Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan modern dewasa ini telah tampil dalam dua wajah yang
antagonistik. Di satu sisi modernisme telah berhasil mewujudkan kemajuan
yang spektakuler, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di sisi lain, ia telah menampilkan wajah kemanusiaan yang buram berupa
kemanusiaan modern sebagai kesengsaraan rohaniah. Modernitas telah
menyeret manusia pada kegersangan spiritual.
Ironisnya, masalah kejiwaan yang dihadapi individu sering mendapat
reaksi negatif dari orang-orang yang berada di sekitarnya. Secara singkat
lahirnya stigma ditimbulkan oleh keterbatasan pemahaman masyarakat
mengenai etiologi gangguan jiwa, di samping karena nilai-nilai tradisi dan
budaya yang masih kuat berakar, sehingga gangguan jiwa sering kali dikaitkan
oleh kepercayaan masyarakat yang bersangkutan. Oleh karenanya, masih ada
sebagian masyarakat yang tidak mau terbuka dengan penjelasan-penjelasan
yang lebih ilmiah (rasional dan obyektif) dan memilih untuk
mengenyampingkan perawatan medis dan psikiatris terhadap gangguan jiwa.
Pada masyarakat Barat modern atau masyarakat yang mengikuti
peradaban Barat yang sekular, solusi yang ditawarkan untuk mengatasi
problem kejiwaan itu dilakukan dengan menggunakan pendekatan psikologi,
dalam hal ini kesehatan mental.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Kesehatan Mental?
2. Bagaimana Kesehatan Mental menurut Pandangan Al-Qur’an dan Hadits?
3. Bagaimana Kesehatan Mental dalam Khazanah Keislaman?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kesehatan Mental
Kesehatan mental sebagai salah satu cabang ilmu jiwa sudah dikenal
sejak abad ke-19, seperti di Jerman tahun 1875 M, orang sudah mengenal
kesehatan mental sebagai suatu ilmu walupun dalam bentuk sedarhana.
Istilah “Kesehatan Jiwa(mental)” telah menjadi populer di kalangan
orang-orang terpelajar, seperti istilah-istilah ilmu jiwa lainnya; misalnya
kompleks jiwa, sakit saraf dan hysteria; banyak diantara mereka menggunakan
kata-kata tersebut baik pada tempatnya atau tidak dalam pengertian yang tidak
sesuai dengan pengertian ilmiah dan istilah-istilah tersebut.1
Apabila ditinjau dari etimologi, kata mental berasal dari kata latin
mens atau mentis yang berarti roh, sukma, jiwa atau nyawa.
Ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang mempelajari masalah
kesehatan jiwa/ mental yang bertujuan mencegah timbulnya gangguan atau
penyakit mental dan gangguan emosi, dan berusaha mengurangi atau
menyembuhkan penyakit mental serta memajukan kesehatan jiwa rakyat.
Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala jiwa
(neurose) dan gejala penyakit jiwa (psikose). Jadi menurut definisi ini,
seseorang dikatakan bermental sehat bila orang yang terhindar dari gangguan
dan penyakit jiwa yaitu adanya perasaan cemas tanpa diketahui sebabnya.
Malas dan hilangnya kegairahan bekerja pada seseorang. Bila gejala ini
meningkat maka akan menyebabkan penyakit anxiety, neurasthenis,
atau hysteria dan sebagainya. Adapun orang sakit jiwa biasanya memiliki
pandangan yang berbeda dengan pandangan orang pada umumnya. Inilah
yang kita kenal dengan orang gila.
Kesehatan mental (mental bygiene) juga meliputi sistem tentang
prinsip-prinsip, peraturan-peraturan  serta prosedur-prosedur untuk
mempertinggi kesehatan ruhani. Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang
dalam ruhani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman, dan tenteram.2
1
Jalaluddin, Psikologi Agama. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008) h. 160
2
Ibid, h. 60

2
B. Kesehatan mental menurut pandangan Al-Qur’an dan Hadist
Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan hidup yang
beragam. Namun demikian, keberagaman itu dikelompokkan menjadi dua
bagian yang mendasar. Pertama, kebutuhan untuk keberlangsungan hidup dan
pelestarian jenis (spesies). Kedua, kebutuhan untuk mencapai ketenangan jiwa
dan kebahagiaan hidup. Dua kebutuhan pokok inilah yang mendorong atau
memotivasi manusia melakukan aktivitasnya untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya tersebut.
Jika seseorang dihadapkan pada dua pengaruh motivasi yang masing-
masing sama kekuatannya tetapi tujuan keduanya berlawanan, maka motivasi
pertama akan menariknya ketujuan tertentu. Adapun motivasi yang lain
menariknya ketujuan yang berlawanan dengan tujuan pertama. Hal ini
menyebabkan perasaan bingung dalam diri seseorang karena tidak mampu
memenuhi kebutuhan kedua motivasi tersebut secara bersamaan. Kondisi
seperti ini membingungkan seseorang dalam menentukan pilihan di antara dua
tujuan yang berbeda. Kondisi seperti ini diistilahkan sebagai konflik kejiwaan.
Akibatnya orang akan mengalami depresi, stress dan gangguan mental
lainnya. Apabila dibiarkan dan tak disadari oleh setiap individu sehingga
menjadi parah gangguan mental dapat berujung pada langkah bunuh diri.
Al-Quran menggambarkan konflik kejiwaan ini pada orang munafik
yang bimbang dan ragu dalam menentukan pilihan antara keimanan dan
kekufuran, antara bergabung dengan kelompok islam dan kelompok kafir.
Allah SWT berfirman dalam Al-Quran:
       
       
         
           

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah


akan membalas tipuan mereka. dan apabila mereka berdiri untuk
shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya
(dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut
Allah kecuali sedikit sekali. Mereka dalam Keadaan ragu-ragu
antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada
golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada

3
golongan itu (orang-orang kafir), Maka kamu sekali-kali tidak akan
mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.”3

Rasulullah SAW juga menggambarkan konflik kejiwaan yang dialami


orang munafik yang bimbang untuk bergabung antara kelompok islam dan
kafir dengan kondisi seekor domba betina yang ragu untuk bergabung pada
dua kawanan domba. Sesekali domba betina bergabung dengan salah satu
kawanan domba, tetapi domba betina juga bergabung dengan kawanan domba
lain. Domba betina tidak mampu menentukan yang pasti untuk bergabung
dengan salah satu dari dua kawanan domba. Rasulullah SAW bersabda:

‫َح َّدثَيِن حُمَ َّم ُد بْ ُن َعْب ِد اللَّ ِه بْ ِن مُنَرْيٍ َح َّد َثنَا أَيِب ح و َح َّد َثنَا أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن أَيِب َش ْيبَةَ َح َّد َثنَا‬
‫َخَبَرنَا َعْب ُد‬ْ ‫ظ لَهُ أ‬ُ ‫ُس َامةَ قَااَل َح َّد َثنَا عَُبْي ُد اللَّ ِه ح و َح َّد َثنَا حُمَ َّم ُد بْ ُن الْ ُمَثىَّن َواللَّ ْف‬
َ ‫أَبُو أ‬
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه‬ ِ ِ ِ َّ ‫اب يعيِن‬
َ ِّ ‫الث َقف َّي َح َّدثَنَا عَُبْي ُد اللَّه َع ْن نَاف ٍع َع ْن ابْ ِن عُ َمَر َع ْن النَّيِب‬ ْ َ ِ ‫الْ َو َّه‬
‫َّاة الْ َع ائَِر ِة َبنْي َ الْغَنَ َمنْي ِ تَعِريُ إِىَل َه ِذ ِه َم َّرةً َوإِىَل َه ِذ ِه‬
ِ ‫ال مثل الْمنَافِ ِق َكمث ِل الش‬
ََ ُ ُ َ َ َ َ‫َو َسلَّ َم ق‬
‫َمَّر ًة‬
Artinya: “perumpamaan orang munafik itu seperti domba betina yang
bimbang di antara dua kawanan domba. Sesekali domba betina itu
mengikuti salah satu dari dua kawanan domba itu, tetapi sesekali ia
mengikuti kawanan domba yang lain”.4

Konflik kejiwaan yang sering dialami seseorang ditengarai oleh


adanya tarik menarik antara motivasi. Antara kebutuhan organik, hawa nafsu,
keinginan, dan ambisi duniawi yang harus dipenuhi di satu pihak serta
motivasi agama (motivasi psikis) dan spritual dipihak lain. Motivasi agama
cenderung mengontrol motivasi organik dan hasrat duniawi. Motivasi ini juga
mendorong seseorang untuk menilai kecenderungan dan ambisinya dalam
mengejar urusan profan. Penilaian ini didasari oleh pertimbangan untuk
meraih kebahagiaan kekal dan abadi di akhirat. Rasulullah SAW
menggambarkan konflik kejiwaan.

3
QS. An-Nisa; 142-143
4
Abu Al-Husaini Muslim Bin Hajjaj Muslim Al-Qusayri, Sahih Muslim Bi Syarhi
Nawawi, Kairo;Matbaah Mishriyah, t. th. H. 45

4
‫ال َه َذا َم ا‬ َ َ‫َخَبَرنَا َم ْع َم ٌر َع ْن مَهَّ ِام بْ ِن ُمنَبِّ ٍه ق‬ ِ َّ ‫ح َّد َثنَا حُم َّم ُد بن رافِ ٍع ح َّد َثنَا عب ُد‬
ْ ‫الرزَّاق أ‬ َْ َ َ ُْ َ َ
َ َ‫يث ِمْن َه ا َوق‬
‫ال‬ ِ ‫ول اللَّ ِه ص لَّى اللَّه علَي ِه وس لَّم فَ َذ َكر أ‬ ِ ‫ح َّدثَنَا أَب و هري ر َة َعن رس‬
َ ‫َح اد‬ َ َ َ َ َ َْ ُ َ ُ َ ْ َ ْ َُ ُ َ
ِ ِ ِ ُ ‫رس‬
‫ت َم ا‬ ْ َ‫َض اء‬ َ ‫اس َت ْوقَ َد نَ ًارا َفلَ َّما أ‬ ْ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم َمثَلي َك َمثَ ِل َر ُج ٍل‬ َ ‫ول اللَّه‬ َُ
ِ ِ ِِ
ُ‫اب الَّيِت يِف النَّا ِر َي َق ْع َن ف َيه ا َو َج َع َل حَيْ ُج ُز ُه َّن َو َي ْغلْبنَ ه‬ُّ ‫َّو‬
َ ‫اش َو َه ذه الد‬ ُ ‫َح ْوهَلَا َج َع َل الْ َف َر‬
‫َفيََت َق َّح ْم َن فِ َيه ا قَ َال فَ َذلِ ُك ْم َمثَلِي َو َمَثلُ ُك ْم أَنَ ا آ ِخ ٌذ حِب ُ َج ِز ُك ْم َع ْن النَّا ِر َهلُ َّم َع ْن النَّا ِر‬
‫َهلُ َّم َع ْن النَّا ِر َفَت ْغلِبُويِن َت َق َّح ُمو َن فِ َيها‬
Artinya: “Aku bagaikan seseorang yang menyalakan api, ketika api itu
menerangi sekelilingnya, api itu menyambar tempat tidur sehingga
seseorang berusaha memadamkan api itu. Namun, orang itu
menceburkan dirinya ke dalam api itu. Kemudian Nabi SAW
berkata,” itulah perumpaan aku dengan kalian. Aku berusaha
menyelamatkan kalian semua dari jilatan api. Maka hati-hatilah
dengan api! Sebab kalian semua berusaha menyelamatkan aku,
tetapi kalian menceburkan diri ke dalam api itu.”5

Hadis ini menggambarkan konflik antara hasrat indrawi dan


kesenangan duniawi disatu pihak dengan motivasi agama dan spiritual yang
menuntun manusia agar tidak terperosok ke dalam jurang hawa nafsunya
dipihak lain. Rasulullah SAW menggambarkan perbandingan antara dua laki-
laki pada kondisi konflik seperti ini. Salah satu di antara keduanya ialah orang
cerdik yang mampu mengekang dan mengontrol hawa nafsu syahwatnya serta
beramal untuk kehidupan akhiratnya. Adapun yang lain ialah orang dungu
yang tidak mampu berfikir jernih. Ia selalu mengikuti hawa nafsu syahwatnya
dan tidak beramal untuk akhiratnya.

‫س َع ْن أَيِب بَ ْك ِر بْ ِن أَيِب َم ْرمَيَ ح و‬ ِ ِ


َ ‫َح َّدثَنَا ُس ْفيَا ُن بْ ُن َوكي ٍع َح َّدثَنَا ع‬
َ ُ‫يس ى بْ ُن يُ ون‬
‫َخَبَرنَا ابْ ُن الْ ُمبَ َار ِك َع ْن أَيِب‬ ٍ ِ ِ
ْ ‫َح َّدثَنَا َعْب ُد اللَّه بْ ُن َعْب د الرَّمْح َ ِن أ‬
ْ ‫َخَبَرنَا َع ْم ُرو بْ ُن َع ْون أ‬
‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه‬ ِ ٍ ِ‫ض ْمر َة بْ ِن َحب‬ ِ
َ ِّ ‫يب َع ْن َش دَّاد بْ ِن أ َْو ٍس َع ْن النَّيِب‬ َ َ ‫بَ ْك ر بْ ِن أَيِب َم ْرمَيَ َع ْن‬
ِ ِ ِ ‫ال الْ َكيِّس من دا َن َن ْفس ه وعم‬ َ َ‫َو َس لَّ َم ق‬
ُ‫ِل ل َم ا َب ْع َد الْ َم ْوت َوالْ َع اج ُز َم ْن أَْتبَ َع َن ْف َس ه‬ َ َََُ َ َْ ُ
‫َه َو َاها َومَتَىَّن َعلَى اللَّ ِه‬
5
Muslim, jilid 15, h. 49

5
Artinya: “Orang pandai adalah orang yang dapat menundukan dirinya dan ia
melakukan seluruh aktifitas hidupnya demi kehidupan setelah mati
(akhirat). Adapun orang yang lemah adalah orang yang mengikuti
hawa nafsunya sendiri dan berharap kepada Allah SWT dengan
harapan hampa.”6

Merealisasikan keseimbangan antara raga dan jiwa merupakan syarat


mutlak untuk menjadi pribadi normal yang dapat menikmati kesehatan jiwa.
Kesehatan jiwa yang dimaksud di sini ialah jiwa yang diistilahkan dalam Al-
quran sebagai an-nafs mutmainah (jiwa yang tenang). Manusia yang normal
adalah seorang yang memiliki an-nafs mutmainahtersebut. Jiwa ini menitik
beratkan pada aspek kesehatan dan kekuatan badan, memenuhi kebutuhan
dasar dengan cara yang halal, memenuhi kebutuhan spritual dengan berpegang
teguh pada akidah tauhid, mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan
menjalankan ibadah dan melakukan amalan soleh dan menjauhkan diri dari
keburukan dan segala hal yang dapat menyebabkan Allah SWT murka.
Manusia normal adalah seseorang yang menempuh jalan yang lurus dalam
setiap tingkah lakunya, setiap perkataan dan perbuatannya sesuai dengan di
jalan Allah SWT yang sepenuhnya tertuang dalam Al-quran yang
diwejahwantahkan oleh Rasulullah SAW dalam sunnahnya.
Manusia normal yang memiliki an-nafs mutmainah ialah manusia
yang hidup sesuai dengan fitrah yang telah diciptakan Allah SWT, yakni
akidah tauhid. Dan yang perlu diperhatikan bahwa fitrah tersebut
membutuhkan sesuatu yang dapat menjaga, menyegarkan, dan
mengokohkannya. Sesuatu yang tidak lain adalah syariah yang diturunkan ke
bumi.7
Pribadi normal dapat dilihat pada kepribadian Rasulullah SAW yang
telah menyeimbangkan kedua sisi material dan spritual. Raasulullah SAW
adalah maniusia biasa. Beliau memenuhi kebutuhan jasmaninya pada batas
yang disyariatkan. Beliau juga memenuhi kebutuhan spritualnya dengan

6
Abdurrahman As-Sa’di, Taysirul Karim Ar-Rahman Fi Tafsiril Karim Karimil
Mannan; Muassarah Risalah; 2000, Juz 1 H.120
7
Ibnu Taimiyah, Ilmu Suluk; Majmu’ Fatawa Syaikh Ahmad  Ibn Taymiyah, Isyraf
Arriasah Al-Ammah Li Syuun Al-Haramain As-Syarifain Bi Suudiyah, t.th, H. 146

6
penuh keikhlasan. Penghambaan dirinya kepada Allah SWT sarat dengan
sikap tunduk dan kejernihan hati yang sempurna, tidak dikotori oleh
kesenangan duniawi dan keindahannya.
Rasulullah SAW merupakan pribadi manusia sempurna. Beliau adalah
manusia yang memiliki perilaku sempurna dan berakhlak terpuji. Seluruh
akhlaknya merupakan cerminan al-quran. Rasulullah SAW merupakan
prototipe manusia yang memiliki an-nafs mutmainnah ideal yang
mencerminkan semua indikator kesehatan jiwa pada tingkat yang tertinggi.8
C. Kesehatan Mental dalam Khazanah Keislaman
Pandangan islam tentang manusia dan kesehatan mental, berbeda
dangan aliran-aliran psikologi yang empat. Manusia dalam pandangan Islam
diciptakan oleh Allah dengan tujuan tertantu:
1. Menjadi hamba Allah (abd Allah) yang tugasnya mengabdi kepada Allah
SWT.
2. Menjadi khalifah Allah fi al-Ardh yang tugasnya mengolah alam dan
memanfaatkannya untuk kepetingan makhluk dalam rangka Ubudiyah
kepada-Nya.
Agar tujuan tersebut dapat dicapai manusia dilengkapi dengan
berbagai potensi yang harus dikembangan dan dimanfaatkan sesuai dengan
aturan Allah. Oleh karena itu kesehatan mental dalam pandangan islam adalah
pengembangan dan pemanfaatan potensi-potensi tersebut semaksimal
mungkin, dengan niat ikhlas beribadah hanya kepada Allah. Dengan demikian
orang yang sehat mentalnya, adalah orang yang mengembangkan dan
memanfaatkan seganap potensinya seoptimal mungkin melalui jalan yang
diridhai Allah, dengan motif beribadah kepada-Nya.
Dari keempat aliran psikologi semuanya mendasarkan teoti kesehatan
mentalnya hanya pada konsep dasar manusia yang sebenarnya belum utuh.
Kekurangutuhan itu akan tampak bila diteliti dengan seksama, ternyata
keempat aliran tersebut membicarakan konsep kepribadian manusia, namun
belum menyinggung bagaimana kaitannya dengan Sang Pencipta. Oleh karena
8
Muhammad Usman Najati, Psikologi Dalam Persepektif  Hadis,(alih bahasaZaenudin
Bakar),  Jakarta; Pustaka Al-Husna Baru, Th.204, H. 230

7
itu orang kesulitan untuk menjawab bagaimana sebanarnya tentang konsep
jiwa/mental yang sehat, tampaknya sulit ditentukan jawaban yang tuntas.
Masing-masing aliran belum mampu mengembangkan seluruh potensi
manusia, sehingga aliran humanistik dan transpersonal yang kajiannya lebih
sempurna mengenai manusiapun ternyata masih belum sempurna menurut
Islam.9
Menurut pandangan Islam orang sehat mentalnya ialah orang yang
berprilaku, pikiran, dan perasaannya mencerminkan dan sesuai dengan ajaran
Islam. Ini berarti, orang yang sehat mentalnya ialah orang yang didalam
dirinya terdapat keterpaduan antara perilaku, perasaan, pikiranya dan jiwa
keberagamaannya. Dengan demikian, tampaknya sulit diciptakan kondisi
kesehatan mental dangan tanpa agama. Bahkan dalam hal ini Malik B. Badri
berdasarkan  pengamatanya berpendapat, keyakinan seseorang terhadap Islam
sangat berperan dalam membebaskan jiwa dari gangguan dan penyakit
kejiwaan. Disinilah peran penting Islam dalam membina kesehatan
mental.10 Zakiah Daradjat merumuskan pengertian kesehatan mental dalam
pengertian yang luas dengan memasukkan aspek agama didalamnya seperti
berikut:
Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-
sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan yang terciptanya penyusuai diri antara
manusia dangan dirinya sendiri dan lingkungannya, berlandaskan keimanan
dan ketaqwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan
bahagia di dunia dan di akhirat.
Di dalam buku Prof. Dr. Mustafa Fahmi pengertian kesehatan jiwa
(mental) ada dua, yaitu: pertama, kesehatan jiwa adalah bebas dari gejala-
gejala penyakit jiwa dan gangguan kejiwaan. Kedua, kesehatan jiwa adalah
dengan cara aktif, luas, lengkap tidak terbatas, ia berhubungan dengan
kemampuan orang yang menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan dengan

9
Ramayulis, Psikologi Agama. (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h.128
10
Ibid, h. 152

8
masyarakat lingkungannya, hal itu membawanya kepada kehidupan yang
sunyi dari kegoncangan, penuh vitalitas.11
Dalam literatur yang berkembang ada beberapa cara untuk memelihara
kesehatan mental dalam khazanah Islam salah satunya adalah pola atau
metode Iman Islam Dan Ihsan yang didalamnya terdapat berbagai macam
karakter berdasarkan konsep Iman Islam Dan Ihsan.12
1. Iman
Didalam metode iman terdapat beberapa macam pola karakter.
Pertama, karakter rabbani yang berasal dari kata rabb  yang dalam bahasa
Indonesia berarti tuhan, yaitu tuhan yang memiliki, memperbaiki,
mengatur. Istilah rabbani dalam konteks ini memiliki ekuivalensi
dengan mentransformasikan asma dan sifat tuhan kedalam dirinya untuk
kemudian diinternalisasikan dengan kehidupan nyata.
Kedua, karakter malaki adalah kepribadian individu yang didapat
setelah mentransformasikan sifat-sifat malaikat kedalam dirinya untuk
kemudian di internalisasikan kedalam kehidupan nyata.
Ketiga, karakter Qurani yang pada intinya kepribadian qurani
adalah kepribadian yang melaksanakan sepenuh hati nilai-nilai al-Qur`an
baik pada dimensi I`tiqadiyah, Khulukqiyah, amaliyah, ibadah, muamalah,
daruriyyah, hajiyyah, ataupun tahsiniyah,
Keempat, karakter rasuli yang. mengarah pada sifat-sifat khas
seorang rasul sebagai manusi pilihan (Al-Musthafa) berupa sifat Jujur,
Terpercaya, Menyampaikan perintah dan cerdas.
Kelima, Karakter yawm akhiri adalah kepribadian individu yang
didapat sesudah mengimani, mamhami dan mempersiapkan diri untuk
memasuki hari akhir dimana seluruh perilaku manusia dimintai
pertanggungjawaban. Kepribadian ini menuju kepada salah satu
konsekwensi perilaku manusia, dimana yang amalnya baik akan

11
Yusak Burhanuddin; Kesehatan Mental; (Bandung:Penerbit Pustaka Setia,1999) h.12.
12
Abdul Mujib, Jusuf Muzakkir; Nuansa-nuansa Psikologi Islam; (Jakarta; Raja Grafindo
Perkasa, 2002) h. 149.

9
mendapatkan kenikmatan syurga sementara bagi yang amalnya buruk akan
mendapatkan kesengsaraan neraka.
Keenam, karakter taqdiri,  Pola-pola tingkah laku taqdiri antara
lain; pertama, bertingkah laku berdasarkan aturan dan hukum tuhan,
sehingga tidak semena-mena memperturutkan hawa nafsu. Kedua,
membangun jiwa optimis dalam mencapai sesuatu tujuan hidup. Tidak
sombong ketika mendapatkan kesuksesan hidup. Tidak pesimis, stress atau
depresi ketika mendapatkan kegagalan.
2. Islam
Didalam metode Islam terdapat beberapa macam pola karakter.
Pertama, kepribadian syahadatain adalah kepribadian individu yang
didapat setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, memahami hakikat
dari ucapannya serta menyadari akan segala konsekwensi persaksiannya
tersebut. Kepribadian syahadatain meliputi domanin kognitif dengan
pengucapan dua kalimat secara verbal; domain afektif dengan kesadaran
hati yang tulus; dan domain psikomotorik dengan melakukan segala
perbuatan sebagai konsekwensi dari persaksiannya itu.
Kedua, karakter mushalli adalah kepribadian individu yang didapat
setelah melaksanakan shalat dengan baik, konsisten, tertib, dan khusyu,
sehingga ia mendapatkan hikmah dari apa yang dikerjakan.
Ketiga, karakter shaim adalah kepribadian individu yang didapat
setelah melaksanakan puasa dengan penuh keimanan dan ketakwaan,
sehingga ia dapat mengendalikan diri dengan baik. Pengertian ini
didasarkan pada asumsi bahwa orang yang mampu menahan diri dari
sesuatu yang membatalkan puasa memiliki kepribadian lebih kokoh, tahan
uji, dan stabil ketimbang orang yang tidak mengerjakannya, sebab ia
mendapatkan hikmah dari perbuatannya.
Keempat, karakter muzakki adalah pribadi yang suci, fitrah dan
tanpa dosa. Ia memilki kepribadian yang seimbang, mampu
menyelaraskan antara aktifitas yang berdimensi vertikal dan horizontal. Ia
adalah sosok yang empatik terhadap penderitaan pribadi lain.

10
Kelima, karakter haji adalah orang yang telah melakukan ibadah
haji yang secara etimologi berarti menyengaja pada sesuatu yang
diagungkan. Orang yang melaksanakan haji hatinya selalu tertuju pada
yang maha tinggi. Orang yang berhaji memiliki beberapa kepribadian
antara lain : kepribadian muhrim, kepribadian thawif, kepribadian waqif,
kepribadian sa`i, kepribadian mutahalli dan lain sebagainya.
3. Ihsan
Kata ihsan berasal dari kata hasuna yang berarti baik atau bagus.
Seluruh perilaku yang mendatangkan manfaat dan menghindarkan
kemudharatan merupakan perilaku yang ihsan. Namun karena ukuran
ihsan bagi manusia sangat relative dan temporal, maka criteria ihsan yang
sesungguhnya berasal dari Allah swt. Karena itu hadits Nabi Muhammad
saw menyebutkan bahwa ihsan bermuara pada peribadatan  dan
muwajahah, dimana ketika sang hamba mengabdikan diri pada-Nya
seakan-akan bertatap muka dan hidup bersama (ma`iyyah) dengan-Nya,
sehingga seluruh perilakunya menjadi baik dan bagus. Sang budak tidak
akan berbuat buruk dihadapan majikannya, apalagi sang hamba dihadapan
tuhannya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan kepribadian muhsin
adalah kepribadian yang dapat memperbaiki dan mempercantik individu.
Baik berhubungan dengan diri sendiri, sesamanya, alam semesta dan tuhan
yang diniatkan hanya untuk mencari ridha-Nya.13
Pandangan islam terhadap kesehatan mental antara lain dapat dilihat
dari peranan islam itu sendiri bagi kehidupan manusia, yang dapat
dikemukakan sebagai berikut:14
1. Agama islam memberikan tugas dan tujuan bagi kehidupan manusia di
dunia dan  akhirat. 

13
Abdul Mujib; Kepribadian Dalam Psikologi Islam; (Jakarta; PT Raja Grafindo Perkasa,
200) h. 305.
14
Yahya Jaya. Peranan Taubat dan Maaf Dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: CV
Ruhama, 1995), h. 44-45

11
2. Ajaran islam memberikan bantuan kejiwaan kepada manusia dalam
menghadapi cobaan dan mengatasi kehidupan hidupnya, seperti dengan
cara shalat dan sabar. 
3. Ajaran islam membantu orang dalam menumbuhkan dan membina
pribadinya, yakni melalui penghayatan nilai-nilai ketakwaan dan
keteladanan yang diberikan Nabi Muhammad saw. 
4. Agama islam memberikan tuntunan kepada akal agar benar dalam berpikir
dengan melalui bimbingan wahyu (kitab  suci Al-Quran). 
5. Ajaran islam beserta seluruh petunjuk yang ada di dalamnya merupakan
obat (syifa) bagi jiwa atau penyembuh segala penyakit hati yang terdapat
dalam diri manusia (rohani). 
6. Ajaran islam memberikan tuntunan bagi manusia dalam mengadakan
hubungan yang baik, baik hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan
Tuhan, hubungan dengan orang lain, maupun hubungan dengan alam dan
lingkungan. 
7. Agama islam berperan dalam mendorong orang untuk berbuat baik dan
taat, serta mencegahnya dari perbuatan jahat dan maksiat. 
Manusia dalam melakukan hubungan dan interaksi dengan
lingkungannya baik materiil maupun sosial, semua itu tidak keluar dari
tindakan penyesuaian diri atau adjustment. Tetapi apabila seseorang tersebut
tidak dapat atau tidak bisa menyesuaikan diri dikatakan  kesehatan mentalnya
terganggu atau diragukan.15

15
Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1993), h. 10

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesehatan mental merupakan hal yang sangat penting untuk dipahami
bagi setiap individu. Kebanyakan manusia tidak mengenal bahkan tidak
mengetahui kalau dirinya terjangkit penyakit rohani. Penyakit rohani yang tak
disadari dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Islam memberikan
berbagai solusi dari sisi keagamaan dan ilmu pengetahuan. Keimanan
merupakan pangkal pokok dari semua timbulnya segala penyakit mental,
karena dengan keimanan yang baik seseorang dapat megaplikasikan nilai-nilai
keimanannya untuk diri sendiri, orang lain dan alam semesta, sehingga
terciptalah manusia yang berorientasi kepada kebaikan bersama, serta
bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan
bahagia di akhirat.
B. Saran
Demikian makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan
manfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya. Penyusun
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
makalah kami.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abu Al-Husaini Muslim Bin Hajjaj Muslim Al-Qusayri, Sahih Muslim Bi Syarhi


Nawawi, Kairo;Matbaah Mishriyah, t. th.

Abdurrahman As-Sa’di, Taysirul Karim Ar-Rahman Fi Tafsiril Karim Karimil


Mannan; Muassarah Risalah; 2000, Juz 1 .

Daradjat, Zakiah, Islam dan Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung, 1993.

Ibn Taymiyah, Isyraf Arriasah Al-Ammah Li Syuun Al-Haramain As-Syarifain Bi


Suudiyah, t.th, .

Jalaluddin, Psikologi Agama. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008.

Jaya, Yahya. Peranan Taubat dan Maaf Dalam Kesehatan Mental, Jakarta: CV
Ruhama, 1995.

Mujib, Abdul, Jusuf Muzakkir; Nuansa-nuansa Psikologi Islam; Jakarta; Raja


Grafindo Perkasa, 2002.

Mujib, Abdul; Kepribadian Dalam Psikologi Islam; Jakarta; PT Raja Grafindo


Perkasa, 2004.

Najati, Muhammad Usman, Psikologi Dalam Persepektif  Hadis, alih bahasa


Zaenudin Bakar,  Jakarta; Pustaka Al-Husna Baru, Th.204.

Ramayulis, Psikologi Agama. Jakarta: Kalam Mulia, 2002.

Taimiyah, Ibnu, Ilmu Suluk; Majmu’ Fatawa Syaikh Ahmad 

Yusak Burhanuddin; Kesehatan Mental; Bandung:Penerbit Pustaka Setia,1999

14

Anda mungkin juga menyukai