Anda di halaman 1dari 16

SYARI’AT

Makalah Ini Di Tunjukkah Untuk Memenuhi Mata Kuliah :

Teosofi

Dosen Pengampu :

M . Mukhlish Fahruddin, M.Si

Disusun Oleh :

- Balya Luthfi Hernawan ( 18660083 )

JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah ‫ ﷻ‬yang telah menganugerahkan segala nikmat yaitu,
nikmat islam, nikmat iman, dan nikmat sehat. Sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah “Syari’at “ dengan baik. Shalawat serta salam, dihaturkan kepada Nabi
Muhammad ‫ ﷺ‬, Nabi Akhir zaman, yang membawa umatnya dari zaman
yang penuh kegelapan, tanpa adanya ilmu, ke zaman yang terang benderang, dengan
banyaknya ilmu yang kita dapat.

Makalah ini membahas tentang Syari’at. Saya berterimakasih kepada semua


pihak yang mendukung dalam penyelesaian makalah ini. Terima kasih kepada Bapak M
Mukhlish Fahruddin M selaku dosen pembimbing mata kuliah Teosofi yang telah
mengarahkan dan mengajarkan pada mata kuliah tersebut . Mohon maaf apabila ada
salah kata dan terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini . Saya
berharap makalah ini dapat bermanfaat .

Malang, 28 Februari 2020

Penyusun

1|Page
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................1
DAFTAR ISI .......................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................3
1.1.Latar Belakang .......................................................................................................3
1.2.Rumusan Masalah ..................................................................................................3
1.3.Tujuan ....................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................4
2.1.Pengertian Syari’at .................................................................................................4
2.2.Prinsip – Prinsip Syariat (Tasyri) ...........................................................................6
2.3.Nash Dan Tujuan Syariat ....................................................................................11
BAB III PENUTUP ..........................................................................................................13
3.1. Kesimpulan .........................................................................................................13

2|Page
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keistemewaan ajaran Islam daripada ajaran agama lainnya adalah sisi


universalitasnya. Ajaran-ajaran samawi terdahulu, selalu ditujakan kepada kaum
tertentu. Sedangkan ajaran Islam diturunkan untuk seluruh umat, baik manusia ataupun
jin (kaffah li al-alamin). Telah dimaklumi, bahwa perundang-undangan manapun harus
selaras dengan kondisi dan relevansi pihak yang dibebani undang-undang tersebut.

Umat Nabi Adam as bisa merasakan kelonggaran syari’at berupa kebolehan


menikahi saudara sendiri, karena pada saat itu populasi manusia baru dari satu
keturunan. Sedangkan umat Nabi Musa as harus merasakan ketatnya syariat, karena
dalam menghadapi Bani Israel yang terkenal keras kepala, membutuhkan langkah-
langkah preventif dengan menerapkan undang-undang yang sekiranya dapat membuat
mereka jera. Sedangkan syari’at Nabi Muhammad saw (Islam) yang ditujukan untuk
seluruh makhluk di dunia ini, baik manusia atau jin, tentunya harus membentuk undang-
undang (syari’at) yang bisa diterima oleh semua kalangan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian syari’at ?

2. Apa prinsip – prinsip syari’at ?

3. Apa tujuan dari syari’at ?

1.3 Tujuan

1. Menjelaskan pengertian syari’at

2. Menjelaskan prinsip – prinsip dari syari’at

3. Menjalaskan tujuan dari syari’at

3|Page
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Syari’at

Secara bahasa syariat berasal dari kata syara’ yang berarti menjelaskan dan
menyatakan sesuatu atau dari kata Asy-Syir dan Asy Syari’atu yang berarti suatu
tempat yang dapat menghubungkan sesuatu untuk sampai pada sumber air yang tak
ada habis-habisnya sehingga orang membutuhkannya tidak lagi butuh alat untuk
mengambilnya.

Pengertian syariat secara istilah : Menurut istilah, syariah berarti aturan


atau undang-undang yang diturunkan Allah untuk mengatur hubungan manusia
dengan Tuhannya, mengatur hubungan sesama manusia, dan hubungan manusia
dengan alam semesta.

Syariah mengatur hidup manusia sebagai individu, yaitu hamba Allah yang
harus taat, tunduk, dan patuh kepada Allah. Ketaatan, ketundukkan, dan kepatuhan
kepada Allah dibuktikan dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang tata caranya diatur
sedemikian rupa oleh syariah Islam. Syariah Islam mengatur pula tata hubungan
antara seseorang dengan dirinya sendiri untuk mewujudkan sosok individu yang
saleh.1

Jika ditambah kata “Islam” di belakangnya, sehingga menjadi frase Syari’at


Islam (asy-syari’atul islaamiyatu),berarti Syari’at Islam adalah hukum-hukum atau
peraturan-peraturan yang diturunkan Allah Subhaanahu wata’ala. untuk umat
manusia melalui Nabi Muhammad Salallohu alaihi wassalam, baik berupa Al-
Qur’an maupun Sunnah Nabi yang berwujud perkataan, perbuatan, dan ketetapan,
atau pengesahan.

Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu
perkara yang Allah dan RasulNya belum menetapkan ketentuannya maka umat

1
http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2071352-pengertian-syariah/#ixzz2BXl2KqoQ 28 februari 2020 / 20.46

4|Page
Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung
oleh ayat dalam Firman Alloh Subhaanahu wata’ala :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada


Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika
kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan
kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyantun.”2

Allah Subhaanahu wata’ala berfirman : ”Kemudian Kami jadikan kamu


berada diatas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat
itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”3

mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak di izinkan Allah?sekiranya


tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan.
Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang sangat
pedih.”4

At Thahanawi juga mengemukakan definisi syariat yaitu : “Syari’at ialah


hukum-hukum yang disyari’atkan Allah Ta’ala untuk hamba-hamba-Nya yang
disampaikan oleh salah seorang nabi dari nabi-nabi (sallallahu ‘alaihim dan
sallallahu ‘ala nabiyyina wa sallam), baik hukum-hukum tersebut mengenai amal
perbuatan, maupun mengenai akidah.”5

Syariat Islam mempunyai beberapa keistimewaan yaitu :

1. Rabbaniyah yang bermaksud bercirikan ketuhanan. ( Hukum/Peraturan ini


datangnya dari Tuhan Pencipta yang sudah semestinya yang terbaik untuk diikuti
oleh makhluk ciptaanNya )

2. Syumuliyah yang bermaksud lengkap. ( Peraturannya merangkumi segenap


aspek kehidupan tanpa ada kekurangan )

2
Q.S al-maidah (5) : 101
3
Q.S Al-jatsiah (45) : 18
4
Q.S Asy syuura (42) : 21
5
http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=283:syariat-islam-dan-tantangan-zaman&catid=11:nirwan-
syafrin / 20:50 28 februari 2020

5|Page
3. Alamiyah yang bermaksud sejagat. ( Peraturannya sesuai untuk semua lapisan
manusia tanpa batasan masa atau geografi )

4. Kekal. ( Peraturannya dijamin terpelihara sehingga ke hari Kiamat )

5. Balasan duniawi dan ukhrawi6

2.2 Prinsip – Prinsip Syaria’t (Tasyri)

A. Tidak Mempersulit (‘Adam al-Haraj)

Dalam menetapkan syariat Islam, al-Quran senantiasa memperhitungkan


kemampuan manusia dalam melaksanaknnya. Itu diwujudkan dengan mamberikan
kemudahan dan kelonggaran (tasamuh wa rukhsah) kepada mansusia, agar
menerima ketetapan hukum dengan kesanggupan yang dimiliknya. Prinsip ini
secara tegas disebutkan dalam a-Quran,

‫… ال يُ َكلِّفُ هَّللا ُ نَ ْفسًا إِال ُو ْس َعهَا‬.

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…7

Al-Yatibi mengatakan bahwa kesanggupan manusia merupakan syari’at


hukum mutlak dalam menerima ketetapan hukum syari’at. Ketetapan hukum yang
tidak terjangkau oleh kemampuan manusia -melihat prinsip ini- tidak sah ditetapkan
kepada manusia. Hal ini telah menjadi kesepakatan mayoritas ulama, baik dari
kalangan Mu’tazilah (rasionalis) maupun sebagian pengikut Asy’ariah (Sunni
tradisionalis).

Dalam menetapkan hukum, Allah swt. Senantiasa memperhitungkan


kemampuan manusia dan memperhitungkan manfaat dan madlarat yang mungkin
ditimbulkan sebagai konsekwensi logis fari pelaksanannya. Karena itu, Abu al-A’la
al-Maududi menyebutkan, “Allah membuat undang-undang syari’at untuk
mengharamkan sesuatu atas manusia yang membawa ekses negatif (madlarat) dan
menghalalkan sesuatu yang mendatangkan dampak positif (manfa’at).

6
http://ustwan77.blogspot.com/2012/02/21-konsep-syariat.html. 20:46 / 28 februari 2020
7
Al-Qur’an ,2:286

6|Page
Namun bukan berarti dalam al-Quran tidak ada ketetapan hukum yang sulit
dalam pelaksanaannya. Sebab menurut al-Syatibi, hukum sendiri merupakan beban,
sehingga kesulitan umum yang biasa dialami masyarakat, misalnya sulit mencari
nafkah, tidak termasuk dalam kategori ‘adam al-haraj diatas. Karena kesulitan yang
sifatnya seperti itu tidak lain timbul dari kemalasan atau belum adanya
keberuntungan saja.

Disinilah pentingnya pembedaan antara musyaqqah (kesulitan) ditinjau dari


kacamata syari’at dan musyaqqah menurut kebiasaan umum. Sebab musyaqqah
versi masyarakat seringakli dijadikan dalih untuk meremehkan kewajiban agama,
sikap mencari-cari kemudahan dalam bearamal.

B. Mengurangi Beban (Taqlil al-Taklif)

Prinsip kedua ini merupakan langkah prenventif (penanggulangan) terhadap


mukallaf dari pengurangan atau penambahan dalam kewajiban agama. Al-Quran
tidak memberikan hukum kepada mukallaf agar ia menambahi atau menguranginya,
meskipun hal itu mungkin dianggap wajar menurut kacamata sosial.8 Hal ini guna
memperingan dan menjaga nilai-nilai kemaslahatan manusia pada umumnya, agar
tercipta suatu pelaksanaan hukum tanpa ddasari parasaan terbebani yang berujung
pada kesulitan.

Umat manusia tidak diperintahkan untuk mencari-cari sesuatu yang justru


akan memperberat diri sendiri. Allah swt. Berfirman,

‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ال تَسْأَلُوا ع َْن أَ ْشيَا َء إِ ْن تُ ْب َد لَ ُك ْم تَس ُْؤ ُك ْم َوإِ ْن تَسْأَلُوا َع ْنهَا ِحينَ يُنَ َّز ُل ْالقُرْ آنُ تُ ْب َد لَ ُك ْم َعفَا هَّللا ُ َع ْنهَا‬
)١٠١( ‫َوهَّللا ُ َغفُو ٌر َحلِي ٌم‬

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada Nabimu)


hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya akan menyusahkan kalian....9

Sebagian riwayat menjelaskan bahwa kronologi turunnya ayat ini adalah


ketika Nabi sedang berpidato di hadapan umatnya, tiba-tiba seorang diantara
mereka bertanya, “Siapakah bapakku?”. “Si Fulan!” Jawab Nabi. Ada pula yang
bertanya, “Siapakah nama ayahku?” atau “Di mana untaku?” kemudian turunlah

8
Ustwan, loc.cit
9
Ibid.,5:101

7|Page
ayat di atas sebagai teguran atas pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu. Bahkan
mungkin bisa menyusahkan si penanya sendiri. Karena, jawaban yang akan ia
terima merupakan baban dari si penanya sendiri. Padahal prinsip agama adalah
pengurangan terhadap beban.10.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa Nabi ketika menerima ayat al-
Quran menafsirkan sesuai kebutuhan masyarakat pada saat tiu. Sedangkan yang
tidak dibutuhkan didiamkan saja, dengan maksud nantinya ayat-ayat tersebut dapat
ditafsiri sesuai dengan kondisi dan situasi yang terjadi di masyarakat pada masa
yang akan datang. Prinsip ini telah disebutkan dalam hadits, “Sesungguhnya Allah
telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah kalian menyia-nyiakannya.
Dan dia telah menetapkan ketentuan-ketentuan, maka janganlah kalian
melampauinya. Dia juga telah mengharamkan beberapa hal, maka janganlah kalian
merusaknya, serta telah mendiamkan beberapa hal sebagai rahmat buat kalian,
bukan karena lupa, maka janganlah kalian membicaraknnya.”

C. Penetapan Hukum secara Periodik

Al-quran merupakan kitab suci yang dalam prosesi tasri’ sangat


memperhatikan berbagai aspek, baik natural, spiritual, kultural, maupun sosial
uamt. Dalam menetapkan hukum, al-Quran selalu mempertimbangkan, apakah
mental spiritual manusia telah siap untuk menerima ketentuan yang akan
dibebankan kepadanya?. Hal ini terkait erat dengan prinsip kesua, yakni tidak
memberatkan umat. Karena itulah, hukum syariat dalam al-Quran tidak diturunkan
secara serta merta dengan format yang final, melainkan secara bertahap, dengan
maksud agar umat tidak merasa terkejut dengan syariat yang tiba-tiba. Karenanya,
wahyu al-Quran senantiasa turun sesuai dengan kondisi dan realita yang terjadi
pada waktu itu. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan kami kemukakan tiga periode
tasryi’ al-Quran;

Pertama, mendiamkan, yakni ketika al-Quran hendak melarang sesuatu,


maka sebelumnya tidak menetapkan hukum apa-apa tapi memberikan contoh yang
sebaliknya. Sebagai contoh, untuk menetapkan keharaman minuman khamr.

10
Ustwan,loc.cit

8|Page
Sebagai langkah pertama, yang dilakukan syari’ (Nabi Muhammaf saw) adalah
mendiamkan kebiasaan buruk, akan tetapi Nabi sendiri menghindarinya.

Kedua, menyinggung manfat ataupun madlaratnya secara global. Dalam


contoh khamr di atas, sebagai langkah kedua, turun ayat yang menerangkan tentang
manfaat dan madlarat minum khamr. Dalam ayat tersebut, Allah menunjukkan
11
bahwa efek sampingnya lbih besar daripada kemanfaatannya (QS. Al-Baqarah:
219) yang kemudian segera disusul dengan menyinggung efek khamr bagi
pelaksanaan ibadah 12(al-Nisa: 43)

Ketiga, menetapkan hukum tegas. Dalam contoh tersebut, Syari’ (Allah dan
Rasul-Nya) menetapkan hukum haram minum khamr secara tegas, sebagai langkah
yang paling akhir13 (QS.al-Maidah: 90)

Demikian juga dalam menetapkan hukum yang bersifat perintah. Kewajiban


shalat misalnya. Tahap pertama terjadi permulaan Islam (di Mekah), di saat umat
Islam banyak menuai siksaan dan penindasan dari penduduk Mekah, kewajiban
shalat hanya dua raka’at, yaitu pada pagi dan sore. Itu pun dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, kahawatir terjadi penghinaan yang semakin menjadi-jadi dari
suku Qurasy.

Sebagaimana disebutkan dalam surat Qaf: 39

ِ ‫س َوقَ ْب َل ْال ُغرُو‬


)٣٩( ‫ب‬ ِ ُ‫فَاصْ بِرْ َعلَى َما يَقُولُونَ َو َسبِّحْ بِ َح ْم ِد َربِّكَ قَ ْب َل طُل‬
ِ ‫وع ال َّش ْم‬

“Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah
(shalatlah) sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum
terbenam(nya)”14

Lalu surat al-Mu’min: 55

ِ ‫ك َو َسبِّحْ بِ َح ْم ِد َربِّكَ بِ ْال َع ِش ِّي َواإل ْب َك‬


)٥٥( ‫ار‬ ٌّ ‫فَاصْ بِرْ إِ َّن َو ْع َد هَّللا ِ َح‬
َ ِ‫ق َوا ْستَ ْغفِرْ لِ َذ ْنب‬

11
Al-Qur’an,2:219
12
Ibid,4:43
13
Ibid,5:90
14
Ibid,50:39

9|Page
“Maka bersabarlah kamu, karena Sesungguhnya janji Allah itu benar, dan
mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah (shalatlah) seraya memuji
Tuhanmu pada waktu petang dan pagi”15

Ketika penderitaan umat telah menyurut dengan dicabutnya pemboikotan


atas Bani Hasyim, dumulailah tahap kedua pelaksanaan shalat. Hal itu dimulai
setelah peristiwa Isra’ dan Mi’raj dimana Nabi membawa perintah dari Allah swt.
Untuk melaksanakan shalat lima waktu. Dalam hal ini Nabi bersabda, “Pada Malam
Isra’ Allah swt, mewajibkan kepada umatku lima puluh shalat. Tak henti-hentinya
aku meminta keringanan, hingga kemudian kewajiban itu menjadi lima (kali) dalam
sehari semalam.

Perintah dalam ayat tersebut kemudian dijabarkan secara jelas oleh Nabi
sebagai kewajiban shalat lima waktu, sebagaimana perintah Nabi ketika mengutus
Mu’adz ibn Jabal ke Yaman, “Kabarkan kepada mereka (penduduk Yaman),
bahwasannya Allah swt telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam
sehari semalam.” Akkhirnya ketika umat Islam telah mulai merasakan ketenangan
di negeri baru mereka, Madinah, turunlah kewajiban-kewajiban yang sifatnya lebih
terperinci, yaitu dimulai dengan syarat-syarat shalat berupa wudlu dan tayamum 16,
serta rukun-rukn (teknis) pelaksanaan shalat. Teknis pelaksanaan shalat sendiri
merupakan cara yang diajarkan oleh Nabi saw. Beliau bersabda, “Shalatlah kalian
sebagaimana kalian melihat aku shalat.

D. Sejalan dengan Kemaslahatan Universal

Manusia adalah obyek dan subyek legislasi hukum al-Quran. Seluruh


hukum yang terdapat dalam al-Quran diperuntukkan demi kepentingan dan
perbaikan kehidupan umat, baik mengenai jiwa, akal, keturunan, gama, maupun
pengelolaan harta benda, sehingga penerapan hukumnya al-Quran senantiasa
memperhitungkan lima kemaslahatan, di situlah terdapat syariat Islam.

Islam bukan hanya doktrin belaka yang identik dengan pembebanan, tetapi
juga ajaran yang bertujuan untuk menyejahterakan manusia. Karenanya, segala
sesuatu yang ada di mayapada ini merupakan fasilitas yang berguna bagi manusia
15
Ibid,40:55
16
Ibid,5:6

10 | P a g e
dalam memenuhi kebutuhannya. ‘Abd al-Wahab Khalaf berkata, “Dalam
membentuk hukum, Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) selalu membuat illat (ratio logis)
yang berkaitan dengan kemaslahatan manusia, juga menunjukkan bebrapa buktu
bahwa tujuan legislasi hukum tersebut untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.
Di samping itu, Syar’I menetapkan hukum-hukum itu sejalan dengan tiadanya illat
yang mengiringinya. Oleh karena itu, Allah mensyariatkan sebagian hukum
kemudian merevisinya karena ada kemaslahatan yang sebanding dengan hukum
tersebut.

E. Persamaan dan Keadilan (al-Musawah wa al-Adalah)

Persamaan hak di muka adalah salah satu prinsip utama syariat Islam, baik
yang berkaitan dengan ibadah atau muamalah. Persamaan hak tersebut tidak hanya
berlaku bagi umat Islam, tatpi juga bagi seluruh agama. Mereka diberi hak untuk
memutuskan hukum sesuai dengan ajaran masing-masing, kecuali kalau mereka
dengan sukarela meminta keputusan hukum sesuai hukum Islam.

Penyamarataan hak di atas berimplikasi pada keadilan yang seringakli


didengungkan al-Quran dalam menetapkan hukum,

‫اس أَ ْن تَحْ ُك ُموا بِ ْال َع ْد ِل‬


ِ َّ‫… َوإِ َذا َح َك ْمتُ ْم بَ ْينَ الن‬

… Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu


menetapkan dengan adil.... 17

Prinsip persamaan hak dan keadilan adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan dalam menetapkan hukum Islam. Keduanya harus diwujudkan demi
pemeliharaan martabat manusia (basyariyah insaniyah)18

2.3 Nash dan Tujuan Syariat

Ulama bersepakat, bahwa antara nash dan tujuan (maqasid), tidak dapat
dipisahkan. Imam al-Ghazali yang kemudian mensistemasikan Maqasid Syariah ini
menjadi tiga kategori: daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. 19. Teori ini kemudian
dilanjutkan oleh Fakhruddin al-Razi. Dalam tulisannya, dia menyatakan bahwa:

17
Al-Qur’an,Opcit,4:58
18
http://milaisma.blogspot.com/2009/12/prinsip-prinsip-syariat-tasyri-dalam-al.html
19
Shifa’ al-Ghalil, h. 161-172

11 | P a g e
“Hal ini (maksudnya maslahah) mestilah menjadi bagian dari Syariat, karena tujuan
utama seluruh hukum yang diperintahkan Allah adalah untuk memelihara dan
20
menjaga kemaslahatan (masalih).” . Ibn Taymiyah juga menekankan hal yang
sama: “Bahwa Shariat hadir untuk menjamin kemaslahatan dan menghindarkan
kerusakan.” 21.

Pergantian masa tidak lantas menjadikan konsep kemaslahatan ini berubah.


Ia tetap menjadi pegangan para ahli hukum Islam dan aktivis Islam kontemporer
dalam menjabarkan kandungan Syariat Islam. Disinilah letak kekeliruan kaum
esensialis yang secara membabi buta menuduh kelompok pro-Syariat sebagai
literalis yang mengorbankan prinsip maqasid.

Muhammad Qutb menulis: “Pemimpin yang dipercaya mestilah berbuat


sesuai dengan (prinsip) mashalih al-mursalah agar supaya dia tidak mengetepikan
tujuan akhir Syariat (Maqashid al-Syari’ah). Pemimpin berhak untuk beradaptasi
dengan berbagai isu yang berubah seiring dengan perubahan waktu dan tempat.
Akan tetapi dia hendaklah berpegang pada (prinsip) maqasid sebagai standar
hukum dalam membuat keputusan.” (1991:39).

Menurut al-Qaradawi: “Adapun nas yang secara transmisi dan makna


qath’iy tidak mungkin bertabrakan dengan maslahah qath’iyah. Karena sesama
qath’iyyat tidak mungkin berlaku kontradiksi” . Berdasarkan keyakinan inilah tak
seorang ulama pun yang berani mengatakan hukum hudud, qisas, waris, jilbab, dan
seterusnya tidak relevan lagi pada saat sekarang ini karena bertentangan dengan
maslahah manusia.

Anggapan bahwa hukum hudud tidak dapat mewujudkan kemaslahatan bagi


manusia hari ini telah ditepis oleh banyak penulis. Sa’id Ramadan al-Buti
menjelaskan bahwa salah satu unsur penting dari sesuatu hukuman adalah al-
qaswah (keras). Kalaulah unsur ini hilang niscaya hilanglah makna sesuatu
hukuman. Perlu diingat bahwa kekejaman hukuman itu sesuai dengan kekejaman
yang dilakukan oleh si kriminal (the principle of retribution). Dengan begitu prinsip
keadilan yang merupakan salah satu maqasid Syari’ah sudah terpenuhi.

20
Al-Mahsul, 1992, 6:165
21
Majmu’ Fatawa, t.t., 20: 48

12 | P a g e
Imam Syatibi, tokoh yang mempopularkan teori Maqasid, dalam al-
Muwafaqat, menyatakan: “Tidak ada perubahan padanya (pada hukum yang
diperintahkan Allah secara jelas dan kategorikal), meskipun pandangan para
mukallaf (orang dewasa) berbeda-beda. Maka tidak sah sesuatu yang baik berubah
buruk dan buruk menjadi baik sehingga dikatakan misalnya: bahwa membuka aurat
sekarang ini bukan lagi aib atau sesuatu yang buruk, dan oleh sebab itu wajar untuk
dibolehkan. Atau semisal ini. Andaikan hal ini diterima, maka ia merupakan
penasakhan (penghapusan) terhadap hukum yang sudah tetap dan kontiniu. Dan
nasakh sesudah wafatnya Rasullah adalah sesuatu yang batil.”22 .

Itulah prinsip-prinsip pemikiran syariat Islam. Tentu, dalam aplikasinya,


banyak syarat-syarat dan kebijakan yang harus dipenuhi, sesuai dengan ketentuan
syariat itu sendiri. Kadangkala, karena salah paham, muncul syariat-fobia,
ketakutan yang berlebihan terhadap syariat. Hukum qishas, misalnya, meskipun
tegas dan keras, tetapi disertai dengan konsep ampunan dari ahli waris – konsep
yang tidak dijumpai dalam hukum Barat. Hukum potong tangan, hanya bisa
diterapkan dengan syarat-syarat dan batas yang ketat. Orang yang mencuri karena
keterpaksaan akibat lapar, tidak dikenai sanksi hukum. Hukum rajam,
mensyaratkan adanya empat saksi yang langsung menyaksikan peristiwa zina, dan
ini teramat sulit dipenuhi.

Yang lebih penting, konsep syariat Islam lebih mengedepankan konsep


keadilan, dan pencegahan, ketimbang sanksi hukuman. Pada akhirnya, sukses-
tidaknya suatu penerapan hukum, juga ditentukan oleh kualitas takwa para hakim,
penguasa, dan juga rakyat. Wallahu a’lam bil-shawab.23

22
Al-Muwafaqat, ed. Muhammad Muhyiddin ‘Abdul Hamid, 2:209
23
Ibid hlm 2

13 | P a g e
BAB III

PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Syariat adalah hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan Allah


Subhaanahu wata’ala. melalui rasul-rasulNya yang mulia, untuk manusia, agar
mereka keluar dari kegelapan ke dalam terangnya cahaya hidayah, dan
mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus. Prinsip dalam syariat diantaranya
adalah :

a. Tidak Mempersulit (‘Adam al-Haraj)


b. Mengurangi Beban (Taqlil al-Taklif)
c. Penetapan Hukum secara Periodik
d. Sejalan dengan Kemaslahatan Universal
e. Persamaan dan Keadilan (al-Musawah wa al-Adalah)
Pandangan orang liberal bahwa hukum Islam yang ada sekarang tidak
sensitif dan responsif terhadap perkembangan zaman. Berdasarkan hal ini, katanya,
maka adalah salah besar bagi mereka untuk mengadopsi dan selanjutnya
mengaplikasikan hukum ini pada zaman sekarang, karena ia sudah tidak sesuai lagi.

Pandangan orang liberal tersebut adalah bathil karena Tujuan syariat


menurut Fakhruddin al-Razi dalam tulisannya, dia menyatakan bahwa: “ tujuan
utama seluruh hukum yang diperintahkan Allah adalah untuk memelihara dan
menjaga kemaslahatan (masalih).” (Al-Mahsul, 1992, 6:165). Ibn Taymiyah juga
menekankan hal yang sama: “Bahwa Shariat hadir untuk menjamin kemaslahatan
dan menghindarkan kerusakan.” (Majmu’ Fatawa, t.t., 20: 48).

Yang lebih penting, konsep syariat Islam lebih mengedepankan konsep


keadilan, dan pencegahan, ketimbang sanksi hukuman. Pada akhirnya, sukses-
tidaknya suatu penerapan hukum, juga ditentukan oleh kualitas takwa para hakim,
penguasa, dan juga rakyat. Wallahu a’lam bil-shawab.

14 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Al – Qur’an al Karim

http://ustwan77.blogspot.com/2012/02/21-konsep-syariat.html. 21.00 / 01 november 2012

http://www.sentra-edukasi.com/2010/04/pengertian-syariat-islam.html#.UJSpO2M0_qA

http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=283:syariat-islam-dan-
tantangan-zaman&catid=11:nirwan-syafrin21.05 01/ november 2012

http://ustwan77.blogspot.com/2012/02/21-konsep-syariat.html. 14.03/ 21 oktober 2012

http://milaisma.blogspot.com/2009/12/prinsip-prinsip-syariat-tasyri-dalam-al.html01 november
2012

http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=283:syariat-islam-dan-
tantangan-zaman&catid=11:nirwan-syafrin. 21.05 / 01 November 2012

http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2071352-pengertian-syariah/#ixzz2BXl2KqoQ
20.40 / 8 november 2012

15 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai