Oleh :
NI WAYAN PUTU YULIATI
D1A 008145
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2013
Halaman Pengesahan Jurnal Ilmiah
Oleh :
NI WAYAN PUTU YULIATI
D1A 008145
Menyetujui,
Pembimbing Pertama,
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui kekuatan surat hibah menurut KUH
Perdata dan hukum adat Bali. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif
dengan pendekatan perundang-undangan, konsep dan studi kasus.
Penelitian menyatakan dalam KUH Perdata pembuatan surat hibah harus
dilakukan oleh notaris sedangkan dalam hukum adat Bali cukup dilakukan dengan
dibawah tangan atau secara lisan.
Simpulannya adalah kekuatan surat hibah terletak pada akta otentik sebagai
alat bukti yang sah dan dalam adat Bali tidak terdapat bukti tertulis karena belum ada
peraturan yang mengaturnya. Saran yang diberikan yaitu perlu menyusun awig-awig
mengenai pemberian hibah / jiwadana dalam hukum adat di Bali dan Lombok.
ABSTRACT
The study aims to determine the strength of the grant letter by Civil Code and
customary law Bali. This research uses normative research approach legislation,
concepts and studies kasus.
Research suggest the Civil Code grant the letter creation must be done by a
notary while in Bali customary law is done by under hand or lisan.
Conclusion is the power of the grant letter lies in the authentic act as valid
evidence and the Balinese there is no written evidence because there is not set rule.
Advice given the need to develop awig-awig regarding grant / jiwadana in customary
law in Bali and Lombok.
Hibah berkaitan dengan hukum waris dan hukum keluarga karena hibah
sangat erat kaitannya dengan masalah harta kekayaan dalam sebuah hubungan
keluarga. Hal ini telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Masalah
harta merupakan permasalahan yang sangat pelik. Bagi sebagian kalangan persoalan
harta ini bahkan dapat menimbulkan peperangan, perpecahan hingga saling fitnah
dalam keluarga. Untuk itu perlu pengaturan masalah harta agar terdapat kepastian
hukum bagi orang yang akan memberikan hartanya kepada anak dan suami atau
isteri.
Bagi sebagian kalangan yang tidak mempunyai keturunan atau pun yang
mempunyai keturunan tetapi dalam adat tidak diperbolehkan menjadi ahli waris yang
sah, dapat memberikan harta dari hasil jerih payahnya sendiri dengan cara hibah.
Harta yang boleh dihibahkan hanya harta yang diperoleh sejak saat
perkawinan berlangsung, bukan harta yang diberikan oleh orang tua atau yang dibawa
sebelum terjadinya perkawinan, maka harta tersebut merupakan harta warisan dari
orang tua. Harta warisan tidak dapat dihibahkan, tetapi hanya dapat diwariskan turun-
temurun kepada garis keturunan yang paling dekat dengan orang tua.
keturunan atau anak. Yang dapat meneruskan hak dan kewajiban orang tuanya kelak
adalah anak dari hasil perkawinannya sendiri. Tetapi bagaimana dengan sepasang
suami istri yang tidak mempunyai keturunan ataupun sepasang suami isteri yang
mempunyai keturunan tapi tidak sesuai dengan ketentuan adat mereka sebagai ahli
waris yang sah? Siapakah yang akan meneruskan hak, kewajiban dan pemilik dari
harta kekayaannya kelak? Itulah mengapa hibah saling berkaitan dengan harta,
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan dan
Perdata dan hukum adat Bali serta untuk mengetahui perbedaan-perbedaan mendasar
mengenai hibah menurut KUH Perdata dan hukum adat Bali kepada khalayak umum
Adapun beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah : 1)
Manfaat teoritis : sebagai bahan pengetahuan tambahan untuk dapat dibaca oleh
masyarakat pada umumnya dan dipelajari lebih lanjut oleh kalangan hukum lainnya,
Comparative approach. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer
dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum dan analisis bahan hukum
A. Kekuatan Mengikat Surat Hibah Dalam KUH Perdata Dan Hukum Adat Bali
Hibah merupakan pemberian harta semasa hidup atas dasar kasih sayang dan
kepedulian untuk kepentingan seseorang, badan sosial, kegunaan dana sosial, juga
kepada seseorang yang sekiranya menjadi ahli waris maupun yang tidak menjadi ahli
waris. Tetapi tidak semua orang berhak menerima hibah. Artinya ada orang-orang
tertentu yang tidak berhak menerima hibah, seperti anak zinah atau suami atau isteri
yang hidup terlama. Jika ternyata pewaris sewaktu masih hidup telah memberikan
hibah kepada orang-orang tertentu tersebut, maka hibah tersebut harus dinyatakan
batal.1
(pasal 1668) karena janji tersebut menandakan bahwa hak milik atas
1
Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, Cet. 2,
(Jakarta : Rajawali Pers, 2001), hal. 72
barang tersebut tetap berada padanya, sedangkan dalam hak milik hanya
c. Suatu hibah batal jika dibuat dengan syarat bahwa si penerima hibah akan
tegas dalam akta hibah sendiri atau didalam suatu daftar yang ditempelkan
barang itu harus diberikan kepada orang lain yang ditunjuk dalam
perjanjian.
Suatu perbuatan hibah harus dilakukan dengan akta otentik yang dibuat oleh
notaris. Apabila tidak dilakukan maka penghibahan tersebut menjadi tidak sah.
Kekuatan hukum akta hibah terletak pada fungsi akta otentik tersebut yaitu sebagai
Pada dasarnya hibah diperuntukkan bagi orang-orang yang bukan menjadi ahli
waris atau orang lain yang tidak mempunyai hubungan sedarah. Dalam hal ini
kebanyakan diperuntukkan untuk anak perempuan kandung atau dengan kata lain
lebih mengutamakan pemberian hibah ini kepada anak perempuan karena dalam
sistem pewarisan adat Bali anak perempuan bukanlah sebagai ahli waris. Namun
Hukum adat Bali merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat dan
sebagian besar tidak tertulis. Sebagai hukum yang hidup, hukum adat mempunyai
sifat yang dinamis. Hukum adat dapat menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman
dan dinamika masyarakatnya. Artinya hukum adat berlaku sesuai dengan tempat,
waktu dan keadaan (desa, kala, patra). Manakala waktu sudah berubah, keadaan juga
sudah berubah, demikian juga masyarakat sudah berubah, maka hukum adat sebagai
untuk mendapat kepastian hukum. Menurut adat Bali pemberian harta kekayaan
a. Hibah atau jiwadana, yaitu pemberian lepas dari pewaris kepada ahli
kepada ahli waris dengan tujuan untuk nafkah kehidupan rumah tangga
ahli waris.
Harta yang telah diwarisi secara turun-temurun tidak boleh diwariskan atau
merajan/sanggah karena anak perempuan yang sudah kawin keluar akan mengikuti
suaminya. Harta yang boleh diberikan kepada anak perempuannya hanya harta
gunakaya yaitu harta yang diperolehnya (ayah dan ibu) dengan hasil kerja keras
sendiri setelah perkawinan, tidak termasuk druwe tengah (harta bersama yang
diwariskan oleh pewaris terdahulu) yang dikuasai oleh semua ahli waris dari garis
pancer laki-laki. Pemberian harta ini bersifat sukarela yang disebut dengan hibah
(jiwadana). Hibah atau jiwadana adalah pemberian secara sukarela dari orang tuanya
sebagai bekel atau bekal kepada anak perempuannya yang akan berumah tangga yang
dengan berbicara di hadapan pedanda, para ahli waris, saksi dari keluarga (bukan
keluarga terdekat) serta saksi dari pihak luar dan menyebutkan semua keinginan yang
bersangkutan (pemberi hibah) secara terperinci, hanya saja dimasa ini amat sangat
memerlukan bukti terutama bukti tertulis, sehingga diperlukan membuat surat. Saya
adalah orang awam dibidang hukum tetapi saya sering mendengar bahwa untuk
membuat surat pernyataan hibah harus dilakukan oleh notaris. Sejauh ini
sepengetahuan saya belum ada formulir atau surat-surat dari desa adat yang harus di
isi oleh pelaku hibah seperti pada proses pengangkatan anak (meperas) dalam adat
karena belum ada ketentuan tertulis yang jelas dan pasti mengenai jiwadana ini,
makanya banyak pelaku hibah memilih cara hukum pada umumnya. Tetapi sudah
itu tidak lebih dari 1/3 harta dan bukan harta warisan secara turun-temurun agar pihak
81/Sipil menyebutkan bahwa tanpa persetujuan ahli warisnya seseorang hanya boleh
2
Pemuka Agama, tanggal 15 Januari 2013, di kediaman.
kekayaannya. Pendirian tersebut sudah merupakan jurisprudensi tetap dari Pengadilan
Kerta.
Menurut Mangku Sukarta bahwa ”jiwadana ini tidak perlu dilakukan atau
tidak ada keharusan ritual adat karena itu bukanlah hal yang bersifat magis atau yang
pewaris terdahulu seperti harta pusaka atau merajan. Pemberian jiwadana ini juga
tidak perlu di umumkan kepada orang lain atau banjar karena itu merupakan hak
pribadi seseorang ingin memberikan apa pun kepada siapa saja asalkan tidak
Dalam KUH Perdata, baik keturunan laki-laki maupun perempuan tetap dapat
saja dengan cara hibah baik untuk keturunan sedarah maupun kepada orang lain yang
semasa hidup atas dasar kasih sayang untuk kepentingan seseorang, badan sosial,
kegunaan dana sosial, juga kepada seorang yang berhak sekiranya jadi ahli waris.4
3
Mangku Sukarta, tanggal 4 Februari 2013, di kediaman
4
Asmin Mulyadikrama, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu
Hukum Jagakarsa, 1997), hal. 66
Hibah mengakibatkan beralihnya hak milik atas harta benda atau suatu barang
dari pemberi hibah kepada penerima hibah. Suatu perbuatan hibah harus dilakukan
dengan akta otentik (Akta Notaris). Apabila tidak dilakukan maka penghibahan
tersebut menjadi tidak sah. Kekuatan hukum akta hibah terletak pada fungsi akta
otentik itu sendiri yaitu sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang. Tetapi
dibatasi dengan adanya legitieme portie/bagian mutlak ahli waris dalam bidang
penyerahan hak seseorang atas harta benda yang dimiliki sebagai haknya kepada
orang lain yang menerima hak itu atas harta benda yang akan dihadiahkan tanpa
guna kaya orang tuanya saja, tidak diperkenankan untuk menghibahkan harta warisan
dari orang tua terdahulu. Seperti sanggah/merajan, harta pusaka dan sebagainya.
Karena harta yang dihibahkan adalah hasil yang diperoleh setelah menikah,
maka suami atau isteri berhak menghibahkan hartanya kepada anak perempuannya
atau kepada orang lain selagi bukan merupakan harta druwe tengah.
Hibah tidak boleh melebihi sepertiga bagian dari seluruh harta kekayaan yang
5
www.lbhmawarsaronsem,arang.org, diakses pada tanggal 31 Oktober 2012, jam 17.50 WITA
6
I Ketut Artadi, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya, Cet.3, (Denpasar: Pustaka
Bali Post, 2003), hal.138
November 1939 No.81/Sipil, yang menyebutkan bahwa tanpa persetujuan ahli
bagian dari seluruh harta kekayaannya. Sebaiknya hibah dibuat dengan akta notaries,
karena dapat menjamin kekuatan hukum positif yang bisa mengalahkan hukum adat.7
7
Stitidharma.org diakses pada tanggal 31 Oktober 2012, jam 18.20 WITA
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam pembahasan, maka penulis dapat
menarik kesimpulan sebagai berikut : 1) Menurut KUH Perdata kekuatan surat hibah
terletak pada akta otentik yang dibuat oleh notaris yang merupakan alat bukti yang
dalam pelaksanaannya karena belum ada ketentuan tertulis, pemberian tersebut dapat
dilakukan secara lisan di hadapan pedanda, keluarga besar pihak ayah (garis laki-laki)
dan dari pihak luar sebagai saksi dan untuk lebih memperkuat hal tersebut perlu di
buatkan akta otentik sebagai bukti serta surat pernyataan tidak keberatan dari pihak
ahli waris yang lain ; 2) perbedaan mendasar mengenai hibah dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata dan Hukum Adat Bali yaitu : a) Dari segi penerima hibah,
dalam KUH Perdata siapa saja berhak menerima hibah asalkan ia cakap sedangkan
dalam adat Bali hibah biasanya diperuntukkan kepada anak perempuan yang bukan
ahli waris sah menurut adat yang sifatnya merupakan pemberian bekal kepada anak
perempuan yang kawin keluar. Karena pada hakekatnya pemberian hibah itu
ditujukan kepada orang-orang yang bukan menjadi ahli waris ; b) Dari segi jenis
hartanya, dalam KUH Perdata tidak ditetapkan harta apa saja yang diperbolehkan
untuk pemberian hibah, dalam arti harta yang sudah ada dan tidak boleh melebihi dari
bagian mutlak (legitieme portie), sedangkan dalam adat Bali harta yang
diperbolehkan hanyalah harta yang diperoleh orang tuanya setelah perkawinan (guna
kaya), bukan harta warisan secara turun-temurun seperti harta pusaka,
sanggah/merajan, tanah sawah, dan sebagainya yang termasuk dalam druwe tengah
B. Saran
dalam hal ini prajuru adat perlu memasukkan secara tegas dan jelas mengenai cara
pemberian jiwadana ini kepada anak perempuan menurut hukum adat di Bali maupun
di Lombok yaitu seperti Surat Pernyataan Tidak Keberatan dari ahli waris lain yang
harus diketahui oleh klian adat, kepala desa atau lurah serta camat dan kemudian
sinkronisasi antara hukum adat dengan seluruh sistem hukum yang berlaku di
Indonesia yang berkaitan dengan pengaturan mengenai hibah dan masalah pewarisan
diharapkan bisa menerima segala perubahan yang terjadi, dan merubah pola pikir
yang masih sangat terpaku pada tradisi masyarakat yang sudah ada dari sejak dulu
A. Buku-Buku/ Literatur
Sukerti, Ni Nyoman. 2012. Hak Mewaris Anak Perempuan. Cet. I. Denpasar: Udayana University
Press.
Tanuwidjaja, Henny. 2012. Hukum Waris Menurut BW. Cet. Pertama. Bandung: PT Refika Aditama.
B. Peraturan-Peraturan
C. Internet
www.lbhmawarsaronsem,arang.org
hukum.kompasiana.com
stitidharma.org