Anda di halaman 1dari 18

JURNAL ILMIAH

KEKUATAN MENGIKAT SURAT HIBAH MENURUT KUH PERDATA DAN


HUKUM ADAT BALI
(Studi Di Kecamatan Mataram)

Oleh :
NI WAYAN PUTU YULIATI
D1A 008145

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2013
Halaman Pengesahan Jurnal Ilmiah

KEKUATAN MENGIKAT SURAT HIBAH MENURUT KUH PERDATA DAN


HUKUM ADAT BALI
(Studi Di Kecamatan Mataram)

Oleh :
NI WAYAN PUTU YULIATI
D1A 008145

Menyetujui,

Mataram, Februari 2013

Pembimbing Pertama,

Hj. Ratna Rumingsih, SH.,MH


NIP. 19481030197702 2 001
KEKUATAN MENGIKAT SURAT HIBAH MENURUT KUH PERDATA DAN
HUKUM ADAT BALI
(Studi Di Kecamatan Mataram)
NI WAYAN PUTU YULIATI
D1A 008145

ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui kekuatan surat hibah menurut KUH
Perdata dan hukum adat Bali. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif
dengan pendekatan perundang-undangan, konsep dan studi kasus.
Penelitian menyatakan dalam KUH Perdata pembuatan surat hibah harus
dilakukan oleh notaris sedangkan dalam hukum adat Bali cukup dilakukan dengan
dibawah tangan atau secara lisan.
Simpulannya adalah kekuatan surat hibah terletak pada akta otentik sebagai
alat bukti yang sah dan dalam adat Bali tidak terdapat bukti tertulis karena belum ada
peraturan yang mengaturnya. Saran yang diberikan yaitu perlu menyusun awig-awig
mengenai pemberian hibah / jiwadana dalam hukum adat di Bali dan Lombok.

Kata Kunci : Harta, hibah, hukum adat, KUH Perdata.

POWER OF BINDING LETTER OF GRANTS BY CIVIL LAW AND BALI


CUSTOMARY LAW
(Studies In Mataram District)
NI WAYAN PUTU YULIATI
D1A 008145

ABSTRACT
The study aims to determine the strength of the grant letter by Civil Code and
customary law Bali. This research uses normative research approach legislation,
concepts and studies kasus.
Research suggest the Civil Code grant the letter creation must be done by a
notary while in Bali customary law is done by under hand or lisan.
Conclusion is the power of the grant letter lies in the authentic act as valid
evidence and the Balinese there is no written evidence because there is not set rule.
Advice given the need to develop awig-awig regarding grant / jiwadana in customary
law in Bali and Lombok.

Keywords : Assets, Grants, Customary Law, and Civil Law


PENDAHULUAN

Hibah berkaitan dengan hukum waris dan hukum keluarga karena hibah

sangat erat kaitannya dengan masalah harta kekayaan dalam sebuah hubungan

keluarga. Hal ini telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Masalah

harta merupakan permasalahan yang sangat pelik. Bagi sebagian kalangan persoalan

harta ini bahkan dapat menimbulkan peperangan, perpecahan hingga saling fitnah

dalam keluarga. Untuk itu perlu pengaturan masalah harta agar terdapat kepastian

hukum bagi orang yang akan memberikan hartanya kepada anak dan suami atau

isteri.

Bagi sebagian kalangan yang tidak mempunyai keturunan atau pun yang

mempunyai keturunan tetapi dalam adat tidak diperbolehkan menjadi ahli waris yang

sah, dapat memberikan harta dari hasil jerih payahnya sendiri dengan cara hibah.

Harta yang boleh dihibahkan hanya harta yang diperoleh sejak saat

perkawinan berlangsung, bukan harta yang diberikan oleh orang tua atau yang dibawa

sebelum perkawinan berlangsung. Apabila harta tersebut merupakan harta bawaan

sebelum terjadinya perkawinan, maka harta tersebut merupakan harta warisan dari

orang tua. Harta warisan tidak dapat dihibahkan, tetapi hanya dapat diwariskan turun-

temurun kepada garis keturunan yang paling dekat dengan orang tua.

Salah satu tujuan seseorang melakukan perkawinan karena ingin mempunyai

keturunan atau anak. Yang dapat meneruskan hak dan kewajiban orang tuanya kelak
adalah anak dari hasil perkawinannya sendiri. Tetapi bagaimana dengan sepasang

suami istri yang tidak mempunyai keturunan ataupun sepasang suami isteri yang

mempunyai keturunan tapi tidak sesuai dengan ketentuan adat mereka sebagai ahli

waris yang sah? Siapakah yang akan meneruskan hak, kewajiban dan pemilik dari

harta kekayaannya kelak? Itulah mengapa hibah saling berkaitan dengan harta,

perkawinan dan keluarga.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa

permasalahan, yaitu: 1) Bagaimana kekuatan mengikat surat hibah menurut KUH

Perdata dan hukum adat Bali?; 2)Adakah perbedaan-perbedaan mendasar mengenai

hibah menurut KUH Perdata dan hukum adat Bali?

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan dan

mendeskripsikan bagaimana kekuatan mengikat dari surat hibah menurut KUH

Perdata dan hukum adat Bali serta untuk mengetahui perbedaan-perbedaan mendasar

mengenai hibah menurut KUH Perdata dan hukum adat Bali kepada khalayak umum

Adapun beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah : 1)

Manfaat teoritis : sebagai bahan pengetahuan tambahan untuk dapat dibaca oleh

masyarakat pada umumnya dan dipelajari lebih lanjut oleh kalangan hukum lainnya,

serta menjadi suatu sarana dalam memperluas dan mengembangkan ilmu

pengetahuan hukum ; 3) Manfaat praktis : dapat menjadi bahan informasi, penjelasan,


dan masukan yang lebih mendalam bagi masyarakat yang berkecimpung dalam hal-

hal yang berkaitan dengan penelitian ini.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif empiris dengan

pendekatan yang digunakan yaitu Statute Approach, Conseptual Approach dan

Comparative approach. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer

sekunder dan data lapangan. Sedangkan pengumpulan bahan hukum dilakukan

dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum dan analisis bahan hukum

dilakukan dengan metode deduktif.


PEMBAHASAN

A. Kekuatan Mengikat Surat Hibah Dalam KUH Perdata Dan Hukum Adat Bali

1. Kekuatan Mengikat Surat Hibah Menurut KUH Perdata

Hibah merupakan pemberian harta semasa hidup atas dasar kasih sayang dan

kepedulian untuk kepentingan seseorang, badan sosial, kegunaan dana sosial, juga

kepada seseorang yang sekiranya menjadi ahli waris maupun yang tidak menjadi ahli

waris. Tetapi tidak semua orang berhak menerima hibah. Artinya ada orang-orang

tertentu yang tidak berhak menerima hibah, seperti anak zinah atau suami atau isteri

yang hidup terlama. Jika ternyata pewaris sewaktu masih hidup telah memberikan

hibah kepada orang-orang tertentu tersebut, maka hibah tersebut harus dinyatakan

batal.1

Menurut ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata ada beberapa faktor

penyebab batalnya suatu penghibahan, yaitu :

a. Apabila barang yang dihibahkan meliputi barang-barang yang baru akan

ada dikemudian hari (pasal 1667),

b. Si penghibah telah memperjanjikan ia tetap berkuasa untuk menjual atau

memberikan kepada orang lain suatu barang termasuk dalam penghibahan

(pasal 1668) karena janji tersebut menandakan bahwa hak milik atas

1
Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, Cet. 2,
(Jakarta : Rajawali Pers, 2001), hal. 72
barang tersebut tetap berada padanya, sedangkan dalam hak milik hanya

seorang pemilik yang dapat menjual atau memberikan barangnya kepada

orang lain. Hal tersebut bertentangan dengan sifat dan hakekat

penghibahan sehingga dapat menyebabkan batalnya penghibahan.

c. Suatu hibah batal jika dibuat dengan syarat bahwa si penerima hibah akan

melunasi hutang-hutang atau beban-beban lain, selain yang dinyatakan

tegas dalam akta hibah sendiri atau didalam suatu daftar yang ditempelkan

kepadanya (pasal 1670).

Dalam melakukan penghibahan terdapat larangan-larangan yang harus

diperhatikan antara lain :

a. Pemberian hibah yang disertai dengan penetapan, dimana si penerima

hibah selama hidupnya dilarang untuk memindahtangankan barang yang

dihibahkan, sedangkan setelah si penerima hibah tersebut meninggal,

barang itu harus diberikan kepada orang lain yang ditunjuk dalam

perjanjian.

b. Penghibahan antara suami atau isteri selama perkawinan tidak

diperbolehkan, kecuali mengenai benda-benda bergerak dan bertubuh

yang harganya tidak terlampau mahal.

Suatu perbuatan hibah harus dilakukan dengan akta otentik yang dibuat oleh

notaris. Apabila tidak dilakukan maka penghibahan tersebut menjadi tidak sah.
Kekuatan hukum akta hibah terletak pada fungsi akta otentik tersebut yaitu sebagai

alat bukti yang sah menurut undang-undang.

2. Kekuatan Mengikat Surat Hibah Menurut Hukum Adat Bali

Pada dasarnya hibah diperuntukkan bagi orang-orang yang bukan menjadi ahli

waris atau orang lain yang tidak mempunyai hubungan sedarah. Dalam hal ini

kebanyakan diperuntukkan untuk anak perempuan kandung atau dengan kata lain

lebih mengutamakan pemberian hibah ini kepada anak perempuan karena dalam

sistem pewarisan adat Bali anak perempuan bukanlah sebagai ahli waris. Namun

penghibahan tersebut dikatakan sebagai pemberian bekal kepada anak perempuannya

saat ia kawin yang disebut jiwadana.

Hukum adat Bali merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat dan

sebagian besar tidak tertulis. Sebagai hukum yang hidup, hukum adat mempunyai

sifat yang dinamis. Hukum adat dapat menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman

dan dinamika masyarakatnya. Artinya hukum adat berlaku sesuai dengan tempat,

waktu dan keadaan (desa, kala, patra). Manakala waktu sudah berubah, keadaan juga

sudah berubah, demikian juga masyarakat sudah berubah, maka hukum adat sebagai

konstruksi masyarakat (laki-laki) di zaman lampau mestinya menyesuaikan diri

dengan keadaan lebih-lebih di zaman globalisasi seperti sekarang ini.


Sebagian besar masyarakat adat di Bali dan Lombok melakukan penghibahan

untuk mendapat kepastian hukum. Menurut adat Bali pemberian harta kekayaan

semasa pewaris masih hidup dapat berupa :

a. Hibah atau jiwadana, yaitu pemberian lepas dari pewaris kepada ahli

waris khususnya anak perempuan sebagai bekal (tetatadan) yang

merupakan harta bawaan setelah ia menikah.

b. Pangupa jiwa, yaitu pemberian yang bersifat sementara harta warisan

kepada ahli waris dengan tujuan untuk nafkah kehidupan rumah tangga

ahli waris.

c. Pedum pamong (pedum paksa), yaitu pembagian harta warisan yang

bersifat sementara sampai diadakan pembagian tetap.

Harta yang telah diwarisi secara turun-temurun tidak boleh diwariskan atau

diberikan tanggung jawab kepada anak perempuannya, seperti harta pusaka,

merajan/sanggah karena anak perempuan yang sudah kawin keluar akan mengikuti

keluarga suaminya dan mempunyai kewajiban-kewajiban baru dalam keluarga

suaminya. Harta yang boleh diberikan kepada anak perempuannya hanya harta

gunakaya yaitu harta yang diperolehnya (ayah dan ibu) dengan hasil kerja keras

sendiri setelah perkawinan, tidak termasuk druwe tengah (harta bersama yang

diwariskan oleh pewaris terdahulu) yang dikuasai oleh semua ahli waris dari garis

pancer laki-laki. Pemberian harta ini bersifat sukarela yang disebut dengan hibah
(jiwadana). Hibah atau jiwadana adalah pemberian secara sukarela dari orang tuanya

sebagai bekel atau bekal kepada anak perempuannya yang akan berumah tangga yang

nantinya menjadi harta bawaan (tadtadan/bebaktan).

Menurut Pedanda Subali Tegeh, “sebaiknya pelaksnaan hibah dilakukan

dengan berbicara di hadapan pedanda, para ahli waris, saksi dari keluarga (bukan

keluarga terdekat) serta saksi dari pihak luar dan menyebutkan semua keinginan yang

bersangkutan (pemberi hibah) secara terperinci, hanya saja dimasa ini amat sangat

memerlukan bukti terutama bukti tertulis, sehingga diperlukan membuat surat. Saya

adalah orang awam dibidang hukum tetapi saya sering mendengar bahwa untuk

membuat surat pernyataan hibah harus dilakukan oleh notaris. Sejauh ini

sepengetahuan saya belum ada formulir atau surat-surat dari desa adat yang harus di

isi oleh pelaku hibah seperti pada proses pengangkatan anak (meperas) dalam adat

karena belum ada ketentuan tertulis yang jelas dan pasti mengenai jiwadana ini,

makanya banyak pelaku hibah memilih cara hukum pada umumnya. Tetapi sudah

banyak putusan Raad Kerta di Bali yang menetapkan pembatasan-pembatasan hibah

itu tidak lebih dari 1/3 harta dan bukan harta warisan secara turun-temurun agar pihak

ahli waris tidak merasa dirugikan dengan adanya hibah itu.” 2

Keputusan Pengadilan Kerta Singaraja tanggal 24 November 1939 No.

81/Sipil menyebutkan bahwa tanpa persetujuan ahli warisnya seseorang hanya boleh

memberikan “jiwadana” sebanyak-banyaknya 1/3 bagian dari seluruh harta

2
Pemuka Agama, tanggal 15 Januari 2013, di kediaman.
kekayaannya. Pendirian tersebut sudah merupakan jurisprudensi tetap dari Pengadilan

Kerta.

Menurut Mangku Sukarta bahwa ”jiwadana ini tidak perlu dilakukan atau

tidak ada keharusan ritual adat karena itu bukanlah hal yang bersifat magis atau yang

menyangkut keagamaan. Kecuali apabila yang dihibahkan merupakan harta dari

pewaris terdahulu seperti harta pusaka atau merajan. Pemberian jiwadana ini juga

tidak perlu di umumkan kepada orang lain atau banjar karena itu merupakan hak

pribadi seseorang ingin memberikan apa pun kepada siapa saja asalkan tidak

memberikan hal-hal tersebut tadi diatas.”3

B. Perbedaan-Perbedaan Mendasar Mengenai Hibah Menurut KUH Perdata Dan

Hukum Adat Bali

1. Hibah Menurut KUH Perdata

Dalam KUH Perdata, baik keturunan laki-laki maupun perempuan tetap dapat

memperoleh warisan. Namun seseorang dapat memberikan hartanya kepada siapa

saja dengan cara hibah baik untuk keturunan sedarah maupun kepada orang lain yang

tidak mempunyai hubungan darah sekalipun.. Hibah merupakan pengeluaran harta

semasa hidup atas dasar kasih sayang untuk kepentingan seseorang, badan sosial,

kegunaan dana sosial, juga kepada seorang yang berhak sekiranya jadi ahli waris.4

3
Mangku Sukarta, tanggal 4 Februari 2013, di kediaman
4
Asmin Mulyadikrama, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu
Hukum Jagakarsa, 1997), hal. 66
Hibah mengakibatkan beralihnya hak milik atas harta benda atau suatu barang

dari pemberi hibah kepada penerima hibah. Suatu perbuatan hibah harus dilakukan

dengan akta otentik (Akta Notaris). Apabila tidak dilakukan maka penghibahan

tersebut menjadi tidak sah. Kekuatan hukum akta hibah terletak pada fungsi akta

otentik itu sendiri yaitu sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang. Tetapi

meskipun penghibahan dilakukan dengan akta otentik, namun penghibahan tersebut

dibatasi dengan adanya legitieme portie/bagian mutlak ahli waris dalam bidang

pewarisan yang tidak boleh dilanggar.5

2. Hibah Menurut Hukum Adat Bali

Menurut Gde Pudja, MA,S.H., mengemukakan bahwa “hibah itu adalah

penyerahan hak seseorang atas harta benda yang dimiliki sebagai haknya kepada

orang lain yang menerima hak itu atas harta benda yang akan dihadiahkan tanpa

mempertimbangkan nilainya.” 6. Hibah (jiwadana) hanya boleh yang merupakan harta

guna kaya orang tuanya saja, tidak diperkenankan untuk menghibahkan harta warisan

dari orang tua terdahulu. Seperti sanggah/merajan, harta pusaka dan sebagainya.

Karena harta yang dihibahkan adalah hasil yang diperoleh setelah menikah,

maka suami atau isteri berhak menghibahkan hartanya kepada anak perempuannya

atau kepada orang lain selagi bukan merupakan harta druwe tengah.

Hibah tidak boleh melebihi sepertiga bagian dari seluruh harta kekayaan yang

memberi hadiah itu. Dalam keputusan Pengadilan Kerta Singaraja tanggal 24

5
www.lbhmawarsaronsem,arang.org, diakses pada tanggal 31 Oktober 2012, jam 17.50 WITA
6
I Ketut Artadi, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya, Cet.3, (Denpasar: Pustaka
Bali Post, 2003), hal.138
November 1939 No.81/Sipil, yang menyebutkan bahwa tanpa persetujuan ahli

warisnya seseorang hanya boleh memberikan “jiwadana” sebanyak-banyaknya 1/3

bagian dari seluruh harta kekayaannya. Sebaiknya hibah dibuat dengan akta notaries,

karena dapat menjamin kekuatan hukum positif yang bisa mengalahkan hukum adat.7

7
Stitidharma.org diakses pada tanggal 31 Oktober 2012, jam 18.20 WITA
PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam pembahasan, maka penulis dapat

menarik kesimpulan sebagai berikut : 1) Menurut KUH Perdata kekuatan surat hibah

terletak pada akta otentik yang dibuat oleh notaris yang merupakan alat bukti yang

sah dalam peraturan perundang-undangan, sedangkan menurut hukum adat Bali

dalam pelaksanaannya karena belum ada ketentuan tertulis, pemberian tersebut dapat

dilakukan secara lisan di hadapan pedanda, keluarga besar pihak ayah (garis laki-laki)

dan dari pihak luar sebagai saksi dan untuk lebih memperkuat hal tersebut perlu di

buatkan akta otentik sebagai bukti serta surat pernyataan tidak keberatan dari pihak

ahli waris yang lain ; 2) perbedaan mendasar mengenai hibah dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata dan Hukum Adat Bali yaitu : a) Dari segi penerima hibah,

dalam KUH Perdata siapa saja berhak menerima hibah asalkan ia cakap sedangkan

dalam adat Bali hibah biasanya diperuntukkan kepada anak perempuan yang bukan

ahli waris sah menurut adat yang sifatnya merupakan pemberian bekal kepada anak

perempuan yang kawin keluar. Karena pada hakekatnya pemberian hibah itu

ditujukan kepada orang-orang yang bukan menjadi ahli waris ; b) Dari segi jenis

hartanya, dalam KUH Perdata tidak ditetapkan harta apa saja yang diperbolehkan

untuk pemberian hibah, dalam arti harta yang sudah ada dan tidak boleh melebihi dari

bagian mutlak (legitieme portie), sedangkan dalam adat Bali harta yang

diperbolehkan hanyalah harta yang diperoleh orang tuanya setelah perkawinan (guna
kaya), bukan harta warisan secara turun-temurun seperti harta pusaka,

sanggah/merajan, tanah sawah, dan sebagainya yang termasuk dalam druwe tengah

(harta bersama yang diwariskan oleh pewaris terdahulu).

B. Saran

Berkaitan dengan permasalahan di atas, maka penulis memberikan beberapa

saran sebagai berikut : 1) Hendaknya pihak terkait dalam penyusunan awig-awig

dalam hal ini prajuru adat perlu memasukkan secara tegas dan jelas mengenai cara

pemberian jiwadana ini kepada anak perempuan menurut hukum adat di Bali maupun

di Lombok yaitu seperti Surat Pernyataan Tidak Keberatan dari ahli waris lain yang

harus diketahui oleh klian adat, kepala desa atau lurah serta camat dan kemudian

dibuatkan akta hibah untuk memperoleh kepastian hukum ; 2)Perlu adanya

sinkronisasi antara hukum adat dengan seluruh sistem hukum yang berlaku di

Indonesia yang berkaitan dengan pengaturan mengenai hibah dan masalah pewarisan

agar tidak saling bertentangan ; 3) Dengan adanya perubahan serta perkembangan

zaman, sudah selayaknya ketentuan awig-awig terdahulu diperbaiki dan

dikembangkan mengikuti perkembangan zaman yang ada ; 4)Untuk masyarakat

diharapkan bisa menerima segala perubahan yang terjadi, dan merubah pola pikir

yang masih sangat terpaku pada tradisi masyarakat yang sudah ada dari sejak dulu

dan dilakukan secara turun-temurun.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku/ Literatur

Amanat, Anisitus. 2001. Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum


Perdata BW. Cet.Kedua. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Artadi, I Ketut. 2003. Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya. Cet. Ketiga.
Denpasar: Pustaka Bali Post.
Basuki, Zulfa Djoko. 2009. Kompilasi Bidang Hukum Kekeluargaan. Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen HAM RI.
Dijk, R. Van. 2006. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Cet. IX. Bandung: Mandar
Maju.
Hadikusuma, Hilman. 2003. Hukum Perkawinan Adat. Cet.VI. Bandung : PT Citra
Aditya Bakti.
Hartanto, J. Andy. 2010. Hukum Harta Kekayaan Perkawinan. Cet. I. Yogyakarta:
Laksbang Grafika.
HS, Salim. 2002. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Cet. Pertama. Jakarta:
Sinar Grafika.
------------. 2003. Hukum Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Cet. Kedua.
Jakarta: Sinar Grafika.
Kuncoro, NM. Wahyu. 2010. Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga. Cet. I.
Jakarta: Raih Asa Sukses.
Mulyadikrama, Asmin. 1997. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Sekolah
Tinggi Ilmu Hukum Jagakarsa.
Panetje, Gde. 2004. Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali. Cet. Ketiga. Denpasar:
CV. Kayumas Agung.
Perangin, Effendi. 2011. Hukum Waris. Cet. 10. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Rato, Dominikus. 2011. Hukum Perkawinan dan Waris Adat (Sistem Kekerabatan, Bentuk Perkawinan
dan Pola Pewarisan Adat di Indonesia). Surabaya: Laksbang Yustitia.

Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press.


------------------------. 1983. Hukum Adat Indonesia. Cet. Kedua. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sukerti, Ni Nyoman. 2012. Hak Mewaris Anak Perempuan. Cet. I. Denpasar: Udayana University
Press.

Tanuwidjaja, Henny. 2012. Hukum Waris Menurut BW. Cet. Pertama. Bandung: PT Refika Aditama.

B. Peraturan-Peraturan

Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

C. Internet

www.lbhmawarsaronsem,arang.org

hukum.kompasiana.com

stitidharma.org

Anda mungkin juga menyukai