Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

Menelusuri Sejarah dan Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai Jalan


Menumbuhkan Sikap Positif terhadap Bahasa Indonesia

Oleh: I Putu Mas Dewantara

Pengantar
Meluasnya minat masyarakat dunia terhadap bahasa Indonesia tentu patut kita
apresiasi. Hal ini menandakan bahwa bahasa Indonesia diperhitungkan sebagai salah satu
bahasa yang penting dalam konteks komunikasi global. Namun, berbagai hasil kajian di dalam
negeri justru menunjukkan pelemahan sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Sebagai
contoh adalah penggunaan kosakata bahasa asing dalam berbahasa Indonesia dan
anggapan gengsi bahasa Indonesia yang dianggap kalah dibandingkan bahasa asing.
Kecintaan, kebaanggaan, dan kesadaran akan norma bahasa mulai melemah. Untuk itu,
penelusuran terhadap sejarah dan kedudukan bahasa diperlukan sebagai jalan
menumbuhkan pemahaman pentingnya keberadaan dan posisi bahasa Indonesia bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara.

1.1 Bahasa Persatuan


Di Indonesia banyak terdapat bahasa yang kemudian dikenal sebagai bahasa daerah
seperti bahasa Jawa, bahasa Madura, bahasa Bali, bahasa Sunda, bahasa Bugis, dan
sebagainya. Bahasa-bahasa itu merupakan alat komunikasi etnis. Bahasa Jawa merupakan
alat komunikasi etnis Jawa, bahasa Madura merupakan alat komunikasi etnis Madura, bahasa
Sunda merupakan alat komunikasi etnis Sunda, demikian juga bahasa-bahasa daerah yang
lain. Nama bahasa itu diambil dari nama etnis pemakainya. Namun demikian, sampai
pertengahan 1928 tidak pernah dikenal dan muncul istilah “bahasa Indonesia”.

Istilah bahasa Indonesia itu sendiri baru muncul menjelang lahirnya sumpah pemuda 28
Oktober 1928. Pada 28 Oktober 1928 berbagai organisasi pemuda berikrar menjunjung tinggi
bahasa persatuan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang kini dipakai sebagai bahasa
resmi di Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Nama baru ini bersifat politis, sejalan dengan
nama negara yang diidam-idamkan. Perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa
Indonesia tidak terjadi dalam waktu yang singkat, tetapi mengalami proses pertumbuhan
secara perlahan dengan perjuangan yang sangat keras.
Istilah “bahasa Indonesia” untuk menyebut “bahasa Melayu” yang digunakan di
Indonesia telah digunakan oleh sejumlah linguis Eropa. Penggunaan istilah ini terutama
terlihat setelah adanya pemilahan pembakuan bahasa yang dipertuturkan di dua wilayah pada

1
awal abad ke-20. Indonesia (dulu disebut Hindia Belanda) pada tahun 1901 mengadopsi
ejaan Van Ophuijsen, sedangkan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi
bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.
Penggunaan nama ‘bahasa Indonesia’ untuk menyebutkan bahasa persatuan tentunya
telah mengundang sejumlah pertanyaan. Salah satu pertanyaan tersebut adalah, mengapa
justru bahasa Melayu yang diangkat sebagai bahasa persatuan? Padahal, jumlah penutur
bahasa Jawa saat itu hampir separuh jumlah penduduk Indonesia. Mengapa bukan bahasa
Jawa, bahasa Sunda, atau bahasa lainnya?

Berkenaan dengan hal tersebut, setidaknya ada berbagai pendapat yang disampaikan
oleh para ahli mengenai faktor diangkatnya bahasa Melayu (yang kemudian disebut bahasa
Indonesia) sebagai bahasa persatuan (nasional). Dari pendapat-pendapat yang disampaikan
oleh Slametmulyana (1965), Suharianto (1981), dan Moelino (2000) dapat ditarik simpulan
bahwa setidaknya ada empat faktor penyebab diangkatnya bahasa Melayu (Indonesia)
sebagai bahasa persatuan (nasional), yaitu:

(1) Faktor sejarah


Sejarah telah membantu penyebaran bahasa Melayu. Bahasa Melayu merupakan lingua
franca (bahasa perhubungan atau perdagangan) di Indonesia. Malaka pada masa
jayanya menjadi pusat perdagangan dan pengembangan agama Islam. Dengan bantuan
para pedagang, bahasa Melayu disebarkan ke seluruh pantai nusantara terutama di kota-
kota pelabuhan. Bahasa Melayu menjadi bahasa perhubungan antarindividu. Karena
bahasa Melayu itu sudah tersebar dan boleh dikatakan sudah menjadi bahasa sebagian
penduduk, pemerintah Belanda (penjajah) melalui Gubernur Jenderal Rochusen
kemudian menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di sekolah untuk
mendidik calon pegawai negeri bangsa bumiputra.
Penutur bahasa Jawa pada 1928 diperkirakan sekitar 40% dari seluruh penduduk Hindia
Belanda, tetapi bahasa ini digunakan hanya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sementara
bahasa Melayu (sebagaimana yang dikuasai oleh para pemimpin bangsa waktu itu)
didukung hanya sekitar 5%. Hanya saja bahasa Melayu, termasuk dialek-dialeknya di
berbagai wilayah Hindia Belanda, sudah sangat tersebar ke seluruh negeri, terutama di
wilayah-wilayah pantai dan pusat-pusat perdagangan (Sumarsono, 2007:5).
(2) Faktor kesederhanaan sistem
Bahasa Melayu mempunyai sistem yang sangat sederhana ditinjau dari segi fonologi,
morfologi, dan sintaksis. Karena sistemnya yang sederhana itu, bahasa Melayu mudah
dipelajari. Dalam bahasa ini tidak dikenal gradasi (tingkatan) bahasa seperti dalam
bahasa Jawa atau bahasa Sunda dan Bali, atau pemakaian bahasa kasar dan bahasa
halus.

2
(3) Faktor psikologis
Suku bangsa Jawa dan Sunda secara sukarela menerima bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional. Ada keikhlasan mengabaikan semangat kesukuan karena sadar
perlunya kesatuan dan persatuan bangsa. Sejalan dengan hal itu, di dalam masyarakat
bangsa Indonesia tidak terjadi persaingan bahasa, yaitu persaingan di antara bahasa-
bahasa daerah untuk diangkat menjadi bahasa nasional.
(4) Faktor reseptif
Bahasa Melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa kebudayaan
dalam arti luas, yang memungkinkannya berkembang menjadi bahasa yang sempurna,
dalam arti dapat digunakan untuk merumuskan pendapat secara tepat dan mengutarakan
perasaan secara jelas. Keadaan ini disebabkan oleh sifat bahasa Melayu (Indonesia)
yang reseptif, terbuka, dan mudah menerima pengaruh dalam rangka memperkaya dan
menyempurnakan diri.

1.2 Kedudukan Bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting yang tercantum di dalam:

1. Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, “Kami putra dan putri Indonesia
menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.
2. Undang-Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan lambing Negara, serta
Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa “Bahasa Negara ialah Bahasa
Indonesia”.

Maka kedudukan bahasa Indonesia sebagai:

1. Bahasa Nasional

Kedudukan bahasa Indonesia berada di atas bahasa-bahasa daerah. Hasil Perumusan


Seminar Politik Bahasa Nasional yang diselenggarakan di Jakarta pada 25-28 Februari 1975
menegaskan bahwa dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia
berfungsi sebagai:

a. Lambang kebanggaan nasional


Sebagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia memancarkan nilai-nilai
sosial budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan keluhuran nilai yang dicerminkan bangsa
Indonesia, kita harus bangga, menjunjung, dan mempertahankannya. Sebagai realisasi
kebanggaan terhadap bahasa Indonesia, harus memakainya tanpa ada rasa rendah diri,
malu, dan acuh tak acuh. Kita harus bangga memakainya dengan memelihara dan
mengembangkannya.

3
b. Lambang identitas nasional
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan lambang bangsa
Indonesia. Hal ini berarti melalui bahasa Indonesia akan dapat diketahui identitas
seseorang, yaitu sifat, tingkah laku, dan watak seseorang sebagai bangsa Indonesia. Kita
harus menjaga penggunaan bahasa Indonesia agar jangan sampai ciri kepribadian kita
tidak tercermin di dalamnya. Jangan sampai bahasa Indonesia tidak menunjukkan
gambaran bangsa Indonesia yang sebenarnya.

c. Alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya
dan bahasanya
Dengan fungsi ini memungkinkan masyarakat Indonesia yang beragam latar
belakang sosial budaya dan berbeda-beda bahasanya dapat menyatu dan bersatu dalam
kebangsaan, cita-cita, dan rasa nasib yang sama. Dengan bahasa Indonesia, bangsa
Indonesia merasa aman dan serasi hidupnya karena tidak merasa bersaing dan tidak
merasa lagi ‘dijajah’ oleh masyarakat suku lain. Hal ini diperkuat dengan adanya
kenyataan bahwa dengan menggunakan bahasa Indonesia, identitas suku dan nilai-nilai
sosial budaya daerah masih tercermin dalam bahasa daerah masing-masing. Kedudukan
dan fungsi bahasa daerah masih tegar dan tidak tergoyahkan sedikit pun. Bahkan,
bahasa daerah diharapkan dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia.

d. Alat penghubung antarbudaya antardaerah


Manfaat bahasa Indonesia dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
adanya bahasa Indonesia seseorang dapat saling berhubungan untuk segala aspek
kehidupan. Bagi pemerintah, segala kebijakan dan strategi yang berhubungan dengan
ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan mudah
diinformasikan kepada warga. Apabila arus informasi antarmanusia meningkat berarti
akan mempercepat peningkatan pengetahuan seseorang. Apabila pengetahuan
seseorang meningkat berarti tujuan pembangunan akan cepat tercapai.

2. Bahasa Negara (Bahasa Resmi NKRI)

Dalam Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional yang diselenggarakan di


Jakarta pada 25 s.d. 28 Februari 1975 dikemukakan bahwa di dalam kedudukannya sebagai
bahasa negara, bahasa Indonesia befungsi sebagai:

a. Bahasa resmi kenegaraan


Bukti bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan adalah
digunakannya bahasa Indonesia dalam naskah proklamasi kemerdekaan RI 1945. Mulai
saat itu bahasa Indonesia digunakan dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan
kenegaraan.

4
b. Bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan
Bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga
pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi. Untuk
memperlancar kegiatan belajar mengajar, materi pelajaran yang berbentuk media cetak
hendaknya juga berbahasa Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan menerjemahkan
buku-buku yang berbahasa asing. Apabila hal ini dilakukan, maka akan sangat membantu
peningkatan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan
teknolologi (IPTEK).

c. Bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan


perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan
Bahasa Indonesia dipakai dalam hubungan antarbadan pemerintah dan
penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu hendaknya
diadakan penyeragaman sistem administrasi dan mutu media komunikasi massa. Tujuan
penyeragaman dan peningkatan mutu tersebut agar isi atau pesan yang disampaikan
dapat dengan cepat dan tepat diterima oleh masyarakat.

d. Bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan


serta teknologi modern
Kebudayaan nasional yang beragam berasal dari masyarakat Indonesia yang
beragam pula. Dalam penyebarluasan ilmu dan teknologi modern agar jangkauan
pemakaiannya lebih luas, penyebaran ilmu dan teknologi, baik melalui buku-buku
pelajaran, buku-buku populer, majalah-majalah ilmiah maupun media cetak lain,
hendaknya menggunakan bahasa Indonesia. Pelaksanaan ini mempunyai hubungan
timbal-balik dengan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu yang dirintis lewat
lembaga-lembaga pendidikan, khususnya di perguruan tinggi.

1.3 Fungsi Bahasa Indonesia


Selain fungsi bahasa sebagaimana kedudukan bahasa Indonesia baik sebagai bahasa
resmi dan bahasa negara, fungsi bahasa Indonesia juga sering dipilah menjadi 2 bagian, yaitu
fungsi bahasa secara umum dan secara khusus (Pangabean, 1981; Syamsuddin, 1986).
Fungsi bahasa secara umum antara lain:

a. Sebagai alat untuk mengekspresikan diri


Melalui bahasa kita dapat menyatakan gambaran, maksud, gagasan, dan perasaan
secara terbuka yang tersirat di dalam hati dan pikiran kita.
b. Sebagai alat komunikasi
Komunikasi merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri. Manusia memakai dua
cara berkomunikasi, yaitu verbal dan nonverbal. Berkomunikasi secara verbal dilakukan

5
menggunakan alat/media bahasa (lisan dan tulis), sedangkan berkomunikasi secara
nonverbal dilakukan menggunakan media berupa aneka simbol, isyarat, kode, dan bunyi
seperti tanda lalu lintas, sirene, kentongan, dan sebagainya yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa manusia.

c. Sebagai alat berintegrasi dan beradaptasi sosial


Pada saat beradaptasi di lingkungan sosial, seseorang akan memilih bahasa yang
digunakan tergantung situasi dan kondisi yang dihadapi. Dengan menguasai bahasa
suatu bangsa memudahkan seseorang untuk berbaur dan menyesuaikan diri dengan
bangsa tersebut.

d. Sebagai alat kontrol sosial


Kontrol sosial dapat diterapkan pada diri sendiri dan masyarakat, contohnya buku-buku
pelajaran, ceramah agama, orasi ilmiah, mengikuti diskusi serta iklan layanan
masyarakat. Contoh lain yang menggambarkan fungsi bahasa sebagai alat kontrol sosial
yang sangat mudah kita terapkan adalah sebagai alat peredam rasa marah.

Fungsi bahasa secara khusus:

a. Mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak terlepas dari hubungan komunikasi dengan
makhluk sosial lainnya. Komunikasi yang berlangsung dapat menggunakan bahasa
formal dan nonformal.

b. Mewujudkan seni (sastra)

Bahasa Indonesia dapat dipakai untuk mengungkapkan perasaan melalui media seni,
seperti syair, puisi, prosa, dan lain-lain. Terkadang bahasa yang digunakan memiliki
makna konotasi atau makna yang terselubung. Dalam hal ini, diperlukan pemahaman
yang mendalam agar bisa mengetahui makna yang ingin disampaikan pengarangnya.

c. Mempelajari bahasa-bahasa kuno

Dengan mempelajari bahasa kuno akan dapat diketahui peristiwa atau kejadian di masa
lampau untuk mengantisipasi kejadian yang mungkin atau dapat terjadi kembali di masa
yang akan datang, atau hanya sekadar memenuhi rasa keingintahuan tentang latar
belakang dari suatu hal. Misalnya untuk mengetahui asal dari suatu budaya, dapat
ditelusuri melalui naskah kuno atau penemuan prasasti-prasasti.

6
d. Mengeksploitasi IPTEK

Dengan jiwa dan sifat keingintahuan yang dimiliki manusia, serta akal dan pikiran yang
sudah diberikan Tuhan kepada manusia, maka manusia akan selalu mengembangkan
berbagai hal untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Pengetahuan yang dimiliki oleh
manusia akan selalu didokumentasikan supaya manusia lainnya juga dapat
mempergunakannya dan melestarikannya demi kebaikan manusia itu sendiri.

1.4 Bahasa Indonesia di Era Globalisasi


Era globalisasi oleh banyak orang diidentikkan dengan penginggrisan bahasa
masyarakat. Cara berpikir seperti ini tidak hanya berkembang di tengah masyarak umum,
namun juga pada pengambil keputusan di bidang pendidikan, guru, dan dosen. Tidak heran
kalau dahulu pernah ada isu penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di kelas-
kelas rendah. Untung saja para pemikir di bidang pendidikan bereaksi cepat dan menolak
usulan seperti itu. Bisa dibayangkan bagaimana nasib BI yang selama ini adalah bahasa
pengantar resmi dalam dunia pendidikan akan kehilangan tempatnya jika hal tersebut benar
terjadi. Tindakan seperti ini sama saja dengan merendahkan bahasa kita sendiri.
Globalisasi hendaklah bisa kita maknai lebih bijak. Sebagai contoh, di Jepang,
globalisasi dimaknai pengglobalan bangsa atau negara bukan pengglobalan individu melalui
penginggrisan bahasa masyarakat seperti yang terjadi di Indonesia. Di Jepang, pelajar tingkat
menengah dan atas tidak harus menunggu fasih berbahasa Inggris untuk dapat menikmati
karya ilmiah atau karya seni asing karena kebijakan pemerintah Jepang yang menerjemahkan
semua referensi berbahasa asing ke dalam bahasa Jepang. Hal ini menyebabkan inovasi
tumbuh dengan cepat dan subur di Jepang, dan bahasa Jepang juga menikmati hasil dari
kebijakan strategis ini. Pemerintah Jepang telah mengangkat martabat bahasanya sendiri
sebagai bahasa ilmu pengetahuan.
Di Indonesia, bahasa Inggris didudukkan lebih bergengsi, tidak hanya oleh sebagaian
besar penutur bahasa Indonesia, namun pemerintah pun juga melakukannya. Sebagai
contoh, ketika seorang ingin melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, mencari
pekerjaan, beasiswa, pengusulan nomor induk dosen, sertifikasi dosen, dan sejenisnya,
penguasaan bahasa Inggris melalui toefl, toep, dan sejenisnya menjadi salah satu syaratnya.
Sementara itu, penguasaan bahasa sendiri, misalnya melalui UKBI (Uji Kemahiran Berbahasa
Indonesia), tidak masuk dalam syarat-syarat yang ada. Bahasa Inggris tampaknya mendapat
tempat yang istimewa. Yang menjadi pertanyaan kita bersama adalah “Apakah ukuran
penguasaan bahasa Inggris adalah jaminan penguasaan dan perkembangan IPTEKS?”
Marilah kembali kita berkaca pada negeri sakura, Jepang.

7
Munculnya Kurikulum 2013 (K13) membawa angin segar bagi upaya memartabatkan BI
sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Mahsun (2014:95) menjelaskan bahwa menjadikan BI
sebagai bahasa ilmu pengetahuan mengandung makna adanya ikhtiar melakukan
penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan berbahasa asing ke dalam BI. Penerjamahan
tersebut selain akan mempermudah penyebaran ilmu pengetahaun ke berbagai lapisan
masyarakat Indonesia, juga secara tidak langsung menumbuhkan kepercayaan diri bangsa
akan kemampuan BI sebagai lambang dan jati diri bangsa. Lebih lanjut dijelaskan oleh
Mahsun bahwa seiring dengan kepercayaan diri tersebut, dapat menciptakan motivasi untuk
berani berinovasi dengan memanfaatkan potensi diri menuju kemajuan bangsa. Penumbuhan
kepercayaan diri sebagai bangsa melalui politik identitas merupakan upaya yang patut kita
apresiasi.
Adanya ketakutan apabila buku bahasa asing diterjemahkan maka akan mengurangi
kemampuan pelajar dalam berbahasa Inggris dan berdampak pada persaingan di era
globalisasi merupakan suatu anggapan dan ketakutan yang keliru. Perlu ditekankan kembali
bahwa bersaing di era global bukanlah merujuk ke persaingan individu, namun persaingan
secara nasional. Mengembangkan dan memartabatkan BI sebagai bahasa modern bukan
berarti meniadakan bahasa asing, namun lebih pada upaya untuk dapat menyerap dan
memahami ilmu pengetahuan secara dini agar jangan sampai menunggu kefasihan
berbahasa asing dahulu baru dapat menyerap kemajuan teknologi.
Politik identitas melalui pemartabatan BI dalam K13 dapat dikatakan adalah upaya
penyelamatan budaya dan karakter bangsa yang mulai memudar. Pertanyaan yang muncul
adalah ‘apa hubungan antara bahasa dan budaya-karakter bangsa?’. Ada banyak teori yang
dapat digunakan untuk menjawab hubungan antara budaya-karakter dan bahasa, seperti teori
Von Humbolt, Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf, Jean Piaget, Vygotsky, dan teori tokoh-
tokoh lainnya. Dari sekian teori yang ada, kebanyakan orang mengangkat teori Edward Sapir
dan Benjamin Lee Whorf untuk memberikan penjelasan hubungan antara budaya-karakter
(pikiran) dan bahasa. Dua hipotesis yang digunakan untuk menjelaskan hal ini adalah (1)
Linguistic Relativity Hypothesis yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara
umum paralel dengan perbedaan kognitif nonbahasa (nonlinguistic cognitive). Perbedaan
bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut (Brown,
2007:46; Djojosuroto, 2007:289; Alwasilah, 2010:87) dan (2) linguistic determinism yang
menyatakan bahwa struktur bahasa memengaruhi cara individu mempersepsi dan menalar
dunia perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan
struktur yang sudah ada dalam bahasa. Dua hipotesis Sapir-Whorf menjelaskan bahwa
bahasa memengaruhi pikiran (budaya dan karakter).
Jika kita memercayai bahwa bahasa memiliki hubungan dengan pikiran, berarti kita
hendaknya bisa memercayai juga bahwa penggunaan bahasa secara tidak taat asas juga

8
akan berdampak pada karakter penutur bahasa itu yang tidak memiliki pendirian terhadap
bahasa dan budayanya sendiri. Penutur bahasa yang tidak memiliki sikap positif terhadap
bahasanya sendiri tentunya akan berdampak pada martabat bahasa itu sendiri dalam konteks
global. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang toleran, namun, yang harus diingat adalah
bukan toleran terhadap perilaku abai asas dalam penggunaan BI.

Realita Sikap Bahasa di Era globalisasi


Garvin dan Mathiot (dalam Chaer dan Agustina, 2010:153) merumuskan tiga ciri sikap
bahasa positif, yaitu:
(a) Kesetiaan Bahasa (Language Loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa
mempertahankan bahasanya dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain.
(b) Kebanggaan Bahasa (Language Pride) yang mendorong orang mengembangkan
bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat.
(c) Kesadaran adanya norma bahasa (Awareness Of The Norm) yang mendorong orang
menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun merupakan faktor yang sangat
besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language
use).
Tiga ciri tersebut tampaknya mulai pudar pada era globalisasi sekarang ini. Sebagai
contoh, dengan mudah dapat dijumpai kalimat-kalimat berikut dalam percakapan sehari-hari.

(1) Data itu sudah di-download kemarin.


(2) Acara besok kita cancel saja.
(3) Nanti sore kita ada meeting.

Penggunaan BI campuran yang demikian sebaiknya dihindari dengan cara mencoba mencari
padanan kata bahasa asing dalam BI. Setia berbahasa Indonesia adalah suatu sikap
positif berbahasa yang tetap berpegang teguh untuk memelihara, menjaga, dan
menggunakan BI secara baik dan benar serta berusaha membina dan mengembangkan
bahasa Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan global dan mencegah pengaruh
asing yang berlebihan. Marilah bersama mencoba setia berbahasa Indonesia dengan
berusaha tidak memasukkan unsur asing dalam penggunaan BI sehari-hari.
Fenomena kebahasaan yang juga menarik untuk diperbincangkan adalah penggunaan
nama-nama asing untuk menyebut nama gedung atau lembaga usaha, seperti temuan
Nugrahani (2013) bahwa masyarakat multikultural di Solo Raya memiliki sikap negatif
terhadap BI dalam memberikan nama terhadap hotel dan restoran karena bahasa asing
dianggap lebih bergengsi dan memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Hal ini tentunya
bertentangan dengan Pasal 36 UU No. 24 Tahun 2009 yang berbunyi “Bahasa Indonesia
wajib digunakan sebagai nama geografi di Indonesia, nama bangunan atau gedung, nama

9
jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang,
lembaga usaha, lembaga pendidikan, dan organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga
negara Indonesia atau badan hukum Indonesia”.
Bangga berbahasa Indonesia adalah suatu sikap positif berbahasa yang merasa
berbesar hati dan gagah dengan lebih mengutamakan BI daripada bahasa lainnya,
menjunjung bahasa persatuan, dan menggunakan BI penuh kebanggaan dan kesadaran
sebagai jati diri bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berdaulat. Namun, belakangan
ini fenomena yang menunjukkan sikap tidak bangga terhadap BI dapat kita temui dengan
mudah di tempat-tempat umum, seperti penggunaan kata pada papan penunjuk misalnya
welcome, exit, push, dan sebagainya. Yang menjadi sorotan banyak pihak adalah pidato elit
politik bangsa ini yang sering menyelipkan bahasa Inggris bahkan ada yang seluruhnya
menggunakan bahasa Inggris. Padahal, hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Pasal 28
UU No. 24 Tahun 2009 yang berbunyi “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi
Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negera yang lain yang disampaikan di dalam atau di
luar negeri”.
Sikap sadar kaidah BI yang baik dan benar, terutama patuh menggunakan kaidah BI
untuk ragam tulis dan baku, tidak sembarangan menggunakan BI, dan dapat mengangkat
harga diri sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat, seperti terukir dalam ungkapan
“Bahasa cermin bangsa”, “Bahasa jati diri bangsa”, “Bahasa menunjukkan bangsa” begitu
diperlukan. Masih sering kita jumpai pengguna BI yang tidak sadar kaidah walaupun hal
tersebut sudah pernah ditekankan, pengguna bahasa seakan ‘ogah’ menggunakan BI yang
baik dan benar. Berikut adalah contoh penggunaan BI yang tidak tepat yang sering dilakukan.

(4) Untuk menyingkat waktu, acara kita mulai.


(5) Kepada Bapak pemakalah, waktu dan tempat dipersilahkan.

Perbaikan kalimat-kalimat tersebut sulit dilakukan karena pengguna bahasa sendiri yang
tidak mau memperbaiki bahasanya walaupun sudah mengetahui bahwa kalimat-kalimat
tersebut salah. Kebiasaan dijadikan alasan pembenaran dari perilaku abai kaidah tersebut.
Alasan itu juga digunakan ketika menggunakan bentukan-bentukan berikut.

Salah Seharusnya
mempesona memesona
mempengaruhi memengaruhi
mempercayai memercayai
mempedulikan memedulikan
memperkosa memerkosa

10
Bank BCA [ BCA [be.ce.a]
be.se.a]
kepala sekolah kepala SD
SD

Perilaku abai kaidah ini tentunya membutuhkan penanganan serius karena sebaik apapun
kaidah disusun namun apabila pengguna bahasa tidak mau menaatinya, kaidah itu hanya
akan menjadi pajangan.

Realita Penggunaan Bahasa di Lingkungan Keluarga


Di era globalisasi ini penggunaan BI dalam kedudukan “mengancam dan terancam”.
Dikatakan mengancam karena BI di lingkungan keluarga mengancam penggunaan bahasa
daerah. Sebagai contoh, banyak keluarga yang memilih BI sebagai bahasa ibu untuk
anaknya. Keadaan ini tidak hanya terjadi di daerah perkotaan, tetapi juga banyak terjadi di
daerah pedesaan. Sebaliknya, BI juga dalam posisi terancam oleh penggunaan bahasa asing
di lingkungan keluarga. Belakangan ini banyak orang tua (umumnya yang memiliki pendidikan
tinggi) mengajarkan bahasa Inggris ke anaknya sebagai bahasa ibu. Akibatnya, mereka tidak
bisa bekomunikasi dengan BI. Dari hasil wawancara yang telah dilakukan, alasan pemilihan
bahasa Inggris sebagai bahasa ibu tampaknya lebih kepada alasan gengsi (memandang
bahasa Inggris jauh lebih baik, lebih memartabatkan anak). Tidak ada kekhawatiran orang tua
akan hal-hal yang menyangkut pendidikan dan komunikasi si anak karena dirasa banyak
sekolah internasional yang tersedia dan anak nantinya diyakini pasti bisa berbahasa
Indonesia.
Alwasilah (2012:84) menyebutkan bahwa secara sosial dan kultural bahasa ibu adalah
bahasa yang padat budaya. Ketika anak belajar bahasa dari ibunya untuk pertama kali, ia
tidak hanya belajar satuan-satuan lingual yang bisa digunakan untuk berkomunikasi, tetapi
juga belajar kearifan yang terkandung dalam budayanya. Melalui bahasa ibu identitas
kulturnya terbentuk, termasuk pandangan hidup dan cara berpikirnya. Jika demikian, dapat
dikatakan bahwa penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu selain mengancam
kedudukan BI juga mengancam masalah budaya dan karakter bangsa. Dengan kata lain,
dominasi bahasa Inggris tidak hanya berdampak pada bahasa yang kemudian menjadi
subordinat atau bahkan termaginalkan, melainkan juga berdampak pada aspek kebudayaan,
seperti berkurangnya pemahaman dan penghargaan terhadap budaya sendiri.

11
Realita Penggunaan Bahasa di Lingkungan Pendidikan
Dahulu sebelum Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memutuskan untuk
menghentikan penyelenggaraan pendidikan rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI),
BI mendapat tekanan yang demikian kuat dalam penggunaannya sebagai bahasa pengantar
dalam dunia pendidikan. Keputusan MK tersebut patutlah diapresiasi sebagai upaya
mendudukkan kembali BI sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. Walaupun,
tekanan terhadap BI belum berhenti sampai di sana. Sebagai contoh, banyak sekolah yang
akhirnya mengajarkan bahasa asing (bahasa Inggris) sebagai muatan lokal. Bahkan,
pemilihan bahasa Inggris sebagai muatan lokal (yang ditonjolkan) tidak hanya terjadi di
sekola-sekolah tingkat menengah dan atas, tetapi juga terjadi pada sekolah dasar dan
prasekolah. Sekolah-sekolah ini berani mengklaim diri sebagai sekolah unggul dan memungut
biaya yang lebih tinggi.
Pembelajaran bahasa asing pada usia dini sementara penguasaan bahasa ibu atau
bahasa nasional belum kokoh akan lebih banyak menjadi gangguan atau merusak
perkembangan bahasa ibu atau bahasa nasional siswa (Bialystok & Hakuta dalam Aminudin
Aziz, tt). Ada memang hasil studi yang menunjukkan bahwa pembelajar yang dipajankan
kepada beberapa bahasa secara bersamaan dapat berhasil menguasai bahasa-bahasa itu.
Namun studi tersebut tidak secara jelas menyatakan bahwa keterampilan berbahasa para
pembelajar dalam bahasa-bahasa itu sama kuatnya, sehingga mereka fasih dalam semua
bahasa yang dipelajarinya secara bersamaan itu. Yang justru mengkhawatirkan adalah
adanya bukti-bukti dari studi lain yang menunjukkan bahwa pemajanan sekaligus beberapa
bahasa akan lebih banyak menjadi pemicu tidak tercapainya kompetensi berbahasa secara
optimal, bukan hanya dalam satu bahasa, tetapi justru dalam semua bahasa yang dipelajari
secara bersamaan itu (Aminudin Aziz, tt).
Di tingkat pendidikan yang lebih tinggi, seperti di perguruan tinggi, fenomena
penggunaan BI oleh mahasiswa dan dosen juga tampaknya mulai terdesak oleh bahasa
Inggris dalam tataran leksikal. Jamak ditemui tuturan mahasiswa maupun dosen yang
mengandung kosakata bahasa Inggris. Berikut adalah beberapa kata yang sering digunakan
oleh mahasiswa dan dosen dalam tuturannya.

Biasanya Seharusnya Biasanya Seharusnya


subject subjek research penelitian
next lanjut job pekerjaan
skip lewati schedule jadwal
pending tunda sample sampel
at list pada you kamu
kenyataannya

12
Realita Penggunaan Bahasa di Media Massa
Dari hasil wawancara penulis terhadap beberapa orang mengenai di mana biasanya
mereka menemukan kosakata baru yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari.
Jawabannya ternyata adalah melalui media massa/sosial. Saat ini, keterbukaan akses
internet yang merambah hingga ke pelosok desa membuat media massa/sosial betul-betul
menjamur. Siapapun bisa mengaksesnya, selama terkoneksi oleh jaringan internet.
Media massa, baik cetak maupun elektronik, memiliki posisi vital dalam upaya
pembinaan penggunaan bahasa di masyarakat. Bahasa yang digunakan dalam media massa
dengan cepat dapat dicontoh oleh masyarakat dan sangat berpengaruh dalam kehidupan
berbahasanya. Kata-kata yang digunakan dalam media massa sering dianggap memiliki
keberterimaan dan keterfahaman yang lebih tinggi di masyarakat. Di satu sisi anggapan ini
mungkin benar adanya, tetapi di sisi lain, sering juga digunakan istilah dari bahasa asing baik
karena keterbatasan pemahaman tentang kosakata yang dimiliki oleh pewarta ataupun
karena ingin mencari sensasi terhadap berita atau acara yang ada.
Dari hasil penelusuran terhadap judul acara televisi yang tanyang pada 12 Mei 2015
(www.jadwaltelevisi.com) diketahui bahwa bahasa yang digunakan dalam judul acara televisi
dapat dikelompokkan ke dalam 4 kategori, yaitu (1) judul acara yang menggunakan BI, (2)
judul acara yang menggunakan bahasa asing dengan konten BI, (3) judul acara berbahasa
asing dengan konten bahasa asing, dan (4) judul acara bercampur kode antara BI dan bahasa
asing. Agar lebih jelas, empat kategori tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1.1 Judul Acara Televisi pada Selasa, 12 Mei 2015


Judul Acara
Berbahasa Berbahasa Berbahasa Bercampur
Stasiun Indonesia Asing Asing Kode antara
No. dengan dengan BI dan Jumlah
TV
Konten Konten Bahasa
Berbahasa Berbahasa Asing
Indonesia Asing
1. ANTV 18 66,67% 8 29,63% - - 1 3,70% 27 100%
2. Global 9 39,13% 7 30,43% 6 26,09% 1 4,35% 23 100%
TV
3. Indosiar 12 63,16% 3 15,79% 3 15,79% 1 5,26% 19 100%
4. Kompas 14 66,67% 3 14,29% 2 9,52% 2 9,52% 21 100%
TV
5. Metro 12 52,17% 10 43,48% 1 4,35% - - 23 100%
TV
6. MNCTV 19 61,29% 6 19,35% - - 6 19,35% 31 100%

13
7. NET TV 10 38,46% 14 53,85% - - 2 7,69% 26 100%
8. RCTI 14 58,33% 8 33,33% - - 2 8,33% 24 100%
9. SCTV 17 89,47% 2 10,53% - - - - 19 100%
10. TRANS 18 81,82% 1 4,55% - - 3 13,64% 22 100%
TV
11. TRANS7 23 76,67% 2 6,67% 2 6,67% 3 10,00% 30 100%
12. TV One 8 40,00% 2 10,00% - 10 50,00% 20 100%
JUMLAH 174 61,05% 66 23,16% 14 4,91% 31 10,88% 285 100%

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 12 stasiun televisi pada Selasa, 12 Mei 2015
menanyangkan 285 mata acara. Dari 285 tersebut, 174 (61,05%) menggunakan BI sebagai
judul mata acaranya, 66 (23,16%) mata acara menggunakan judul berbahasa asing dengan
konten BI, 14 (4,91) mata acara menggunakan BI namun dengan konten bahasa asing, dan
31 (10,88%) menggunakan campuran kode BI dan bahasa asing. Judul acara televisi yang
berbahasa Indonesia merupakan hal yang wajar mengingat sasaran pemirsanya adalah
penduduk Indonesia. Namun, situasi berbeda terasa ketika mata acara di televisi dinamai
dengan bahasa asing yang memuat konten berbahasa Indonesia, misalnya, Eleven Show,
Wideshot, Trending Topic, Indonesia Morning Show, Intertainment News, The Coments,
Celebrity Lypsinc Combat, Tonight Show, Go Spot, Late Night Show, On The Spot, Coffe
Break, New Family 100 Kids, dan sebagainya. Pemilihan judul mata acara tampaknya
dianggap lebih menarik (mungkin juga lebih bagus atau lebih bergengsi) dibandingkan dengan
menggunakan judul berbahasa Indonesia.
Judul mata acara juga ada yang dibuat dengan cara menggabungkan kode BI dan
bahasa asing, misalnya, Insert (Informasi Seputas Selebritis) Update, Tukang Bubur Naik Haji
The Series, Rumpi (No Secret), Hot Kiss (Kisah Seputas Selebritis), Pesbuker, D’T3rong
Show Season 2, dan sebagainya. Mencampuradukkan BI dengan bahasa asing atau bahkan
menggunakan bahasa asing secara sengaja untuk judul mata acara televisi, bagaimanapun
menunjukkan sikap penutur bahasa yang kurang positif terhadap bahasanya. Sulit bagi kita
untuk mencari pembenaran akan pemilihan judul-judul mata acara televisi yang seperti ini.
Tidak bijak rasanya menyisihkan bahasa nasional kita hanya untuk tujuan mengejar sensasi
melalui judul-judul tersebut. Bahkan, semakin sulit dipahami alasan yang melandasi
penggantian huruf dengan angka dalam judul yang bercampur antara BI dan bahasa asing,
seperti kata terong yang diubah menjadi t3rong pada judul mata acara D’T3rong Show
Season 2.

14
Realita Penggunaan Bahasa di Masyarakat
Masyarakat biasanya menggunakan bahasa atas dasar keterpahaman. Karena itu,
masalah kaidah atau struktur tidak terlalu dipersoalkan. Sikap abai struktur inilah yang
menjadi cikal bakal melemahnya martabat BI yang baik dan benar. Himbauan untuk
menggunakan BI yang baik dan benar hanya dianggap angin lalu karena rasa memiliki dan
kebanggaan akan bahasa sendiri yang begitu kurang. Jika kita mau jujur, banyak di antara
masyarakat kita yang merasa lebih maju, modern, dan terhormat jika menyisipkan setumpuk
istilah bahasa asing dalam percakapan sehari-hari dan tulisan-tulisan, walaupun sudah ada
padanannya dalam bahasa Indonesia. Kaidah-kaidah yang telah disusun dengan sistematis
seringkali tidak dihiraukan, atau mungkinkah mereka tidak mengetahuinya?
Sebagai bukti rendahnya sikap bahasa masyarakat terhadap BI dapat penulis berikan
contoh di tempat-tempat umum misalnya kita lebih sering melihat tulisan berbahasa asing
yang tidak disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Tulisan “NO SMOKING” lebih
sering ditemukan dari pada “DILARANG MEROKOK”. Kita lebih sering menggunakan tanda
“EXIT” pada pintu keluar dan tanda “OPEN/CLOSE” pada pintu-pintu toko. Bahasa asing
memang lebih sering digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Ini menjadi tanda bahwa
masyarakat merasa bahasa asing lebih baik dari pada bahasa Indonesia. Jikapun BI dan
bahasa asing digunakan sebagai petunjuk, bahasa asing cenderung di tempatkan lebih
dahulu. Berikut adalah beberapa contoh lain penggunaan bahasa asing di masyarakat.

Gambar 1.1 Penggunaan Bahasa Asing pada Papan Penunjuk, Nama Acara, Slogan di
Masyarakat

Jika dicermati, tampaknya alasan utama digunakannya bahasa asing dalam contoh-
contoh di atas agar lebih mudah dipahami (untuk papan penunjuk objek wisata) dan lebih
bergengsi (untuk nama acara dan slogan). Namun, marilah kita renungkan kembali, benarkah
hal ini harus dilakukan? Haruskan memakai bahasa asing karena alasan kemudahan
pemahaman dan atau gengsi?

15
Upaya Pemartabatan BI di Era Globalisasi
Harus diakui bahwa upaya pemartabatan BI di era globalisasi bukanlah persoalan
mudah. Namun, tidak berarti kita hanya bisa berpasrah diri. Berbagai upaya perlu dilakukan
untuk menjadikan BI bermartabat di negeri sendiri dan di dunia. Sudah terbukti bahwa politik
bahasa yang sifatnya hanya perintah dari atas ke bawah belum berhasil menjamin tumbuhnya
kebanggaan memiliki dan menggunakan BI di kalangan para penuturnya. Perencanaan
bahasa melalui jalur pemerolehan lewat lembaga-lembaga pendidikan juga tidak bisa berjalan
mulus. Telah disebutkan di atas bahwa RSBI telah mendudukkan BI sebagai anak tiri dan
memosikannya di bawah bahasa asing. Padahal, pendidikan merupakan variabel yang
penting dalam mempengaruhi penggunaan bahasa sehari-hari. Di sekolahlah anak-anak yang
biasanya menggunakan bahasa daerah belajar BI.
Sesuai dengan problematika yang sedang dihadapi bangsa ini, yakni problematika
bahasa dalam hubungannya dengan masalah budaya dan karakter bangsa, realita
penggunaan bahasa di lingkungan keluarga, pendidikan, media massa, dan masyarakat yang
memberikan sinyal rendahnya sikap bahasa kita terhadap BI maka upaya pemartabatan BI
begitu mendesak dilakukan. Perubahan/pergantian kurikulum menjadi Kurikulum 2013 yang
menempatkan BI sebagai bahasa literasi hendaknya dapat terlaksana dengan baik, salah
satunya melalui penerjemahan literatur-literatur asing sehinga di samping IPTEKS dapat
diserap dengan cepat, BI pun akan berkembang dengan pesat, misalnya dengan
bertambahnya kosakata yang dimiliki. Hal ini akan benar-benar mendudukkan BI sebagai
bahasa ilmu pengetahuan. Tidak akan ada alasan lagi bahwa kosakata BI kurang dapat
digunakan sebagai media pengungkapan ilmu pengetahuan. BI pun tidak akan hanya
berfungsi sebagai lingua franca seperti di awal pertumbuhannya, tetapi bisa juga berfungsi
dan berperan sebagai bahasa ilmu, bahasa bisnis, bahasa sastra, dan cerminan harga diri
penutur dan bangsanya. BI bukan hanya menjadi tali pengikat antarsuku bangsa untuk bisa
saling memahami isi komunikasi di antara mereka. Lebih jauh daripada itu, BI naik perannya
menjadi instrumen yang akan digunakan penuturnya dalam setiap komunikasinya.
Upaya lain yang bisa dilakukan untuk pemartabatan BI adalah dengan meningkatkan
nilai ekonomis BI. Indonesia adalah negara yang memiliki potensi ekonomi tinggi karena
didukung oleh sumber daya alam yang melimpah. Tidak heran belakangan banyak negara
yang memasukkan BI pada kurikulum pendidikan mereka karena dianggap memiliki peran
strategis bagi kepentingan ekonomi. Saat ini terdapat sekitar 219 lembaga yang mengajarkan
BI untuk penutur asing di 73 negara (KOMPAS, 24/1/2008). Pasar Indonesia yang memiliki
potensi besar belum bisa menciptakan peningkatan mobilitas ekonomi yang berarti. Pasar ini
masih hanya menjadi objek bagi pihak luar ketimbang menjadi subjek dengan
mengedepankan produk barang dan jasa dari dalam negeri sendiri. Kondisi seperti ini akan
menjadi hambatan dalam meningkatkan daya saing dan daya pakai BI pada transaksi

16
ekonomi. Kemajuan ekonomi pada beberapa negara berkembang seperti China, Thailand,
dan Vietnam, misalnya, telah ikut mendorong perkembangan dan daya saing masing-masing
bahasa di tengah derasnya gelombang pengaruh penggunaan bahasa Inggris dalam produk
barang dan jasa yang mereka hasilkan. BI pun bisa berperan seperti itu apabila dukungan
politik dan sosial benar-benar berpihak kepada keinginan untuk menumbuhkembangkan BI.
Mengingat peran media massa dan tokoh elit yang demikian besar terhadap upaya
pembinaan bahasa, maka sudah semestinya media dan tokoh elit memungsikan dirinya
sebagai pencerah bukan perusak BI. Mereka haruslah menyadari bahwa bahasa yang
mereka gunakan memiliki kecenderungan yang besar untuk ditiru oleh pengguna bahasa lain.
Tidak hanya sampai di sana, harus pula disadari bahwa keberhasilan pembinaan karakter
melalui bahasa akan sangat bergantung kepada adanya contoh yang diberikan oleh
lingkungan pengguna dan penggunaan bahasa itu sendiri. Peran tokoh, baik itu pemimpin
formal maupun informal, mulai lingkungan keluarga, masyarakat, tempat bekerja, menjadi
sangat sentral dan instrumental. Dengan demikian, sinergi antarunsur masyarakat sangat
diperlukan.
Pemartabatan BI juga dapat dilakukan dengan pembinaan BI melalui media sosial.
Jejaring media sosial dapat menjadi saluran yang efektif bahkan mungkin satu-satunya cara
untuk menandingi berkembangnya keragaman BI yang tidak sesuai dengan kaidah sekaligus
sarana mendidik generasi muda agar memiliki sikap yang positif terhadap BI. Wieke Gur
(2013) mengatakan bahwa 97% dari 240 juta orang Indonesia menggunakan media sosial.
Mereka tidak lagi membaca koran atau mendengarkan radio. Menjelajah situs pun kurang
digemari. Media sosial sudah menjadi sarana komunikasi utama tempat mereka mendulang
dan berbagi berbagai informasi terkini. Orang Indonesia lebih suka berkomunikasi di
Facebook dan berkicau di Twitter. Dengan jumlah pengguna Twitter di Indonesia sebanyak
29 Juta orang, Indonesia menduduki peringkat kelima pengguna terbanyak setelah Amerika,
Brazil, Jepang, dan Inggris.
Media sosial sudah menjadi perangkat komunikasi yang ampuh dan jitu untuk
memasyarakatkan suatu informasi, membentuk hubungan sosial dan berkomunikasi dengn
publik secara sekaligus. Banyaknya penduduk Indonesia yang menggunakan media sosial
merupakan sebuah peluang bagi pembinaan bahasa melalui media sosial. Model penyuluhan
seperti ini tentunya akan semakin efektif jika ditunjang tampilan penyuluhan yang menarik
selain membahas masalah-masalah yang menarik pula.

Ringkasan
Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan. Pemilihan bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan telah melalui proses yang panjang. Bahasa Indonesia memiliki kedudukan
dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedudukan

17
bahasa Indonesia tercantum di dalam Sumpah Pemuda 1928 dan UUD 1945. Kedudukan
bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara. Sementara
itu, fungsi bahasa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu fungsi bahasa secara umum dan
secara khusus. Fungsi bahasa secara umum seperti (a) sebagai alat untuk mengungkapkan
perasaan atau mengekspresikan diri, (b) sebagai alat komunikasi, (c) sebagai alat integrasi
dan adaptasi, dan (d) sebagai alat kontrol sosial. Fungsi bahasa secara khusus meliputi (a)
mengadakan hubungan, (b) mewujudkan seni/sastra, (c) mempelajari bahasa-bahasa kuno,
dan (d) mengeksplorasi IPTEK. Kedudukan bahasa Indonesia di era globalisasi menunjukkan
adanya pergerusan di berbagai lini kehidupan. Upaya pemartabatan bahasa Indonesia di era
global merupakan sesuatu yang urgen. Pemahaman tentang sejarah dan kedudukan bahasa
Indonesia merupakan jalan menumbuhkan sikap positif terhadap bahasa Indonesia.

18

Anda mungkin juga menyukai