Anda di halaman 1dari 43

Case Based Discussion

Sirosis Hepatis

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian Ilmu Penyakit Dalam di RST Bhakti Wira Tamtama

Oleh :

Nilacindy Ardilah (30101507525)

Rara Anglis Anindita (30101507541)

Rizania Raudhah Nisfita (30101507545)

Sekar Ayu Kinanti (30101507558)

Pembimbing :

dr. H. Taufik Kresno, Sp.PD. FINASIM, SH

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2020

1
IDENTITAS PASIEN

Tanggal Masuk RS : 28 Januari 2020

No. RM : 125xxx

Diagnosis Masuk : Sirosis Hepatis

TanggalPemeriksaan : 30 Januari 2020

1. IDENTITAS

Nama : Ny. T

Usia : 60 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Gergaji RT 06 RW 05, Semarang

Suku : Jawa

Agama : Islam

Status : Sudah menikah

2. SUBYEKTIF

2.1. Keluhan Utama

Badan lemas.

2.2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RST Bhakti Wira Tamtama pada

tanggal 28 Januari 2020. Pasien mengeluhkan badan lemas sejak

1 hari SMRS. Pasien kadang tidak nyambung saat diajak

2
berbicara, keluhan disertai bengkak pada kedua tungkai dan

terdapat ulkus, perut membesar sejak 1 bulan yang lalu.

Keluhan lain berupa pasien mual, penurunan berat badan,

penurunan nafsu makan, susah BAB dan BAK. Keluhan tidak

disertai adanya nyeri dada dan atau sesak nafas.

2.3. Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat keluhan serupa : (-)

 Riwayat gastritis : (-)

 Riwayat alergi obat : (-)

 Riwayat DM : (+)

 Riwayat hipertensi : (+)

 Riwayat asma : (+)

2.4. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan seperti ini.

2.5. Riwayat Sosial & Ekonomi

Pasien menggunakan BPJS Non-PBI

3. PEMERIKSAAN FISIK

1. Status Present

 Tingkat Kesadaran : komposmentis

 GCS : E4M6V5

 Tekanan darah : 115/80 mmHg

3
 HR : 90 x/menit

 RR : 22 x/menit

 Suhu : 36,8oC

 GDS : 116

2. Status Internus

 Kepala : mesocephal

 Mata : Konjungtiva Anemis : (+/+) Sklera Ikterik : (+/+)

Pupil :

(Ø3mm/3mm), Refleks Cahaya : (+/+)

 Mulut : Bibir tidak kering, tidak ada stomatitis

 Thorax Pulmo

o Inspeksi: simetris kanan kiri

o Palpasi : pergerakan paru simetris, stem fremitus

kanan=kiri

o Perkusi : sonor kedua lapang paru

o Auskultasi: suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi (+/

+),wheezing (-/-)

 Thorax Cor

 Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak

 Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill tidak teraba

 Perkusi :

Batas atas :ICS II PSL Sinistra

4
Batas kanan : PSL Dextra

Batas kiri : ICS V MCL Sinistra

Batas bawah : ICS V Sinistra

 Auskultasi : S1 S2 tunggal, reguler, murmur (-)

 Abdomen

o Inspeksi : Distensi (+), meteorismus (-), spider navi (-)

o Auskultasi : Peristaltik (+) normal

o Perkusi : Ascites (+) shifting dullness (+)

o Palpasi :Supel, Undulasi (+)

 Extremitas

Superior Inferior

Pitting Oedem -/- +/+

Akral dingin -/- -/-

Ulkus -/- +/+

3. Status Neurologis

a. Pemeriksaan Motorik

 Inspeksi : tidak ada kelainan di ekstremitas superior et

inferior, dextra et sinistra.

 Palpasi : otot kenyal, tidak ada nyeri

Badan dan Anggota Gerak

1. BADAN

MOTORIK

5
 Respirasi : DBN

 Duduk : DBN

SENSIBILITAS

 Taktil : Unastesi

 Nyeri : Unastesi

 Thermi : Tidak dilakukan

 Diskriminasi 2 titik : Unastesi

2. ANGGOTA GERAK

MOTORIK

Motorik Superior Inferior


Pergerakan B/B T/T
Kekuatan 5/5 5/5
Klonus - -
Trofi Eutrofi Eutrofi

SENSIBILITAS

Superior Inferior
Taktil Unastesi Unastesi
Nyeri Unastesi Unastesi
Thermi Tidak Tidak

dilakukan dilakukan
Diskriminasi 2 Tidak Tidak

titik dilakukan dilakukan

REFLEK FISIOLOGIS

Dx Sx
Bice Normor Normor

6
ps efleks efleks
Tric Normor Normor

eps efleks efleks


Pate Hiporefl Hiporefl

lla eks eks


Achi Hiporefl Hiporefl

lles eks eks

REFLEKS PATOLOGIS

Hoffman - -
Trommer - -
Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -

b. Gerakan-gerakan Abnormal

 Tremor :-

 Athetosis :-

 Korea :-

 Hemibalismus :-

c. Alat Vegetatif

 Miksi : DBN

 Defekasi : DBN

d. Pemeriksaan N. Cranialis

N.I ( OLFAKTORIUS) : dbn

7
N II ( OPTIKUS)

 tajam penglihatan : tidak dilakukan

 lapang penglihatan : dbn

 melihat warna : dbn

 funduskopi : Tidak dilakukan

N III ( OKULOMOTORIUS ), N IV (TROKLEARIS ), N VI

(ABDUCENS )

Dx Sx
PERGERAKAN DBN DBN

BOLA MATA
EKSOFTALMUS - -
PUPIL bulat,ø 3mm bulat,ø 3mm
STRABISMUS - -
DIPLOPIA - -

N V ( TRIGEMINUS )

Dx Sx
MEMBUKA MULUT DBN DBN
REFLEK KORNEA DBN DBN
REFLEK Tidak dilakukan Tidak

MASSETER dilakukan

N VII (FACIALIS)

Dx Sx
MENGERUTKAN DBN DBN

DAHI

8
MENUTUP MATA DBN DBN
LIPATAN DBN DBN

NASOLABIAL
MENGGEMBUNGKAN DBN DBN

PIPI
MERINGIS DBN DBN
BERSIUL Pasien bisa bersiul
PENGECAPAN 2/3 Tidak dilakukan Tidak

ANTERIOR LIDAH dilakukan

N VIII (VESTIBULOCOCHLEARIS)

Dx Sx
SUARA BERBISIK DBN DBN
TES WEBER Tidak dilakukan Tidak

dilakukan
TES RINNE Tidak dilakukan Tidak

dilakukan
TES SCHWABACH Tidak dilakukan Tidak

dilakukan

N IX (GLOSSOPHARINGEUS)

Pengecapan 1/3 posterior lidah : DBN

Sensibilitas faring : Tidak dilakukan

N X ( VAGUS )

Berbicara : DBN

Menelan : DBN

Nadi : DBN

9
N XI (ACCESORIUS )

Mengangkat bahu : DBN

Memalingkan kepala : DBN

N XII ( HYPLOGOSSUS )

Tremor lidah : -

Artikulasi : Disartia -

Deviasi :-

Atrofi : Tidak tampak

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

4.1. Darah Lengkap (28/1/2020)

 Hb : 11g/dL (L)

 Leukosit : 20.400 /mm3(H)

 Ht :32,9 %(L)

 Trombosit : 231.000/mm3

 Eritrosit : 4.000.000/mm3

 MCV : 82 fL

 MCH : 27 pg

 MCHC : 34g/dL

4.2. Kimia darah(28/1/2020)

10
 Ureum : 42 mg/dl

 Kreatinin : 4,13 mg/dl(H)

 SGOT : 48 (H)

 SGPT : 10

 Protein Total : 5,3 (L)

 Albumin : 2,5

 Globulin : 2,6

4.3. Serologi/Imunologi (30/1/2020)

 HBsAg Kualitatif : Negatif

5. DIAGNOSIS BANDING

- Sirosis Hepatis

- Hepatitis B

11
EKG

Irama : sinus

Regularitas : regular

Frekuensi : 100x/menit

Gelombang P : p = lebar: 2 kotak kecil = 0, 08 detik, tinggi:

1 kotak kecil = 0, 01

pada Lead II

Interval PR : 0,16 s (N)

Gelombang QRS

Interval :0.12 s (N)

Axis Frontal : Lead I = (+), Lead aVF = (+) NAD

ZonaTransisi :-

12
Q patologis : -

ST segment: tidak ada ST elevasi dan ST depresi

Gelombang T : T tall (-). T flat (-). T inversi (-)

Kesimpulan : Normosinus

I. Abnormalitas Data

ANAMNESIS

1. Lemas

2. Bengkak kedua tungkai

3. Ulkus kedua tungkai

4. Perut membesar

PEMERIKSAAN FISIK

1. Konjungtiva anemis

2. Sclera ikterik

3. Asites

4. Edema kedua tungkai

5. Undulasi

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Darah lengkap : leukostosis

2. Kimia darah : kreatinin meningkat

3. Fungsi hati : SGOT meningkat, protein total menurun

4. EKG : Normosinus

II. Daftar Masalah

- Sirosis hepatis

13
- Diabetes mellitus

- Asites

III. Pembahasan

1. Sirosis Hepatis

Assessment : mual, penurunan berat badan, penurunan nafsu

makan, sclera ikterik, asites

 Initial Plan of Diagnosis:

Pemeriksaan darah lengkap

Pemeriksaan fungsi hepar (SGOT/SGPT)

Pemeriksaan USG hepar

 Initial Plan of Therapy:

 ISDN 3x5mg

 Allupurinol 1x200 mg

 Initial Plan of Monitoring:

Pantau KU, TTV

 Initial Plan of Education:

Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit yang diderita

Mengkonsumsi obat secara teratur

Menjelaskan mengenai konsumsi makanan perhari

2. Diabetes Mellitus

Assessment : lemas

 Initial Plan of Diagnosis:

GDS, GDP, GD2PP/TTGO, HBA1C, Funduskopi

14
 Initial Plan of Therapy:

 Humalog 3x12 unit

 Ezelin 3x10 unit

 Initial Plan of Monitoring:

Pantau KU, TTV, GDS

 Initial Plan of Education:

Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit yang diderita

Mengkonsumsi obat secara teratur

Menjelaskan mengenai konsumsi makanan perhari

Menjelaskan mengenai Terapi Gizi Medik (TGM)

15
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Sirosis Hepatis

4.1.1 Definisi

Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium

akhir fibrosis yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari

arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regenerative. Gambaran ini terjadi

akibat nekrosis hepatoseluler. Jaringan penunjang retikulin kolaps disertai

deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskuler, dan regenerasi nodularis

parenkim hati.

Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata

yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati

dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinis yang jelas. Sirosis

hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada

satu tingkat tidak terlihat perbedaannya secara klinis. Hal ini hanya dapat

dibedakan melalui pemeriksaan biopsi hati.

4.1.2 Faktor Risiko

a. Faktor Kekurangan Nutrisi

Menurut Spellberg, Shiff (1998) bahwa di negara Asia faktor gangguan

nutrisi memegang penting untuk timbulnya sirosis hati. Dari hasil laporan

Hadi di dalam simposium Patogenesis sirosis hati di Yogyakarta tanggal 22

November 1975, ternyata dari hasil penelitian makanan terdapat 81,4 %

16
penderita kekurangan protein hewani , dan ditemukan 85 % penderita sirosis

hati yang berpenghasilan rendah, yang digolongkan ini ialah: pegawai

rendah, kuli-kuli, petani, buruh kasar, mereka yang tidak bekerja, pensiunan

pegawai rendah menengah.

b. Hepatitis Virus

Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab

sirosis hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg

pada tahun 1965 dalam darah penderita dengan penyakit hati kronis , maka

diduga mempunyai peranan yang besar untuk terjadinya nekrosa sel hati

sehingga terjadi sirosis. Secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B

lebih banyak mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi

gejala sisa serta menunjukan perjalanan yang kronis, biladibandingkan

dengan hepatitis virusA.

c. Zat Hepatotoksik

Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan

terjadinyakerusakan pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut

akan berakibatnekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis

akan berupa sirosishati. Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut ialah

alkohol.

d. Penyakit Wilson

Suatu penyakit yang jarang ditemukan , biasanya terdapat pada orang-

orang muda dengan ditandai sirosis hati, degenerasi basal ganglia dari otak,

danterdapatnya cincin pada kornea yang berwarna coklat kehijauan disebut

17
KayserFleischer Ring. Penyakit ini diduga disebabkan defesiensi bawaan

dariseruloplasmin. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, mungkin

adahubungannya dengan penimbunan tembaga dalam jaringan hati.

e. Hemokromatosis

Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua

kemungkinantimbulnya hemokromatosis, yaitu:

- Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari Fe.

- Kemungkinan didapat setelah lahir, misalnya dijumpai pada penderitadengan

penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe,kemungkinan menyebabkan

timbulnya sirosis hati.

f. Sebab-Sebab Lain

1. Kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosiskardiak.

Perubahan fibrotik dalam hati terjadi sekunder terhadap reaksidan nekrosis

sentrilobuler

2. Sebagai saluran empedu akibat obstruksi yang lama pada saluran empeduakan

dapat menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini lebih banyakdijumpai pada

kaum wanita.

3. Penyebab sirosis hati yang tidak diketahui dan digolongkan dalam

sirosiskriptogenik. Penyakit ini banyak ditemukan di Inggris.Dari data yang ada di

Indonesia Virus Hepatitis B menyebabkan sirosis40-50% kasus, sedangkan hepatitis

C dalam 30-40%. Sejumlah 10-20%penyebabnya tidak diketahui dan termasuk disini

kelompok virus yang bukan Batau C.

18
4.1.3 Etiologi

Sebab-sebab Sirosis dan/atau Penyakit hati kronik


Penyakit Infeksi

 Bruselosis. Toksoplasmosis

 Ekinokokus, Skistosomiasis

 Hepatitis Virus (Hep B, Hep C, Hep D, Sitomegalovirus)

Penyakit Keturunan dan Metabolik

 Defisiensi α 1-antitripsin

 Sindrom Fanconi

 Penyakit Gaucher

 Penyakit simpanan glikogen

 Hemokromatosis

 Intoleransi fruktosa herediter

 Penyakit Wilson

Obat dan Toksin

 Alkohol

 Amiodaron

 Arsenik

 Obstruksi bilier

 Penyakit perlemakan hati non alkoholik

 Sirosis bilier primer

 Kolangitis sclerosis primer

19
Penyebab Lain atau Tidak terbukti

 Penyakit usus inflamasi kronik

 Fibrosis kistik

 Pintas jejunoileal

 Sarkoidosis

4.1.4 Gambaran Klinis

Pada stadium awal (kompensata), dimana kompensasi tubuh terhadap

kerusakan hati masih baik, sirosis seringkali muncul tanpa gejala sehingga

sering ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin.

Gejala-gejala awal sirosis meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera

makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada

laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil dan dada membesar, serta

hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut, (berkembang menjadi

sirosis dekompensata) gejala gejala akan menjadi lebih menonjol terutama

bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi

kerontokan rambut badan, gangguan tidur, dan demam yang tidak begitu

tinggi. Selain itu, dapat pula disertai dengan gangguan pembekuan darah,

perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih

berwarna seperti teh pekat, hematemesis, melena, serta perubahan mental,

meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma.

Temuan klinis dari sirosis meliputi :

20
a. Spider angioma maspiderangiomata (atau spider

telangiektasi) suatu lesi vascular yang dikelilingi beberapa

vena-vena kecil. Tanda ini seringditemukan di bahu,

muka, dan lengan atas.Tanda ini juga bisa ditemukan selama

hamil, malnutrisi berat bahkan ditemukan pula pada orang sehat, walau

umumnya ukurannya kecil.

b. Eritema Palmaris: warna merah saga pada thenar dan

hipothenar telapak tangan. Berkaitan dengan perubahan

metabolisme hormone estrogen. Tanda ini tidak spesifik

pada sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan, arthritis

rheumatoid, hipertiroidisme, dan keganasan hematologi.

c. Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih

horizontal dipisahkan dengan warna normal kuku.

Mekanisme belum diketahui tapi diperkirakan akibat

hipoalbuminemia. Tanda ini juga bisa ditemukan pada

kondisi hipoalbuminemia yang lain seperti sindrom

nefrotik.

d. Jari gada lebih sering ditemukan pada sirosis bilier

e. Kontraktur Dupuytern akibat fibrosis fasia Palmaris

menimbulkan kontraktur fleksi jari-jari berkaitan dengan

alkoholisme tapi tidak secara spesifik berkaitan dengan

sirosis. Tanda ini juga bisa ditemukan pada pasien

21
diabetes mellitus, distorsi refleks simpatetik, dan perokok

yang juga mengkonsumsi alcohol.

f. Ginekomastia  secara histologis berupa proliferasi benigna

jaringan glandula mammae laki-laki, kemungkinan akibat

peningkatan androstedion.

g. Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan

infertile. Menonjol pada sirosis alkoholik dan

hemokromatosis.

h. Hepatomegali ukuran hati yang sirotik bisa

membesar,normal, atau mengecil. Bilamana hati teraba,

hati sirotik teraba keras dan nodular.

i. Splenomegali sering ditemukan pada sirosis nonalkoholik,

pembesaran ini karena kongesti pulpa merah lien karena

hipertensi porta.

j. Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritoneum

akibat hipertensi porta dan hipoalbunemia. Caput medusa

juga sebagai akibat dari hipertensi porta.

k. Fetor hepatikum, bau nafas yang khas pada pasien sirosis

disebabkan peningkatan konsentrasi dimetil sulfid akibat

pintasan porto sistemik yang berat.

22
l. Ikterus, pada kulit dan membrane mukosa akibat

bilirubinemia. Bila konsentrasi bilirubin kurang dari 2-3

mg/dl tak terlihat. Warna urin gelap seperti air teh.

m. Asterixis-bilateral tetapi tidak sinkron berupa gerakan

mengepak-ngepak dari tangan, dorsofleksi tangan.

Tanda-tanda lain yang menyertai:

a. Demam yang tak tinggi akibat nekrosis hepar

b. Batu hepar vesika velea akibat hemolysis

c. Pembesaran kelenjar parotis terutama pada sirosis

alkoholik, hal ini akibat sekunder infiltrasi lemak, fibrosis

dan edema.

4.1.5 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita sirosis hati :

 Perdarahan varises esofagus

Perdarahan varises esofagus merupakan komplikasi serius yang sering terjadi

akibat hipertensi portal.20% sampai 40% pasien sirosis dengan varises esofagus

pecah yang menimbulkan perdarahan. Angka kematiannya sangat tinggi,

sebanyak dua pertiganya akan meninggal dalam waktu satu tahun walaupun

dilakukan tindakan untuk menanggulangi varises ini dengan beberapa

cara.Risiko kematian akibat perdarahan varises esofagus tergantung pada tingkat

23
keparahan dari kondisi hati dilihat dari ukuran varises, adanya tanda bahaya dari

varises dan keparahan penyakit hati.Penyebab lain perdarahan pada penderita

sirosis hati adalah tukak lambung dan tukak duodeni. Diagnosis varises esofagus

ditegakkan dengan esofagogastroduodenoskopi.

 Ensefalopati hepatikum

Sekitar 28% penderita sirosis hipertensi dapat mengalami komplikasi

ensefalopati hepatikum. Mekanisme terjadinya ensefalopati hepatikum adalah

akibat hiperammonia, terjadai penurunan hepatic uptake sebagai akubat dari

intrahepatic portal systemic shunts dan atau penurunan sintesis urea dan

glutamic. Beberapa faktor merupakan presipitasi timbulnya ensefalopati

hepatikum adalah infeksi, perdarahan, ketidakseimbangan elektrolit. Dengan

mengkontrol faktor presipitasi dapat menurunkan kemungkinan terjadinya

ensefalopati hepatikum.

 Peritonitis bakterialis spontan

Peritonitis bakterialis spontan yaitu komplikasi berat dan sering terjadi pada

acites tanpa adanya focus infeksi intraabdominal. Diagnosis ini dapat ditegakkan

bila pada sampel cairan asites ditemukan angka sel neutrophil >250/mm

 Sindroma hepatorenal

24
Sindroma hepatorenal merupaka gangguan fungsi ginjal tanpa kelainan organic

ginjal yang ditemukan pada sindroma hepatorenal lebih lanjut. Keadaan ini

terjadi pada penderita penyakit hati kronik lanjut, ditandai oleh kerusakan fungsi

ginjal dan abnormalitas sirkulasi arteri menyebabkan vasokonstriksi ginjal yang

nyata dan penurunan GFR.

 Asites

sites merupakan manifestasi kardinal dari penderita Cirrhosis Hepatis, yaitu

penimbunan cairan serosa dalam rongga peritoneum. 80 % penderita Cirrhosis

Hepatis di Amerika menunjukkan adanya asites. Beberapa faktor yang turut

terlibat dalam patogenesis asites pada Cirrhosis Hepatis antara lain adalah

hipertensi portal. Penderita sirosis hati disertai hipertensi portal memiliki sistem

pengaturan volume cairan ekstraseluler yang tidak normal sehingga terjadi

retensi air dan natrium. Asites dapat bersifat ringan, sedang dan berat. Asites

berat dengan jumlah cairan banyak menyebabkan rasa tidak nyaman pada

abdomen sehingga dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.

4.1.6 Tatalaksana

Penatalaksanaan kasus sirosis hepatis dipengaruhi oleh etiologi dari sirosis hepatis.

Terapi yang diberikan bertujuan untuk mengurangi progresifitas dari penyakit.

Menghindarkan bahan-bahan yang dapat menambah kerusakaan hati, pencegahan

dan penanganan komplikasi merupakan prinsip dasar penanganan kasus sirosis. Di

asia tenggara penyebab tersering adalah HBV dan HCV. Untuk HBV dan HBC

25
kronis dapat diberikan preparat interveron secara injeksi atau secara oral. Namun

pada sirosis hepatis dekompensata pemberian preparat interferon tidak

direkomendasikan

4.1.6.1 Terapi terhadap komplikasi yang timbul

1. Asites

1. Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2

gram/ hari.

2. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretik.

3. Pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari. Respons

diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/ hari, tanpa

adanya edema kaki atau 1 kg/ hari dengan adanya edema kaki.

4. Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan

furosemid dengan dosis 20-40 mg/ hari. Pemberian furosemid bisa

ditambah dosisnya bila tidak ada respons, maksimal dosisnya 160 mg/

hari. Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites

bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.

26
2. Perdarahan varises esofagus (hematemesis, hematemesis dengan melena atau

melena saja)

1. Pemberian propranolol 40 – 80 mg oral 2 kali/hari

2. ISDN 20 mg oral 2 kali/hari

3. Saat perdarahan akut bisa diberikan somatostatin atau okreotid diteruskan

skleroterapi atau ligase endoskopi

3. Ensefalopati hepatikum

1. Laktulosa dapat Rekomendasi bila natrium <125mmol/L. dapat diberikan

30 – 45 mL sirup oral 3-4x/hari

2. Neomisin dapat diberikan sebanyak 4-12 g/ hari dibagi setiap 6 – 8 jam.

3. Transplantasi hati

4. Peritonitis bakterial spontan

1. Diberikan antibiotik pilihan seperti cefotaksim, amoxicillin,

aminoglikosida.

2. Pemberian albumin 2 g IV setiap 8 jam atau 1.5 g per kg IV dalam 6 jam,

1 g per kg IV haru ke 3

3. Norfloksasin

27
 400 mg oral 2x/ hari untuk terapi

 400 mg oral 2x/ hari untuk tpendarahan GIT

 400 mg oral 2x/ hari untuk profilaksis

5. Sindrom hepatorenal/ nefropatik hepatik dapat dikontrol dengan mengatur

keseimbangan cairan dan garam. Selain itu dapat digunakan transjugular

intrahepatic portosystemic shunt untuk menurunkan hpertensi porta dan

memperbaiki sindroma hepatorenal. Jika gagal dapat dipertimbangkan

transplantasi hati.

4.2Diabetes Mellitus

4.2.1 Definisi

Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kinerja insulin

atau kedua-duanya. Menurut WHO, Diabetes Melitus (DM) didefinisikan sebagai

suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologiyang ditandai

dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat,

lipid dan protein sebagai akibat dari insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi insulin

dapat disebabkan oleh gangguan produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar

pankreas atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin.

28
Berdasarkan Perkeni tahun 2011, diabetes mellitus adalah penyakit gangguan

metabolisme yang bersifat kronis dengan karakteristik hiperglikemia. Berbagai

komplikasi dapat timbul akibat kadar gula darah yang tidak terkontrol, misalnya

neuropati, hipertensi, jantung koroner, retinopati, nefropati, dan gangren.

4.2.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus

Organisasi profesi yang berhubungan dengan DM seperti American Diabetes

Association (ADA) telah membagi jenis DM berdasarkan penyebabnya. PERKENI

dan IDAI sebagai organisasi yang sama di Indonesia juga menggunakan klasifikasi

dengan dasar yang sama seperti klasifikasi yang dibuat oleh organisasi yang lainnya.

Klasifikasi DM berdasarkan etiologi menurut Perkeni adalah sebagai berikut :

a. Diabetes Mellitus Tipe I

DM yang terjadi karena kerusakan atau destruksi sel beta di pankreas.

kerusakan ini berakibat pada keadaan defisiensi insulin yang terjadi secara

absolut. Penyebab dari kerusakan sel beta antara lain autoimun dan idiopatik.

b. Diabetes Mellitus Tipe II

Penyebab DM tipe 2 seperti yang diketahui adalah resistensi insulin.

Insulin dalam jumlah yang cukup tetapi tidak dapat bekerja secara optimal

sehingga menyebabkan kadar gula darah tinggi di dalam tubuh. Defisiensi

insulin juga dapat terjadi secara relatif pada penderita DM tipe 2 dan sangat

mungkin untuk menjadi defisiensi insulin absolut.

4.2.3 Faktor risiko

a. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi (unmodifiable risk

factor)adalah faktor risiko yang sudahada danmelekat pada

29
seseorangsepanjangkehidupannya. Sehingga faktor risiko tersebut tidak

dapatdikendalikanoleh dirinya. Faktor risiko DM yang tidak dapat dimodifikasi

antara lain:

 Riwayat Keluarga dengan DM

Bila salah satu dari kedua orang tuanya menderitaDM maka risiko seorang

anak mendapatDM tipe 2 adalah 15%dan bila kedua orang tuanya menderita

DM maka kemungkinananak terkena DM tipe 2 adalah 75%. Pada umunya

apabilaseseorang menderita DM maka saudara kandungnya mempunyairesiko

DM sebanyak 10%. Ibu yang terkena DM mempunyai risiko lebih besar 10-

30% daripada ayah dengan DM. Hal ini dikarenakan penurunan gensewaktu

dalam kandungan lebih besar dari seorang ibu.

 Usia

Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiringdengan

meningkatnya usia.Pada usia lebih dari 45 tahunsebaiknyaharus dilakukan

pemeriksaan DM.Diabetes seringkali ditemukanpada masyarakat dengan usia

yang sudah tua karena pada usiatersebut, fungsi tubuh secara fisiologis makin

menurun dan terjadipenurunan sekresi atau resistensi insulin sehingga

kemampuan fungsi tubuh untuk mengendalikan gluskosa darah yang

tinggikurang optimal.

 Riwayat Kelahiran

Melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayiyaitulebih dari4000 gram

atau riwayat pernah menderita diabetesmellitusgestasional berpotensi untuk

30
menderita DMtipe 2maupungestasional. Wanita yang pernah melahirkan anak

dengan berat lebih dari 4000 gram biasanya dianggap sebagai pradiabetes.

Melahirkan bayidengan berat badanlahirrendahyaitukurang dari 2500

gram. Bayi yang lahir dengan berat badan rendah mempunyairisiko yang lebih

tinggi dibanding dengan bayilahir dengan beratbadan normal. Seseorang yang

lahir dengan BBLR dimungkinkanmemiliki kerusakan pankreas sehingga

kemampuan pankreas untukmemproduksi insulin akan terganggu. Hal tersebut

menjadi dasarmengapa riwayat BBLR seseorang dapat berisiko

terhadapkejadian BBLR.

b. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi

 Berat Badan Berlebih (IMT > 25 kg/m2)

Obesitas adalah ketidakseimbangan antara konsumsi kalori

dengankebutuhan energi yang disimpan dalam bentuk lemak (jaringan

subkutan tirai usus, organ vital jantung, paru-paru, dan hati).Obesitas juga

didefinisikan sebagai kelebihan berat badan. Indeksmassa tubuh orang dewasa

normalnya ialah antara 18,5-25 kg/m2.Jika lebih dari 25 kg/m2 maka dapat

dikatakan seseorang tersebutmengalami obesitas.

 Obesitas Abdominal

Kelebihan lemak di sekitar otot perut berkaitan dengan

gangguanmetabolik, sehingga mengukur lingkar perut merupakan salahsatucara

untuk mengukur lemak perut.Seorang yang mengalami obesitas abdominal

31
(lingkar perut pria>90 cmsedangkan pada wanita >80 cm) maka berisiko 5,19

kali menderita diabetes mellitus tipe 2. Hal ini dapat dijelaskan bahwa

obesitassentral khususnya di perut yang digambarkan oleh lingkarpinggang

dapat memprediksi gangguan akibat resistensi insulinpada DM tipe 2.

Pada orang yang menderita obesitas,dalam tubuhnyaterjadipeningkatan

pelepasan asam lemak bebas (Free FattyAcid/FFA)dari lemak visceral yaitu

lemak pada rongga perutyang lebihresisten terhadap efek metabolik insulin

danjugalebih sensitive terhadap hormon lipolitik. Peningkatan FFA

menyebabkanhambatan kerja insulin sehingga terjadi kegagalan uptake

glukosake dalam sel yang memicu peningkatan produksi glukosa hepatic

melaluiproses glukoneosis. Peningkatan jumlah lemak abdominal mempunyai

korelasi positifdengan hiperinsulin danberkorelasi negatif dengan

sensitivitasinsulin. Itulahsebabnya mengapa obesitaspadaabdominal menjadi

berisiko terhadap kejadian diabetes mellitustipe 2.

 Kurangnya Aktivitas Fisik

Kurang aktivitas fisik danberat badan berlebihmerupakan factor yang

palingutama dalam peningkatan kejadian diabetes mellitus tipe 2 di seluruh

dunia. Menurut WHO yangdimaksud dengan aktifitas fisik adalah kegiatan

paling sedikit 10menit tanpaberhenti dengan melakukan kegiatan fisik

ringan,sedangmaupunberat.

Kegiatan fisik dan olahraga teratur sangatlah penting selain

untukmenghidari obesitas, juga untuk mencegah terjadinya diabetes mellitus

tipe 2. Pada waktu melakukan aktivitas dan bergerak,otot-otot memakai lebih

32
banyak glukosadaripada pada waktu tidakbergerak. Dengan demikian

kosentrasi glukosa darah akanmenurun. Melalui olahraga/kegiatan jasmani,

insulin akan bekerjalebih baik, sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel-sel

ototuntuk digunakan.

 Hipertensi

Disfungsi endotelmerupakansalah satu patofisiologi umum

yangmenjelaskan hubunganyang kuatantara tekanan darah dan kejadian

diabetes mellitus tipe 2. Beberapa penelitian telahmenunjukkan bahwa penanda

disfungsi endotel berhubungandengandurasi lamanya menderita diabetes dan

disfungsi endotelberkaitan erat dengan hipertensi.

Beberapa literatur mengaitkan hipertensi dengan resistensi

insulin.Pengaruh hipertensi terhadap kejadian diabetesmellitusdisebabkan oleh

penebalan pembuluh darah arteri yangmenyebabkan diameter pembuluh darah

menjadi menyempit.Haliniyangakan menyebabkan proses pengangkutan

glukosa daridalam darahke selmenjadi terganggu.Seorang yang

hipertensiberisiko 2,3 kali untuk terkena diabetes mellitus tipe 2.

 Diet Tidak Sehat

Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akanmeningkatkan risiko

menderita pradiabetes danakhirnya menderitadiabetesmellitustipe 2.

c. Faktor lain yang terkait dengan diabetes mellitus

 Penderitapolycystic ovary syndrome(PCOS) ataupenderitamempunyaikeadaan

klinis lain yangmungkin masihterkaitdengan resistensi insulin.

33
 Penderita sindrom metabolic yangmemiliki riwayat toleransiglukosa terganggu

(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu(GDPT) sebelumnya.

 Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, sepertipenyakitstroke,PJK,

atauPAD (Peripheral Arterial Diseases).

4.2.4 Gejala klinis

Insulinadalah hormon yang dihasilkan dari sel beta di pankreas. Insulinmemegang

peranan yang sangat penting yaitu bertugas memasukkanglukosadari darahke dalam

sel, untuk selanjutnya dapat digunakanuntuk menghasilkan ATPsebagai bahan

bakar.Insulin dapat diibaratkansebagai anak kunci yang dapat membuka pintu

masuknya glukosa kedalam sel. Dengan bantuan GLUT 4 yangterletak padamembran

selmaka insulin dapatmenjadi pembawaglukosa masuk ke dalam sel.Kemudian di

dalam sel tersebut glukosa di metabolism menjadi ATPatau tenaga. Jika insulin tidak

ada ataujumlahnyasedikit, maka glukosatidak akan bisa masuk ke dalam sel dan akan

terus berada di aliran darahyang akan mengakibatkanglukosa di dalam darah

meningkat atauhiperglikemia.

Pada orang yang menderita DM, jumlah insulin yangdihasilkan sel betaberkurang

atau kualitas insulinnya kurang baik(resistensi insulin), sehingga tubuh tidakdapat

mempertahankan kadarglukosadalam batasnormal di dalamdarah setelah memakan

karbohidrat.Jikaterjadihiperglikemiayangberat dan melebihi

ambangbatasginjaluntukglukosa, maka akan timbul glikosuriaatau terdapat glukosa

padaglomerulus ginjal. Glikosuria ini akanberdampakdiuresis osmotik yangmenarik

air sehinggameningkatkan pengeluaran urin (poliuria)danakhirnyatimbul rasa haus

(polidipsia). Karena glukosa hilang bersamaurinyang keluar, maka

34
penderitaakanmengalamikeseimbangan kalorinegatif dan berat badan berkurang. Rasa

lapar yang semakin besar(polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibatkehilangan

kaloridanakibat glukosa yang tidak berhasil masuk ke dalam sel untuk diubahmenjadi

ATP.Penderita mengeluhlelah dan mengantuk berat, lemah dan somnolen. Biasanya

penderita DM tipe 2 tidak mengalamiketoasidosis karenapada DM tipe 2penderita ini

tidakmengalami defisiensi insulin secara absolut namun hanya relatif. Artinya,

sejumlahinsulin tetap disekresikan dan masih cukup untuk menghambat ketoasidosis.

4.2.5 Komplikasi

Pada penyandang DM dapat terjadi komplikasi pada semua tingkat sel dan semua

tingkat anatomik. Komplikasi pada DM dapat bersifat akut maupun kronis.

Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi pada pembuluh darah besar

(makrovaskuler) dan pembuluh darah kecil (mikrovaskuler) (Sudoyo, 2009).

Komplikasi akut terjadi pada saat kadar glukosa darah plasma mengalami

perubahan yang relatif cepat. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain; hipoglikemi,

ketoasidosis diabetik dan hiperosmolar non ketotik. Hipoglikemia dapat terjadi seumur

hidup selama program pengobatan yang disebabkan karena efek samping pemberian

obat stimulus insulin dalam tubuh maupun obat insulin dari luar (Cryer, 2010).

Ketoasidosis diabetik dan hiperosmolar non ketotik, keduanya dapat terjadi karena

kadar insulin yang sangat menurun, pasien mengalami hiperglikemia dan glukosiuria

berat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam

lemak bebas (Smeltzer et al, 2010).

35
Sedangkan komplikasi kronik adalah peningkatan gula darah yang berlangsung

terus menerus dan lama yang berdampak pada terjadinya angiopati diabetik yaitu

gangguan pada semua pembuluh darah di seluruh tubuh. Pada komplikasi kronik,

terjadi gangguan berupa: mikroangiopati (retinopati, nefropati) dan makroangiopati

(jantung koroner, luka kaki diabetik, stroke) ataupun terjadi pada keduanya (neuropati,

rentan infeksi, amputasi) (Smeltzer et al, 2010).

4.2.6 Tatalaksana

4.2.6.1 Diabetes Melites Tipe 1

Hal pertama yang harus dipahami oleh semua pihak adalah bahwa DM

tipe-1 tidak dapat disembuhkan, tetapi kualitas hidup penderita dapat

dipertahankan seoptimal mungkin dengan kontrol metabolik yang baik. Yang

dimaksud kontrol metabolik yang baik adalah mengusahakan kadar glukosa

darah berada dalam batas normal atau mendekati nilai normal, tanpa

menyebabkan hipoglikemia.

Komponen pengelolaan DM tipe-1 meliputi pemberian insulin,

pengaturan makan, olahraga, dan edukasi, yang didukung oleh pemantauan

mandiri (home monitoring). Keseluruhan komponen berjalan secara

terintegrasi untuk mendapatkan kontrol metabolik yang baik.

 Insulin

Insulin merupakan elemen utama kelangsungan hidup penderita DM tipe-

1. Awitan, puncak kerja, dan lama kerja insulin merupakan faktor yang

menentukan dalam pengelolaan penderita DM. Sebelum era tahun 80-an,

penggunaan insulin masih memakai produk hasil purifi kasi kelenjar

36
pankreas babi atau sapi. Namun setelah dikembangkannya teknologi

DNA rekombinan, telah dihasilkan insulin rekombinan manusia yang

sudah digunakan secara luas saat ini. Insulin rekombinan ini lebih disukai

sebagai pilihan utama karena selain dapat diproduksi secara luas juga

mempunyai imunogenitas yang lebih rendah dibandingkan insulin babi

dan sapi.

 Olahraga

Olahraga sebaiknya menjadi bagian dari kehidupan setiap orang, baik

anak, remaja, maupun dewasa, baik penderita DM atau bukan. Olahraga

dapat membantu menurunkan berat badan, mempertahankan berat badan

37
ideal, dan meningkatkan rasa percaya diri. Untuk penderita DM

berolahraga dapat membantu untuk menurunkan kadar gula darah,

menimbulkan perasaan ‘sehat’ atau ‘well being’, dan meningkatkan

sensitivitas terhadap insulin, sehingga mengurangi kebutuhan insulin.

Pada beberapa penelitian terlihat bahwa olahraga dapat meningkatkan

kapasitas kerja jantung dan mengurangi terjadinya komplikasi DM

jangka panjang.

 Pemantauan Sendiri

Tujuan pemantauan mandiri pada pasien dengan DM tipe-1 adalah

mencapai target kontrol glikemik yang optimal, menghindari komplikasi

akut berupa hipoglikemia dan ketoasidosis dan komplikasi kronis yaitu

penyakit makrovaskuler, menimalisasi akibat hipoglikemia dan

hiperglikemia terhadap fungsi kognitif serta mengumpulkan data tentang

kontrol glikemik untuk dibandingkan dengan sistem kesehatan setempat.

Dari beberapa penelitian telah dibuktikan hubungan yang bermakna

antara pemantauan mandiri dan kontrol glikemik. Pengukuran kadar

glukosa darah harus dilakukan beberapa kali per hari untuk menghindari

terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia, serta penyesuaian dosis

insulin.

4.2.6.2 Diabetes Melitus Tipe 2

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas

hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi:

38
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki

kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.

2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas

penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.

3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas

DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa

darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien

secara komprehensif.

Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat

(terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi

farmakologis dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan.

Obat anti hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau

kombinasi.

 Terapi Nutrisi Medik

Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan

anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang

dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.

Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya

keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama

pada mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin

atau terapi insulin itu sendiri.

39
 Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.

Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.

 Asupan lemak dianjurkan sekitar 20- 25% kebutuhan kalori, dan

tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.

 Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi.

 Olahraga

Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DMT2

apabila tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-hari dan

latihan jasmani dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-5 kali

perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit

perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut

 Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan

latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat

oral dan bentuk suntikan.

Obat Antihiperglikemia Oral

Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi:

a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)

 Sulfonilurea

 Glinid

b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin

 Metformin

40
 Tiazolidindion

c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan

 Penghambat Alfa Glukosidase

 Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl PeptidaseIV)

 Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)

Obat Antihiperglikemia Suntik

Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan

kombinasi insulin dan agonis GLP-1. Insulin Insulin diperlukan pada

keadaan:

 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolic

 Penurunan berat badan yang cepat

 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

 Krisis Hiperglikemia

 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut,

stroke)

 Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak

terkendali dengan perencanaan makan

 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

41
Daftar Pustaka

Cryer, P.E., Davis, S.N., & Shamoon, H. 2003. Hypoglycemia in diabetes. Diabetes care, 26(6),

1902-1912.

Diabetes Mellitus Tipe 2. (2019). Padang: Pusat Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Isnaini, Nur. (2017). Faktor Risiko Memengaruhi Kejadian Diabetes Mellitus Tipe 2. Jurnal

Keperawatan dan Kebidanan Aisyiyah, 14(1), 59-68.

Karina. Sirosis Hepatis. Article of Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. 14

September 2014.

Available from : http://. eprints.undip.ac.id/22681/1/Karina.pdf


Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 1. (2015). Jakarta: UKK Endokrinologi

Anak dan Remaja.

Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia. (2015). Jakarta:

PB. PERKENI.

Lindseth, NG. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas. Dalam : Price, AS. Wilson,

ML. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta :

EGC. 472-85; 2006.

Maryani, Sri Sutadi. 2003. Sirosis Hepatitis Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Universitas Sumatera Utara. [serial online] 15 September 2014. Available from :

http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-srimaryani5.pdf.

Meidikayanti, Wulan. (2017). Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup Diabetes

Mellitus Tipe 2 di Puskesmas Pademawu. Jurnal Berkala Epidemiologi, 5(2), 240-252.

Smeltzer & Bare. (2010). Textbook of medical surgical nursing vol.2. Philadelphia: Linppincott.

42
Sudoyo, A. W. (2009) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna

Publishing.

Widjaja, Felix F. Sirosis Hepatis. Journal of Department of Internal Medicine, Faculty of

Medicine Universitas Indonesia/ Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. J Indosn Med

Assoc, Volum: 61,14 September 2014. Available from :

http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile

43

Anda mungkin juga menyukai