Anda di halaman 1dari 8

BIOGRAFI 7 TOKOH PAHLAWAN NASIONAL

1. Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin lahir di Makassar pada
tahun 1631 dengan nama I Mallambosi. Ia juga
memiliki nama Arab, Muhammad Bakir. Pada
usia 24 tahun, ia diangkat menjadi sultan di
Kerajaan Gowa dengan nama Sultan Hasanuddin.
Setelah naik takhta, Sultan Hasanuddin
menggabungkan kekuatan kerajaan kerajaan kecil
di Indonesia timur untuk bersama sama melawan
Belanda. Saat itu Belanda ingin sekali menguasai jalur perdagangan rempah-rempah.
Perang antara Sultan Hasanuddin dan VOC dimulai pada tahun 1660. Belanda
dibantu oleh Kerajaan Bone yang saat itu memang bermusuhan dengan
Kerajaan Gowa. Dalam pertempuran tersebut, Tobala, Panglima Bone, tewas.
Sultan Hasanuddin mengadakan perjanjian dengan Belanda. Perjanjian ini
tidak berlangsung lama karena isinya sangat merugikan Gowa. Sultan
Hasanuddin kemudian melakukan perlawanan. Ia kembali melancarkan serangan. Ia
menyita 2 kapal Belanda yang bernama De Walvis dan De Leeuwin.

 Perang Melawan VOC

Belanda sangat marah ketika mengetahui kapalnya disita. Dengan bantuan


pangeran dari Bone, armada Belanda yang dipimpin oleh Cornelis Speelman
menyerang Kerajaan Gowa. Sultan Hasanuddin akhirnya terdesak. Ia terpaksa
menyetujui Perjanjian Bongaya pada tahun 1667 yang isinya merugikan
Kerajaan Gowa. Sultan Hasanuddin kembali melakukan perlawanan. Namun, kali ini
Belanda lebih kuat. Sultan Hasanuddin wafat pada tanggal 12 Juni 1670. Ia diangkat
menjadi pahlawan nasional pada tahun 1973.
2. Pangeran Antasari

Beliau adalah putra dari pasangan Gusti Hadijah


binti Sultan Sulaiman dan Pangeran Masohut
(Mas’ud) bin Pangeran Amir yang lahir pada
tahun 1797 atau 1809 di Kayu Tangi, Banjar,
Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.
Pangeran Antasari meninggal dunia pada 11
Oktober 1862 (53 Tahun) di Bayan Begok,
Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah.

Perlawanan rakyat Banjar terhadap Belanda dimulai saat Belanda mengangkat


Sultan Tamjid sebagai Sultan Banjar. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1859. Padahal,
yang seharusnya naik tahta adalah Pangeran Hidayat. Sultan Tamid tidak disukai oleh
rakyat karena ia terlalu memihak kepada Belanda.

Rakyat juga merasa Belanda terlalu jauh ikut mengatur kepemimpinan di


Kesultanan Banjar. Belanda semakin gencar melalakukan siasat adu domba terhadap
golongan-golongan yang ada dalam istana. Akibatnya, banyak golongan yang
terpecah belah dan bermusuhan.

Pangeran Antasari merasa prihatin dengan keadaan yang terjadi di Kesultanan


Banjar. Ia pun berusaha untuk membela hak Pangeran Hidayat. Ia bersekutu dengan
kepala-kepala daerah Hulu Sungai, Martapura, Barito, Pleihari, Kahayan, Kapuas dan
lain-lain. Usaha Pangeran Antasari untuk melakukan penyerangan terhadap Belanda
juga didukung oleh semua rakyat Banjar.

Pada 18 April 1859, Pangeran Antasari memimpin perang pertamanya


melawan Belanda dengan menyerang tambang batu bara di Pengaron. Perang ini
kemudian dikenal dengan nama Perang Banjar.

Selain itu, Pangeran Antasari juga berhasil menyerang dan menguasai


kedudukan Belanda di Gunung Jabuk. Bersama pasukannya, ia juga berhasil
menengelamkan Kapal Onrust. Bahkan Letnan Van der Velde dan Letnan Bangert
sebagai pemimpin dalam kapal tersebut juga ikut tenggelam.
Pada tahun 1861, Belanda berhasil menangkap Pangeran Hidayat. Beliau lalu
dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Walaupun demikian, Pangeran Antasari tetap
melanjutkan perjuangannya. Ia mengambil alih pimpinan utama. Bahkan saat
memasuki usia tua. Pangeran Antasari tetap melanjutkan perjuangannya dengan
berperang di wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah.

Sayangnya pada tahun 1862 terjadi wabah penyakit cacar di daerah Banjar.
Padahal, Pangeran Antasari dan pasukannya sedang menyiapkan serangan besar-
besaran terhadap Belanda. Wabah penyakit cacar ini menyerang dan melemahkan
pasukan Banjar termasuk Pangeran Antasari, pemimpinnya. Akhirnya, pada 11
Oktober 1862 beliau wafat. Makam beliau sekarang berada di Taman Makam Perang
Banjar, Banjarmasin Utara.

3. Kapitan Pattimura

Pattimura lahir pada tanggal 8 Juni 1783


dari ayah Frans Matulesi dengan Ibu Fransina
Silahoi. Munurut M. Sapidja ( penulis buku
sejarah pemerintahan pertama) mengatakan
bahwa “pahlawan Pattimura tergolong turunan
bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram).
Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy
adalah anak dari Kasimiliali Pattimura
Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama
orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan.

Ia adalah pahlawan yang berjuang untuk Maluku melawan VOC Belanda.


Sebelumnya Pattimura adalah mantan sersan di militer Inggris. pada tahun 1816
Inggris bertekuk lutut kepda belanda. Kedatangan kembali kolonial Belanda pada
tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi
politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat
Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura.

Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang


bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengoordinir raja-raja dan
patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur
pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan.
Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan
Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura hanya
dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh
Belanda.

Di Saparua, dia dipilih oleh rakyat untuk memimpin perlawanan. Untuk itu, ia
pun dinobatkan bergelar Kapitan Pattimura. Pada tanggal 16 Mei 1817, suatu
pertempuran yang luar biasa terjadi. Rakyat Saparua di bawah kepemimpinan Kapitan
Pattimura tersebut berhasil merebut benteng Duurstede. Tentara Belanda yang ada
dalam benteng itu semuanya tewas, termasuk Residen Van den Berg.

Pasukan Belanda yang dikirim kemudian untuk merebut kembali benteng itu
juga dihancurkan pasukan Kapitan Pattimura. Alhasil, selama tiga bulan benteng
tersebut berhasil dikuasai pasukan Kapitan Patimura. Namun, Belanda tidak mau
menyerahkan begitu saja benteng itu. Belanda kemudian melakukan operasi besar-
besaran dengan mengerahkan pasukan yang lebih banyak dilengkapi dengan
persenjataan yang lebih modern. Pasukan Pattimura akhirnya kewalahan dan terpukul
mundur.

Di sebuah rumah di Siri Sori, Kapitan Pattimura berhasil ditangkap pasukan


Belanda. Bersama beberapa anggota pasukannya, dia dibawa ke Ambon. Di sana
beberapa kali dia dibujuk agar bersedia bekerjasama dengan pemerintah Belanda
namun selalu ditolaknya.

Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya


di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Atas
kegigihannya memperjuangkan kemerdekaan, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai
“Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan” oleh pemerintah Republik Indonesia.
4. Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 1631 –
1683) adalah putra Sultan Abdul Ma'ali Ahmad dan
Ratu Martakusuma yang menjadi Sultan
Bantenperiode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar
Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat
menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu
atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal
dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar
Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah. Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia
mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia
dimakamkan di Mesjid Banten.
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 -
1683. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC
menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten.
Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai
pelabuhan terbuka.
Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai
kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan
kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan
irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan
penasehat sultan.
Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan
Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk
menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan
Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim
pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint-Martin.

5. Sisingamangaraja
Patuan Bosar Ompu Pulo Batu atau
yang dikenal dengan nama Sisingamangaraja
XII, lahir di Bakkara Tapanuli Utara tahun
pada tahun 1849. Tidak hanya sebagai raja,
beliau juga diamanahi untuk menjadi kepala adat sekaligus pemimpin agama yang
disebut Parmalim.
Rakyat suku Batak mempunyai keyakinan bahwa raja Sisingamangaraja
memiliki kesaktian dan sangat berpengaruh. Seringnya Raja Sisingamangaraja
melakukan perjalanan ke pelosok-pelosok, menjadikan dirinya dikagumi oleh para
rakyatnya. Selain sebagai pengayom di tengah-tengah masyarakat Batak, beliau juga
dikenal sebagai pemimpin yang menentang kolonialisme.
Sejak Belanda menduduki tanah Batak dan menempatkan kontrolir di Balige,
Tarutung, Sipoholon dan tempat-tempat lain, Sisingamangaraja sangatlah marah.
Hingga akhirnya pada tahun 1878, Sisingamangaraja kemudian melancarkan serangan
terhadap pos-pos Belanda yang berada di Tarutung, Balige dan Bakkara. Pada tahun
1884, Sisingamangaraja kembali melancarkan serangan kepada Belanda, di daerah
Tangga Batu. Dalam setiap serangan yang dilakukan, pasukan Sisingamangaraja XII
selalu dapat meloloskan diri.
Pada 17 Juni 1907, Belanda mengetahui tempat persembunyian
Sisingamangaraja XII dan mengempung tempat itu. Hal ini membuat pertempuran
pun tidak terelakkan. Saat pengepungan itu, Sisingamangaraja gugur sebagai seorang
pejuang. Beliau meninggal setelah 30 tahun mengobarkan Perang Batak untuk
mengusir Belanda.

6. Pangeran Diponegoro
Nama asli Pangeran Diponegoro
adalah Raden Mas Ontowiryo. Ia juga bergelar
“Sultan Abdul Hamid Herucokro
Amirulmukminin Sayidin Panatagama
Khalifatullah Tanah Jawi”. Pangeran
Diponegoro adalah anak dari Pangeran Adipati
Anom (Hamengku Buwono III) dari garwa
ampeyan (selir).
Perlawanan Pangeran Diponegoro dimulai ketika dia dengan berani mencabut
tiang-tiang pancang pembangunan jalan oleh Belanda yang melewati rumah, masjid,
dan makam leluhur Pangeran Diponegoro. Pembangunan jalan ini dilakukan atas
inisiatif Patih Danurejo IV yang menjadi antek Belanda. Belanda yang dibantu Patih
Danurejo IV kemudian menyerang kediaman Pangeran Diponegoro di Tegalrejo.
Sejak saat itu, berkobarlah perang besar yang disebut Perang Jawa atau Perang
Diponegoro (1825-1830).
Belanda sulit mengalahkan Pangeran Diponegoro yang
menggunakan taktik gerilya. Dengan dibantu oleh Kyai Mojo (Surakarta), Sentot
Alibasya Prawirodirjo, Pangeran Suryo Mataram, Pangeran Pak-pak (Serang),
Pangeran Diponegoro berhasil memberikan perlawanan yang hebat kepada Belanda.
Belanda telah menggunakan berbagai cara untuk menangkap
Pangeran Diponegoro namun gagal. Sampai pada akhirnya digunakanlah siasat licik
dengan berpura-pura mengajak berunding dan berjanji akan menjaga keselamatannya.
Namun, ternyata Belanda ingkar janji dan menangkap Pangeran Diponegoro pada
tanggal 28 Maret 1830 saat terjadi perundingan di Magelang. Tanpa malu Jenderal
Hendrik de Kock menangkap Pangeran Diponegoro agar perang besar di Pulau Jawa
tersebut dapat segera diakhiri. Perang Diponegoro telah menimbulkan kerugian yang
amat besar bagi Belanda.
Pangeran Diponegoro kemudian dibuang ke Manado dan
ditempatkan di Benteng Amsterdam. Namun, empat tahun kemudian ia dipindahkan
ke Benteng Rotterdam di Makassar hingga wafatnya dan dimakamkan di Kampung
Melayu, Makassar.

7. Silas Papare
Silas Papare (lahir di Serui, Papua, 18
Desember 1918 – meninggal di Serui, Papua, 7 Maret
1973 pada umur 54 tahun) adalah seorang pejuang
penyatuan Irian Jaya (Papua) ke dalam wilayah
Indonesia. Ia adalah seorang pahlawan nasional
Indonesia. Namanya diabadikan menjadi salah satu
Kapal Perang Korvet kelas Parchim TNI AL KRI
Silas Papare dengan nomor lambung 386. Selain itu, dididirkan Monumen Silas
Papare di dekat pantai dan pelabuhan laut Serui. Sementara di Jayapura, namanya
diabadikan sebagai nama Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Politik (STISIPOL) Silas
Papare, yang berada di Jalan Diponegoro. Sedangkan di kota Nabire, nama Silas
Papare dikenang dalam wujud nama jalan.
Ia menyelesaikan pendidikan di Sekolah Juru Rawat pada tahun
1935 dan bekerja sebagai pegawai pemerintah Belanda. Ia sangat gigih dalam
memperjuangkan kemerdekaan Papua sehingga ia sering berurusan dengan aparat
keamanan Belanda dalam memerangi kolonialisme Belanda dan pada akhirnya ia
dipenjarakan di Jayapura karena memengaruhi Batalyon Papua untuk memberontak.
Semasa menjalani masa tahanan di Serui, Silas berkenalan dengan
Dr. Sam Ratulangi, Gubernur Sulawesi yang diasingkan oleh Belanda ke tempat
tersebut. Perkenalannya tersebut semakin menambah keyakinan ia bahwa Papua harus
bebas dan bergabung dengan Republik Indonesia. Akhirnya, ia mendirikan Partai
Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII). Akibatnya, ia kembali ditangkap oleh Belanda
dan dipenjarakan di Biak. Namun, dengan transportasi kapal laut, Silas Papare dan
isterinya, Regina Aibui serta keluarganya memilih melarikan diri menuju Yogyakarta
ke Yogyakarta.
Pada bulan Oktober 1949 di Yogyakarta, ia mendirikan Badan
Perjuangan Irian di Yogyakarta dalam rangka membantu pemerintah Republik
Indonesia untuk memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah RI. Silas Papare
yang ketika itu aktif dalam Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) juga
diminta oleh Soekarno menjadi salah seorang delegasi Indonesia dalam New York
Agreement yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962, yang mengakhiri konfrontasi
Indonesia dengan Belanda perihal Irian Barat. Setelah penyatuan Irian Barat, ia
kemudian diangkat menjadi anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara).

Anda mungkin juga menyukai