Anda di halaman 1dari 23

Penerapan Rekayasa Lingkungan di PT.

Unilever Indonesia yang Berkelanjutan

Oleh Murni 196000100111018


Mata Kuliah Rekayasa Lingkungan, Dosen Prof. Amin Setyo Leksono, S.Si., M.Si.,Ph.D

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan industri di Indonesia saat ini semakin meningkat. Pemerintah terus


mendukung pembangunan kawasan industri untuk dapat meningkatan ekonomi dan
penyerapan tenaga kerja di daerah tersebut. Kawasan Industri adalah kawasan tempat
pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang
dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri (Himpunan Peraturan
Perundang-undangan Republik Indonesia, 2014, p. 3). Kawasan Industri dalam definisi
tersebut merupakan tempat berlangsungnya kegiatan industri yang dikembangkan dan
dikelola oleh perusahaan kawasan industri yang telah memiliki izin usaha kawasan industri.
Tujuan pembangunan kawasan industri secara tegas dapat disimak di dalam Keppers
Nomor 41 Tahun 1996 tentang kawasan industri pada pasal 2 yang menyatakan
pembangunan kawasn industri bertujuan untuk, (a) Mempercepat pertumbuhan industri di
daerah, (b) Memberikan kemudahan bagi kegiatan industri, (c) Mendorong kegiatan
industri untuk berlokasi di kawasan industri dan (d) Meningkatkan upaya pembangunan
industri yang berwawasan lingkungan.

Sektor industri memiliki peran strategis dan penting untuk mewujudkan tujuan
pembangunan, selain itu sektor industri saat ini memiliki tantangan berupa benturan
aktivitas industri dengan dampak yang berkaitan dengan isu-isu lingkungan dan kaitannya
dengan proses pembangunan berkelanjutan. Seperti contoh terjadinya konflik antara
masyarakat sekitar dengan industri tersebut yang berkaitan dengan kesenjangan
kesejahteraan serta potensi pemcemaran lingkungan baik cair, gas/udara, padatan akibat
aktifitas industri. Untuk mengurangi dampak industri tersebut, dibutuhkan komitmen semua
pihak yang terlibat dengan kegiatan industri untuk menjaga kelestarian lingkungan (Dr. Ir.
Fatah Sulaiman, 2016)

Salah satu dampak dari aktivitas industri tersebut adalah limbah yang dihasilkan
oleh perusahaan. Limbah tersebut tidak hanya dihasilkan dari aktivitas produksi
perusahaan, tetapi juga dapat dihasilkan dari aktivitas supply chain, dimana supply chain
tersebut mencakup proses dari hulu ke hilir yaitu proses untuk mendapatkan bahan mentah
hingga pendistribusiannya ke konsumen. Supply Chain Management (SCM) yang
berorientasi terhadap lingkungan disebut Green Supply Chain Management (GSCM).
Limbah dan emisi yang dihasilkan dari aktivitas supply chain merupakan sumber utama
masalah pencemaran lingkungan diantaranya pemanasan global dan hujan asam (Jacqueline
M.Bloemhof-Ruwaard, 1995).

Strategi yang dapat dilakukan dalam pengelolaan industri adalah dengan penerapan
Eco Industrial Park (EIP) yaitu pengembangan kawasan industri hijau (green industrial
park) dengan membangun sistem penanganan limbah secara terpadu dengan menggunakan
teknologi (Dr. Ir. Fatah Sulaiman, 2016). Penggunaan teknologi diharapkkan dapat
menangani, mengolah dan memanfaatkan limbah yang dihasilkan industri agar tidak
merusak lingkungan. Selain itu dalam pengelolaan industri juga harus memperhatikan
teknik pengelolaan yang sinergi dengan limbah yang dihasilkan.

Para pelaku usaha harus proaktif melakukan pengelolaan limbah tidak hanya setelah
limbah terbentuk, tetapi sejak awal pengelolaannya diupayakan sedemikian rupa mulai dari
bahan baku sampai akhir pemakaian produk agar limbah yang dihasilkan seminimal
mungkin. Perencanaan untuk pengelolaan limbah industri tentu sudah menjadi kewajiban
dan menjadi syarat untuk mendapatkan perizinan pembangunan industri, hal ini di atur
dalam Peraturan Pemerintah Tahun 2009 tentang Kawasan Industri. Untuk itu, perusahaan
mencoba melakukan beberapa teknik pengelolaan untuk menangani limbah yang dihasilkan
dari setiap kegiatan industri mulai dari pra produksi sampai pasca produk atau yang disebut
sebagai Rekayasa Lingkungan.
Menurut Sumarno, rekayasa lingkungan adalah upaya sadar manusia untuk
merekayasa hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan dengan tujuan untuk
mencapai kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan disamping membuat perangkat
undang-undang mengenai lingkungan hidup. Aktifitas yang dilakukan dibagi menjadi 3
kelompok yaitu usaha rekayasa pencemaran atmosfir (udara), usaha rekayasa pencemaran
hidrosfir (air) dan usaha rekayasa pencemaran litosfir (tanah). Pada pembahasan ini penulis
ingin menggambarkan bagaimana penanganan dan pengelolaan limbah yang terdapat di
area industri PT. Unilever Indonesia dengan aktivitas rekayasa lingkungan (Sumarno,
1997).

1.2 Ruang Lingkup


Pada pembahasan ini terfokus pada:
1. Sistem pengelolaan limbah yang ada di PT. Unilever Indonesia
2. Pengelolaan limbah yang ada di PT. Unilever Indonesia dengan menggunakan
teknologi dan non teknologi

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Profil Perusahaan

Unilever Indonesia merupakan perusahaan mutinasional yang berpusat di Belanda


yang telah memproduksi makanan, minuman, pembersih, dan perawatan tubuh yang hampir
digunakan masyarakat dunia. Sejak tahun 1933 Unilever Indonesia terus tumbuh secara
positif didorong oleh berbagai upaya transformasi berkesinambungan, baik melalui inovasi
yang diluncurkan, maupun melalui upaya digitalisasi dalam beberapa aspek operasional
bisnis yang kami miliki. Unilever Indonesia juga terus meningkatkan kapabilitas secara
berkelanjutan.
Menurut Unilever keberlanjutan merupakan inti usaha adanya industri. Upaya
transformasi yang dilakukan selalu dilandasi oleh nilai-nilai keberlanjutan. Melalui
Unilever Sustainable Living Plan (USLP) Unilever tidak berhenti memberikan kontribusi
untuk meningkatkan kualitas hidup jutaan orang di Indonesia. Semua ini sejalan dengan
tujuan USLP yaitu meningkatkan kesehatan, mengurangi jejak lingkungan, dan
meningkatkan penghidupan manusia. Selain itu pertumbuhan yang berkelanjutan adalah
satu-satunya model yang dapat diterima oleh dunia (PT Unilever Indonesia, 2018).

Pencapaian keberlanjutan diukur terhadap tiga pilar utama USLP. Inisiatif untuk
terus meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan, mengurangi jejak lingkungan dan
meningkatkan mata pencaharian berada pada jalur yang benar dan berjalan dengan sukses.
Sebagian besar kegiatan telah ditingkatkan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada
tahun 2018, Unilever Indonesia mencatat pertumbuhan laba 30,1% dibandingkan tahun
sebelumnya (PT Unilever Indonesia, 2018). Pertumbuhan ini juga disebabkan oleh
lingkungan ekonomi, sosial dan politik di Indonesia. Untuk itu, penggunaan teknologi
merupakan hal yang penting dalam penanganan dan pengelolaan untuk mengurangi jejak
lingkungan yang dihasilkan oleh Unilever.

2.2 Sistem pengelolaan limbah PT. Unilever Indonesia

Dampak dari kegiatan industri pada dasarnya adalah limbah yang dihasilkan dari
setiap proses yang berjalan sampai hasil atau produk dari Unilever. efisiensi dalam
produksi dampak lingkungan Unilever terbagi atas dampak yang berasal dari luar dan dari
dalam. Dampak dari luar seperti penggunaan sumberdaya dan energi, sedangkan dampak
dari dalam seperti limbah cair dan sampah. Oleh karena itu, Unilever menerapkan Sistem
Pengelolaan Lingkungan atau Environmen Management System (EMS) berdasarkan ISO
14001.

Elemen penting dari EMS Unilever adalah menetapkan dan meninjau sasaran
berdasarkan indikator kinerja utama. Setiap tahun Unilever mengumpulkan data dari
pabrik-pabrik berupa pengukuran kinerja lingkungan yang penting berupa Laporan
Keberlanjutan PT Unilever Indonesia Tbk. Pada pembahasan ini, penulis akan membahas
hasil dari laporan keberlanjutan Unilever di tahun 2018 dengan judul laporan
“Transformasi untuk masa depan berkelanjutan. Laporan ini merupakan laporan yang
menunjukan adanya keseriusan Unilever dalam memperbaiki sistem pengelolaan limbah
dan evaluasi produk yang menganut atau mencoba menerapkan industri yang medukung
Susitainable Development Goal’s atau tujuan pembangunan berkelanjutan (PT Unilever
Indonesia, 2018).

Uniever memiliki tiga sasaran besar dalam menjalankan industrinya, yaitu:

1. Meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan untuk lebih dari 1 Miliar orang


Pada tahun 2020, Unilever akan membantu lebih dari satu miliar orang diseluruh
dunia untuk mengambil tindakan guna meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat yaitu dengan tindakan keseharan dan kebersihan dan kegiatan
meningkatkan nutrisi.
2. Mengurangi dampak terhadap lingkungan hingga separuhnya
Pada tahun 2030, Unilever menargetkan untuk mengurangi jejak lingkungan yang
dihasilkan dari pembuatan dan penggunaan produk kami hingga separuhnya dengan
tetap mengembangkan bisnis. Fokus target ini mengenai Gas rumah kaca,
penggunaan air, limbah dan kemasan dan pembelia bahan baku yang berkelanjutan.
3. Meningkatkan penghidupan untuk jutaan orang
Pada tahun 2020, Unilever akan terus mencoba untuk meningkatkn penghidupan
jutaan orang diseluruh dunia sejalan dengan pertumbuhan bisnisnya. Dengan
mempertimbangkan keadilan di tempat kerja, peluang bagi perempuan dan bisnis
inklusif.

Tiga sasaran besar tersebut adalah sebagai bentuk tindakan yang berdasarkan pada
tujuan pembangunan berkelanjutan yang diusung oleh Perserikatan Bangsa Bangsa atau
United Nation.

Proses yang dilakukan Unilever dari produksi sampai pascaproduksi dapat


digambarkan pada gambar dibawah ini:
Gambar 2.1 A Summary of the Packaging Life Cycle

Pada gambar diatas digambarkan proses dari produksi sampai penggunaan kepada
konsumen. Selanjutnya untuk proses yang dilakukan setelah penggunaan sudah
digambarkan jelas bahwa hasil dari penggunaan tersebut akan dilakukan proses pengelolaan
seperti landfill, reuse or return, recycle dan compost (untuk bahan yang biodegradable
seerti plastik dan kertas). Dalam ekstraksi bahan baku akan dilakukan composting, dalam
proses packaging akan di lakukan recycle dengan menjadikan produk yang gagal untuk
diolah kembali, selanjutnya dalam proses yang dilakukan retail akan dilakukan reuse atau
return jika terdapat produk yang sudah expired dan setelah pembuangan akan dilakukan
penyelesaian dengan metode landfil (pemusnahan) (PT Unilever Indonesia, 2018).

Upaya Unilever dalam mengurangi limbah sudah dimulai serius dilakukan pada
tahun 2003 misal dalam hal penggunaan energi dan air, Unilever menyatakan bahwa sejak
2003, pabrik Unilever telah menerapkan berbagai program untuk mengurangi konsumsi
energi. Program ini telah mengurangi jumlah penggunaan energi pabrik sebanyak 37%
dibandingkan 2005. Sejak 2005, pabrik Rungkut telah berhasil mengurangi kebutuhan air
dan mengurangi pembuangan air limbah dari proses produksinya melalui pemasangan unit
pengolah air limbah reverse osmosis. Teknologi ini menyediakan pengolahan air limbah
canggih yang memungkinkan pemanfaatan air buangan hasil daur ulang untuk boiler dan
menara pendingin. Sementara itu, limbah domestik dari toilet dan aktivitas pencucian masih
dikirimkan langsung ke saluran limbah milik kawasan industri (Ninita, 2016).
Selanjutnya untuk penanganan Limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3) yang telah
dilakukan yaitu bahwa limbah B3 ini disimpan dalam ruang penyimpan khusus, sebelum
dibuang ke PT. Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLI), sebuah perusahaan
pembuangan limbah B3 yang memenuhi standar lingkungan Indonesia dan internasional.
Limbah padat dari kegiatan pencucian reaktor dipandang sebagai limbah B3 dan karena itu
dikirim ke PPLI untuk pengolahan yang baik dan benar. Sedangkan untuk limbah yang
tidak berbahaya Unilever bekerja sama dengan Asosiasi Industri Daur Ulang Plastik
Indonesia (AIDUPI), kami memanfaatkan kemasan yang tidak terpakai atau bahan plastik
lainnya untuk membuat produk plastik seperti ember atau keset. Limbah lain seperti drum
kosong dan palet juga dikirimkan ke mitra untuk dipakai lagi atau didaur ulang (Novrian,
2020)

Selain itu, Unilever berupaya mengurangi jumlah limbah tidak berbahaya yang
dihasilkan pabriknya yang mencakup limbah domestik, serta produk dan kemasan yang
tidak layak jual/pakai. Unilever berupaya memanfaatkan kembali atau mendaur ulang
limbah tersebut. Limbah yang tidak dapat dipakai atau didaur ulang lagi akan dibuang ke
tempat pembuangan akhir. Kini, lebih dari 4.800 ton/tahun limbah pabriknya dipakai lagi
atau didaur ulang oleh pihak ketiga. Bekerja sama dengan Asosiasi Industri Daur Ulang
Plastik Indonesia (AIDUPI), mereka memanfaatkan kemasan yang tidak terpakai atau
bahan plastik lainnya untuk membuat produk plastik seperti ember atau keset. Limbah lain
seperti drum kosong dan palet juga dikirimkan ke mitra untuk dipakai lagi atau didaur
ulang. Dengan demikian, jumlah limbah yang didaur ulang terus meningkat sejak 2004
(Ninita, 2016).

Unilever juga berhasil mengurangi jumlah limbah yang dikirim ke tempat


pembuangan akhir melalui cara inovatif untuk membuang lumpur dari instalasi pengolahan
air limbah. Jumlah lumpur yang dihasilkan mencapai 5 ton per hari. Pada 2006, pihak
Unilever telah menandatangani nota kesepahaman dengan produsen semen (PT Holcim)
untuk mengolah lumpur air limbah sebagai bahan baku di pabrik mereka. Sejak
pendatanganan itu, Unilever tidak lagi mengirim lumpur apa pun ke tempat pembuangan
akhir (Ninita, 2016).
Dari sistem pengelolaan limbah yang dilakukan Unilever, dapat disimpulkan bahwa
upaya dalam penanganan limbah industri sepenuhnya tidak dapat dilakukan sendiri oleh
Unilever, oleh karena itu Unilever memerlukan pihak ketiga dalam mengatasi limbah yang
dihasilkan dengan bekerjasama dengan PPLI dan AIDUPI bahkan perusahaan yang tidak
berkseinambungan dengan pengolahan limbah seperti PT Holcim. Upaya lainnya terus
dikembangkan Unilever dengan menggunakan teknologi yang terbarukan agar hasil dari
pengelolaan ini terus optimal dan efisien.

2.3 Pengelolaan limbah yang ada di PT. Unilever Indonesia dengan menggunakan
teknologi dan non teknologi

Indonesia dalam mengatur industri nasional perlu melakukan pengelolaan limbah


dengan baik agar bisa menerapkan konsep ramah lingkungan. Kebijakan dalam pengeloaan
limbah diatur dalam beberapa undang-undang diantarnaya:

1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan


2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
4. Keputusan Menteri Kesehatan No: 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang Prasayarat
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Dsb

Dalam melakukan pengelolaan limbah dibutuhkan pemanfaatan teknologi, saat ini


teknologi menjadi salah satu hal yang wajib dimiliki setiap industri. Teknologi pengelolaan
limbah industri harus berfokus pada pemanfaatan kembali llimbah yang digunakan di
industri sekitarnya. Teknologi tepat guna diperlukan untuk mengelola sampah yang
dihasilkan industri, sehingga penerapan Zero Waste dapat terus digalakkan. Di tahun 2018,
unilever mengadosi pendekataan Circular Economy yaitu konsep yang akan mengubah
barang pada akhir masa kerjanya menjadi sumber daya bagi orang lain, menutup lingkaran
dalam ekosistem industri, meminimalkan limbah dan mengikuti metode berkelanjutan
(Valavanidis, 2018). Melalui pendekatan ini unilever dapat mengelola semua bahan dan
limbah pada setiap tahap siklus bisnisnya secara bertanggung jawab. Semua limbah harus
digunakan kembali atau didaur ulang sehingga tidak ada pembuangan ke lingkungan.
Unilever berfokus pada tiga pilar pengelolaan lingkungan yaitu limbah, air dan energi.

2.3.1 Teknologi CreaSolv®

Pada tahun 2017, Teknologi CreaSolv® telah beroperasi untuk mendaur ulang
limbah plastik fleksibel menjadi bahan baku. CreaSolv® merupakan pelopor teknologi daur
ulang limbah kemasan fleksibel, pasca penggunaan konsumen. CreaSolv® dianggap
sebagai solusi paling efisien dalam pengelolaan limbah sachet yang berlokasi di sidoarjo,
Jawa Timur. Pada akhir tahun 2018, lebih dari tiga ton sampah plastik dikumpulkan setiap
hari untuk diproses oleh CreaSolv®. Proses yang dilalui adalah sebagai berikut:

Gambar 2.2 Proses Teknologi CreaSolv®

Dari gambar diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga tahap proses dala
teknologi CreaSolv® yaitu (The Fraunhofer IVV, 2020):

1. Melarutkan : Plastik atau polimer diekstraksi dari limbah kemasan fleksibel


menggunakan cairan dan pelarut khusus untuk dikonversi menjadi larutan polimer.
2. Memurnikan : Larutan polimer disaring, dimurnikan dan dipindahkan ke ruang
pengeringan. Residunya dipisahkan dan diolah.
3. Mengeringkan : Bahan lain diuapkan dari larutan polimer. Polimer plastik „murni‟
dikumpulkan dan diolah menjadi pelet plastik polimer. Pelet ini digunakan sebagai
bahan baku untuk kemasan sachet baru.

Teknologi CreaSolv® diakui memiliki potensi mengurangi dampak CO2 yang


dihasilkan oleh setiap 7.800 ton per tahun di tiap unit operasinya atau setara dengan 8.200
ton plastik fleksibel. Dalam konsep ekonomi sirkular, sampah kemasan plastik akan terus
didaur ulang menjadi kemasan lagi sehingga tidak berakhir menjadi tumpukan sampah di
alam. Unilever menargetkan, 100 persen kemasan plastik produknya akan dapat didaur
ulang, digunakan kembali atau dapat terurai menjadi kompos pada 2025. Perusahaan juga
menargetkan minimal 25 persen dari plastik yang digunakan Unilever terbuat dari plastik
daur ulang (Dwianto, 2019).

Sebagaimana diamanatkan oleh Unilever Global (Pusat Unilever), Unilever


Indonesia memfokuskan untuk meminimalisir dampak pada limbah industri pada tujuh
parameter lingkungan utama yaitu:

1. Emisi Karbon Dioksida (CO₂) untuk laporan gas rumah kaca,


2. Chemical Oxygen Demand (COD)
3. Konsumsi energi
4. Emisi Sox
5. Limbah Beracun Berbahaya
6. Limbah tidak Beracun dan Berbahaya, dan
7. Konsumsi Air

Upaya yang sedang dikembangkan pihak Unilever Indonesia terbaru adalah


pengadaan Refill Station yang bertujuan untuk pengisian ulang produk Unilever seperti
brand Rinso, Molto, Sunlight, Superpell, Lifebuoy, Clear, Dove, Sunsilk, TRESemmé,
Love Beauty and Planet, dan Bango. Pada tanggal 25 Februari 2020, Unilever telah
menghadirkan Refill Station pertama di Bintaro, Tanggerang. kehadiran Refill Station ini
merupakan salah satu contoh penerapan konsep ekonomi sirkular (circular economy) yang
selama ini dijalankan oleh Unilever Indonesia, yakni mengedepankan pentingnya unsur
penggunaan kembali dan daur ulang, serta mereduksi penggunaan plastik (Unilever
Indonesia, 2020).
Upaya Unilever tersebut bertujuan untuk mendukung pemerintah Indonesia
wujudkan Indonesia Bebas Polusi Plastik pada Tahun 2004, serta diharapkan dapat
dijadikan sebagai alternatif model bisnis baru yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Kehadiran Refill Station ini, sebagai bentuk nyata dari komitmen perseroan untuk
menjalankan SDGs dan menjadi bagian dari solusi atas permasalahan sampah plastik.
Berikut bentuk dari Refill Station yang ada di Saruga Package-free Shopping Store, Bintaro
(Unilever Indonesia, 2020):

Gambar 2.3 Refill Station Produk Unilever Indonesia

2.3.2 Pemanfaatan Energi menggunakan Biomassa

Upaya yang telah dilakukan Unilever untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca
(GRK) sudah cukup banyak seperti, Pemasangan Panel Surya yang terpasang di pabrik
maupun di kantor. Pemanas surya juga telah dipasang untuk memasok air panas ke proses
produksi. Di Pabrik area Rungkut, pemasangan panel surya dapat menghemat energi 6,7 GJ
per hari. Bentuk upaya lain untuk mengurangi konsumensi energi termasuk:

1. Pemasangan motor efisiensi tinggi di jalur pengemasan


2. Pemasangan pemanas beban otomatis
3. Pengurangan kebocoran udara terkompresi dan peningkatan kinerja kompresor
udara
4. Peningkatan kinerja HVAC
5. Pemasangan blowdown otomatis dan kontrol TDS untuk boiler
6. Pemasangan inverter untuk pompa transfer
7. Pemasangan Ozone treatment
8. Penggantian steam trap

Berikut ini pencapaian penurunan energi yang dihasilkan sejak tahun 2008 menurut laporan
kinerja lingkungan tahunan:

Grafik 2.3 Penurunan Energi dan Emisi CO2 Unilever Indonesia tahun 2008- 2018

Berdasarkan grafik diatas dapat disimpulkan bahwa Pengurangan konsumsi energi


memberikan kontribusi yang signifikan untuk mengurangi emisi GRK. Ini menunjukkan
bahwa intensitas energi dan emisi CO2 telah menurun secara konsisten sejak 2008.
Selain itu, karena harga energi dari gas alam terus meningkat, pada tahun 2017
energi berbiaya rendah termasuk batubara, biomassa, berbasis kayu dan etanol telah
dilakukan penilaian. Sejalan dengan program Unilever USLP, cangkang inti sawit dipilih
untuk pemanfaatan biomassa karena alasan berikut ini:

1. Ketersediaan teknologi terbaru untuk biomassa di pabrik Unilever lain di seluruh


dunia
2. Ketersediaan dan kontinuitas bahan baku cangkang sawit di Indonesia, khususnya
dari Sumatera dan Kalimantan.
3. Hanya membutuhkan area kecil
4. Harga tetap bahan baku selama 5 tahun, memastikan pasokan ketika inflasi
meningkat.

Pemanfaatan biomassa adalah pemanfaatan dari bahan organik yang dihasilkan


melalui proses fotosintetik, baik berupa produk maupun buangan (Arhamsyah, 2010).
Biomassa adalah satu-satunya sumber karbon yang mengandung energi alami lainnya yang
jumlahnya cukup besar untuk digunakan sebagai pengganti bahan bakar fosil (Sharukh
Khan, Vivek Paliwal, Vikrant Vikram Pandey, Vijay Kumar, 2015). Pemanfaatan energi
biomassa terbukti telah memberikan penghematan energi dan nol emisi CO2 dengan
mengurangi tagihan energi sebesar 40%.

Penerapan teknologi konversi biomaasa yang dilakukan unilever adalah Gasfikasi.


Gasifikasi adalah suatu proses konversi untuk merubah material baik cair maupun gas
dengan menggunakan temperatur tinggi (Rohman, 2009). Proses gasifikasi menghasilkan
produk bahan bakar cair yang bersih dan efisien dari pada pembakaran secara langsung,
yaitu hidrogen dan karbon monoksida. Gas hasil dapat di bakar secara langsung pada
internal combustion engine atau reaktor pembakaran. Melalui proses Fische-Tropsch gas
hasil gasifikasi dapat di ekstrak menjadi methanol (Pambudi, 2008) (Arhamsyah, 2010).
Gambar 2.4 Proses Gasfikasi Biomassa

Berdasarkan gambar diatas, berikut ini adalah proses gasfikasi biomassa (Ruaha Energy,
2016):

1. Fuel In Feed : Limbah kayu, tanaman, atau biomassa lainnya dimuat ke dalam
nampan bahan bakar dan dikirim ke nampan pengukur di dekat gasifier.
2. Gasifier : Bahan bakar diproses secara bertahap termasuk pengeringan, pirolisis,
dan gasifikasi. Biomassa diubah menjadi “synthetic gas” yang dapat digunakan
untuk menggantikan energi yang dihasilkan oleh gas alam.
3. Oxidizer : Syngas dikirim ke oksidator di mana ia dibakar dengan gas buang yang
dihasilkan diarahkan melalui boiler.
4. Boiler : Boiler menghasilkan air panas, uap, minyak panas, atau udara panas
tergantung pada persyaratan sistem. Dalam sistem tertentu, turbin tekanan balik
dapat ditambahkan untuk menghasilkan listrik.
5. ESP / electrostatic precipitator : Setelah keluar dari boiler, gas buang dibersihkan
dalam precipitator elektrostatik untuk menghilangkan hingga 98% dari partikel.

Menurut Sulaiman (2009) gasifikasi merupakan salah satu alternatif dalam rangka
program penghematan dan diversifikasi energi. Selain itu gasifikasi akan membantu
mengatasi masalah penanganan dan pemanfaatan limbah dari hasil kayu. Kelebihan
gasifikasi adalah gas lebih mudah dinyalakan, menimbulkan emisi lebih sedikit, nyala lebih
mudah dikontrol dan untuk kebutuhan panas dan power/tenaga (Pang,2008) (Arhamsyah,
2010).

2.3.3 Rekayasa dalam penggunaan air

Program dalam memanfaatkan penggunaan air yaitu glycerine carry over yang
berada di pabrik produksi Rungkut. Program ini mengurangi 100 kg organik dalam bentuk
Chemical Oxygen Demand (COD) pada tahun 2018. COD merupakan salah satu indikator
pencemaran air secara kimia (Lumaela, 2013). COD adalah jumlah oksigen total yang
dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, dan lebih banyak digunakan
sebagai parameter untuk mengetahui banyaknya bahan organik dalam suatu sistem. Jika
nilai COD tinggi maka dapat diidentifikasikan kinerja mikroorganisme pengurai di dalam
sistem belum efektif (Susanthi, 2018).

Sejak tahun 2016, Unilever telah berhasil mengurangi 700 kg COD sehingga dapat
mengurangi beban polusi air. Dan telah menghemat Rp 54 Juta/ tahun untuk biaya
pengolahan air limbah berikut grafiknya:

Gambar 2.4 Penggunaan Ai di Unilever Indonesia 208-2018


Gambar 2.5 Penurunan COD di Unilever 2008-2018

Selain itu, upaya berikut juga dilakukan untuk mengurangi konsumsi air dalam
produksi (PT Unilever Indonesia, 2018):

1. Penggunaan kembali air dari proses clean-in-place (CIP),


2. Peningkatan Ph pada instalasi pengolahan air limbah
3. Peningkatan gliserin mentah dan penurunan carry over
4. Perubahan rencana pemrosesan
5. Pengendalian blowdown secara otomatis dan Total Dissolved Solids (TDS) untuk
boiler
6. Ozone treatment untuk menghilangkan lumpur limbah industri

2.3.4 Pengurangan pada Limbah B3 dan Non B3

Unilever Indonesia dalam mengelola limbah berbahaya dan tidak berbahaya


menggunakan pendekatan full life cycle atau pendekatannya adalah mengurangi,
menggunakan kembali, mendaur ulang, dan menghilangkan. Berikut ini upaya dalam
penurunan limbah B3 dan Non B3 (PT Unilever Indonesia, 2018):

1. Penurunan Limbah B3
a. Pergantian bahan kimia pengolahan air limbah
b. Mendaur ulang limbah laboratorium
c. Optimalisasi beltpress untuk mengurangi kadar air lumpur
d. CT sludge natural drying untuk pegeringan lumpur alami
e. Mengurangi glycerine carry over
f. Penggunaan minyak pelumas sesuai umurnya
g. Optimalisasi sudut scrapper untuk mengurangi limbah
h. Mengolah kembali pasta gigi, debu sabun halus dan sabun
2. Penurunan Limbah Non B3
a. Mengembalikan kemasan ke pemasok
b. Memisahkan limbah dengan cara yang lebih konsisten untuk mengoptimalkan
pemanfaatannya
c. Meningkatkan kerja sama dengan pemasok untuk mengurangi limbah
menggunakan pendekatan pengurangan, penggunaan kembali, dan daur ulang
d. Mendaur ulang sampah kebun dan pekarangan menjadi kompos
e. Zero waste canteen. Unilever membuat perjanjian dengan penyedia kantin untuk
mengimplementasikan program zero to landfill

Grafik 2.6 Total Limbah yang dihasilkan Unilever Indonesia


Grafik 2.7 Total Limbah Daur Ulang Unilever Indonesia

Berdasarkan grafik diatas terdapat penurunan total limbah yang signifikan dari
tahun 2010 sebesar 39,40 kg/ton sampai pada tahun 2018 penurunan sebesar 26,05 kg/ton.
Penurunan sebesar 13,35 kg/ton merupakan hasil yang cukup baik bagi perusahaan besar
seperti Unilever. Upaya terus dilakukan dalam mengurangi limbah tersebut, namun untuk
menghilangkan adanya limbah B3 atau pun Non B3 untuk saat ini masih sulit diterapkan
khusunya industri yang menggunakan bahan kimiawi dalam produksinya.

Limbah daur ulang saat ini juga menjadi salah satu tujuan untuk memnimalisir
limbah yang dihasilkan, salah satu contoh kegiatan yang dilakukan bersama masyarakat
adalah program Bank Sampah yang bekerjasama dengan Kementrian Lingkungan Hidup
(KLHK). Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terdapat
5.244 bank sampah di Indonesia, 2.816 bank sampah diantaranya didukung oleh Unilever.
Ini menunjukkan tingkat kepedulian kami terhadap pengembangan bank sampah di
Indonesia. Program bank sampah bertujuan untuk memberdayakan masyarakat untuk secara
mandiri mengumpulkan, memisahkan, dan mendaur ulang sampah dan mengubahnya
menjadi tabungan (PT Unilever Indonesia, 2018).

Pada tahun 2018, Unilever mencoba memulai pendekatan baru dengan melibatkan
sekolah untuk secara aktif berpartisipasi dalam mendirikan bank sampah. Para guru dan
siswa sekolah didorong untuk menjadi anggota bank sampah. Pendekatan ini menghasilkan
pertumbuhan anggota bank sampah yang signifikan 24,76%. Sepanjang tahun ini, Unilever
juga telah mengimplementasikan program ini di lebih banyak kota dengan menjangkau 37
kota di 12 provinsi di seluruh Indonesia (PT Unilever Indonesia, 2018). Program ini dinilai
cukup efektif untuk membantu Unilever dalam menggunakan Teknologi CreaSolv®.
Karena salah satu masalah pengolahan sampah plastik adalah kesadaran masyarakat dalam
memisahkan sampah organik dan non organik, sehingga bank sampah ini di harapkan dapat
membantu mengumpulkan sampah yang dihaslkan Unilever untuk dilakukan
pengolahannya.
BAB III

KESIMPULAN

Pada era globalisasi ini semakin banyak industri yang bermunculan. Industri
tersebut disamping memenuhi segala kebutuhan hidup manusia juga memberikan dampak
negatif terhadap manusia akibat terjadinya pencemaran lingkungan. Seiring dengan
bertambahnya industri, tak sedikit pula yang mulai memperhatikan isu pencemaran
lingkungan. Salah satu dampak dari aktivitas industri tersebut adalah limbah yang
dihasilkan oleh perusahaan. Limbah tidak hanya dihasilkan dari aktivitas produksi
perusahaan, tetapi juga dapat dihasilkan dari aktivitas supply chain, dimana supply chain
tersebut mencakup proses dari hulu ke hilir yaitu proses untuk mendapatkan bahan mentah
hingga pendistribusiannya ke konsumen. Limbah dan emisi yang dihasilkan dari aktivitas
supply chain merupakan sumber utama masalah pencemaran lingkungan diantaranya
pemanasan global dan hujan asam (Bloemhof-Ruward,1995).

PT Unilever Indonesia merupakan industri multinasional yang aktif dalam mengejar


tujuan pembangunan berkelanjutan untuk pencapaian tahun 2030. Untuk itu berbagai
inisiatif kegiatan dilakukan untuk dapat mengaplikasikan tujuan tersebut, salah satunya
dengan berbagai rekayasa lingkungan untuk pengelolaan limbah di area industri. Dan
dengan tujuan keberlanjutan ini, Unilever dapat mengubah cara bisnis menjadi Industri
Hijau. Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam pengelolaann
indstri Unilever Indonesia telah menerapkan pilar-pilar:

1. Pilar 6, Air Bersih dan Kebersihan : Kesehatan dan Kebersihan, Pemakaian Air
2. Pilar 7, Energi yang terjangkau dan Bersih : Upaya mengurangi emisi Gas Rumah
Kaca (GRK)
3. Pilar 9, Industri, Inovasi, dan Infrastruktur : GRK, Pemakaian Air, Limbah dan
Kemasan
4. Pilar 11, Kota dan Masyarakat yang Berkelanjutan : Kesehatan dan Kebersihan,
Limbah dan Kemasan
5. Pilar 12, Konsumsi dan Produk yang Bertanggung Jawab : GRK, Pemakaian Air,
Limbah dan Kemasan
6. Pilar 13, Aksi Iklim : GRK, Pemakaian Air, Perolehan Bahan Baku yang
Berkelanjutan
7. Pilar 14, Kehidupan dalam Air : Limbah dan Kemasan
8. Pilar 15, Kehidupan di Darat : Perolehan Bahan Baku yang Berkelanjutan, Bank
Sampah dan Teknologi CreaSolv®
9. Pilar 17, Kemitraan disetiap Tujuan : Seluruh Pilar Unilever Sustainable Living
Plan (USLP)

Dari penerapan pilar-pilar diatas membuktikan bahwa Unilever bertanggunng jawab


dengan memperdulikan kegiatan yang ada di lingkungan industri dengan menjalankan
beberapa rekayasa lingkungan, yaitu dengan menggunakan teknik-teknik berupa teknologi
dan non teknologi untuk mengatasi permasalahan yang ditimbulkan akibat dari kegiatan
produksi sampai pada kegiatan konsumen. Dengan meningkatnya perkembangan teknologi,
Unilever berharap dapat menemukan teknologi yang dapat mendorong industri ini menjadi
Industri yang Suistainable and Zero Waste to Nature.
Daftar Pustaka
Arhamsyah. (2010). Pemanfaatan Biomassa Kayu Sebagai Sumber Energi Terbarukan. Jurnal Riset
Industri Hasil Hutan Vol.2, No.1, 42-48.

Dr. Ir. Fatah Sulaiman, M. (2016). Strategi Pengelolaan Kawasan Industri Berkelanjutan. Serang:
Untirta Press.

Dwianto, M. D. (2019, Juli 31). Unilever Investasi Rp 156 Miliar Dirikan Pabrik Daur Ulang. (R.
Wulandhari, Interviewer)

Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia. (2014). Perindustrian . Bandung:


Fokusmedia.

Jacqueline M.Bloemhof-Ruwaard, P. v. (1995). Interactions Between Operational and


Environmental Management. European Journal of Operational Research. 85 (2) , 229-243.

Lumaela, A. K. (2013). Pemodelan Chemical Oxygen Demand (COD) Sungai di Surabaya Dengan
Metode Mixed Geographically Weighted Regression . JURNAL SAINS DAN SENI POMITS
Vol. 2, No.1.

Ninita. (2016). Sistem Pengolahan Limbah PT Unilever Indonesia. Universitas Gunadarma.

Novrian, D. (2020, Februari 21). Pengelolaan Limbah di Unilever Cikarang. (Murni, Interviewer)

PT Unilever Indonesia. (2018). Transformasi Untuk Masa Depan Berkelanjutan. Tanggerang: PT


Unilever Tbk.

Sharukh Khan, Vivek Paliwal, Vikrant Vikram Pandey, Vijay Kumar. (2015). Biomass as
Renewable Energy . International Advanced Research Journal in Science, Engineering and
Technology (IARJSET) , Vol.2.

Susanthi, D. (2018). Evaluasi Pengolahan Air Limbah Domestik dengan IPAL Komunal di Kota
Bogor . Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol 19 No 2, 233.

The Fraunhofer IVV. (2020, Februari 23). Recycling plastics - The CreaSolv® Process. Retrieved
Februari 23, 2020, from The Fraunhofer IVV: https://www.ivv.fraunhofer.de/en/recycling-
environment/recycling-plastics.html

Valavanidis, A. (2018). Concept and Practice of the Circular Economy. Turning goods at the end of
their service life into resources, closing loops in industrial ecosystems and minimizing
waste . SCIENTIFIC REVIEWS .
Lampiran Jurnal Internasional

1. Jacqueline M.Bloemhof-Ruwaard, P. v. (1995). Interactions Between Operational


and Environmental Management. European Journal of Operational Research. 85
(2) , 229-243
Abstract

Economic growth is frequently considered to be in conflict with sustainable development


and environmental quality. Therefore, a decision maker needs to know how to deal with the
environmental issues that come around. This article aims to inform Operational Researchers
of the possibilities of incorporating environmental issues when analyzing industrial supply
chains and to inform environmental scientists more generally of the value of using OR
models and techniques in environmental research.
2. Sharukh Khan, Vivek Paliwal, Vikrant Vikram Pandey, Vijay Kumar. (2015).
Biomass as Renewable Energy . International Advanced Research Journal in
Science, Engineering and Technology (IARJSET) , Vol.2

Abstract
This paper discusses biomass as a renewable energy source. The paper defines the
resources as well as the ways biomass energy is converted into electricity, technologies
involved in extracting power from biomass as well as the advantages and the disadvantages
of using of biomass as a source of energy. The paper also reviews a few biomass projects in
the INDIA, STATES OF IT and some other parts of world and discusses the future of
biomass.
3. Valavanidis, A. (2018). Concept and Practice of the Circular Economy. Turning
goods at the end of their service life into resources, closing loops in industrial
ecosystems and minimizing waste . SCIENTIFIC REVIEWS.
Abstract
Circular Economy (CE) is a concept that would turn goods at the end of their service life
into resources for others, closing loops in industrial ecosystems, minimizing waste and
following sustainable methods. A report of the European Commission in 2014 estimated
that with a Circular Economy type transitions in the EU countries can create 600 billion
euros annual economic gains for the EU manufacturing sector. Even China after many
years of rapid economic growth adopted the Circular Economy concept in the last two „Five
Year Plans‟ drawn up by the Chinese government. China understands that is imperative to
change course in the use of raw materials, energy sources and industrial processes which
produce excessive waste. Circular Economy is connected with sustainable development. It
is a system of resources utilization where reduction, reuse and recycling of materials
prevails, cutting down waste to a minimum and with the use of biodegratable products
recycle the rejected products back to the environment.

Anda mungkin juga menyukai