Anda di halaman 1dari 24

I.

Pendahuluan
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar tidak hanya besar dalam
hitungan jumlah, tetapi juga besar dalam keragaman. Bangsa Indonesia sejak dulu
selalu hidup bedampingan dengan damai dalam masyarakat yang berbeda suku,
bangsa, agama, ras, golongan. Setiap anak bangsa di ajak untuk mengerti,
menghayati dan melaksanakan dengan penuh rasa toleransi dalam kehidupan
bersama kearah terciptanya persatuan dan kesatuan yang sesuai dengan
bersemboyan “Bhineka Tunggal Ika”, memelihara kebersamaan ini merupakan
bentuk riel membangun modal sosial dalan kedidupan nasional.
Dikatakan demikian, karena modal sosial menurut Fukuyama (1999: 201),
modal sosial (social capital ) adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan
umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Modal
sosial dapat dilembagakan dalam bentuk kelompok sosial paling kecil atau paling
mendasar dan juga kelompok-kelompok masyarakat paling besar seperti halnya
negara (bangsa). Lebih lanjut Fukuyama mengemukakan, bahwa modal sosial
bersumber atau by product dari agama, tradisi, atau pengalaman sejarah
bersama.
Oleh karena itu, menghargai dan menghayati perbedaan suku bangsa,
agama, ras dan golongan sebagai modal sosial bagi bangsa Indonesia untuk
mempersatukan dan bukan di jadikan sebagai alasan bagi terjadinya konflik sosial,
baik horisontal maupun vertikal. Sebagai bangsa dengan masyarakat yang kita
namakan sebagai masyarakat pluralism (majemuk), untuk mencapai cita-cita
nasionalnya dibutuhkan modal sosial yang kuat. Benang merah yang dapat
dipandang sebagai pengikat modal sosial adalah rasa kebhinnekaan Tunggal
ikaan, yakni “Konsensus Dasar Bangsa“ yang terdiri dari Pancasila, Undang-
Undang Dasar Negara RI1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Memperhatikan perkembangan yang ada saat ini dan permasalahan yang kita
hadapi ke depan yang berkaitan dengan modal social (social capital ), maka harus
dibedakan secara tepat dengan human capital, yang bentuknya adalah
‘pengetahuan’ dan ‘keterampilan’ yang dimiliki oleh setiap individu dalam suatu
masyarakat. Hal ini diperlukan, karena kuatnya modal social pada masayarakat
majemuk, akan menentukan eksistensi masyarakat tersebut ke depan. Berkaitan
dengan itu, maka peran Pemimpin Nasional pada setiap tingkatan dan hirarkhi
sangat dibutuhkan untuk memperkuat modal sosial dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Posisi dan fungsi seorang pemimpin pada setiap tingkatan dan hirarkhi baik
formal, non formal dan informal dalam kehidupan nasional, sangat strategis
sebagai penggerak yang dapat mempengaruhi dan memotivasi para pengikutnya
atau bawahannya untuk melakukan penguatuan modal sosial dalam upaya
mempertahankan eksisitensi masyarakat atau bangsanya. Pemimpin Nasional
baik formal, non formal dan informal di pusat dan daerah, adalah kelompok elite
bangsa pada segenap strata kehidupan nasional pada bidang sektor/profesi pada
1
supra, infra struktur dan sub struktur yang memiliki kemampuan/ kewenangan
untuk mengarahkan/ mengerahkan segenap potensi bangsa dan negara dalam
rangka pencapaian tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Kepemimpinan Nasional sebagai
suatu sistem, struktur dan kultur kepemimpinan yang berlandaskan paradigma
nasional dan mencakup segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Merupakan system adalah sebagai kosekwensi dari bentuk negara
kesatuan (NKRI), hubungan antara kepemimpinan pemerintahan pusat dan
daerah tidak dapat dipisahkan, dimana pemerintah pusat adalah pusatnya daerah
dan daerah adalah daerahnya pusat, artinya keberhasilan dalam penyelenggaran
urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan daerah berada dalam satu
kesatuan sistem yang utuh. Sebagai kosekwensi berikutnya, adalah merupakan
struktur, NKRI sebagai negara kesataun hubungan secara khirarhis antara pusat
dan daerah tidak dapat dipisahkan, karena jelas memberikan pengaruh yang
sangat kuat terhahadap kewenangan dari masing-masing tingkatan
penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai konsekwensi lajutan dari dua hal di
atas, maka harus mempunyai kultur yang sama untuk dikembangkan dalam
penyelenggaraan pemerintahan baik di pusat maupun daerah, yakni nilai-nilai
yang bersumber dari Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
Dari uraian diatas jelas menunjukkan bahwa saat ini dan kedepan sangat
dibutuhkan peran Pemimpin Nasional yang ada pada semua strata/hirarkhi tidak
hanya melihat masalah pada tingkat gejala, tapi juga mampu melihat pada
penyebab dan akar penyebab guna membangun modal sosial dalam upaya untuk
mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa dalam wadah NKRI.

II. Permasalahan.
Memperhatikan tentang pentingnya upaya membangun modal sosial, maka
peran Pemimpin Nasional sangat dibutuhkan dalam upaya memelihara rasa
persatuan dan kesatuan bangsa, dengan peran strategisnya yang dapat dilakukan
oleh Pemimpin Nasional, maka tulisan ini dibatasi pada permasalahan:
Bagaimana Peran Pemimpin Nasional dalam membangun modal sosial guna
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam wadah NKRI.

III. Pembahasan.
Sebagai pemimpin pada suatu bangsa yang besar, seperti bangsa
Indonesia, dituntut mempunyai kemampuan lebih yang tidak hanya dapat
mempengaruhi dan memotivasi orang yang dipimpinnya, tetapi juga kemampuan
untuk memberikan keteladadanan, sehingga dapat menjadi individu yang sangat
dikagumi oleh semua orang yang dipimpinnya.
Berkaitan dengan upaya membangun modal sosial dalam kehidupan
nasional, maka peran Pemimpin Nasional sangat dibutuhkan. Dikatakan demikian,
karena Pemimpin Nasional (Formal, Non Formal dan Informal) mempunyai
kemampuan diharapkan dapat mengerahkan segenap potensinya untuk

2
membangun modal sosial guna mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

A. PENTINGNYA MODAL SOSIAL DALAM KEHIDUPAN NASIONAL


Dalam keseharian di sekitar kita sering menjumpai potret kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bermegara yang sulit dipahami. Hal ini nampak
kasat mata, misalnya tingkat capaian kegiatan pembangunan kita selalu tidak
sesuai dengan target yang telah ditentukan. Pemerintahan silih berganti tetapi
kita seperti jalan di tempat, kemajuan yang kita rasakan tidak seperti yang kita
harapkan. Pengangguran terus bertambah. Kemiskinan semakin sulit
dikendalikan. Kriminanalitas meningkat dimana-mana. Investasi swasta semakin
sulit berkembang. Perusahaan-perusahaan industri dalam negeri semakin sulit
bersaing. Memperhatikan fenomesa sosisal di atas, timbul pertanyaan kritis, apa
yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan nasional bangsa kita.
Di negeri yang besar seperti Indonesia dan dengan kompleksitas
kehidupan masyarakatnya, dapat dikatakan bahwa dimensi “modal sosial” kurang
mendapat perhatian dari pemerintah, jauh berada di luar alam pikir pembangunan
yang dilaksanakan. Padahal, di berbagai belahan dunia dewasa ini, seperti
Jepang, kesadaran akan pentingnya modal sosial cukup tinggi dan menjadi
kepedulian bersama. Modal sosial (social capital) diyakini sebagai salah satu
komponen utama dalam menggerakkan kebersamaan ide, kesaling percayaan
dan saling menguntungkan untuk mencapai kemajuan bersama.
Sebuah komunitas terbangun karena adanya ikatan-ikatan sosial di
antara anggotanya. Sering kita mendengar komunitas petani, komunitas tukang
becak, perkumpulan nelayan, asosiasi insinyur dan sebagainya. Kualitas ikatan
sosial ini akan terbangun apabila di antara warga saling berinteraksi pada waktu
yang relatif lama dan mendalam. Biasanya kualitas ikatan sosial tersebut akan
lebih baik apabila sesama warga tergabung untuk melakukan kegiatan-kegiatan
bersama dalam berbagai kelompok atau organisasi atau kegiatan kegiatan yang
sifatnya sesaat. Adanya ikatan sosial yang kuat akan tepupuknya modal sosial
yang berujung pada peningkatan kesejahteraan warganya. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa modal sosial memegang peranan yang sangat penting dalam
memfungsikan dan memperkuat persatuan dan kesatuan masyarakat.
Salah satu bagian dari modal sosial yang sangat berpengaruh dewasa ini
adalah modal sosial kepercayaan (trust) yang dapat memberikan andil yang besar
dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Ikatan-iktan sosial yang ada dalam
masyarakat harus direkatkan dengan kepercayaan. Modal dasar dari adanya
ikatan sosial yang kuat adalah adanya kerjasama di antara anggota kelompok
atau organisasi dalam hal komunitas antar anggota pada satu ikatan sosial akan
terbanguan apabila ada kerjasama yang berlandaskan kepercayaan di antara
semua warga masyarakat. Jika warga masyarakat saling bekerjasama dan saling
percaya yang didasarkan kepada nilai-nilai universal yang ada, maka tidak akan
ada sikap saling curiga, saling jegal, saling menindas dan sebagainya sehingga
3
ketimpangan-ketimpangan antara kelompok yang miskin dengan yang kaya akan
bisa diminimalkan.
Berkaitan dengan modal sosial (social capital ) ini, lebh lanjut Fukuyama
mengatakan sumber modal sosial dapat bersifat :
1) Consummatory , yaitu nilai-nilai sosial budaya yang mendasar dan membentuk
solidaritas sosial masyarakat ;
2) Instrumental , yaitu pertukaran yang saling menguntungkan dan rasa saling
percaya.
Sifat sosial dari modal sosial adalah adanya saling menguntungkan paling
sedikit antara dua orang atau lebih, menunjuk pada hubungan sosial, serta
berhubungan dengan kepercayaan, jejaring sosial, masing-masing anggota
mempunyai hak dan kewajiban.
Oleh karena itu modal sosial yang tumbuh dan berkembang dalam suatu
masyarakat adalah modal social yang berisi nilai dan norma serta pola-pola
interaksi sosial dalam mengatur kehidupan keseharian anggotanya. Dimensi
modal sosial terikat dalam struktur relasi sosial dan jaringan sosial di dalam suatu
masyarakat yang menciptakan berbagai ragam kewajiban social yang ada,
selanjutnya menciptakan iklim saling percaya, membawa saluran informasi,
dan menetapkan norma-norma, serta sanksi-sanksi sosial bagi para anggota
masyarakat tersebut. Namun demikian, menurut Fukuyama, belum tentu norma-
norma dan nilai-nilai bersama yang menjadi pedoman bersikap, bertindak, dan
bertingkah-laku itu otomatis menjadi modal sosial. Tetapi norma-norma dan nilai-
nilai bersama tersebut harus berlandaskan oleh kepercayaan (trust). Dimana
trust tersebut merupakan harapan terhadap keteraturan, kejujuran, dan perilaku
kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas masyarakat yang
didasarkan pada norma-norma dan nilai yang dianut bersama oleh para
anggotanya. Nilai tersebut antara lain: sikap yang partisipatif, sikap yang saling
memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling percaya mempercayai dan
diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-norma lain yang mendukungnya.
Modal sosial (social capital) sangat tinggi pengaruhnya terhadap
perkembangan dan kemajuan berbagai sektor yang ada dalam suatu
masyarakat. Di sektor pertanian misalnya, upaya pemerintah terutama di negara-
negara agraris di Asia, untuk meningkatkan produksi seringkali mengalami
kegagalan walaupun berbagai input modal telah mengucur ke pedesaan seperti
pupuk, perlatan-perlatan modern, irigasi modern, dan berbagai fasilitas kredit
yang melimpah. Tanpa mengabaikan beberapa tekanan struktural, seperti
misalnya yang bersumber dari disparitas yang tinggi atas penguasaan
lahan, kegagalan meningkatkan produksi sangat berkait erat dengan spektrum
modal sosial yang sangat lemah. Faktor ini sama sekali tidak mendapatkan
perhatian dari pemerintah.
Demikian pula halnya dengan pembangunan industri, baik industri besar,
sedang mupun industri kecil akan mengalami hambatan di negara yang memiliki

4
tingkat modal sosial yang rendah. Modal sosial akan menghasilkan energi kolektif
yang memungkinkan berkembangnya jiwa dan semangat kewirausahaan di
tengah masyarakat, yang selanjutnya akan mendorong berkembangnya dunia
usaha. Industri besar yang akan dimiiliki para investor lokal maupun asing akan
mungkin bertumbuh kembali di tengah masyarakat yang memiliki tradisi dan nilai
kejujuran (trust), terbuka (positive externalities), dan memiliki tingkat empati yang
tinggi. Tanpa itu investor akan menghindar karena suasana ketidak jujuran,
kebencian, sakwasangka, intrik dan hilangnya toleransi. Faktor ini hampir tidak
mendapat perhatian dari umumnya negara-negara berkembang termasuk
Indonesia sebagai upaya dari promosi investasi (Fukuyama,1995).
Indonesia mengalami kemiskinan trust. Ini tidak selalu berarti
kebudayaan suku-suku di Indonesia memiliki rasa saling percaya yang tipis
dengan sesama anggota masyarakat dalam keluarga, kelompok dan atau asosiasi
yang ada di dalam sukunya. Kepercayaan itu, dalam beberapa hal, ada, tetapi
bobot orientasinya yang miskin. Dalam perjalanan waktu dan terutama setelah
mengalami lebih dari 30 tahun Indonesia di bawah pemerintahan Presiden
Soeharto (Orde Baru) trust yang miskin itu mengalami situasi yang bertambah
parah. Kehancurannya tidak dapat dielakkan terutama dengan beroperasinya dua
mesin penghancur sekaligus yaitu faktor internal kebudayaan (dari dalam entitas
sosial itu sendiri) dan oleh faktor-faktor yang berasal dari luar (kebijakan rezim dan
perilaku negatif para tokoh masyarakat).
Para tokoh yang dewasa ini berada di balik konsep modal sosial
semuanya menyepakati akan peran penting trust sebagai energi pembangunan
masyarakat. Trust erat kaitannya dan menjadi salah satu unsur dan sumber
kekuatan modal sosial. Dikatakan demikian karena sistem yang terbentuk dari
rasa saling percaya merupakan komponen modal sosial sebagai basis dari
kewajiban-kewajiban dan harapan masa depan. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa trust atau perasaan saling mempercayai, merupakan sumber kekuatan
modal sosial yang dapat mempertahankan keberlangsungan perekonomian yang
dinamis dan kinerja pemerintahan yang efektif. Suatu bangsa atau masyarakat
yang kurang memiliki atau telah kehilangan rasa saling mempercayai, akan
menjadi lemah dan sulit keluar dari berbagai krisis yang dihadapinya. Dinamika
kehidupan masyarakat akan cenderung tumpul. Kegiatan lembaga
kemasyarakatn dan perkumpulan-perkumpulan yang terbentuk di tengah
masyarakat akan kehilangan orientasi dan jati diri. Mereka akan dihadapkan pada
beragam kesulitan dalam melakukan berbagai kegiatannya secara efisien dan
efektif. Untuk itu dapat dikatakan bahwa rasa saling percaya adalah “ruh” dari
institusi sosial.
Negara atau masyarakat yang memiliki tingkat rasa saling percaya
rendah (low trust) disebabkan oleh pola budaya yang berkembang terutama
kaitannya dengan budaya yang terbiasa menempatkan rasa saling mempercayai
hanya pada lingkungan keluarga dan kalangan teman dan relasi yang sangat
terbatas. Dengan kata lain, suatu masyarakat yang memiliki pola budaya dengan
5
rentang rasa percaya yamg pendek cenderung akan memiliki modal sosial yang
lemah dan memperlemah masyarakat atau negara tersebut. Ini umumnya terjadi
pada negara atau masyarakat yang masih terbelakang dengan pola-pola
kehidupan tradisional yang masih kuat mendominasi nilai, norma dan pandangan
hidup masyarakatnya (Hasbullah, 2006).
Lembaga-lembaga pendidikan formal misalnya, dimana anak-anak
dididik guna mendapatkan dan memiliki pengetahuan, dan juga sebagai tempat
pembentukan kepribadian dan moralitas yang baik, justru ikut berkontribusi
memperlemah tingkat rasa saling mempercayai (trust) di tengah
masyarakat. Ketidakpercayaan terhadap kejujuran para pengelola lembaga
pendidikan tetentu mencapai puncaknya terutama berkaitan dengan
komersialisasi dan eksploitasi terhadap orang tua si anak melalui penjualan buku
yang harus dibeli oleh orang tua. Di atas semuanya, penyalahgunaan kekuasaan
dan korupsi diduga tetap berlangsung dimana-mana, baik di pemerintahan, di
lembaga legislatif, di lembaga penegak hukum, di perusahaan-perusahaan BUMN
dan di berbagai lembaga dan organisai lainnya, dan berlangsung dalam skala
yang massive dan terorganisir. Masyarakat yang kehilangan kepercayaan dan
hidup dalam semangat kelompok yang inward looking akan mendorong tumbuh
suburnya korupsi, pemerintahan dan masyarakat yang korup juga akan
mendorong hilangnya modal sosial.
Oleh karena itu, keberadaan modal sosial yang ada pada masyarakat kita
saat ini apabila dikaitkan dengan kehidupan nasional (bernegara, berbangsa dan
bermasyarakat), maka dapat diidentifikasi bahwa kurangnya wibawa negara,
pelayanan publik yang kualitasnya rendah dan kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah rendah, adalah implikasi dari lemahnya modal sosial dalam kehidupan
bernegara, sedang dalam kehidupan berbangsa, yang dapat diidentifikasi, antara
lain daya saing rendah, tingkat kesejahteraan masyarakat kurang dan masyarakat
bangga terhadap penggunaan barang import (buatan Negara /bangsa lain).
Selanjutnya dalam kehidupan bermasyarakat, dapat diidentifikasi, antara lain:
tingkat saling percaya antara komponen masyarakat rendah, kemiskinan dan
ketergantungan tinggi dan partisipasi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari
rendah, termasuk yang kita saksikan secara kasat mata saat ini bagaimana
partisipasi masayarakat dalam mengahadapi berkembang-nya virus corona
(covid-19).
Memperhatikan identifikasi permasalahan yang ditimbulkan dari
miskinnya modal sasial dalam kehidupan beenegara, berbangsa dan
bermasyarakat, sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka peran Pemimpin
Nasional ( Formal, Nonformal dan Informal) saat ini dan ke depan sangat
dibutuhkan untuk membangun modal sosial dalam kehidupan nasional, guna
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam wadah NKRI.

6
B. PERAN PEMIMPIN NASIONAL DALAM MEMBANGUN MODAL
SOSIAL
Sesuai dengan peran dan fungsinya sebagai Pemimpin Nasional dalam
upaya membangun modal sosial yang ada, harus mengetahui dan memahami
secara tepat, bahwa modal sosial ada 6 (enam) unsur yang saling berkait,
Hasbullah (2006: 126), yakni :
1. Participation in a network. Kemampuan sekelompok orang untuk melibatkan
diri dalam suatu jaringan hubungan sosial, melalui berbagai variasi hubungan
yang saling berdampingan dan dilakukan atas dasar prinsip kesukarelaaan
(voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom), dan keadaban (civility).
Kemampuan anggota kelompok atau anggota masyarakat untuk selalu
menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang sinergis akan sangat besar
pengaruhnya dalam menentukan kuat tidaknya modal sosial suatu kelompok.
2. Reciprocity. Kecenderungan saling tukar menukar kebaikan antar individu
dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri. Pola pertukaran terjadi
dalam suatu kombinasi jangka panjang dan jangka pendek dengan tanpa
mengharapkan imbalan. Pada masyarakat dan kelompok-kelompok sosial yang
terbentuk yang memiliki bobot resiprositas kuat akan melahirkan suatu
masyarakat yang memiliki tingkat modal sosial yang tinggi.
3. Trust. Suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-
hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan
melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam
suatu pola tindakan yang saling mendukung. Paling tidak, yang lain tidak akan
bertindak merugikan diri dan kelompoknya. Tindakan kolektif yang didasari saling
percaya akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai bentuk dan
dimensi terutama dalam konteks kemajuan bersama. Hal ini memungkinkan
masyarakat untuk bersatu dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal
sosial.
4. Social norms. Sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh
masyarakat dalam suatu entitas sosial tertentu. Aturan-aturan ini biasanya
terinstitusionalisasi, tidak tertulis tapi dipahami sebagai penentu pola tingkah laku
yang baik dalam konteks hubungan sosial sehingga ada sangsi sosial yang
diberikan jika melanggar. Norma sosial akan menentukan kuatnya hubungan antar
individu karena merangsang kohesifitas sosial yang berdampak positif bagi
perkembangan masyarakat. Oleh karenanya norma sosial disebut sebagai salah
satu modal sosial.
5. Values. Sesuatu ide yang telah turun temurun dianggap benar dan penting oleh
anggota kelompok masyarakat. Nilai merupakan hal yang penting dalam
kebudayaan, biasanya ia tumbuh dan berkembang dalam mendominasi
kehidupan kelompok masyarakat tertentu serta mempengaruhi aturan-aturan
bertindak dan berperilaku masyarakat yang pada akhirnya membentuk pola
cultural.

7
6. Proactive action. Keinginan yang kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja
berpartisipasi tetapi senantiasa mencari jalan bagi keterlibatan anggota kelompok
dalam suatu kegiatan masyarakat. Anggota kelompok melibatkan diri dan
mencari kesempatan yang dapat memperkaya hubungan-hubungan sosial dan
menguntungkan kelompok. Perilaku inisiatif dalam mencari informasi berbagai
pengalaman, memperkaya ide, pengetahuan, dan beragam bentuk inisiatif lainnya
baik oleh individu mapun kelompok, merupakan wujud modal sosial yang berguna
dalam membangun masyarakat.
Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa membangun modal sosial yang
dimiliki bangsa Indonesia untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa tidak
mudah, Nasionalisme bangsa yang berkembang pada waktu memperjuangan
kemerdekaan, diwujudkan dengan pergerakkan perjuangan untuk memperoleh
dan mempertahankan kemerdekaan yang digerakkan oleh pemimpin bangsa
(pemimpin informal dan nanformal), dapat memberikan motivasi yang kuat
terhadap segenap komponen bangsa untuk berjuang mempertahankan
kemerdekaan dengan semboyan “Merdeka atau Mati”, sedemikian kuatnya
motivasi yang digelorakan oleh para pemimpin bangsa, dibuktikan dengan
semangat yang luar biasa dari Arek-Arek Soroboyo dalam menentang kembalinya
penjajah Belanda ketaha air pada tanggal 10 November 1945.
Semangat yang kuat bergelora yang merupakan modal sosial pada setiap
komponen anak bangsa pada waktu itu, jika ditelusuri proses terbentuknya
membutuhkan waktu yang cukup panjang, yakni yang dimulai dari adanya
perasaan yang sama untuk merdeka, yang diawali dengan pergerakan sporadis
yang dilakukan oleh para pemimpin bangsa, seperti Tjut Na’ Dean di Aceh,
Kapiten Patimura di Maluku, Tuanku Imam Bonjol di Sumatra Barat, Diponogoro
di Jawa Tengah dan lainya, yang keseluruhannya dapat dipatahkan oleh penjajah
Belanda dengan mudah, adanya kesadaran para pemimpin bangsa Indonesia,
bahwa perjuangan harus dilakukan secara bersama-sama, maka berdirilah Budi
Utomo Tahun 1908, dan selajutnya semangat untuk bersama berjuang sebagai
satu bangsa meningkat dengan adanya Sumpah Pemuda Tahun 1928.
Berkaitan dengan hal di atas, Emil Salim pada kegiatan Round Table
Discussion (RTD) Menggagas Skenario NKRI 2045 pada tanggal 18 Juni 2015 di
Lemhannas RI mengatakan, bahwa keberadaan NKRI Tahun 2045 yang akan
datang ditentukan oleh : Leadership of Governance sebagai penentu dicegahnya
“fail-state”; yakni bagaimana kebijakan yang diambil oleh Pemimpin Nasional
(Leadership Governance) pada semua lini kehidupan nasional untuk mencegah
NKRI menjadi Negara Gagal.
Memperhatikan beberapa hal di atas, maka diperlukan upaya untuk
membangun modal sosial dengan mengoptimalkan Peran Pemimpin Nasional
guna memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, dibutuhkan 3 (tiga) syarat
utama, yang meliputi :

1. Bangga sebagai Bangsa Indonesia


8
Pertama, kebanggaan sebagai bangsa, bangsa Indonesia, adalah bangsa
pejuang yang berbekal kecerdasan, keberanian dan semangat rela berkorban
dengan keringat, darah dan air mata serta semangat yang menyatukan segala
perbedaan yang ada untuk melepaskan diri dari penjajahan.
Ada beberapa alasan yang cukup kuat, kenapa Pemimpin Nasional harus
memiliki rasa bangga sebagai bangsa Indonesia, yakni :
a. Bangsa Indonesia, adalah bangsa pejuang. Mendiirikan negara dengan
perjuangan sendiri, berbekal kecerdasan, keberanian dan semangat rela
berkorban dengan keringat, darah dan air mata serta semangat yang
menyatukan segala perbedaan yang ada, bangsa Indonesia berhasil
memperoklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 dan
sekaligus mengusir penjajah.
b. Kita patut bangga dengan karunia yang telahkan dilimpahkan Tuhan kepada
bangsa ini, baik berupa kekayaan budaya dan kekayaan alamnya. Bangsa
kita terdiri atas lebih dari 900 suku bangsa, 800 lebih bahasa daerah dan
dialek dengan warisan adat istiadat, cara hidup dan kearifan masing-masing.
Ada bermacam-macam upacara budaya, busana, tarian, musik, dan seni
tradisional lainnya, serta berbagai makanan khas daerah. Berbagai karya
budaya kita seperti wayang, keris, batik, angklung, dan tari saman serta
banyak lagi kebudayaan lain telah diakui oleh organisasi dunia, UNESCO,
sebagai warisan budaya dunia bukan benda. Negeri kita adalah negeri
kepulauan yang sungguh indah dengan lebih dari 17.500an pulau dengan
panjang tidak kurang dari 5.000 kilometer yang terbentang dari Timur ke
Barat. Kita memiliki pantai terpanjang dan terindah. Tidak banyak bangsa dan
negara lain yang mendapat karunia Tuhan seperti ini. Kita patut bangga dan
tentu tidak lupa bersyukur menjadi bangsa terpilih untuk mendapatkan karunia
yang amat berharga ini.
c. Bangsa kita berasal dari peradaban yang tinggi. Kita memiliki banyak sekali
warisan benda cagar budaya, termasuk candi dan situs bersejarah lainnya.
Candi dan situs yang tersebar di seluruh nusantara ini adalah bukti bahwa
sejak dulu, bangsa ini telah memiliki peradaban yang tidak kalah dengan
bangsa-bangsa lain. Kita memiliki catatan sejarah tentang kejayaan Sriwijaya,
Majapahit, dan kerajaan-kerajaan besar lainnya yang pernah ada di
kepulauan Indonesia dan pada masanya amat dikenal seta disegani oleh
bangsa bangsa lain.
Memperhatikan hal-hal yang membanggakan diatas, sebagai Pemimpin
Nasional, sudah selayaknya melakukan upaya-upaya untuk menjaga agar dapat
terus terpelihara dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Paling tidak ada 2 (dua)
cara yang dapat kita lakukan untuk bisa menjaga kebanggaan kita sebagai
bangsa agar tetap terpelihara dan lestari, yakni dengan cara menanamkan
kebanggaan dan kecintaan melalui karya seni,seperti lagu-lagu atu flim, dan
menginstitusionalisasikan berabagai bentuk kebudayaan yang kita miliki, seperti
memasukkan pendidikan kebudayaan dalan kurikulum pendidikan.

9
Kebanggaan sebagai bangsa, dapat di padankan dengan “nasionalisme”
yang secara etimologis berasal dari kata “nasional” dan “isme”, yaitu pemahaman
kebangsaan yang mengandung makna kesadaran dan semangat cinta tanah air,
memiliki rasa kebanggan sebagai bangsa, atau memelihara kehormatan bangsa.
Nasionalisme diartikan sebagai sikap politik dan sosial dari kelompok-kelompok
suatu bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan, bahasa, dan wilayah
serta kesamaan cita-cita dan tujuan. Dengan demikian merasakan adanya
kesetiaan mendalam terhadap kelompok bangsa. Sehingga Nasionalisme juga
dapat diartikan sebagai modal sosial yang merupakan ikatan antar manusia yang
didasarkan atas ikatan kekeluargaan, kesukuan dan kebersamaan.
2. Integritas yang Kuat sebagai Pemimpin Nasional
Integritas merupakan sikap yang mencerminkan konsistensi dan keteguhan
yang tak tergoyahkan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai yang diyakini
kebenarannya, integritas juga dapat dikatakan suatu konsep yang menunjuk
konsistensi antara tindakan dengan nilai dan prinsip pada diri seseorang.
Integritas sangat berkaitan dengan etika, karena integritas diidentikkan
sebagai kejujuran dan kebenaran dari tindakan seseorang. Seorang dikatakan
“mempunyai integritas” apabila tindakannya sesuai dengan nilai, keyakinan, dan
prinsip yang dipegangnya. Ciri seorang yang berintegritas ditandai oleh satunya
kata dan perbuatan bukan seorang yang kata-katanya tidak dapat dipegang,
bukan hipocrisy (hipokrit atau munafik).
Seorang pemimpin yang mempunyai integritas akan mendapatkan
kepercayaan (trust) dari bawahan/pengikutnya. Pemimpin yang
berintegritas dipercaya karena apa yang menjadi ucapannya juga
menjadi tindakannya. Integritas berkaitan erat dengan motivasi, selanjunya
motivasi berkaitan erat dengan kemampuan/kapasitas, dan kapasitas berkitan
dengan pemahaman terhadap diri dan lingkungannya. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa tanpa integritas, motivasi menjadi berbahaya, tanpa motivasi
kemampuan/kapasitas menjadi tak berdaya; tanpa kapasitas, pemahaman
menjadi terbatas; tanpa pemahaman pengetahuan tidak ada artinya. Dengan
demikian dapat dikataklan bahwa Integritas adalah kompas yang mengarahkan
perilaku seseorang. Integritas adalah gambaran keseluruhan pribadi seseorang
(integrity is who you are).
Suatu penelitian menyatakan bahwa perbedaan antara negara berkembang
(miskin) dan negara maju (kaya) tidak tergantung pada usia negara itu. Contohnya
India dan Mesir, yang usianya lebih dari 2000 tahun, tetapi mereka tetap
terbelakang (miskin). Di sisi lain Negara seperti Singapura, Kanada, Australia dan
New Zealand, negara yang umurnya kurang dari 150 tahun dalam membangun,
saat ini mereka adalah bagian dari negara maju di dunia, dan penduduknya tidak
lagi miskin.
Ketersediaan sumber daya alam dari suatu negara juga tidak menjamin
negara itu menjadi kaya atau miskin Jepang mempunyai area yang sangat
terbatas, di mana daratannya delapan puluh persen berupa pegunungan dan tidak
cukup untuk meningkatkan pertanian dan peternakan, Tetapi Jepang menjadi
10
raksasa ekonomi nomor dua di dunia. Jepang laksana suatu negara “industri
terapung” yang besar sekali, mengimpor bahan baku dari semua negara di dunia
dan mengekspor barang jadinya. Demikian juga Swiss tidak mempunyai
perkebunan coklat tetapi sebagai segara pembuat coklat terbaik di dunia. Negara
Swiss sangat kecil, hanya sebelas persen daratannya ang bisa ditanami. Swiss
juga mengolah susu dengan kualitas terbaik. (Nestle adalah salah satu
perusahaan makanan terbesar di dunia). Bank-bank di Swiss juga saat ini menjadi
bank yang sangat disukai di dunia.
Para eksekutif dari negara maju yang berkomunikasi dengan temannya dari
negara berkembang, sependapat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
dalam hal kecerdasan. Para imigran yang dinyatakan pemalas di negara asalnya
ternyata menjadi sumber daya yang sangat produktif di negara-negara maju dan
kaya di Eropa. Ras atau warna kulit juga bukan faktor penting. Jika demikian, apa
perbedaannya, sehingga membuat perkembangan dan kesejahteraan
masyarakatnya demikian baik? Perbedaannya adalah pada sikap atau perilaku
masyarakatnya, yang telah dibentuk sepanjang tahun melalui kebudayaan dan
pendidikan. Berdasarkan analisis atas perilaku masyarakat di negara maju,
ternyata bahwa mayoritas penduduknya sehari-harinya mengikuti dan mematuhi
prinsip-prinsip dasar kehidupan yang salah satu dari prinsip dasar itu adalah
integritas diri.
Berkaitan dengan hal ini, maka integritas sebagai persyaratan pertama dalam
memilih seorang pemimpin, baru berikutnya menyusul syarat kapabilitas
intelektual dan manajerial. Semakin banyak warga negara dengan integritas yang
tinggi akan menentukan maju mundurnya suatu bangsa dan akan menentukan
masa depannya sebagai bangsa. Dikatakan demikian, karena nampalnya
masalah integritas inilah yang menunjukkan indikasi kuat bahwa, bangsa
Indonesia sampai saat ini masih berkutat dalam upaya melepaskan diri dari jerat
korupsi yang sedemikian sistemik, dan masif.
Memperhatikan pendapat di atas, maka dapat dikatakan bahwa makna
integritas bagi seseorang, adalah:
Pertama, Integritas berarti komitmen dan loyalitas. Komitmen adalah suatu
janji pada diri sendiri ataupun orang lain yang tercermin dalam tindakan-tindakan
seseorang. Seseorang yang berkomitmen adalah mereka yang dapat menepati
sebuah janji dan mempertahankan janjinya, walau pun harus berkorban. Banyak
orang gagal dalam mempertahankan komitmennya. Hal ini disebabkan bebepa
faktor pemicu mulai dari keyakinan yang goyah, gaya hidup yang tidak benar,
pengaruh lingkungan, hingga ketidakmampuan mengatasi berbagai persoalan
kehidupan. Gagal dalam komitmen menujukkan lemahnya integritas diri.
Kedua, Integritas berarti tanggung jawab. Tanggung jawab adalah tanda dari
kedewasaan pribadi. Orang yang berani mengambil tanggung jawab adalah
mereka yang bersedia mengambil risiko, memperbaiki keadaan, dan melakukan
kewajiban dengan kemampuan yang terbaik. Peluang menuju sukses terbuka bagi

11
mereka. Sementara itu, orang yang melarikan diri dari tanggung jawab merasa
seperti sedang melepaskan diri dari sebuah beban. Semakin kita lari dari tanggung
jawab, semakin kita kehilangan tujuan dan makna hidup. Kita akan semakin
merosot, merasa tidak berarti dan akhirnya menjadi pecundang (penghasut).
Ketiga, Integritas berarti dapat dipercaya, jujur dan setia. Kehidupan kita akan
menjadi dipercaya, apabila perkataan kita sejalan dengan perbuatan dan
keyakinan yang kita pandang baik atau positif. Sebuah pribahasa mengatakan
“Kemarau setahun akan dihapus oleh hujan sehari”, yang artinya segala kebaikan
yang selama ini kita pelihara, akan hilang karena satu kali saja kita berbuat
kejahatan.
Keempat, Integritas berarti konsisten. Konsisten berarti tetap pada pendirian.
Orang yang konsiten adalah orang yang tegas pada keputusan dan pendiriannya
tidak goyah. Konsisten bukan berarti sikap yang keras atau kaku. Orang yang
konsisten dalam keputusan dan tindakan adalah orang yang memilih sikap untuk
melakukan apa yang benar dengan tidak ada keraguan, karena keputusan yang
diambil berdasarkan fakta yang akurat, tujuan yang jelas, dan pertimbangan yang
bijak. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk sebuah konsistensi dimulai dari
penguasaan diri dan sikap disiplin.
Mempehatikan makna Integritas, sebagaimana dikemukakan di atas, maka
dapat dikatakan bahwa tidak banyak Pemimpin Nasional (formal) yang ada pada
lembaga pemerintah, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif, maupun lembaga-
lembaga non formal dan infomal yang menunjukkan sebagai pemimpin yang
berkarakter dan berintegritas, sehingga kurang mampu menumbuhkankan trust
di hati setiap warga negara. Pada sisi lain, jika untuk mencari pemimpin yang
berpendidikan tinggi, yang ahli atau pakar di bidangnya tentunya kita tidak akan
kesulitan menemukannya.
Pada tataran empirik nampaknya secara kasat mata dapat dilihat sangat
sedikit pemimpin yang "berintegritas" jika ada itu hanya segelintir pemimpin,
sebaliknya pemimpin-pemimpin yang banyak justru tipe sebaliknya yakni tipe
hipocricy. Jika benar demikian maka bangsa Indonesia berada dalam dalam
keadaan ancaman terjadinya krisis Kepemimpinan Nasional. Ancaman krisis ini
akan lebih dahsyat akibatnya dibandingkan dengan krisis moneter atau krisis
lainnya. Dikatakan demikian karena pemimpin yang tidak jujur, lebih
mengutamakan kepentingan pribadi, kelompok dan golongan akan cenderung
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Lembaga atau Negara yang
dipimpin oleh pemimpin yang tidak beritegritas, cepat atau lambat pasti akan akan
mengalami kemerosotan bahkan hancur sebagai akibat proses pembusukan dari
dalam unsur-unsur organisasi atau Negara itu sendiri.
Memperhatikan akan pentingnya integritas pemimpin khususnya untuk
Pemimpin Nasional pada organisasi formal, maka sangat dibutuhkan kemampuan
seorang pemimpin untuk mengukur/menilai integritas dirinya, bawahan dan calon
pemimpin sebagai penerus generasi. Pengalaman menunjukkan bahwa

12
kemampuan teknikal, kompetensi, hingga personal attribute baik pendidikan
formal maupun pengalaman menjadi dasar keputusan apakah seseorang cocok
menduduki satu jabatan dalam organisasi atau tidak, sedangkan integritas kurang
mendapat perhatian.
Dikatakan demikian, karena salah satu elemen kunci yang menentukan
keberhasilan pimpinan dan personil dalam mencapai tujuan organisasi organisasi
adalah integritas. Berbeda dengan kompetensi yang lain, integritas ini memiliki
keunikan tersendiri. Yang menjadi tantangan adalah, bagaimana organisasi
mengukur integritas yang baik pemimpin, calon pimpinan maupun personil
lainnya.
Penilaian integritas dapat dilakukan dengan cara menelusuri track record
seseorang. Hal ini dapat dilakukan dengan tiga cara, menelusuri riwayat hidup
secara komprehensif, mencari informasi dari significant person dan melakukan
depth interview. Melalui cara-cara ini kita dapat mengetahui secara mendalam
bagaimana perjalanan hidup seseorang, mengetahui latar belakang dirinya,
prinsip-prinsip hidupnya dan perilakunya. Perjalanan waktu akan membuktikan
apakah seseorang itu jujur, memiliki etika, berpegang pada prinsip, berpedoman
pada aturan dan memiliki karakter yang baik.

3. Keteladanan Pemimpin
Kekuatan keteladanan dari seorang pemimpin akan mampu menggerakkan
seluruh elemen organisasi untuk bekerja secara bersama-sama dalam mencapai
tujuan dan visi yang telah ditetapkan. Keteladanan akan “menghangatkan”
hubungan antara pemimpin dan bawahan tanpa mengurangi rasa hormat dari
para anggota kepada pemimpin. Bahkan keteladanan akan lebih meningkatkan
rasa hormat kepada pemimpin yang mampu memberikan keteladanan.
Kekuatan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah keteladanan.
Artinya seorang pemimpin harus memberikan keteladanan guna memimpin para
anggota yang dipimpinnya dalam menempuh “jalan” untuk mencapai tujuan atau
visi yang telah dibuat. Keteladanan merupakan salah satu tugas yang harus
dilakukan oleh seorang pemimpin, seperti istilah yang diungkapkan oleh Ki Hajar
Dewantara “Ing Ngarso sung tulada” yang artinya di depan kita menjadi teladan.
Keteladanan dari pemimpin adalah “motor” penggerak seluruh elemen
organisasi yang paling efektif. Karena konsep dalam sebuah keteladanan akan
lebih bermakna ketimbang seribu kata-kata. Seorang pemimpin yang mampu
memberikan keteladanan akan lebih dicintai, lebih dihormati dan akan lebih diikuti
ketimbang pemimpin-pemimpin yang hanya bisa berkata-kata dan beretorika.
Keteladanan merupakan salah satu bentuk komunikasi yang harus dijalankan
oleh seorang pemimpin kepada orang yang dipimpinnya.
Keteladanan para pemimpin pemegang kekuasaan dari pusat sampai daerah
untuk berdiri di depan membangun kepemimpinan yang bebas dari Korupsi" kata
Presiden Joko Widodo, sewaktu membuka" Fetival Anti Korupsi" sambutan

13
tertulis yang dibacakan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan
Keamanan, Luhut Pandjaitan, di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) Bandung,
pada hari Kamis tagl 10 Desember 2015
Keteladanan adalah perilaku yang terpuji dan disenangi karena sesuai
dengan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Menjalankan keteladanan merupakan
cara yang bisa dilakukan para pemimpin dalam memotivasi orang yang
dipimpinnya bekerja dengan berlandaskan visi. Keteladanan Pemimpin
adalah"role modeling" (berperan sebagai teladan). Pemimpin yang menjalankan
peran keteladanan menjadi simbol yang nyata atas apa yang mereka harapkan
untuk diraih pengikutnya. Para pemimpin memberi teladan melalui kejelasan
semangat dan keyakinan melalui tindakan sehari-hari, menunjukkan visi
pemimpin untuk diwujudkan.
Perilaku keteladanan para pimpinan adalah dengan menunjukkan kepada
para bawahan mengenai apa yang harus mereka lakukan, memberikan contoh-
contoh dan terlibat dalam perilaku simbolik yang memberitahu para anggotanya
tentang apa yang diharapkan dari mereka, dan memberitahu perilaku yang layak
untuk dilakukan. Keteladanan ini dapat ditampilan dalam disiplin waktu,
kepatuhan terhadap aturan, prosedur, tugas dan tanggung jawabnya.
Keteladanan merupakan perilaku yang membawa kepada kredibilitas
seorang pemimpin. Hal yang diharapkan oleh bawahan kepada pemimpinnya
adalah kejujuran, kompetensi dan kredibilitas. Sebagai teladan, kejujuran,
konsisten, komitmen dan kredibel, itulah pemimpin yang dipercaya, yakni sesuai
antara kata dengan perbuatannya.

C. IMPLEMENTASI PERAN PEMIMPIN NASIONAL DALAM


MEMBANGUN MODAL SOSIAL
Kredibilitas bisa dipahami sebagai suatu kepercayaan atau keyakinan yang
muncul terhadap seorang pemimpin dari orang yang dipimpin. Kredibilitas
bukanlah karekteristik yang melekat pada diri seseorang (inherent), tetapi
sesuatu yang diberikan orang lain kepada seorang pemimpin. Suatu hal yang
dapat menimbulkan kredibilitas adalah komitmen pemimpin untuk mewujudkan
visi yang telah ditetapkan.
Pemimpin masa depan disyaratkan memiliki kredibilitas dan kapabilitas
sehingga dapat diterima (akseptabilitas) dan mampu mengantarkan organisasi
pada perubahan, peningkatan mutu dan akuntabel. Kredibilitas seorang
pemimpin adalah kepercayaan yang komprehensif diberikan oleh orang yang
dipimpinnya. Pemimpin yang tidak kredibel cenderung kurang dipatuhi, tidak
dihargai atau tidak dihormati oleh orang yang dpimpimpinnya.
Pemimpin yang kredibel dalam tindakannya ialah melakukan apa yang
mereka katakan ingin dilakukan, melaksanakan apa yang dipidatokan.
Tindakannya sesuai dengan kata katanya. Oleh karena itu, melakukan yang

14
benar adalah hal yang sulit dari sekedar mengatakan yang benar, karena itu
melakukan yang benar merupakan hal yang dituntut dari seorang pemimpin yang
beretika, tidak kolusi, tidak korupsi, tidak pula nepotisme dalam menjalankan
kepemimpinannya.
Sesuai dengan pendapat di atas dapat dikatakan bahwa keteladanan
adalah perilaku pemimpin yang mencontohkan hal-hal yang baik dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, maupun kredibilitas dan integritas
pribadinya sebagai pemimpin yang berusaha mewujudkan visi, tujuan dan
sasaran organisasi yang dipimpin.
Figur Pemimpin Nasional baik di pusat maupun di daerah yang memiliki
karakter seperti tersebut di atas sudah jarang ditemukan. Akan tetapi, meskipun
sudah sulit ditemukan, tidak tertutup kemungkinan pada saatnya akan muncul
figur dengan ciri-ciri tersebut, atau paling tidak, mendekati ciri-ciri tersebut.
Kepemimpinan model ini telah diterapkan oleh pemimpin bangsa Indonesia sejak
masa pergerakan nasional, kemerdekaan, dan era tahun 1950-an hingga tahun
1960-an yang dapat mengahantarkan bangsa Indonesia ke alam kemerdekaan
dan sekaligus mempertahankan kemerdekaan. Hal yang paling menonjol adalah
nilai moral “ Nasionalisme” tinggi yang diaplikasikan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Berkaitan dengan keberadaan Pemimpin Nasional, sebagai Negara
demokrasi, kita sepakati model pemilihan Pemimpin Nasional setiap 5 (lima)
tahun. Untuk mempersiapkan Pemilihan Umum (Pemilu) semua komponen
bangsa khususnya Pemerintah sibuk mempersiapkan "Pesta Demokrasi" yang
penuh tantangan sejalan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat,
semua asik membicarakan proses kegiatan yang akan berlangsung dalam
melaksanakan pesta demokrasi, seperti tentang penetapan calon, survei politik,
uang mahar, biaya politik, kampanye dan sebagainya.
Sebagai Pemimpin Nasional harus bijak dan mampu melihat tidak hanya
"proses" saat ini tapi juga bagaimana kedepan sebagai "output" demokrasi dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini penting, karena kita
berdemokrasi sudah berjalan 20 tahun sejak reformasi, yang perlu dikritisi, antara
lain, apakah yang dihasilkan oleh demokrasi kita sudah sesuai dengan tujuan
berdemokrasi, yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat (mengurangi
kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan sosial), dan juga meningkatnya
kualitas kepemimpinan bangsa.
Hal ini diperlukan, karena fungsi utama yang diemban oleh Pemimpin
Nasional, dalam melaksanakan perannya harus dapat membaca situasi,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Bapak Pendidikan Ki Hadjar Dewantoro,
yakni : Ing Ngarso Sun Tolodo, In Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri
Handayani, sebagai gabungan antara Demokrasi dan Kepemimpinan (Naga
2006) yang diidentifikasi sebagai pemimpin yang memahami situasi (bandingkan
dengan Kepempimpinan Situasional), dengan 4 (empat) dimensi kepemimpinan

15
transformasional yang dipadukan dengan kepemimpinan yang memahami
situasi, maka upaya membangun modal sosial dengan penguatan peran
Pemimpin Nasional dapat melangsung, apabila:
a. Berada di depan menjadi contoh/teladan
Pemimpin Nasional yang berkarakter bangsanya, mempunyai kapasitas
sebagai Pemimpin Nasional yang mampu mendifinisikan masalah (apa penyebab
dan faktor yg berpengaruh), memecahkan masalah (tidak sama untuk semua
masalah dan tidak ada penyeragaman dalam pemecahan masalah) serta
berkemampuan mengambil keputusan dengan sikap dan perilaku yang
menekankan bahwa menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan
keteladanan bagi yang dipimpinnya, dalam hal ini jelas mengindikasikan bahwa
jika seorang pemimpin belum dapat memberikan keteladanan, maka belum
pantas menjadi pemimpin.
Dengan menggunakan konsep Kepemimpinan Transformatif dimensi
pertama, pengaruh ideal yang berkarisma dan dimensi kedua, memotivasi dan
menginspirasi. Dalam posisi di depan, maka seorang pemimpin harus menjadi
teladan dalam organisasi. Untuk dapat berperan sebagai contoh, maka perilaku
seorang pemimpin harus menjadi tauladan bagi para pengikutnya, tutur katanya
harus sesuai dengan perbuatannya. Pemimpin seperti ini biasanya akan dikagumi,
dihormati dan dipercayai oleh para bawahannya, serta pemimpin harus mampu
mengartikulasikan pengharapan (expectation) yang jelas akan kinerja bawahan.
Mengembangkan sikap yang saling menghormati yang akan membawa
masyarakat kearah kehidupan yang harmonis dan damai. Dikatakan demikian,
karena Kebhinnetunggalkaan bagi bangsa Indonesia tidak hanya merupakan ciri
khas yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lainnya
didunia, tetapi sekaligus merupakan modal sosial sebagai bangsa Indonesia
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dapat diamati dari:
1) Adanya rasa hormat (respect) yang mendalam dari setiap orang yang
dipimpin. Hal ini dibutuhkan agar mereka dapat termotivasi dan memiliki
antusiasme dalam mewujudkan visi dan tujuan organisasi. Seorang
pemimpin harus menyadari sepenuhnya, bahwa, respect tidak timbul
begitu saja, melainkan dari sebuah proses yang dibangun melalui dasar
kepercayaan (trust) yang mendalam dan kepercayaan berasal dari
integritas yang dibangun secara terus-menerus. Integritas merupakan
karakter utama yang perlu dimiliki seorang pemimpin. Beberapa
kebiasaan yang dapat membangun integritas seorang pemimpin, seperti:
selalu menepati janji, senantiasa menunjukkan konsistensi dalam sikap,
perkataan, dan perbuatan, senantiasa memegang komitmen (hal-hal
yang telah disepakati bersama) dan tanggung jawab, satu kata dan
perbuatan, kejujuran dan keterbukaan, menepati dan menghargai waktu
dan menjaga prinsip-prinsip yang diyakini.
2) Keteladanan merupakan hal utama dalam kepemimpinan.
Sesungguhnya, apa yang dilakukan generasi muda adalah cermin
16
keteladanan dari generasi tua. Jadi, jika terjadi banyak penyimpangan
dalam sikap dan perilaku remaja (termasuk tawuran, narkoba, pergaulan
bebas, tidak disiplin, dan sebagainya), penyimpangan tersebut tidak
terjadi begitu saja, melainkan merupakan proses peniruan terhadap sikap
dan perilaku para pemimpinnya. Oleh karena itu sikap dan perilaku saling
menghormati atas perbedaan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat,
berbngsa dan bernegara harus ditujukkan oleh seorang pemimpin, agar
dapat diteladani oleh pengikutnya.

b. Berada di tengah membangkitkan semangat


Seorang pemimpin jika berada ditengah orang yang dipimpin, harus dapat
membangkitkan semangat orang-orang yang dipimpinnya. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa menginspirasi, memotivasi, dan menumbuhkan antusiasme
kepada diri sendiri atau orang-orang yang dipimpinnya, adalah untuk
mengoptimalkan kemampuannya. Menjaga keharmonisan hubungan antar anak
bangsa yang plural seperti bangsa Indonesia, harus dilakukan secara terus
menerus. Untuk itu pemimpin harus dapat bersikap sebagai pelatih untuk
melakukan pemberdayaan orang yang dipimpin, sehingga dapat mengenali
potensi yang ada pada diiri dan masyarakatnya. Dimensi ketiga, dari
Kepemimpinan Taransformatif "stimulasi intelektual". Hal ini mengandung makna
bahwa seorang pemimpin harus mampu berperan untuk menumbuh
kembangkan ide-ide yang kreatif sehingga dapat melahirkan inovasi, maupun
sebagai pemecah masalah (problem solver) yang kreatif sehingga dapat
melahirkan solusi terhadap berbagai permasalahan yang muncul dalam
organisasi. Hal yang perlu dilakukan oleh seorang Pemimpin, adalah: harus
melakukan upaya untuk tetap menjaga keharmonisan masyarakat yang
dipimpinya. Oleh karena itu, pemimpin berperan sebagai pelatih bagi setiap orang
yang berada dalam organisasinya, agar menjadi yang terbaik dan memberikan
kinerja tinggi bagi organisasinya.
Peran seorang pemimpin dapat dilihat dari dua dimensi, yaktu:
1). Dimensi yang berhubungan dengan tingkat kemampuan mengarahkan
tindakan atau aktivitas pemimpin, yang terlihat pada tanggapan orang-orang
yang dipimpinnya
2). Dimensi yang berkaitan dengan tingkat dukungan atau keterlibatan orang-
orang yang dipimpin dalam melaksanakan apa yang diarahkan pemimpin.
Berkaitan dengan pelaksanaan kedua dimensi di atas, maka secara
operasionalnya, seorang pemimpin melakukan dalam 5 peran sebagai upaya
untuk mencapai tujuan organisasinya, yakni:
a) Peran Instruktif. Pemimpin berperan sebagai pemberi instruksi yang
menentukan apa (isi perintah) bagaimana (cara menengerjakan) bilamana
(waktu memulai, melaksanakan dan melaporkan hasilnya). Dan dimana
(tempat pelaksanaannnya) agar keharmonisan hungan antar warga dalam
kehupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara terwujud.
17
b) Peran Konsultatif. Untuk melaksanakan peran konsultatif/diskusi, seorang
pemimpin dapat melaksanakan komukasi dua arah. Dalam hal ini diperlukan
apabila pemimpin berperan dalam menetapkan keputusan yang memerlukan
bahan pertimbangan dan kosultasi dengan orang-orang yang dipimpinnya.
c). Peran partisipasi. Berkaitan dengan peran ini, pemimpin berusaha untuk
mengaktifkan orang-orang yang dipimpin baik dalam pengambilan keputusan
maupun dalam melaksanakannya. Setiap bawahan/pengikut memperoleh
kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam melaksanakan kegiatan
untuk dijabarkan dari tugas pokok yang sesuai dengan posisi masing-masing
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
d). Peran delegasi. Pemimpin memberikan delegasi/pelimpahan wewenang
untuk membuat atau menetapkan keputusan. Fungsi delegasi merupakan
kepercayaan seorang pemimpin kepada bawannya untuk melaksanakan
sebagian kewenagannya, hal ini dilakukan oleh pemimpin, karena kemajuan
dan perkembangan organisasi.
e). Peran pengendali. berasumsi bahwa kepemimpinan yang efektif harus
mampu mengatur secara aktif anggotanya secara terarah dalam koordinasi,
sehingga memungkinkan tercapainya tujuan bersama secara maksimal.
Dalam pelaksanakan peran sebagai pengendali, yang diwujudkan melalui
kegiatan bimbingan, pengarahan, koordinasi dan pengawasan.

Oleh karena ini dapat dikatakan bahwa tugas utama seorang pemimpin
adalah memastikan bahwa semua orang/bawahannya senantiasa berupaya untuk
menjadi lebih baik dan senantiasa belajar, berubah, dan berkembang. Ukuran
yang dipakai oleh seorang pemimpin adalah apakah orang-orang yang dipimpin
menjadi lebih baik dan lebih baik setiap waktu.

c. Berada di belakang mendorong semangat kerja


Pemimpin harus dapat mendorong moral dan semangat kerja orang yang
dipimpinnya, sehingga menjadi pribadi yang mandiri dan tidak tergantung kepada
orang lain dan diharapkan munculnya generasi baru yang berani memimpin dan
lebih baik.
Pada posisi dibelakang, seorang pemimpin harus dapat memotivasi orang
yang dipimpin, sehingga ada dorongan yang timbul pada diri seseorang secara
sadar atau tidak sadar, untuk melakukan suatu tindakan sesuai dengan tujuan
yang dinginkan oleh organisasinya. Secara psikologis, upaya yang dilakukan oleh
pemimpin dapat menyebabkan seseorang atau sekelompok orang tergerak
melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya, atau
mendapat kepuasan dengan perbuatannya.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa posisi "tut wuri handayani" bagi
seorang pemimpin, adalah upaya untuk melakukan perubahan energi pada diri
seseorang (yang dipimpin), ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk
mencapai tujuan organisasi. Dimensi yang keempat Kepemimpinan Transformatif
18
"konsiderasi individu", artinya, seorang pemimpin harus memiliki kemampuan
berhubungan dengan bawahan (human skill), mau mendengarkan,
memperhatikan aspirasi dari bawah terutama kaitannya tuntutan dan harapan
bawahan
Keempat dimensi kepemimpinan yang diimplementasikan dalam 3 (tiga)
situasi oleh Pemimpin Nasional, dapat menjadi suatu kekuatan atau energi untuk
menggerakkan, memelihara keseimbangan dan mempertahankan eksistensi
organisasi sekalipun organisasi dihadapkan kepada situasi transisi, krisis, bahkan
kemunduran. Jika ketiga situasi dapat dilakukan secara tepat dan konsisten dan
disepakati sebagai suatu nilai-nilai yang dipercaya dapat membawa kearah yang
lebih baik, maka akan terbentuk apa yang dinamakan budaya organisasi
(corporate culture).
Dengan mengembangkan diri sebagai pembelajar seumur hidup seorang
pemimpin mampu mengatasi dan menanggulangi setiap masalah di tengah situasi
yang serba kompleks, tidak jelas, bahkan penuh dengan situasi yang distortif.
Realitas seperti ini pula yang akhirnya mendorong Pemimpin Nasional untuk
bermimpi dan menterjemahkan mimpinya itu sehingga orang lain memahaminya
dengan baik.
Pemimpin Nasional yang menggunakan pendekatan situasional (di depan,
di tengah dan di belakang) dengan menerapkan model Kepemimpinan
Transformasional akan mampu membangkitkan motivasi kerja dan kepuasan
kerja bawahannya, dimana motivasi kerja maupun kepuasan kerja karyawan
sangat penting artinya bagi organisasi yang dipimpin, di samping itu juga diyakini
mampu membangun dan memelihara modal sosial yang dimiliki dan dipergunakan
dan dikembangkan dalam kehidupan nasional.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Kepemimpinan sebagai proses,
adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk
melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan oraganisasi. Dengan kemampuan
manajerial yang baik serta memiliki jiwa kepemimpinan, seorang pemimpin akan
mampu memberikan angin perubahan mendobrak, membenahi dan membawa
sesuatu yang dipimpinya menuju ke hal yang lebih baik, memastikan sesuatu yang
sebelumnya dirasa hampir mustahil untuk dilaksanakan menjadi sesuatu yang
sangat masuk akal dan dapat direalisasikan.
Model kepemimpinan yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan
merupakan model Kepemimpinan yang memadukan antara Kepemimpinan
menurut Ki Hajar Dewantoro dengan model kepemimpinan Transformasional,
yakni sebagai kemampuan pemimpin mengubah lingkungan kerja, motivasi kerja,
dan pola kerja, dan nilai-nilai kerja yang dipersepsikan bawahan sehingga mereka
lebih mampu mengoptimalkan kinerja untuk mencapai tujuan organisasi.
Pemimpin transformasional menerapkan lebih dari sekedar pertukaran
(transaksional), karena selalu berusaha meningkatkan, dan memberi inspirasi

19
pada bawahan/yang dipimpin untuk lebih mementingkan kepentingan organisasi/
kelompok di atas kepentingan lainnya.

IV. PENUTUP

A. SIMPULAN
Peran Pemimpin Nasional dalam membangun Modal Sosial sat ini dan
kedepan sangat dibutuhkan guna mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa
dalam wadah NKRI.
1. Pemimpin Nasional harus berkarakter bangsanya, yakni barbasis
Kebhinnekatunggalikaan (konsensus Dasar Bangsa)
2. Pemimpin Nasional yang mempunyai kebanggan sebagai Bangsa Indonesia,
berintegritas kuat dan bekemampuan menjadi panutan/teladan
3. Memahami secara tepat unsur-unsur modal sosial yang ada pada
masyarakatnya, sehingga dapat mengimplementasikan perannya dengan
mengkolaborasi model kepemimpinan antara Kepemimpinan Ki hajar
Dewantoro dengan Kepemimpinan Transformasional sebagai agen perubahan

B. Saran
Memperhatikan kenyataan yang ada pada masyarakat yang berkaitan
dengan realitas dan dinamika modal sosial yang ada dalam kehidupan nasional,
maka fungsi utama dari seorang Pemimpin Nasional adalah menjaga agar tidak
terjadi kerusakan sendi-sendi keharmonisan dalam kehidupan nasional,
dibutuhkan kecerdasan yang bijaksana untuk membedakan antara gejala,
penyebab dan akar penyebab dari suatu masalah sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Ben, 2001, Western Nasionalism and Eastern Nasionalism, New Leaft
Review

Calne. Donald B. 2005 (cetakan ketiga). Batas Nalar: Rasionalitas dan Perilaku
Manusia (terjemahan Parakitri T. Simbolon). Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.

Bennet, Christine, 1990, Comprehensive Multicultural Education: Theory and Parctice,


Edisi kedua, Allyn and Bacon- London-Sydney-Toronto.

20
Budi Hardiman, Fransisco, 1990, Kritik dan Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan
Kepentingan, Kanisius, Yogyakarta

Djiwandono, Soedjati, 202, Krisis Kepemimpinan, Jakarta , AIPI

Effendi, Bachtiar. 2002. “Menyoal Pluralisme di Indonesia” dalam Living Together in


Plural Societies; Pengalaman Indonesia Inggris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Field, John. 2010. Social Capital. Edisi Indonesia. Nurhadi (Penerjemah). Inyiak
Ridwan Munir (Ed.). Bantul: Kreasi Wacana Offset.

Fukuyama, Francis.1995. Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran.


Yogyakarta: Penerbit Qalam.

Fukuyama, Francis.1999. The End of History and The Last Man: Kemenangan
Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Yogyakarta: Penerbit Qalam

Fransisco, Budi Hardiman. 1990. Kritik dan Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan
Kepentingan, Kanisius: Yogyakarta.

Hasbullah, Jousairi.2006. Sosial Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia


Indonesia). Jakarta: MR United Press.

Kinicki, Angelo dan Kreitner, Robert .2003. Organizational Behavior, Key Concepts,
Skills and Best Practices. New York: McGraw-Hill/Irwin

Konvensi Nasional IKAL II, 3 Januari 2004, ”Sosok Pemimpin Nasional 2004 -2009”,
Yogyakarta.

Lemhannas RI. 2003. Srategi Kepemimpinan Nasional di Era Keterbukaan. Jakarta:


Lemhannas RI.

__________,2009, Indek Kepemimpinan Nasional Indonesia (Konsep dan


Implementasi), Jakarta :Lemhannas R.I

_________. 2017. Buku Induk Nilai-Nilai Kebangsaan Indonesia Yang Bersumber Dari
Empat Konsesus Dasar Bangsa. Jakarta: Lemhannas RI.

Mukaram, Marwansyah. 1999. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Pusat


Penerbit Administrasi Niaga Politeknik Negeri, Bandung.

Muladi, Kazan Gunawan. 2007. Transformasi Geopolitik, Pusat Pengkaji Strategi


Nasional. Jakarta.

21
Mulyono. 2009, Educational Leadership (Mewujudkan Efektivitas Kepemimpinan
Pendidikan). Malang: UIN Malang Press,

Naga, Dali S. 2006. Kepemimpinan dan Demokrasi. Warta Untar, Vol. 2 No. 6

Pokja Kepemimpinan Lemhannas. 2018. Kepemimpinan Nasional. Jakarta:


Lemhannas,

Rasyid, Riyaas. 2000. Makna Pemerintahan, Tinjauan dari Segi Etika dan
Kepemimpinan. Jakarta.

Robbins, Stephen P. 2002. The Truth about Managing People. New York: Prentice-
Hall

Setiardja, Gunawan. 1995. Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila.


Kanisius: Yogyakarta

Sidharta, Harry dan Syah Muliarnis. 2006. Transcendential Quotient (IQ), Jakarta:
Sutrisno, Lukman, 1995, Menuju Masyarakat Partisipatif, Kanisius, Yogyakarta.

Sudarwan Danim. 2010 Kepemimpinan Pendidikan (Kepemimpinan Jenius (IQ+EQ),


Etika, Perilaku Motivational dan Mitos),Bandung: Alfabeta

S. Ruky, Achmad. 2003. SDM Berkualitas Mengubah Visi Menjadi Realitas. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.

LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL


REPUBLIK INDONESIA

22
PERAN PEMIMPIN NASIONAL DALAM MEMBANGUN
MODAL SOSIAL GUNA MENJAGA PERSATUAN DAN KESATUAN
BANGSA DALAM WADAH NKRI

Oleh

DR. H. DARMAKUSUMA, M.Si

Tenaga Ahi Pengajar Bidang Kepemimpinan


Lemhannas RI
2020

DAFTAR ISI

I. Pendahuluan …………….......………….…….........…....... 1

II. Permasalahan ………......…………....…….....…….......... 2

III. Pembahasan …………………………………......…........... 2

23
A. Pentingnya Modal Sosial Dalam Kehidupan
Nasional.................................................................... 3

B. Peran Pemimpin Nasional Dalam Membangun


Modal Sosial ............................................................... 7

C. Implementasi Peran Pemimpin Nasional Dalam


Membangun Modal Sosial .............................................14

IV. Penutup.............................................................................. 20

Simpulan ……………………...........………...................... 20

Saran ................................................................................ 20

DAFTAR PUSTAKA ………………..................…..................... 21

24

Anda mungkin juga menyukai