Pelarut dapat mempengaruhi transisi π → π* dan π → π*. Hal ini berkaitan dengan
adanya perbedaan kemampuan pelarut untuk mensolvasi antara keadaan dasar
dengan keadaan tereksitasi.
Pada transisi π → π*, molekul dalam keadaan dasar relatif non polar, dan
keadaan tereksitasinya lebih polar dibanding keadaan dasar. Jika pelarut
polar digunakan pada molekul yang mengalami transisi ini, maka akan
menyebabkan pelarut polar berinteraksi (stabilisasi) lebih kuat dengan
keadaan tereksitasi dibanding dengan keadaan dasar, sehingga perbedaan
energi transisi π → π* pada pelarut yang polar ini lebih kecil. Akibat dari
peristiwa ini adalah bahwa transisi π → π* digeser ke panjang gelombang
yang lebih besar (pergeseran bathokromiki) dibanding panjang gelombang
semula. Keadaan ini diilustrasikan pada gambar berikut:
Gambar 10.8
Gambar 10.9
Dari tabel 10.2 ini dapat diketahui bahwa aseton yang mengalami
transisi π → π* akan mempunyai panjang gelombang yang paling kecil jika
dilarutkan dalam air (264,5 nm) yang merupakan pelarut yang paling polar
pada tabel diatas, dan juga akan mempunyai panjang gelombang yang paling
besar jika dilarutkan dalam pelarut non polar (heksana).
Hal sebaliknya akan terjadi jika suatu senyawa yang mengalami
transisi π → π* dilarutkan pada pelarut yang paling polar dari serangkaian
pelarut yang diuji, maka dalam pelarut yang paling polar senyawa yang
mengalami transisi π → π* akan mempunyai panjang gelombang yang paling
besar.