1. Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin lahir di Makassar pada
tahun 1631 dengan nama I Mallambosi. Ia juga
memiliki nama Arab, Muhammad Bakir. Pada
usia 24 tahun, ia diangkat menjadi sultan di
Kerajaan Gowa dengan nama Sultan Hasanuddin.
Setelah naik takhta, Sultan Hasanuddin
menggabungkan kekuatan kerajaan kerajaan kecil
di Indonesia timur untuk bersama sama melawan
Belanda. Saat itu Belanda ingin sekali menguasai jalur perdagangan rempah-rempah.
Perang antara Sultan Hasanuddin dan VOC dimulai pada tahun 1660. Belanda
dibantu oleh Kerajaan Bone yang saat itu memang bermusuhan dengan
Kerajaan Gowa. Dalam pertempuran tersebut, Tobala, Panglima Bone, tewas.
Sultan Hasanuddin mengadakan perjanjian dengan Belanda. Perjanjian ini
tidak berlangsung lama karena isinya sangat merugikan Gowa. Sultan
Hasanuddin kemudian melakukan perlawanan. Ia kembali melancarkan serangan. Ia
menyita 2 kapal Belanda yang bernama De Walvis dan De Leeuwin.
Sayangnya pada tahun 1862 terjadi wabah penyakit cacar di daerah Banjar.
Padahal, Pangeran Antasari dan pasukannya sedang menyiapkan serangan besar-
besaran terhadap Belanda. Wabah penyakit cacar ini menyerang dan melemahkan
pasukan Banjar termasuk Pangeran Antasari, pemimpinnya. Akhirnya, pada 11
Oktober 1862 beliau wafat. Makam beliau sekarang berada di Taman Makam Perang
Banjar, Banjarmasin Utara.
3. Kapitan Pattimura
Di Saparua, dia dipilih oleh rakyat untuk memimpin perlawanan. Untuk itu, ia
pun dinobatkan bergelar Kapitan Pattimura. Pada tanggal 16 Mei 1817, suatu
pertempuran yang luar biasa terjadi. Rakyat Saparua di bawah kepemimpinan Kapitan
Pattimura tersebut berhasil merebut benteng Duurstede. Tentara Belanda yang ada
dalam benteng itu semuanya tewas, termasuk Residen Van den Berg.
Pasukan Belanda yang dikirim kemudian untuk merebut kembali benteng itu
juga dihancurkan pasukan Kapitan Pattimura. Alhasil, selama tiga bulan benteng
tersebut berhasil dikuasai pasukan Kapitan Patimura. Namun, Belanda tidak mau
menyerahkan begitu saja benteng itu. Belanda kemudian melakukan operasi besar-
besaran dengan mengerahkan pasukan yang lebih banyak dilengkapi dengan
persenjataan yang lebih modern. Pasukan Pattimura akhirnya kewalahan dan terpukul
mundur.
5. Sisingamangaraja
Patuan Bosar Ompu Pulo Batu atau
yang dikenal dengan nama Sisingamangaraja
XII, lahir di Bakkara Tapanuli Utara tahun
pada tahun 1849. Tidak hanya sebagai raja,
beliau juga diamanahi untuk menjadi kepala adat sekaligus pemimpin agama yang
disebut Parmalim.
Rakyat suku Batak mempunyai keyakinan bahwa raja Sisingamangaraja
memiliki kesaktian dan sangat berpengaruh. Seringnya Raja Sisingamangaraja
melakukan perjalanan ke pelosok-pelosok, menjadikan dirinya dikagumi oleh para
rakyatnya. Selain sebagai pengayom di tengah-tengah masyarakat Batak, beliau juga
dikenal sebagai pemimpin yang menentang kolonialisme.
Sejak Belanda menduduki tanah Batak dan menempatkan kontrolir di Balige,
Tarutung, Sipoholon dan tempat-tempat lain, Sisingamangaraja sangatlah marah.
Hingga akhirnya pada tahun 1878, Sisingamangaraja kemudian melancarkan serangan
terhadap pos-pos Belanda yang berada di Tarutung, Balige dan Bakkara. Pada tahun
1884, Sisingamangaraja kembali melancarkan serangan kepada Belanda, di daerah
Tangga Batu. Dalam setiap serangan yang dilakukan, pasukan Sisingamangaraja XII
selalu dapat meloloskan diri.
Pada 17 Juni 1907, Belanda mengetahui tempat persembunyian
Sisingamangaraja XII dan mengempung tempat itu. Hal ini membuat pertempuran
pun tidak terelakkan. Saat pengepungan itu, Sisingamangaraja gugur sebagai seorang
pejuang. Beliau meninggal setelah 30 tahun mengobarkan Perang Batak untuk
mengusir Belanda.
6. Pangeran Diponegoro
Nama asli Pangeran Diponegoro
adalah Raden Mas Ontowiryo. Ia juga bergelar
“Sultan Abdul Hamid Herucokro
Amirulmukminin Sayidin Panatagama
Khalifatullah Tanah Jawi”. Pangeran
Diponegoro adalah anak dari Pangeran Adipati
Anom (Hamengku Buwono III) dari garwa
ampeyan (selir).
Perlawanan Pangeran Diponegoro dimulai ketika dia dengan berani mencabut
tiang-tiang pancang pembangunan jalan oleh Belanda yang melewati rumah, masjid,
dan makam leluhur Pangeran Diponegoro. Pembangunan jalan ini dilakukan atas
inisiatif Patih Danurejo IV yang menjadi antek Belanda. Belanda yang dibantu Patih
Danurejo IV kemudian menyerang kediaman Pangeran Diponegoro di Tegalrejo.
Sejak saat itu, berkobarlah perang besar yang disebut Perang Jawa atau Perang
Diponegoro (1825-1830).
Belanda sulit mengalahkan Pangeran Diponegoro yang
menggunakan taktik gerilya. Dengan dibantu oleh Kyai Mojo (Surakarta), Sentot
Alibasya Prawirodirjo, Pangeran Suryo Mataram, Pangeran Pak-pak (Serang),
Pangeran Diponegoro berhasil memberikan perlawanan yang hebat kepada Belanda.
Belanda telah menggunakan berbagai cara untuk menangkap
Pangeran Diponegoro namun gagal. Sampai pada akhirnya digunakanlah siasat licik
dengan berpura-pura mengajak berunding dan berjanji akan menjaga keselamatannya.
Namun, ternyata Belanda ingkar janji dan menangkap Pangeran Diponegoro pada
tanggal 28 Maret 1830 saat terjadi perundingan di Magelang. Tanpa malu Jenderal
Hendrik de Kock menangkap Pangeran Diponegoro agar perang besar di Pulau Jawa
tersebut dapat segera diakhiri. Perang Diponegoro telah menimbulkan kerugian yang
amat besar bagi Belanda.
Pangeran Diponegoro kemudian dibuang ke Manado dan
ditempatkan di Benteng Amsterdam. Namun, empat tahun kemudian ia dipindahkan
ke Benteng Rotterdam di Makassar hingga wafatnya dan dimakamkan di Kampung
Melayu, Makassar.
7. Silas Papare
Silas Papare (lahir di Serui, Papua, 18
Desember 1918 – meninggal di Serui, Papua, 7 Maret
1973 pada umur 54 tahun) adalah seorang pejuang
penyatuan Irian Jaya (Papua) ke dalam wilayah
Indonesia. Ia adalah seorang pahlawan nasional
Indonesia. Namanya diabadikan menjadi salah satu
Kapal Perang Korvet kelas Parchim TNI AL KRI
Silas Papare dengan nomor lambung 386. Selain itu, dididirkan Monumen Silas
Papare di dekat pantai dan pelabuhan laut Serui. Sementara di Jayapura, namanya
diabadikan sebagai nama Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Politik (STISIPOL) Silas
Papare, yang berada di Jalan Diponegoro. Sedangkan di kota Nabire, nama Silas
Papare dikenang dalam wujud nama jalan.
Ia menyelesaikan pendidikan di Sekolah Juru Rawat pada tahun
1935 dan bekerja sebagai pegawai pemerintah Belanda. Ia sangat gigih dalam
memperjuangkan kemerdekaan Papua sehingga ia sering berurusan dengan aparat
keamanan Belanda dalam memerangi kolonialisme Belanda dan pada akhirnya ia
dipenjarakan di Jayapura karena memengaruhi Batalyon Papua untuk memberontak.
Semasa menjalani masa tahanan di Serui, Silas berkenalan dengan
Dr. Sam Ratulangi, Gubernur Sulawesi yang diasingkan oleh Belanda ke tempat
tersebut. Perkenalannya tersebut semakin menambah keyakinan ia bahwa Papua harus
bebas dan bergabung dengan Republik Indonesia. Akhirnya, ia mendirikan Partai
Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII). Akibatnya, ia kembali ditangkap oleh Belanda
dan dipenjarakan di Biak. Namun, dengan transportasi kapal laut, Silas Papare dan
isterinya, Regina Aibui serta keluarganya memilih melarikan diri menuju Yogyakarta
ke Yogyakarta.
Pada bulan Oktober 1949 di Yogyakarta, ia mendirikan Badan
Perjuangan Irian di Yogyakarta dalam rangka membantu pemerintah Republik
Indonesia untuk memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah RI. Silas Papare
yang ketika itu aktif dalam Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) juga
diminta oleh Soekarno menjadi salah seorang delegasi Indonesia dalam New York
Agreement yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962, yang mengakhiri konfrontasi
Indonesia dengan Belanda perihal Irian Barat. Setelah penyatuan Irian Barat, ia
kemudian diangkat menjadi anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara).