Anda di halaman 1dari 37

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan teknologi, perbaikan ekonomi dan pengembangan

sosial diharapkan dapat berbanding lurus dengan peningkatan derajat kesehatan

masyarakat, namun pada kenyataannya perubahan gaya hidup manusia yang lebih

instan dan praktis sehingga berdampak pada potensi berkembangnya penyakit tidak

menular. Masyarakat menjadi semakin malas melakukan aktitas fisik dikarekan

masyarakat dapat memperoleh kebutuhannya lebih cepat dan mudah seperti

tersedianya sarana transportasi, komunikasi dan mesin yang dapat membantu

menyelesaikan pekerjaannya. Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018

menunjukkan telah terjadi peningkatan penyakit tidak menular dalam 5 tahun terakhir.

Dibandingkan dengan riset terakhir pada 2013, prevalensi strok naik dari 1,8%

menjadi 3,8%. angka kejadian diabetes melitus naik dari 6,9% menjadi 8,5%, kasus

hipertensi meningkat dari 25,8% menjadi 34,1%. Badan Kesehatan Dunia (WHO),

pada 2030 diprediksi akan ada 52 juta jiwa mengalami kematian per tahun karena

penyakit tidak menular, naik 9 juta jiwa dari 38 juta jiwa pada saat ini (WHO, 2011).

Salah satu penyakit tidak menular adalah diabetes yang juga menjadi penyebab

kematian keempat didunia. Diperkirakan 6 orang permenit meninggal akibat penyakit

yang berkaitan dengan diabetes militus. Prevalensi penderita diabetes meningkat di

negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah. 3,2 juta kematian disebabkan


secara langsung oleh diabetes dan lebih dari 400 juta orang hidup dengan diabetes

(WHO ,2016). Diperkirakan Diabetes militus tipe 2 didunia akan meningkat 48% dari

425 juta menjadi 629 juta pada tahun 2045 (IDF,2017). Indonesia saat ini menempati

peringkat ke 6 negara tertinggi penderita diabetes (IDF, 2017). Prevalensi diabetes di

Indonesia mengalami peningkatan dari 1.5% ditahun 2013 menjadi 2.0% ditahun 2018.

Provinsi Jawa Timur masuk dalam 5 besar prevalensi diabetes tertinggi. Tercatat

dalam laporan riskesdas Jawa Timur kejadian diabetes militus tertinggi berada di Kota

Madiun dengan prevalensi 5.2 % (Riskesdas, 2018). Kota madiun mempunyai 6b

Puskesmas dengan jumlah pasien baru Diabetes militus tipe 2 tertinggi berada di

Puskesmas Oro-oro ombo dengan jumlah 2838 kasus.

Diabetes milutus tipe 2 adalah jenis DM yang sering terjadi di masyarakat,

biasanya terjadi pada orang dewasa, akan tetapi kejadian DM tipe 2 pada anak-anak

dan remaja semakin meningkat (IDF, 2015). Riskesdas 2018 usia 15-24 tahun

prevalensi diabetes sebesar 0,05%. Salah satu faktor mempengarui penyakit ini pada

anak dan remaja ialah perubahan gaya hidup yang tidak sehat dan obesitas,

dikarenakan mereka tidak memperdulikan kesehatannya (Dian, 2016). Mengenal

faktor risiko diabetes merupakan suatu keharusan, jika diabetes militus tidak ditangani

dengan baik, akan memberi beban ekonomi yang tidak sedikit, lebih parah lagi apabila

penderita telah mengalami komplikasi penyakit, karena diabetes akan menyerang

banyak organ penting dalam tubuh, bahkan dapat berakibat fatal (Tandra, 2017).

Faktor penyebab penyakit tidak menular seperti diabetes militus tipe 2 dapat dibedakan

menjadi 2. Yang pertama faktor yang tidak dapat di ubah (unchangeable) seperti usia,

jenis kelamin, ras dan genetik, yang ke dua faktor yang dapat di ubah (changeable)
seperti Gaya hidup yang salah seperti merokok, minum minuman beralkohol, tidak

pernah olahraga atau jarang aktifitas fisik, obesitas , stres dan pola makan yang dapat

memicu naiknya gula darah didalam tubuh (Tandra, 2016).

Aktifitas fisik mempunyai hubungan dengan kejadian diabetes tipe 2 (Nina

lestiana et al.2015). Dengan melakukan Aktifitas fisik dapat membantu mengontrol

berat badan, gula darah dapat terbakar menjadi energi dan sel tubuh akan lebih

sensitive terhadap insulin sehingga resiko diabetes tipe 2 akan turun sampai 50%

(Tandra, 2018). Hasil penelitian Nurayati dan Andriani (2017) memperkuat dugaan

tersebut bahwa ada hubungan yang signifikan antara aktifitas fisik dan diabetes tipe 2.

Penilitian Agus et al menunjukkan ada hubungan antara pola makan terhadap

kejadian diabetes melitus tipe II dan diinterpretasikan bahwa responden dengan pola

makan yang buruk memiliki 10 kali lipat risiko terhadap kejadian diabetes melitus tipe

II (Agus et al. 2013).

Prevalensi obesitas sentral dapat digunakan sebagai indikator proksi untuk

melakukan estimasi proyeksi dan dan estimasi beban penyakit akibat DM (Farida,

2007). Obesitas sentral berdasarkan lingkar perut lebih berperan sebagai faktor risiko

DM dibanding dengan obesitas umum berdasarkan IMT (Farida et al. 2007). Hal ini

diperkuat dengan penelitian Nova nurvida sari (2018) yang menyatakan ada hubungan

obesitas sentral dengan kejadian Diabetes Melitus Tipe II dengan (p-value = 0,000).

Pada penelitian Diah di malang menyebutkan lain, bahwa ada hubungan BMI dengan

kejadian diabetes militus di malang penelitian ini didukung oleh penelitian Meilia

2015b di wilayah kerja Puskesmas Mandiangin Kota Bukittinggi yang mengatakan


bahwa abnormalitas lemak yang dinyatakan dalam Indeks Masa Tubuh (Body Mass

Indeks) mempunyai hubungan yang erat dengan terjadinya diabetes militus tipe 2.

Terpapar asap rokok menyebabkan gangguan metabolisme glukosa dan

peningkatan resistensi insulin yang menyebabkan peningkatan risiko terkena DM

(Tandra, 2019). Hasil penelitian Radio putro wicaksono (2011) menunjukkan orang

dengan kebiasaan merokok lebih berisiko terkena DM tipe-2. Mereka yang

menghabiskan sedikitnya 20 batang rokok sehari memiliki risiko terserang diabetes

62% lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak merokok (Lina. 2016).

Penelitian oleh Houston mendapatkan bahwa perokok aktif memiliki risiko 76% lebih

tinggi untuk terserang DM Tipe 2 dibanding dengan yang tidak terpajan

(Irawan,2010).

Healtd mental atau stres banyak dihubungkan dengan penyakit-penyakit kronik

lainnya. Namun stress juga berhubungan dengan penyakit diabetes tipe 2 (Tandra,

2017). Berdasarkan analisis hubungan antara stres dengan kejadian DM Tipe 2

didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara stres dengan kejadian DM

Tipe 2 (Shara. 2013). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Andi di Rumah

Sakit Umum Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makasar. Orang yang mengalami stres

memiliki risiko 1,67 kali untuk menderita DM Tipe 2 dibandingkan dengan orang yang

tidak mengalami stres (Andi et al,2007).

Diabetes adalah penyakit yang disebabkan karena gaya hidup yang buruk,

sehingga hampir separuh dari populasi dunia beresiko menderita diabetes (WHO,

2011). Internasional Diabetes Federation (IDF) 2015 memprediksi lebih dari 50% dari

450 juta penderita diabetes tidak mengetahui dirinya menderita diabetes karena
kebanyakan penyakit diabetes berlangsung tanpa mengalami keluhan sampai beberapa

tahun (Thandra, 2017). Melihat tingginya prevalensi diabetes yang berkembang pada

masa anak-anak dan remaja yang akan berlanjut sampai dewasa, maka tindakan

pencegahan dan tatalaksana diabetes harus dilaksanakan sejak dini (Tandra 2016).

Maka sangat diperlukan usaha pencegahan DM tipe 2 yang tepat. Dengan

mengendalikan faktor-faktor resikonya DM tipe 2 (Depkes, 2008).

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang diatas diabetes militus tipe 2 merupakan penyakit yang

harus diperhatikan karena diabetes merupakan penyakit yang setiap tahunnya

mengalami peningkatan dari yang dulu faktor risiko hanya terdapat pada usia dewasa

tetapi sekarang sudah merambah ke usia remaja dikarenakan adanya perubahan gaya

hidup yang salah dan kurang baik. Sehingga peniliti ingin mengetahui gambaran faktor

risiko penyakit diabetes militus tipe 2 pada remaja.

C. Tujuan

a. Tujuan umum

1. Mengetahui gambaran faktor risiko diabetes militus tipe 2 pada remaja

b. Tujuan khusus

1. Mengetahui gambaran aktifitas fisik pada remaja di UPTD Puskesmas Oro-Oro

ombo Kota Madiun.

2. Mengetahui gambaran pola makan pada remaja di UPTD Puskesmas Oro-Oro

ombo Kota Madiun.


3. Mengetahui gambaran obesitas pada remaja di UPTD Puskesmas Oro-Oro

ombo Kota Madiun.

4. Mengetahui gambaran paparan asap rokok pada remaja di UPTD Puskesmas

Oro-Oro ombo Kota Madiun

5. Mengetahui gambaran stres pada remaja di UPTD Puskesmas Oro-Oro ombo

Kota Madiun.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Instansi Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi instansi

pelayanan kesehatan khususnya Dinas Kesehatan Kota Madiun dan seluruh

Puskesmas yang berada di Kota Madiun tentang identifikasi faktor risiko diabetes

militus tipe 2 pada remaja sehingga dapat menjadi tinjauan untuk perencanaan

program pencegahan dan penanggulangan diabetes tipe 2 khususnya pada remaja.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan

kepustakaan dan pengayaan bagi instansi pendidikan khususnya program studi

kesehatan masyarakat tentang gambaran faktor risiko diabetes militus tipe 2 pada

remaja sehingga dapat digunakan sebagai pengembangan ilmu dan pengetahuan

selanjutnya.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya


Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi peneliti

selanjutnya gambaran faktor risiko diabetes militus tipe 2 pada remaja untuk

penelitian yang lebih lanjut.

4. Bagi Masyarakat

Penelitian ini dapat memberikan peningkatan pemahaman masyarakat

khusus di wilayah kerja di UPTD Puskesmas Kota Madiun sehingga masyarakat

mampu melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian kejadian diabetes sejak

dini.

BAB II
Tinjauan Pustaka

A. Pengertian Diabetes Militus

Diabetes merupakan penyakit kronik menahun yang ditandai dengan

hiperglikemia akibat dari kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya

(ADA, 2017). Didefinisikan sebagai DM jika pernah didiagnosis menderita kencing

manis oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter

tetapi dalam 1 bulan terakhir mengalami gejala sebagai berikut, yaitu sering lapar,

sering haus, sering buang air kecil dalam jumlah banyak dan berat badan turun

(Riskesdas, 2013).

Diabetes militus merupakan suatu penyakit kronis yang ditandai oleh

ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein

sehingga meningkatkan kadar gula darah (hiperglikemia) (Sulistria, 2013). Gejala khas

pada penderita DM berupa poliuria (kencing berlebih) polidipsia (haus berlebih),

lemas dan berat badan turun meskipun nafsu makan meningkat (polifagia). Gejala lain

yang mungkin dirasakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur, dan impoten

pada pasien pria serta piuritas pada pasien wanita. DM memang tidak menunjukan

gejala khas yang mudah dikenali. Kesulitan dalam mengetahui gejala penyakit

menyebabkan lebih dari 50% penderita tidak menyadari bahwa ia sudah mengidap DM

(Dimas, 2013).

B. Patofisiologi DM tipe 2.
Pada DM tipe II terdapat beberapa hal yang keadaan berperan

yaitu:

a. Resistensi insulin pada jaringan lemak, otot, dan hati menyebabkan respon reseptor

terhadap insulin berkurang sehingga penggunaan glukosa pada jaringan tersebut

berkurang.

b. Kenaikan produksi glukosa oleh hati sehingga terjadi hiperglikemia.

c. Kurangnya sekresi insulin oleh pankreas yang menyebabkan turunnya transport

glukosa ke jaringan lemak, otot, dan hati (Guyton, 2014).

Resistensi insulin adalah keadaan terjadi penurunan sensitivitas insulin.

Sensitivitas insulin merupakan kemampuan insulin untuk menurunkan kadar kadar

gula darah dengan cara menekan glukosa hati dan menstimulasi penggunaan glukosa

oleh jaringan lemak dan jaringan otot. Pada saat terjadi hiperglikemia sel-sel beta

pankreas masih bisa mengompensasi dengan menghasilkan hormon insulin dengan

kadar lebih banyak. Hiperglikemia yang terjadi secara terus menerus akan merusak

sel-sel beta pankreas karena terjadi kelelahan dalam produksi hormon insulin. Hal ini

disebut dekompensasi dan menyebabkan produksi insulin menurun secara absolut

(Guyton, 2014).

C. Klasifikasi

Klasifikasi DM dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi etiologis DM


Su
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi
mb er :
insulin absolut
Tipe 1
1. Autoimun

2. Idiopatik
Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin

Tipe 2 disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan

defek sekresi insulin disertai resistensi insulin.


1. Defek genetik fungsi sel beta

2. Defek genetik kerja insulin

3. Penyakit eksokrin pancreas

4. Endokrinopati
Tipe lain
5. Karena obat atau zat kimia

6. Infeksi

7. Sebab imunologi yang jarang

8. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM


Perkeni, 2015

D. Gejala Gejala

DM dapat digolongkan menjadi gejala akut dan gejala kronik.

a. Gejala akut Diabetes Melitus

Gejala penyakit DM dari satu penderita ke penderita lain bervariasi bahkan,

mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu. Pada permulaan

gejala yaitu:

 Banyak makan (poliphagia)


 Banyak minum (polidipsia)

 Banyak kencing (poliuria)

Bila keadaan tersebut tidak segera diobati, akan timbul gejala:

 Banyak minum

 Banyak kencing

 Nafsu makan mulai berkurang/ berat badan turun dengan cepat (turun 5 -

10 kg dalam waktu 2 - 4 minggu).

 Mudah lelah

 Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual, bahkan

 penderita akan jatuh koma yang disebut dengan koma diabetik

b. Gejala kronik Diabetes Melitus

 Kesemutan

 Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum

 Rasa tebal di kulit

 Kram

 Kelelahan

 Mudah mengantuk

 Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata

 Gatal di sekitar kemaluan terutama wanita

 Gigi mudah goyah dan mudah lepas kemampuan seksual menurun bahkan

impotensi
 Para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam

kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg (Darmono dalam

Hastuti, 2008).

E. Diagnosis

Seseorang yang didiagnosis menderita DM bila hasil pengukuran kadar

glukosa darah sewaktu >200 mg/dl atau hasil pengukuran kadar glukosa darah

puasa >126 mg/dl. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Kriteria Glukosa Puasa Glukosa 2 jam setelah

makan

Normal < 100mg/dl < 140 mg/dl

Pra-diabetes

IFG 100 – 125 mg/dl

IGT 140 – 199 mg/dl

Diabetes >126 mg/dl > 200 mg/dl

Sumber : Depkes, 2014

F. Faktor Risiko

a. Aktifitas Fisik

Aktifitas fisik atau olahraga harus dilakukan secara teratur agar tubuh dapat

beradaptasi ketika diberikan rangsangan secara teratur dengan takaran dan waktu

yang tepat (Tandra, 2018). Penelitian Soegondo (2009) menyatakan bahwa

Aktivitas fisik yang kurang dapat mempengaruhi retensi insulin. Aktivitas fisik

mengakibatkan penggunaan insulin semakin meningkat sehingga kadar gula dalam


darah akan berkurang. Pada orang yang tidak berolahraga, zat makanan yang

masuk ke dalam tubuh tidak dibakar tetapi ditimbun di dalam tubuh sebagai lemak

dan gula. Jika insulin tidak mencukupi untuk mengubah glukosa menjadi energi

maka akan timbul DM. Setelah beraktivitas fisik selama 10 menit kebutuhan

glukosa darah akan meningkat 15 kali dari jumlah kebutuhan pada keadaan biasa

(Fitriyani, 2012). menyebabkan resistensi insulin pada diabetes melitus tipe II.

b. Pola Makan

Pola makan yang tinggi lemak, garam, gula dan mengkonsumsi makanan

secara berlebihan dapat meningkatkan kadar glukosa dalam darah dan frekuensi

makan yang tidak teratur dan kebiasaan makan yang tidak tepat waktu dan sering

makan tidak terkontrol Sehingga pola makan responden tidak baik dan

menyebabkan Diabetes Melitus tipe-2. (Sartika et al. 2013).

Makanan yang mengandung sumber karbohidrat yang merupakan makanan

pokok, makan cepat saji, minuman manis yang mengandung gula, dan makanan

yang berminyak atau bersantan. Risiko untuk terjadinya Diabetes Mellitus tidak

hanya dilihat dari kriteria mengkonsumsi atau tidak mengkonsumsi jenis makanan

yang berisiko tetapi dipengaruhi pula oleh frekuensi konsumsi, dan seberapa

banyak konsumsi jenis makanan yang berisiko dalam mempengaruhi terjadinya

Diabetes Mellitus. (Sartika et al. 2013).

Riwayat pola makan yang kurang baik juga menjadi faktor resiko penyebab

terjadinya DM. Makanan yang di konsumsi diyakini menjadi penyebab

meningkatnya gula darah. Perubahan diet, seperti mengkonsumsi makanan tinggi

lemak menjadi penyebab terjadinya diabetes (Ricardo, 2014).


c. Obesitas

Obesitas merupakan suatu penyakit multifaktorial yang terjadi akibat jaringan

lemak yang berlebihan. Hormon insulin merupakan faktor hormonal terpenting

dalam proses lipogenesis. Selain itu hormon insulin juga memiliki efek pada gen

lipogenik yaitu menyebabkan (SREBP-1) meningkatkan ekspresi dan kerja enzim

glukokinase, dan sebagai akibatnya akan meningkatkan konsentrasi metabolit

glukosa di dalam darah (Sugondo, 2014).

a. IMT (Indeks Massa Tubuh)

Indeks Massa Tubuh diperoleh dengan pengunukuran berat badan dalam

satuan kilogram (kg) dan tinggi badan dalam satuan meter (m). selanjutnya

hasil pengukuran dihitung dalam rumus IMT

IMT = BB (kg)

TB 2 (m)

IMT dapat digunakan untuk mengetahui BB seseorang ideal atau belum dengan

menggunakan tabel berikut :

Hasil Kategori
< 18.5 Kurang
18.5-22.9 Normal
23.0 – 24.9 BB Risiko
25.0 – 29.9 Obesitas 1
≥ 30.0 Obesitas 2
Sumber : Kemenkes, 2010.

.
Hasil IMT yang masuk kategori obesitas perlu diwaspadai. obesitas

merupakan faktor risiko yang berperan penting dalam terjadinya penyakit

Diabetes Militus. Orang yang obesitas mempunyai masukan kalori yang

berlebih. Sel beta kelenjar pankeas akan mengalami kelelahan dan tidak

mampu untuk memproduksi insulin yang cukup untuk mengimbangi masukan

kalori. Akibatnya kadar glukosa darah akan tinggi dan akhirnya akan menjadi

DM.

b. Lingkar Perut

Lingkar perut dapat menunjukkan tingkat obesitas sentral. Ukuran untuk

menilai obesitas sentral adalah jika lingkar perut pria >90 cm dan wanita >80

cm (Kemenkes, 2010).

Tabel . kategori lingkar perut

Jenis Kelamin Normal Obesitas


Pria <90 cm >90 cm
Wanita <80 cm >80 cm
Sumber : Kemenkes, 2010.

Obesitas sentral merupakan contoh penimbunan lemak yang berbahaya

karena adiposit di daerah yang efisien dan lebih resisten terhadap efek insulin

dibanding adiposit di daerah yang lain. Adanya peningkatan jaringan adipose

biasanya diikuti keadaan resistensi insulin. Resistensi insulin merupakan suatu

fase awal abnormalitas metabolik sampai terjadi intoleran glukosa. Kegagalan

sel pankreas menyebabkan sekresi insulin tidak adekuat , sehingga terjadi

transisi dari kondisi resistensi insulin ke diabetes yang manifest secara klinis

(pusparini, 2007).
d. Terpapar asap rokok

Terpapar asap rokok adalah merokok atau sering berada di dekat perokok.

Merokok adalah salah satu faktor risiko terjadinya penyakit DM Tipe 2. Asap

rokok dapat meningkatkan kadar gula darah. Pengaruh rokok (nikotin)

merangsang kelenjar adrenal dan dapat meningkatkan kadar glukosa (Tantra,

2018).

Merokok tidak hanya sebagai faktor resiko penyakit jantung, kanker dan

stroke. Merokok juga merupakan salah satu faktor dari terjadinya diabetes karena

satu batang rokok dapat melumpuhkan 15% insulin dalam tubuh. Insulin dalam

tubuh dapat kembali normal setelah berhenti merokok selama 10 sampai 12

jam(Tantra, 2018). Merokok secara langsung meningkatkan resistensi insulin.

Respon insulin pada pembebanan glukosa oral lebih banyak pada perokok

dibandingkan yang tidak merokok. Perokok memiliki ciri khas sindrom resistensi

insulin termasuk di dalamnya gula darah puasa yang meningkat (Chiolero, 2008

dalam Jafar, Nurhaedar, 2012). Merokok menyebabkan kekejangan dan

penyempitan pembuluh darah. Para peneliti menyatakan bahwa merokok juga

dapat menyebabkan kondisi yang tahan terhadap insulin. Orang yang merokok ≥

20 batang/hari memiliki insidens DM lebih tinggi dibandingkan yang tidak

merokok.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Shara Kurnia Trisnawati (2012)

menunjukkan distribusi responden berdasarkan terpapar asap rokok dan tidak

terpapar asap rokok hampir merata. Responden yang terpapar asap rokok

merupakan perokok aktif dan pasif. Dari responden yang terpapar asap rokok,
sebagaian besar adalah perokok pasif. Perokok pasif memungkinkan menghisap

racun sama seperti perokok aktif. perokok memiliki risiko 76% lebih tinggi untuk

terserang DM Tipe 2 dibanding dengan yang tidak terpajan (Irawan,2010).

kebiasaan merokok menyebabkan gangguan metabolisme glukosa dan

peningkatan resistensi insulin yang menyebabkan peningkatan risiko terkena DM.

Hasil penelitian ini menunjukkan orang dengan kebiasaan merokok lebih berisiko

terkena DM tipe 2. Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan antara merokok

dengan kejadian Diabetes Mellitus Tipe 2 (p=0,000). Hal ini sejalan dengan

penelitian Gabrielle,Cappri, et.al (2005) menunjukkan bahwa ada hubungan

merokok dengan kejadian DM Tipe 2 (p=0,001) dengan OR 2,66. Begitupula

penelitian oleh Houston juga mendapatkan bahwa perokok aktif memiliki risiko

76% lebih tinggi untuk terserang DM Tipe 2 dibanding dengan yang tidak terpajan

(Irawan, 2010).

e. Stress

Stres adalah respon tubuh yang tidak spesifik terhadap setiap kebutuhan tubuh

yang terganggu, suatu fenomena universal yang terjadi dalam kehidupan sehari-

hari dan tidak dapat di hindari, setiap orang mengalaminya. Stres dapat berdampak

secara total pada individu yaitu terhadap fisik, psikologis, intelektual, sosial, dan

spiritual, stres dapat mengancam keseimbangan fisiologis (Nugroho & Purwanti,

2010). Menurut Sundberg et al stres adalah tuntutan terhadap sistem yang

menghasilkan ketegangan, kecemasan dan kebutuhan energi, usaha psikologi

ekstra (Sundberg dkk, 2007).


Stress akan memicu hipotalamus untuk mengeluarkan Corticotropin

Releasing Hormon (CRH). CRH akan menstimulasi hipofisis untuk mengeluarkan

hormone Adenocorticotropin (ACTH). Adenocorticotropin akan menstimulasi

pengeluaran kortisol, kortisol adalah hormone yang dapat meningkatkan kadar

gula darah (Guyton, 2014). Damayanti (2015) stres memicu reaksi

biokimia tubuh melalui 2 jalur, yaitu neural dan neuroendokrin. Reaksi pertama

respon stres yaitu sekresi sistem saraf simpatis untuk mengeluarkan norepinefrin

yang menyebabkan peningkatan frekuensi jantung. Kondisi ini menyebabkan

glukosa darah meningkat guna sumber energi untuk perfusi.

Stress juga berhubungan dengan penyakit diabetes tipe 2 (Tandra, 2017).

Berdasarkan analisis hubungan antara stres dengan kejadian DM Tipe 2

didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara stres dengan kejadian DM

Tipe 2 (Shara. 2013). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Andi di Rumah

Sakit Umum Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makasar. Orang yang mengalami stres

memiliki risiko 1,67 kali untuk menderita DM Tipe 2 dibandingkan dengan orang

yang tidak mengalami stres (Andi et al,2007).

G. Remaja

a. Definisi Remaja

Menurut WHO, remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-19 tahun,

menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 25 tahun 2014, remaja adalah

penduduk dalam rentang usia 10-18 tahun dan menurut Badan Kependudukan dan

Keluarga Berencana (BKKBN) rentang usia remaja adalah 10-24 tahun dan belum
menikah. Di dunia diperkirakan kelompok remaja berjumlah 1,2 milyar atau 18%

dari jumlah penduduk dunia (WHO, 2014).

Masa remaja merupakan periode terjadinya pertumbuhan dan perkembangan

yang pesat baik secara fisik, psikologis maupun intelektual. Sifat khas remaja

mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai petualangan dan tantangan

serta cenderung berani menanggung risiko atas perbuatannya tanpa didahului oleh

pertimbangan yang matang. Apabila keputusan yang diambil dalam menghadapi

konflik tidak tepat, mereka akan jatuh ke dalam perilaku berisiko dan mungkin

harus menanggung akibat jangka pendek dan jangka panjang dalam berbagai

masalah kesehatan fisik dan psikososial. Sifat dan perilaku berisiko pada remaja

tersebut memerlukan ketersediaan pelayanan kesehatan peduli remaja yang dapat

memenuhi kebutuhan kesehatan remaja termasuk pelayanan untuk kesehatan

reproduksi.

b. Remaja dan Diabetes militus.

Diabetes milutus tipe 2 adalah jenis DM yang sering terjadi di masyarakat,

biasanya terjadi pada orang dewasa, akan tetapi kejadian DM tipe 2 pada anak-

anak dan remaja semakin meningkat (IDF, 2015). Diabetes yang menyerang

remaja umumnya diabetes tipe 1 karena sel beta pankreas menghasilkan sedikit

hormon insulin yang disebabkan oleh faktor keturunan dan autoimun. Namun,

Diabetes melitus tipe 2 pun bisa juga menyerang para remaja karena remaja

termasuk dalam kelompok usia yang konsumtif sehingga cenderung untuk

mengonsumsi berbagai jenis kuliner tanpa mengikuti pola hidup sehat. Diabetes
mellitus tipe 2 disebabkan oleh resistansi insulin akibat

kurangnya menjaga gaya hidup sehat tetap seimbang (Tandra, 2017).

Penelitian aryandy, 2018 menyatakan potensi remaja di kabupaten Sidoarjo

terkena diabetes mellitus tinggi. Hal ini terjadi karena kecenderungan remaja yang

kurang bijak dalam mengonsumsi makanan yang disertai dengan kurangnya

aktivitas olahraga secara rutin (Ary, 2017).

Menurut Seisar Komala Dewi menjelaskan bahwa diabetes merupakan

penyakit keturunan, artinya bila orang tua menderita diabetes, anakanaknya akan

menderita diabetes juga (Fatmawati, 2010). Bukti yang paling meyakinkan akan

adanya faktor genetik adalah penelitian yang dilakukan pada saudara kembar

identik penyandang DM, hampir 100% dapat dipastikan akan juga mengidap DM.

Penelitian lain menunjukkan bahwa seseorang berisiko terkena DM bila

mempunyai riwayat keluarga DM. hasil penelitian aryandi, 2018 menunjukkan

bahwa penyebab prediabetes karena faktor keturunan pada remaja sekitar 13,30%

(Ary, 2018).
BAB III

KERANGKA KONSEP

A. kerangka konsep

Faktor Risiko yang tidak


dapat dirubah

Usia
Genetik
Ras
Jenis Kelamin Diabetes Militus tipe 2

Resistensi insulin dan atau penurunan


Faktor Risiko yang dapat
fungsi insulin oleh sel B-pangkreas
dirubah

Aktifitas Fisik
Pola Makan Gangguan metabolisme
Stress
Obesitas
Terpapar Asap Rokok.
glikosuria

Gambar. Kerangka konsep penelitian kuantitatif identifikasi faktor risiko diabetes

militus pada remaja di wilayah puskesmas kota madiun tahun 2020.

Keterangan :
= Tidak Dilakukan Penelitian

= Dilakukan Penelitian

B. Uraian Kerangka Konsep

Diabetes millitus tipe-2 di sebabkab oleh faktor resiko yang tidak dapat di ubah

misalnya jenis kelamin, umur, dan faktor genetik. Yang ke dua adalah faktor resiko

yang dapat di ubah misalnya terpapar asap rokok, kurang nya aktivitas fisik, pola

makan yang salah, stress dan obesitas. Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah penyakit

gangguan metabolik yang di tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi

insulin oleh sel beta pankreas dan atau ganguan fungsi insulin (resistensi insulin).

Terpapar asap rokok dan merokok merupakan faktor risiko dari DM tip2 karena

menyebabkan gangguan metabolisme glukosa dan peningkatan resistensi insulin yang

menyebabkan peningkatan risiko terkena DM. Hasil penelitian yang dilakukan oleh

Shara Kurnia Trisnawati (2012) menunjukkan distribusi responden berdasarkan

terpapar asap rokok dan tidak terpapar asap rokok hampir merata. Responden yang

terpapar asap rokok merupakan perokok aktif dan pasif. Perokok pasif memungkinkan

menghisap racun sama seperti perokok aktif. Perokok memiliki risiko 76% lebih tinggi

untuk terserang DM Tipe 2 dibanding dengan yang tidak terpajan.

Penelitian Soegondo (2009) menyatakan bahwa Aktivitas fisik yang kurang dapat

mempengaruhi retensi insulin. Aktivitas fisik mengakibatkan insulin semakin

meningkat sehingga kadar gula dalam darah akan berkurang. Pada orang yang jarang

berolahraga, zat makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak dibakar tetapi ditimbun
dalam tubuh sebagai lemak dan gula. Jika insulin tidak mencukupi untuk mengubah

glukosa menjadi energy maka akan timbul DM (Kemenkes,2010) Dalam penelitian

Fehny et al 2017 Terdapat hubungan antara pola aktivitas fisik dengan kadar gula

darah pada pasien diabetes melitus tipe II di Rumah Sakit Pancaran Kasih GMIM

Manado. Diperkuat dengan penelitian Shara et al menunjukan bahwa ada hubungan

yang signifikan antara aktivitas fisik dengan kejadian DM Tipe 2. Orang yang aktivitas

fisik sehari-harinya berat memiliki risiko lebih rendah untuk menderita DM Tipe 2

dibandingkan dengan orang yang aktifitas fisik sehari-harinya ringan OR 0,23.

Obesitas umum (IMT) dan obesitas sentral (lingkar perut) juga menjadi faktor

risiko terjadinya diabetes tipe 2 karena obesitas umum (IMT) merupakan faktor risiko

yang berperan penting dalam terjadinya penyakit Diabetes Militus. Orang yang

obesitas mempunyai masukan kalori yang berlebih. Sel beta kelenjar pankeas akan

mengalami kelelahan dan tidak mampu untuk memproduksi insulin yang cukup untuk

mengimbangi masukan kalori. Akibatnya kadar glukosa darah akan tinggi dan

akhirnya akan menjadi DM. Obesitas sentral merupakan contoh penimbunan lemak

yang berbahaya karena adiposit di daerah yang efisien dan lebih resisten terhadap efek

insulin dibanding adiposit di daerah yang lain. Adanya peningkatan jaringan adipose

biasanya diikuti keadaan resistensi insulin. Resistensi insulin merupakan suatu fase

awal abnormalitas metabolik sampai terjadi intoleran glukosa. Kegagalan sel pankreas

menyebabkan sekresi insulin tidak adekuat , sehingga terjadi transisi dari kondisi

resistensi insulin ke diabetes yang manifest secara klinis (pusparini, 2007).

makanan memegang peranan dalam peningkatan kadar gula darah. Pada proses

makan, makanan yang di makan akan di cerna di dalam saluran cerna dan kemudian
akan di ubah menjadi suatu bentuk gula yang di sebut glukosa (Nurrahmani, 2012).

di dukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2011) tentang hubungan

pola makan dan aktivitas dengan kadar glukosa darah penderita Diabetes Melitus tipe-

2 rawat jalan di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makasar, dari hasil penelitiannya,

peningkatan glukosa darah pada penderita DM tipe-2 lebih tinggi pada responden yang

memiliki pola makan kurang baik ada 87,9% atau 29 orang dari 55 orang sebagai

sampel. Diperkuat dengan penelitian yang telah di lakukan di Rumah Sakit prof. Dr. R.

D. Kandou Manado pada bulan Juni 2013 bahwa Ada hubungan pola makan dengan

kejadian Diabetes Melitus tipe-2 di poliklinik internal BLU RSUP. Prof. Dr. R. D.

Kandou Manado (Sartika, 2013).

Stress juga berhubungan dengan penyakit diabetes tipe 2 (Tandra, 2017).

Berdasarkan analisis hubungan antara stres dengan kejadian DM Tipe 2 didapatkan

bahwa ada hubungan yang signifikan antara stres dengan kejadian DM Tipe 2 (Shara.

2013). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Andi di Rumah Sakit Umum Dr.

Wahidin Sudirohusodo, Makasar. Orang yang mengalami stres memiliki risiko 1,67

kali untuk menderita DM Tipe 2 dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami

stres (Andi et al,2007).


BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Rancangan penelitian yang

digunakan adalah deskriptif. Penelitian ini merupakan penelitian yang bertujuan

menjelaskan fenomena yang ada dengan menggunakan angka-angka untuk

mencandarkan karakteristik individu atau kelompok. Penelitian ini menilai sifat dari

kondisi-kondisi yang tampak. Tujuan dalam penelitian ini dibatasi untuk

menggambarkan karakteristik sesuatu sebagaimana adanya (Beni, 2018). Sementara

itu, variabel independennya adalah faktor risiko DM Tipe 2 yang terdiri dari indeks

massa tubuh, lingkar perut, stress , aktivitas fisik, terpapar asap rokok, dan pola

makan.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja UPTD Puskesmas Oro-Oro Ombo Kota

Madiun

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini adalah Bulan Februari-Maret.


C. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah remaja di wilayah kerja UPTD Puskesmas

Kota Madiun (umur 10-19 tahun menurut WHO).

2. Sampel

Sampel yang digunakan adalah remaja di wilayah kerja UPTD Puskesmas Kota

Madiun yang berjumlah . Sampel merupakan Remaja laki-laki dan perempuan

yang sehat dan berumur 10-19 tahun yang berada di wilayah kerja UPTD

Puskesmas Kota Madiun. Responden dalam penelitian ini adalah Remaja yang

bersedia untuk dilakukan wawancara. Adapun jumlah responden yang digunakan

sesuai dengan jumlah data yang didapatkan.

3. Teknik Sampling

Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel dengan menggunakan

rumus sampling yaitu :

n = N / (1 + (N x e2))

n = 16.287 / (1 + (16287 x 0.052))

n = 16.287 / 41,7175

n = 390.411 ≈ 391 Responden

Keterangan :

1. n = besar sampel minimum

2. N = Besar populasi

3. e = Margin error ( 5% atau 0.05)

D. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah faktor risiko diabetes militud tipe-2 yaitu: obesitas

(IMT & lingkar perut), merokok, aktifitas fisik, pola makan, dan stress.
E. Definisi operasional

Definisi operasional adalah batasan ruang lingkup atau pengertian variabel- variabel yang diamati/diteliti

(Notoatmojo,2012).

Definisi operasional dalam penelitian ini yaitu:

No Variable Definisi Operasional Parameter Alat Ukur Hasil Ukur Skala

.
1. Aktifitas Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh Berdasarkan Kuesioner Ordinal
1. Ringan
Fisik dengan tujuan meningkatkan dan Baeckqe
: nilai
mengeluarkan tenaga dan energi. Terbagi questioner
indeks
dari 3 bagian aktifitas fisik yaitu aktifitas oleh baecke
< 6.3
fisik waktu bekerja, berolahraga dan et al 1982
2. Sedang
aktifitas fisik waktu luang.
: nilai
Rumus untuk mendapatkan indeks aktifitas
indeks
fisik :
6.3
Work indeks =
-7.1
[ p 1+(6− p 5)+ p 6+ p7 + p 8+ p 9+ p10+ p 21]/8
3. Berat :
No Variable Definisi Operasional Parameter Alat Ukur Hasil Ukur Skala

.
Sport indeks = [p8+p11+p15+p22] nilai

Leusuring-time indeks indeks

=¿ ≥ 7.2

Nilai indeks total = work + sport +

leusuring-time

2. Obesitas Lingkar perut responden dari hasil Berdasarkan Pita ukur 0 = normal Nominal

pengukuran dengan satuan centimeter dengan Kemenkes dalam 1 = obesitas

ketentuan: RI, 2010. satuan sentral

Jenis Normal Obesitas centi

kelamin sentral meter


L <90 cm >90 cm
P <80 cm >80 cm
Hasil perhitungan berat badan (kg) dibagi Perkeni Pengukura 0 : Obesitas Ordinal

dengan tinggi badan yang dikuadratkan dalam n TB dan 1 : Berisiko

(m2). Di bawah ini adalah Kemenkes, BB 2 : Kurang

Hasil Kategori 2010 & Normal


< 18.5 Kurang
No Variable Definisi Operasional Parameter Alat Ukur Hasil Ukur Skala

.
18.5-22.9 Normal
23.0 – 24.9 BB Risiko
25.0 – 29.9 Obesitas 1
≥ 30.0 Obesitas 2

IMT dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu:

a. Kurang & Normal

b. Berisiko

c. Obesitas
3. Terpapar Terpapar atau tidaknya responden dengan Step wise Kuesioner 0 = Terpapar Nominal

asap rokok asap rokok WHO dalam 1:Tidak

setiap hari. penelitian Terpapar

fitriani 2012.
a. Terpapar jika responden merokok

atau responden sering berada dekat

atau tinggal bersama perokok

b. Tidak Terpapar

4. Stress Stres adalah kondisi responden mengalami Perceived Kuesioner Stres ringan Ordinal
No Variable Definisi Operasional Parameter Alat Ukur Hasil Ukur Skala

.
gejala-gejala seperti tegang, mudah takut, Stress Scale jika nilai ≤ 13

dan sulit tidur, dalam jangka waktu yang (PSS-10) stres sedang

lama. jika nilai = 14-

26

stres berat jika

nilai = 27- 40

5. Pola Pola makan mengandung 3 bahasan pokok Berdasarkan kuesioner Terdiri dari 13 Nominal

makan yaitu jadwal makan, jenis makanan dan Kemenkes pertanyaan

jumlah makanan yang dikonsumsi. RI, 2014 pilihan ganda.

dalam Jawaban yang

penelitian sama pada

Mainardo, setiap

2017. responden

dikelompokka
No Variable Definisi Operasional Parameter Alat Ukur Hasil Ukur Skala

.
n, setelah

jawaban

dikelompokan,

jawaban akan

di

persentasekan

dengan jumlah

100%. Kecuali

nomor 3 dan 4

yang dapat

dipilih lebih

dari 1 jawaban.
F. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk pengumpulan data

(Notoatmodjo, 2012). Instrumen pada penelitian ini adalah kuesioner untuk

mengetahui informasi karakteristik responden dan beberapa faktor risiko

penyebab DM tipe 2 berisi pertanyaan yang berhubungan dengan pola makan,

obesitas, aktifitas fisik, stress dan terpapar asap rokok.

G. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data meliputi data primer dan data sekunder. Dalam penelitian

ini data primer yang diambil berupa karakteristik dan perilaku responden, variabel

penelitian yaitu Faktor risiko DM tipe 2, sedangkan data sekunder yang diambil

yaitu jumlah penderita Diabetes Militus tipe 2 di Puskesmas Oro-ro ombo Kota

Madiun.

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh selama penelitian berlangsung

(Darmawan, 2016). Data primer dalam penelitian ini adalah berupa data

yang berhubungan dengan variabel faktor risiko DM tipe 2 yaitu pola makan,

obesitas, aktifitas fisik, stress dan terpapar asap rokok. yang digunakan

dalam penelitian ini dengan menggunakan wawancara. Prosedur

pengumpulan data primer sebagai berikut:

i. Mengurus permohonan ijin pengambilan data kepada institusi

pendidikan yaitu Institut Ilmu Kesehatan Kediri program studi S1

Kesehatan Masyarakat.

ii. Mengurus permohonan izin penelitian kepada instansi terkait

antara lain; Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol)

Kota Madiun, Dinas Kesehatan Kota Madiun, UPTD Puskesmas

Oro-oro ombo Kota Madiun.

iii. Melakukan persetujuan dengan responden yang dibuktikan

dengan penandatanganan lembar informed consen.


iv. Melakukan tanya jawab dengan kuesioner untuk mendapatkan

informasi yang diinginkan dalam penelitian.

v. Melakukan observasi untuk mengamati langsung kondisi

lingkungan dari responden yang sesuai dengan kebutuhan

penelitian.

b. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen publikasi/laporan

penelitian dari dinas/instansi maupun sumber data lainnya yang menunjang

(Darmawan, 2016). Data sekunder yang digunakan dari penelitian ini adalah

Prevalensi DM tipe 2 dan Jumlah penduduk di wilayah kerja. Metode

pengumpulan data sekunder yaitu dengan survei data ke Dinas Kesehatan

Kota Madiun dan Puskesmas. Adapun prosedur pengambilan data kesehatan

di Dinas Kesehatan Kota Madiun yaitu:

i. Mengurus permohonan ijin pengambilan data kepada institusi

pendidikan yaitu Institut Ilmu Kesehatan Kediri program studi S1

Kesehatan Masyarakat.

ii. Mengurus permohonan izin penelitian kepada instansi Dinas

Kesehatan Kota Madiun.

iii. Membuat kesepakatan dengan pihak UPTD Puskesmas Ngasem

Kabupaten Kediri mengenai waktu pengambilan data.

iv. Melakukan survei dan pengambilan data kejadian prevalensi DM

tipe 2 dan jumlah penduduk umur 10-19 tahun.

H. Pengolahan dan Analisis Data

1. Langkah-langkah dalam pengolahan data menurut Notoadmojo (2012) yaitu:


i. Editing (Penyuntingan Data)

Hasil yang diperoleh melalui wawancara atau kuesioner dikumpulkan

kemudian disunting terlebih dahulu. Secara umum penyuntingan data adalah

kegiatan memeriksa kelengkapan kejelasan jawaban maupun kesalahan

antara jawaban pada kuesioner dari responden. Proses penyuntingan yang

dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan melihat kelengkapan jawaban

pada kuesioner yang diisi oleh responden.

ii. Coding

Coding adalah kegiatan merubah data dalam bentuk huruf menjadi data

dalam bentuk angka/bilangan. Kode adalah simbol tertentu dalam bentuk

huruf atau angka untuk memberikan identitas data. Pada pola makan di beri

code M1-M13. Pada kuesioner paparan asap rokok diberi kode T1-T18. Pada

kuesioner stress diberi kode S1-S10. Pada kuesioner aktifitas fisik diberi kode

F1-f22 dan pada kuesioner obesitas diberi kode O1-O3.

iii. Entry atau processing

Memasukan data yaitu jawaban dari masing-masing responden dalam

bentuk kode (angka atau huruf) dimasukan kedalam program atau software

komputer. Kegiatan memasukkan data dalam penelitian ini yaitu jawaban

yang sudah diberikan kode atau angka kemudian dimasukkan ke dalam

software komputer. Data yang dimasukkan berupa data umur, obesitas,

paparan asap rokok, aktifitas fisik, strees dan pola makan.

iv. Tabulating

Proses pengelompokkan data sesuai dengan variabel yang akan diteliti

guna memudahkan analisis data. Proses pengelompokan data dalam

penelitian ini yaitu dengan mengelompokan data sesuai dengan jawaban

responden dari kuesioner. Data dikelompokan sesuai Variable yang diteliti

yaitu obesitas, paparan asap rokok, aktifitas fisik, strees dan pola makan..
v. Pembersihan Data (Cleaning)

Setelah semua data dari setiap responden telah selesai dimasukkan perlu

dilakukan pengecekan ulang untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan

atau tidak pada data. Pengecekan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu

dengan dengan melihat distribusi frekuensi tiap-tiap variabel untuk

kemudian dinilai kesesuaian antara jumlah total frekuensi dengan jumlah

total responden.

2. Analisis Data

Analisis Univariat

Penelitian ini menggunakan analisis persentase dengan tujuan untuk melihat

gambaran persentase dari variabel yang diteliti (Maidartati, 2017).

I. Kerangka Kerja

Kerangka Kerja Identifikasi Faktor Risiko DM Tipe 2 Di UPTD Puskesmas

Oro-Oro Ombo Kota Madiun.

Mengumpulkan Data Awal

Menentukan Populasi

Menentukan Sampel

Mengumpulkan Data

Mengolah Data dan Analisis Data


Menyajikan Data

Hasil Pembahasan dan Kesimpulan

Gambar IV. 1 Kerangka Kerja Penelitian Identifikasi Faktor Risiko DM Tipe 2


Di UPTD Puskesmas Oro-Oro Ombo Kota Madiun.

Anda mungkin juga menyukai