4. Joseph Caventou (1795-1877) dan joseph pelletier (1788-1842) menggabungkan keahlian mereka dalam mengisolasi kina dan sinkonin dari sinkona. 5. Joseph Pelletier (1788-1842) dan Pirre Robiquet (1780-1840) mengisolasi kafein dan Robiquet sendiri memisahkan kodeina dari opium. Secara metode satu persatu zat kimia diisolasi dari tanaman, serta diidentifikasi sebagai zat yang bertanggung jawab terhadap aktifitas medis tanamannnya. Di Eropa abad ke 18 dan 19 M mereka berdua sangat dihargai karena kemampuannya. Mereka juga menerapkan kemampuan ilmu farmasi pada pembuatan produk-produk obat yang mempunyai standar kemurnian, keseragaman, dan khasiat yang tinggi daripada yang sebelumnya dikenal. ekstraksi dan isolasi ini merupakan keberhasilan yang sangat besar dibidang sediaan yang dipekatkan, sehingga saat itu banyak ahli farmasi yang membuat sediaan obat dari tanaman meski dalam skala yang kecil. Pada awal abad ke-19 obat di Amerika umumnya diimpor dari Eropa, walaupun banyak obat asli Amerika yang berasal dari suku Indian yang diambil oleh pendatang. Seiring terjadi peningkatan kebutuhan masyarakat, muncul 3 perusahaan farmasi pertama diketahui telah berdiri sebelum tahun 1826 M dan 22 perusahaan muncul setengah abad kemudian. pada tahun 1821 sekolah farmasi pertama didirikan di Philadelphia.
A. Sejarah Farmasi Dalam Islam
”Setiap penyakit pasti ada obatnya.” Sabda Rasulullah SAW yang begitu populer di kalangan umat Islam itu tampaknya telah memicu para ilmuwan dan sarjana di era kekhalifahan untuk berlomba meracik dan menciptakan beragam obat-obatan. Pencapaian umat Islam yang begitu gemilang dalam bidang kedokteran dan kesehatan di masa keemasan tak lepas dari keberhasilan di bidang farmasi. Di masa itu para dokter dan ahli kimia Muslim sudah berhasil melakukan penelitian ilmiah mengenai komposisi, dosis, penggunaan, dan efek dari obat-obat sederhana serta campuran. Menurut Howard R Turner dalam bukunya Science in Medievel Islam, umat Islam mulai menguasai farmasi setelah melakukan gerakan penerjemahan secara besar-besaran di era Kekhalifahan Abbasiyah. Salah satu karya penting yang diterjemahkan adalah “De Materia Medica” karya Dioscorides. Selain itu para ilmuwan Muslim juga melakukan transfer pengetahuan tentang obat-obatan dari berbagai naskah yang berasal dari Suriah, Persia, India, serta Timur. Karya-karya terdahulu itu telah membuat para ilmuwan Islam terinspirasi untuk melahirkan berbagai inovasi dalam bidang farmasi. ”Kaum Muslimin telah menyumbang banyak hal dalam bidang farmasi dan pengaruhnya sangat luar biasa terhadap Barat,” papar Tuner. Betapa tidak, para sarjana Muslim di zaman kejayaan telah memperkenalkan adas manis, kayu manis, cengkeh, kamper, sulfur, serta merkuri sebagai unsur atau bahan racikan obat- obatan. Menurut Turner umat Islam-lah yang mendirikan warung pengobatan pertama. Para ahli farmasi Islam juga termasuk yang pertama dalam mengembangkan dan menyempurnakan pembuatan sediaan sirup dan salep. Pada mulanya, ilmu farmasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ilmu kedokteran. Dunia farmasi profesional secara resmi terpisah dari ilmu kedokteran di era kekuasaan Kekhalifahan Abbasiyah. Terpisahnya farmasi dari kedokteran pada abad ke-8 M, membuat profesi farmasis menjadi profesi yang independen dan farmasi sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Dalam praktiknya, farmasi melibatkan banyak praktisi seperti herbalis, kolektor, penjual tumbuhan & rempah-rempah untuk obat-obatan, penjual dan pembuat sirup, kosmetik, air aromatik, serta apoteker yang berpengalaman. Merekalah yang kemudian turut mengembangkan farmasi di era kejayaan Islam. Setelah dinyatakan terpisah dari ilmu kedokteran, beragam penelitian dan pengembangan dalam bidang farmasi atau saydalah (bahasa Arab) kian gencar dilakukan. Pada abad itu, para ilmuwan Muslim secara khusus memberi perhatian untuk melakukan investigasi atau pencarian terhadap beragam produk alam yang bisa digunakan sebagai obat-obatan di seluruh pelosok dunia Islam. Di zaman itu, toko-toko obat bermunculan bak jamur di musim hujan. Toko obat yang banyak jumlahnya tak cuma hadir di kota Baghdad – kota metropolis dunia di era kejayaan Abbasiyah – namun juga di kota-kota Islam lainnya. Para ahli farmasi ketika itu sudah mulai mendirikan apotek sendiri. Mereka menggunakan keahlian yang dimilikinya untuk meracik, menyimpan, serta menjaga aneka obat-obatan. Pemerintah Muslim pun turun mendukung pembangunan di bidang farmasi. Rumah sakit milik pemerintah yang ketika itu memberikan perawatan kesehatan secara cuma-cuma bagi rakyatnya juga mendirikan laboratorium untuk meracik dan memproduksi aneka obat-obatan dalam skala besar. Keamanan obat-obatan yang dijual di apotek swasta dan pemerintah diawasi secara ketat. Secara periodik, pemerintah melalui pejabat dari Al-Muhtasib – semacam badan pengawas obat-obatan – mengawasi dan memeriksa seluruh toko obat dan apotek. Para pengawas dari Al-Muhtasib secara teliti mengukur akurasi berat dan ukuran kemurnian dari obat yang digunakan. Pengawasan yang amat ketat itu dilakukan untuk mencegah penggunaan bahan-bahan yang berbahaya dalam obat. Semua itu dilakukan semata-mata untuk melindungi masyarakat dari bahaya obat-obatan yang tak sesuai dengan aturan. Pengawasan obat-obatan yang dilakukan secara ketat dan teliti yang telah diterapkan di era kekhalifahan Islam mestinya menjadi contoh bagi negara-negara Muslim, khususnya Indonesia. Seperti halnya di bidang kedokteran, dunia farmasi profesional Islam telah lebih unggul lebih dulu dibandingkan Barat. Ilmu farmasi baru berkembang di Eropa mulai abad ke-12 M atau empat abad setelah Islam menguasainya. Karena itulah, Barat banyak meniru dan mengadopsi ilmu farmasi yang berkembang terlebih dahulu di dunia Islam. Umat Islam mendominasi bidang farmasi hingga abad ke-17 M. Setelah era keemasan perlahan memudar, ilmu meracik dan membuat obat-obatan kemudian dikuasai oleh Barat. Negara-negara Eropa menguasai farmasi dari aneka Risalah Arab dan Persia tentang obat dan senyawa obat yang ditulis para sarjana Islam. Tak heran, bila kini industri farmasi dunia berada dalam genggaman Barat. Jadi pengaruh kaum Muslim pada zaman itu dalam bidang kefarmasian di dunia Barat begitu besar. Hal itu tercermin dalam kembalinya minat terhadap pengobatan natural yang begitu populer dalam pendidikan kesehatan saat ini. B. Tokoh Islam Yang Utama Dalam Bidang Farmasi
1. Yuhanna bin Masawayh (777 - 857)
Beliau adalah anak seorang ahli farmasi (dikenal sebagai apoteker). Beliau terkenal melalui tulisannya dalam bahasa Arab tentang meteria medica dan rawatan. Salah satu daripadanya berjudul al-Mushajjar al-Kabir yang menyusun daftar penyakit serta obat- obatnya dan juga pola makanan yang berkaitan. Malah beliau menyatakan bahwa para dokter yang boleh menyembuhkan penyakit dengan hanya melalui pengaturan pola makan tanpa penggunaan obat adalah yang paling berjaya dan beruntung. Masawayh juga mengusulkan penggunaan beberapa tumbuhan terkenal untuk meningkatkan sistem pertahanan tubuh terhadap penyakit. Beliau menyeru para dokter agar menggunakan hanya satu obat untuk satu penyakit berdasarkan prinsip empiriks dan analogi. Bahan yang banyak digunakan dalam terapi perobatan Arab adalah kamfora. Menurut Masawayh bahan ini berasal dari China dan dibawa ke Arab melalui perdagangan dengan India dan Parsi. Menurutnya lagi, sandalwood yaitu bahan yang digunakan untuk menghasilkan minyak wangi, baik yang jenis kuning, putih atau merah juga datang dari India. Bahan-bahan seperti ini digunakan dalam sediaan farmasi Islam pada abad ke-8 (atau lebih awal lagi) dan lewat ini istilah farmasi terbentuk dalam Islam. Pada masa itu, Masawayh dikenal sebagai dokter dari beberapa khalifah, di ibukota Abbasiah selama hampir empat dekade. Beliau juga merupakan dokter Islam yang pertama mendirikan sekolah tinggi farmasi swasta Arab. 2. Abu Hasan Ali bin Sahl Rabban al-Tabari Beliau dilahirkan pada 808, sahabat dari Masawayh. Pada usia 30 tahun beliau diperintahkan untuk ke kota Samarra oleh Khalifah Mu'tasim (833-842) untuk mengabdi sebagai dokter. Tabari menulis banyak buku kedokteran, yang terkenal adalah Syurga Hikmah yang membicarakan tentang tingkah laku manusia, kosmologi, embriologi, psikoterapi, kebersihan, pola makan dan penyakit (akut dan kronik) serta cara merawatnya. Buku ini juga memuat kisah-kisah kedokteran abstrak serta petikan dari referens yang berbahasa India. Bukunya juga mengandung beberapa bab tentang meteria medika, makanan biji-bijian, kegunaan terapeutik hewan serta organ-organ burung dan juga campuran obat- obatan termasuk cara membuatnya. Tabari juga menyarankan agar nilai terapeutik setiap obat digunakan berdasarkan tujuan- tujuan tertentu dan dokter harus pandai membuat pilihan yang terbaik.Beliau pernah menguraikan dengan terperinci penggunaan sesuatu bahan sebagai bahan terapeutik, termasuk cara-cara menyimpannya sambil memperingatkan tentang bahaya yang ada pada bahan tersebut. Contohnya peringatan terhadap penggunaan satu mithqal (lebih kurang 4 gram) candu bisa menyebabkan tidur ataupun maut. 3. Sabur ibnu Sahl (wafat 869 M) Beliau merupakan orang pertama menulis formula pertama dalam sejarah Islam. Formula ini dikenali sebagai Agradadhin. Sabur meninggal dunia pada 869 M. Dalam tulisannya, beliau memberikan resep kedokteran tentang kaedah dan teknik meracik obat, tindakan farmakologinya, dosis-dosisnya untuk setiap sekali pengunaan. Formula-formula obat ini disusun berdasarkan jenis sediaan: tablet, serbuk, salap, sirup dan sebagainya. Banyak dari resep-resep ini menunjukkan persamaan dengan dokumen dari Asia Barat dan Yunani- Roman. Formula ini ditulis untuk ahli-ahli farmasi di apotik ataupun di rumah sakit. Oleh karena itu, hampir selama 200 tahun formula ini digunakan sebagai panduan ahli farmasi di seluruh dunia Islam. Tulisan Sabur ini merupakan satu langkah penting dalam sejarah farmakope dan banyak disalin serta ditiru dalam buku kedokteran Arab selanjutnya. 4. Zayd Hunayn b. Ishaq al-Ibadi (809-873) Sumbangan beliau tidak kurang pentingnya kepada praktek farmasi dan kedokteran Arab.Beliau adalah anak dari seorang apoteker. Hunayn diantar ke Baghdad, yang pada masa itu merupakan pusat pendidikan Islam terpenting untuk mengikuti pendidikan dalam perawatan. Beliau kemudian ke Syria, Mesir dan negara sekitarannya untuk mendalami lagi latihannya. Setelah beliau kembali ke Baghdad, beliau sudah mahir tentang asal-usul perubatan Yunani khususnya yang diterjemahkan dalam Bahasa Syria. Hunayn memainkan peranan yang penting dalam penterjemahan atau penentuan ketepatan terjemahan yang dilakukan (termasuk penulis Hippocrate, Gelen dan penulis Yunani lain) di samping menulis buku-bukunya sendiri. Sumbangannya menjadi lebih terasa pada tahun 830 M, Khalifah al-Ma'mun mendirikan satu institusi sains (bait al-Hikmah) untuk tujuan penyelidikan dan penterjemahan bahan-bahan Yunani ke dalam bahasa Arab. Hunayn menjadi pembimbing pusat kajian ini dan dalam masa 40 tahun, beliau menterjemahkan dan mewujudkan istilah serta rangkaian kata yang digunakan untuk tujuan praktek kedokteran dan pengajaran. Antara buku dan tulisan Hunayn adalah tentang aspek kebersihan mulut, pecuci dan penggunaan bahan-bahan pergigian. Beliau terkenal sebagai penulis Arab pertama yang melakukan hal ini. Beliau juga yang menemukan bahan-bahan makanan dan minuman yang dianggap dapat merusak gigi. Hunayn juga mengusulkan pembersihan gigi, khususnya selepas makan seperti yang dianjurkan dalam kedokteran moderen. Tulisannya yang lain termasuklah tentang nilai gizi dan pemakanan, tentang mandi, terapi gizi secara umum dan juga tentang bunga mawar serta obat-obatan tertentu. 5. Abu Ar-Rayhan Al-Biruni (973 M – 1051 M) Al-Biruni mengenyam pendidikan di Khwarizm. Beragam ilmu pengetahuan dikuasainya, seperti astronomi, matematika, filsafat dan ilmu alam. Ia memulai melakukan eksperimen ilmiah sejak remaja. Ilmuwan Muslim yang hidup di zaman keemasan Dinasti Samaniyaah dan Ghaznawiyyah itu turut memberi kontribusi yang sangat penting dalam farmasi. Melalui kitab As-Sydanah fit-Tibb, Al-Biruni mengupas secara lugas dan jelas mengenai seluk-beluk ilmu farmasi. Kitab penting bagi perkembangan farmasi itu diselesaikannya pada tahun 1050 M – setahun sebelum Al-Biruni tutup usia. Dalam kitab itu, Al-Biruni tak hanya mengupas dasar-dasar farmasi, namun juga meneguhkan peran farmasi serta tugas dan fungsi yang diemban seorang ahli farmasi. 6. Abu Jafar Al-Ghafiqi (wafat 1165 M) Ilmuwan Muslim yang satu ini juga turut memberi kontribusi dalam pengembangan farmakologi dan farmasi. Sumbangan Al-Ghafiqi untuk memajukan ilmu tentang komposisi, dosis, meracik dan menyimpan obat-obatan dituliskannya dalam kitab Al-Jami Al-Adwiyyah Al-Mufradah. Risalah itu memaparkan tentang pendekatan dalam metodelogi, eksperimen, serta observasi dalam farmakologi dan farmasi. 7. Al-Razi Sarjana Muslim yang dikenal di Barat dengan nama Razes itu juga ikut andil dalam membesarkan bidang farmasi. Ilmuwan Muslim serba bisa itu telah memperkenalkan penggunaaan bahan kimia dalam pembuatan obat-obatan. 8. Ibnu Sina Dalam kitabnya yang fenomenal, Canon of Medicine, Ibnu Sina juga mengupas tentang farmasi. Ia menjelaskan lebih kurang 700 cara pembuatan obat dengan kegunaannya. Ibnu Sina menguraikan tentang obat-obatan yang sederhana. 9. Al-Zahrawi Bapak ilmu bedah modern ini juga ikut andil dalam membesarkan farmasi. Dia adalah perintis pembuatan obat dengan cara sublimasi dan destilasi.