BAB 1
PENDAHULUAN
Sektor industri memiliki peran strategis dan penting untuk mewujudkan tujuan
pembangunan, selain itu sektor industri saat ini memiliki tantangan berupa benturan
aktivitas industri dengan dampak yang berkaitan dengan isu-isu lingkungan dan kaitannya
dengan proses pembangunan berkelanjutan. Seperti contoh terjadinya konflik antara
masyarakat sekitar dengan industri tersebut yang berkaitan dengan kesenjangan
kesejahteraan serta potensi pemcemaran lingkungan baik cair, gas/udara, padatan akibat
aktifitas industri. Untuk mengurangi dampak industri tersebut, dibutuhkan komitmen semua
pihak yang terlibat dengan kegiatan industri untuk menjaga kelestarian lingkungan (Dr. Ir.
Fatah Sulaiman, 2016)
Salah satu dampak dari aktivitas industri tersebut adalah limbah yang dihasilkan
oleh perusahaan. Limbah tersebut tidak hanya dihasilkan dari aktivitas produksi
perusahaan, tetapi juga dapat dihasilkan dari aktivitas supply chain, dimana supply chain
tersebut mencakup proses dari hulu ke hilir yaitu proses untuk mendapatkan bahan mentah
hingga pendistribusiannya ke konsumen. Supply Chain Management (SCM) yang
berorientasi terhadap lingkungan disebut Green Supply Chain Management (GSCM).
Limbah dan emisi yang dihasilkan dari aktivitas supply chain merupakan sumber utama
masalah pencemaran lingkungan diantaranya pemanasan global dan hujan asam (Jacqueline
M.Bloemhof-Ruwaard, 1995).
Strategi yang dapat dilakukan dalam pengelolaan industri adalah dengan penerapan
Eco Industrial Park (EIP) yaitu pengembangan kawasan industri hijau (green industrial
park) dengan membangun sistem penanganan limbah secara terpadu dengan menggunakan
teknologi (Dr. Ir. Fatah Sulaiman, 2016). Penggunaan teknologi diharapkkan dapat
menangani, mengolah dan memanfaatkan limbah yang dihasilkan industri agar tidak
merusak lingkungan. Selain itu dalam pengelolaan industri juga harus memperhatikan
teknik pengelolaan yang sinergi dengan limbah yang dihasilkan.
Para pelaku usaha harus proaktif melakukan pengelolaan limbah tidak hanya setelah
limbah terbentuk, tetapi sejak awal pengelolaannya diupayakan sedemikian rupa mulai dari
bahan baku sampai akhir pemakaian produk agar limbah yang dihasilkan seminimal
mungkin. Perencanaan untuk pengelolaan limbah industri tentu sudah menjadi kewajiban
dan menjadi syarat untuk mendapatkan perizinan pembangunan industri, hal ini di atur
dalam Peraturan Pemerintah Tahun 2009 tentang Kawasan Industri. Untuk itu, perusahaan
mencoba melakukan beberapa teknik pengelolaan untuk menangani limbah yang dihasilkan
dari setiap kegiatan industri mulai dari pra produksi sampai pasca produk atau yang disebut
sebagai Rekayasa Lingkungan.
Menurut Sumarno, rekayasa lingkungan adalah upaya sadar manusia untuk
merekayasa hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan dengan tujuan untuk
mencapai kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan disamping membuat perangkat
undang-undang mengenai lingkungan hidup. Aktifitas yang dilakukan dibagi menjadi 3
kelompok yaitu usaha rekayasa pencemaran atmosfir (udara), usaha rekayasa pencemaran
hidrosfir (air) dan usaha rekayasa pencemaran litosfir (tanah). Pada pembahasan ini penulis
ingin menggambarkan bagaimana penanganan dan pengelolaan limbah yang terdapat di
area industri PT. Unilever Indonesia dengan aktivitas rekayasa lingkungan (Sumarno,
1997).
BAB II
PEMBAHASAN
Pencapaian keberlanjutan diukur terhadap tiga pilar utama USLP. Inisiatif untuk
terus meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan, mengurangi jejak lingkungan dan
meningkatkan mata pencaharian berada pada jalur yang benar dan berjalan dengan sukses.
Sebagian besar kegiatan telah ditingkatkan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada
tahun 2018, Unilever Indonesia mencatat pertumbuhan laba 30,1% dibandingkan tahun
sebelumnya (PT Unilever Indonesia, 2018). Pertumbuhan ini juga disebabkan oleh
lingkungan ekonomi, sosial dan politik di Indonesia. Untuk itu, penggunaan teknologi
merupakan hal yang penting dalam penanganan dan pengelolaan untuk mengurangi jejak
lingkungan yang dihasilkan oleh Unilever.
Dampak dari kegiatan industri pada dasarnya adalah limbah yang dihasilkan dari
setiap proses yang berjalan sampai hasil atau produk dari Unilever. efisiensi dalam
produksi dampak lingkungan Unilever terbagi atas dampak yang berasal dari luar dan dari
dalam. Dampak dari luar seperti penggunaan sumberdaya dan energi, sedangkan dampak
dari dalam seperti limbah cair dan sampah. Oleh karena itu, Unilever menerapkan Sistem
Pengelolaan Lingkungan atau Environmen Management System (EMS) berdasarkan ISO
14001.
Elemen penting dari EMS Unilever adalah menetapkan dan meninjau sasaran
berdasarkan indikator kinerja utama. Setiap tahun Unilever mengumpulkan data dari
pabrik-pabrik berupa pengukuran kinerja lingkungan yang penting berupa Laporan
Keberlanjutan PT Unilever Indonesia Tbk. Pada pembahasan ini, penulis akan membahas
hasil dari laporan keberlanjutan Unilever di tahun 2018 dengan judul laporan
“Transformasi untuk masa depan berkelanjutan. Laporan ini merupakan laporan yang
menunjukan adanya keseriusan Unilever dalam memperbaiki sistem pengelolaan limbah
dan evaluasi produk yang menganut atau mencoba menerapkan industri yang medukung
Susitainable Development Goal’s atau tujuan pembangunan berkelanjutan (PT Unilever
Indonesia, 2018).
Tiga sasaran besar tersebut adalah sebagai bentuk tindakan yang berdasarkan pada
tujuan pembangunan berkelanjutan yang diusung oleh Perserikatan Bangsa Bangsa atau
United Nation.
Pada gambar diatas digambarkan proses dari produksi sampai penggunaan kepada
konsumen. Selanjutnya untuk proses yang dilakukan setelah penggunaan sudah
digambarkan jelas bahwa hasil dari penggunaan tersebut akan dilakukan proses pengelolaan
seperti landfill, reuse or return, recycle dan compost (untuk bahan yang biodegradable
seerti plastik dan kertas). Dalam ekstraksi bahan baku akan dilakukan composting, dalam
proses packaging akan di lakukan recycle dengan menjadikan produk yang gagal untuk
diolah kembali, selanjutnya dalam proses yang dilakukan retail akan dilakukan reuse atau
return jika terdapat produk yang sudah expired dan setelah pembuangan akan dilakukan
penyelesaian dengan metode landfil (pemusnahan) (PT Unilever Indonesia, 2018).
Upaya Unilever dalam mengurangi limbah sudah dimulai serius dilakukan pada
tahun 2003 misal dalam hal penggunaan energi dan air, Unilever menyatakan bahwa sejak
2003, pabrik Unilever telah menerapkan berbagai program untuk mengurangi konsumsi
energi. Program ini telah mengurangi jumlah penggunaan energi pabrik sebanyak 37%
dibandingkan 2005. Sejak 2005, pabrik Rungkut telah berhasil mengurangi kebutuhan air
dan mengurangi pembuangan air limbah dari proses produksinya melalui pemasangan unit
pengolah air limbah reverse osmosis. Teknologi ini menyediakan pengolahan air limbah
canggih yang memungkinkan pemanfaatan air buangan hasil daur ulang untuk boiler dan
menara pendingin. Sementara itu, limbah domestik dari toilet dan aktivitas pencucian masih
dikirimkan langsung ke saluran limbah milik kawasan industri (Ninita, 2016).
Selanjutnya untuk penanganan Limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3) yang telah
dilakukan yaitu bahwa limbah B3 ini disimpan dalam ruang penyimpan khusus, sebelum
dibuang ke PT. Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLI), sebuah perusahaan
pembuangan limbah B3 yang memenuhi standar lingkungan Indonesia dan internasional.
Limbah padat dari kegiatan pencucian reaktor dipandang sebagai limbah B3 dan karena itu
dikirim ke PPLI untuk pengolahan yang baik dan benar. Sedangkan untuk limbah yang
tidak berbahaya Unilever bekerja sama dengan Asosiasi Industri Daur Ulang Plastik
Indonesia (AIDUPI), kami memanfaatkan kemasan yang tidak terpakai atau bahan plastik
lainnya untuk membuat produk plastik seperti ember atau keset. Limbah lain seperti drum
kosong dan palet juga dikirimkan ke mitra untuk dipakai lagi atau didaur ulang (Novrian,
2020)
Selain itu, Unilever berupaya mengurangi jumlah limbah tidak berbahaya yang
dihasilkan pabriknya yang mencakup limbah domestik, serta produk dan kemasan yang
tidak layak jual/pakai. Unilever berupaya memanfaatkan kembali atau mendaur ulang
limbah tersebut. Limbah yang tidak dapat dipakai atau didaur ulang lagi akan dibuang ke
tempat pembuangan akhir. Kini, lebih dari 4.800 ton/tahun limbah pabriknya dipakai lagi
atau didaur ulang oleh pihak ketiga. Bekerja sama dengan Asosiasi Industri Daur Ulang
Plastik Indonesia (AIDUPI), mereka memanfaatkan kemasan yang tidak terpakai atau
bahan plastik lainnya untuk membuat produk plastik seperti ember atau keset. Limbah lain
seperti drum kosong dan palet juga dikirimkan ke mitra untuk dipakai lagi atau didaur
ulang. Dengan demikian, jumlah limbah yang didaur ulang terus meningkat sejak 2004
(Ninita, 2016).
2.3 Pengelolaan limbah yang ada di PT. Unilever Indonesia dengan menggunakan
teknologi dan non teknologi
Pada tahun 2017, Teknologi CreaSolv® telah beroperasi untuk mendaur ulang
limbah plastik fleksibel menjadi bahan baku. CreaSolv® merupakan pelopor teknologi daur
ulang limbah kemasan fleksibel, pasca penggunaan konsumen. CreaSolv® dianggap
sebagai solusi paling efisien dalam pengelolaan limbah sachet yang berlokasi di sidoarjo,
Jawa Timur. Pada akhir tahun 2018, lebih dari tiga ton sampah plastik dikumpulkan setiap
hari untuk diproses oleh CreaSolv®. Proses yang dilalui adalah sebagai berikut:
Dari gambar diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga tahap proses dala
teknologi CreaSolv® yaitu (The Fraunhofer IVV, 2020):
Upaya yang telah dilakukan Unilever untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca
(GRK) sudah cukup banyak seperti, Pemasangan Panel Surya yang terpasang di pabrik
maupun di kantor. Pemanas surya juga telah dipasang untuk memasok air panas ke proses
produksi. Di Pabrik area Rungkut, pemasangan panel surya dapat menghemat energi 6,7 GJ
per hari. Bentuk upaya lain untuk mengurangi konsumensi energi termasuk:
Berikut ini pencapaian penurunan energi yang dihasilkan sejak tahun 2008 menurut laporan
kinerja lingkungan tahunan:
Grafik 2.3 Penurunan Energi dan Emisi CO2 Unilever Indonesia tahun 2008- 2018
Berdasarkan gambar diatas, berikut ini adalah proses gasfikasi biomassa (Ruaha Energy,
2016):
1. Fuel In Feed : Limbah kayu, tanaman, atau biomassa lainnya dimuat ke dalam
nampan bahan bakar dan dikirim ke nampan pengukur di dekat gasifier.
2. Gasifier : Bahan bakar diproses secara bertahap termasuk pengeringan, pirolisis,
dan gasifikasi. Biomassa diubah menjadi “synthetic gas” yang dapat digunakan
untuk menggantikan energi yang dihasilkan oleh gas alam.
3. Oxidizer : Syngas dikirim ke oksidator di mana ia dibakar dengan gas buang yang
dihasilkan diarahkan melalui boiler.
4. Boiler : Boiler menghasilkan air panas, uap, minyak panas, atau udara panas
tergantung pada persyaratan sistem. Dalam sistem tertentu, turbin tekanan balik
dapat ditambahkan untuk menghasilkan listrik.
5. ESP / electrostatic precipitator : Setelah keluar dari boiler, gas buang dibersihkan
dalam precipitator elektrostatik untuk menghilangkan hingga 98% dari partikel.
Menurut Sulaiman (2009) gasifikasi merupakan salah satu alternatif dalam rangka
program penghematan dan diversifikasi energi. Selain itu gasifikasi akan membantu
mengatasi masalah penanganan dan pemanfaatan limbah dari hasil kayu. Kelebihan
gasifikasi adalah gas lebih mudah dinyalakan, menimbulkan emisi lebih sedikit, nyala lebih
mudah dikontrol dan untuk kebutuhan panas dan power/tenaga (Pang,2008) (Arhamsyah,
2010).
Program dalam memanfaatkan penggunaan air yaitu glycerine carry over yang
berada di pabrik produksi Rungkut. Program ini mengurangi 100 kg organik dalam bentuk
Chemical Oxygen Demand (COD) pada tahun 2018. COD merupakan salah satu indikator
pencemaran air secara kimia (Lumaela, 2013). COD adalah jumlah oksigen total yang
dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, dan lebih banyak digunakan
sebagai parameter untuk mengetahui banyaknya bahan organik dalam suatu sistem. Jika
nilai COD tinggi maka dapat diidentifikasikan kinerja mikroorganisme pengurai di dalam
sistem belum efektif (Susanthi, 2018).
Sejak tahun 2016, Unilever telah berhasil mengurangi 700 kg COD sehingga dapat
mengurangi beban polusi air. Dan telah menghemat Rp 54 Juta/ tahun untuk biaya
pengolahan air limbah berikut grafiknya:
Selain itu, upaya berikut juga dilakukan untuk mengurangi konsumsi air dalam
produksi (PT Unilever Indonesia, 2018):
1. Penurunan Limbah B3
a. Pergantian bahan kimia pengolahan air limbah
b. Mendaur ulang limbah laboratorium
c. Optimalisasi beltpress untuk mengurangi kadar air lumpur
d. CT sludge natural drying untuk pegeringan lumpur alami
e. Mengurangi glycerine carry over
f. Penggunaan minyak pelumas sesuai umurnya
g. Optimalisasi sudut scrapper untuk mengurangi limbah
h. Mengolah kembali pasta gigi, debu sabun halus dan sabun
2. Penurunan Limbah Non B3
a. Mengembalikan kemasan ke pemasok
b. Memisahkan limbah dengan cara yang lebih konsisten untuk mengoptimalkan
pemanfaatannya
c. Meningkatkan kerja sama dengan pemasok untuk mengurangi limbah
menggunakan pendekatan pengurangan, penggunaan kembali, dan daur ulang
d. Mendaur ulang sampah kebun dan pekarangan menjadi kompos
e. Zero waste canteen. Unilever membuat perjanjian dengan penyedia kantin untuk
mengimplementasikan program zero to landfill
Berdasarkan grafik diatas terdapat penurunan total limbah yang signifikan dari
tahun 2010 sebesar 39,40 kg/ton sampai pada tahun 2018 penurunan sebesar 26,05 kg/ton.
Penurunan sebesar 13,35 kg/ton merupakan hasil yang cukup baik bagi perusahaan besar
seperti Unilever. Upaya terus dilakukan dalam mengurangi limbah tersebut, namun untuk
menghilangkan adanya limbah B3 atau pun Non B3 untuk saat ini masih sulit diterapkan
khusunya industri yang menggunakan bahan kimiawi dalam produksinya.
Limbah daur ulang saat ini juga menjadi salah satu tujuan untuk memnimalisir
limbah yang dihasilkan, salah satu contoh kegiatan yang dilakukan bersama masyarakat
adalah program Bank Sampah yang bekerjasama dengan Kementrian Lingkungan Hidup
(KLHK). Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terdapat
5.244 bank sampah di Indonesia, 2.816 bank sampah diantaranya didukung oleh Unilever.
Ini menunjukkan tingkat kepedulian kami terhadap pengembangan bank sampah di
Indonesia. Program bank sampah bertujuan untuk memberdayakan masyarakat untuk secara
mandiri mengumpulkan, memisahkan, dan mendaur ulang sampah dan mengubahnya
menjadi tabungan (PT Unilever Indonesia, 2018).
Pada tahun 2018, Unilever mencoba memulai pendekatan baru dengan melibatkan
sekolah untuk secara aktif berpartisipasi dalam mendirikan bank sampah. Para guru dan
siswa sekolah didorong untuk menjadi anggota bank sampah. Pendekatan ini menghasilkan
pertumbuhan anggota bank sampah yang signifikan 24,76%. Sepanjang tahun ini, Unilever
juga telah mengimplementasikan program ini di lebih banyak kota dengan menjangkau 37
kota di 12 provinsi di seluruh Indonesia (PT Unilever Indonesia, 2018). Program ini dinilai
cukup efektif untuk membantu Unilever dalam menggunakan Teknologi CreaSolv®.
Karena salah satu masalah pengolahan sampah plastik adalah kesadaran masyarakat dalam
memisahkan sampah organik dan non organik, sehingga bank sampah ini di harapkan dapat
membantu mengumpulkan sampah yang dihaslkan Unilever untuk dilakukan
pengolahannya.
BAB III
KESIMPULAN
Pada era globalisasi ini semakin banyak industri yang bermunculan. Industri
tersebut disamping memenuhi segala kebutuhan hidup manusia juga memberikan dampak
negatif terhadap manusia akibat terjadinya pencemaran lingkungan. Seiring dengan
bertambahnya industri, tak sedikit pula yang mulai memperhatikan isu pencemaran
lingkungan. Salah satu dampak dari aktivitas industri tersebut adalah limbah yang
dihasilkan oleh perusahaan. Limbah tidak hanya dihasilkan dari aktivitas produksi
perusahaan, tetapi juga dapat dihasilkan dari aktivitas supply chain, dimana supply chain
tersebut mencakup proses dari hulu ke hilir yaitu proses untuk mendapatkan bahan mentah
hingga pendistribusiannya ke konsumen. Limbah dan emisi yang dihasilkan dari aktivitas
supply chain merupakan sumber utama masalah pencemaran lingkungan diantaranya
pemanasan global dan hujan asam (Bloemhof-Ruward,1995).
1. Pilar 6, Air Bersih dan Kebersihan : Kesehatan dan Kebersihan, Pemakaian Air
2. Pilar 7, Energi yang terjangkau dan Bersih : Upaya mengurangi emisi Gas Rumah
Kaca (GRK)
3. Pilar 9, Industri, Inovasi, dan Infrastruktur : GRK, Pemakaian Air, Limbah dan
Kemasan
4. Pilar 11, Kota dan Masyarakat yang Berkelanjutan : Kesehatan dan Kebersihan,
Limbah dan Kemasan
5. Pilar 12, Konsumsi dan Produk yang Bertanggung Jawab : GRK, Pemakaian Air,
Limbah dan Kemasan
6. Pilar 13, Aksi Iklim : GRK, Pemakaian Air, Perolehan Bahan Baku yang
Berkelanjutan
7. Pilar 14, Kehidupan dalam Air : Limbah dan Kemasan
8. Pilar 15, Kehidupan di Darat : Perolehan Bahan Baku yang Berkelanjutan, Bank
Sampah dan Teknologi CreaSolv®
9. Pilar 17, Kemitraan disetiap Tujuan : Seluruh Pilar Unilever Sustainable Living
Plan (USLP)
Dr. Ir. Fatah Sulaiman, M. (2016). Strategi Pengelolaan Kawasan Industri Berkelanjutan. Serang:
Untirta Press.
Dwianto, M. D. (2019, Juli 31). Unilever Investasi Rp 156 Miliar Dirikan Pabrik Daur Ulang. (R.
Wulandhari, Interviewer)
Lumaela, A. K. (2013). Pemodelan Chemical Oxygen Demand (COD) Sungai di Surabaya Dengan
Metode Mixed Geographically Weighted Regression . JURNAL SAINS DAN SENI POMITS
Vol. 2, No.1.
Novrian, D. (2020, Februari 21). Pengelolaan Limbah di Unilever Cikarang. (Murni, Interviewer)
Sharukh Khan, Vivek Paliwal, Vikrant Vikram Pandey, Vijay Kumar. (2015). Biomass as
Renewable Energy . International Advanced Research Journal in Science, Engineering and
Technology (IARJSET) , Vol.2.
Susanthi, D. (2018). Evaluasi Pengolahan Air Limbah Domestik dengan IPAL Komunal di Kota
Bogor . Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol 19 No 2, 233.
The Fraunhofer IVV. (2020, Februari 23). Recycling plastics - The CreaSolv® Process. Retrieved
Februari 23, 2020, from The Fraunhofer IVV: https://www.ivv.fraunhofer.de/en/recycling-
environment/recycling-plastics.html
Valavanidis, A. (2018). Concept and Practice of the Circular Economy. Turning goods at the end of
their service life into resources, closing loops in industrial ecosystems and minimizing
waste . SCIENTIFIC REVIEWS .
Lampiran Jurnal Internasional
Abstract
This paper discusses biomass as a renewable energy source. The paper defines the
resources as well as the ways biomass energy is converted into electricity, technologies
involved in extracting power from biomass as well as the advantages and the disadvantages
of using of biomass as a source of energy. The paper also reviews a few biomass projects in
the INDIA, STATES OF IT and some other parts of world and discusses the future of
biomass.
3. Valavanidis, A. (2018). Concept and Practice of the Circular Economy. Turning
goods at the end of their service life into resources, closing loops in industrial
ecosystems and minimizing waste . SCIENTIFIC REVIEWS.
Abstract
Circular Economy (CE) is a concept that would turn goods at the end of their service life
into resources for others, closing loops in industrial ecosystems, minimizing waste and
following sustainable methods. A report of the European Commission in 2014 estimated
that with a Circular Economy type transitions in the EU countries can create 600 billion
euros annual economic gains for the EU manufacturing sector. Even China after many
years of rapid economic growth adopted the Circular Economy concept in the last two „Five
Year Plans‟ drawn up by the Chinese government. China understands that is imperative to
change course in the use of raw materials, energy sources and industrial processes which
produce excessive waste. Circular Economy is connected with sustainable development. It
is a system of resources utilization where reduction, reuse and recycling of materials
prevails, cutting down waste to a minimum and with the use of biodegratable products
recycle the rejected products back to the environment.