Oleh
kelompok 4
Dika Kartika
Fatma
Ismail Djafar
Rizaldi Mokodompit
JURUSAN BIOLOGI
2020
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..........................................................................................................i
Daftar Isi..................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
3.1 kesimpulan
....................................................................................................................................
6
Daftar pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Segala kehidupan makhluk hidup baik mikroorganisme maupun
makroorganisme tidak lepas dari sebuah asosiasi atau interaksi baik antar spesies
maupun antar populasi tertentu. Tanpa adanya asosiasi maka dapat di pastikan
keeksistensian suatu makhluk hidup tersebut akan rendah. Di dalam asosiasi atau
interaksi tersebut akan memunculkan suatu pola baik antar spesies maupun
populasi yang khas dan beragam. melalui pola tersebut kita dapat mengetahui
apakah suau spesies atau populasi tersebut mengalami permasalahan atau tidak
dan apakah keksistensian spesies maupun populasi organisme yang lain.
Saat ini, banyak sekali permasalahan dalam ruang lingkup konservasi biologi
salah satunya adalah permasalahan persebaran pola spesies dan populasi. Lahan
hutan yang semakin sedikit dan aktivitas manusia menjadi salah sau penyebab
terbesar yang mempengaruhi persebaran pola spesies dan populasi suatu makhluk
hidup. Adapun pihak yang harus membantu dalam pelestarian flora dan fauna
bukan hanya pihak lembaga-lembaga konservatif saja namun kita sebagai
mahasiswa turut serta dalam mencapai tujuan pelestarian flora dan fauna.
Konservasi sumberdaya alam hayati berdasarkan UU No. 5 tahun 1990
tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya merupakan
pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara
bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediannya dengan tetap memelihara
dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Biologi konservasi
adalah ilmu yang berorientasi pada tujuan yang mencari penyelesaian untuk
menghadapi krisis keanekaragaman biologis, penurunan yang sangat cepat dalam
keanekaragaman kehidupan bumi pada saat ini (Campbell et all, 2007).
Dunia kehilangan puluhan spesies setiap hari dalam apa yang disebut para
ilmuan sebagai “kepunahan masal keenam” dalam sejarah Bumi. Sebanyak 30%-
50% dari semua spesies di dunia beregerak menuju kepunahan pada pertengahan
abad ini, dan tak ada yang bisa disalahkan kecuali kita sendiri.
Perdagangan ilegal satwa telah menjadi ancaman nyata bagi upaya konservasi
satwa-satwa yang di lindungi. Perdagangan satwa liar adalah industri bernilai
sekitar $10 miliar pertahun atau berada di urutan perdagangan ilegal terbesar
kelima di dunia setelah perdagangan narkoba. Permintaan satwa meningkat
sebagai hewan peliharaan, hadiah, bahan pengobatan, makanan, fashion, dan
produk lainnya.
Perlu kita ketahui, meskipun daratan indonesia hanya menutupi 1.3% dari
permukaan planet Bumi, secara global negara kita merupakan rumah bagi 12%
mamalia, 16% reptil dan amfibi, 17% burung, 10% tanaman berbunga, serta 25%
spesies ikan. Beberapa ketentuan internasional terkait perlindungan dan
perdagangan spesies yang dilindungi telah diatur dalam beberapa konvensi seperti
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora (“CITES”) tahun 19733 dan dalam Daftar Merah Spesies yang Terancam
Punah (Red List of Threatened Species) IUCN.4 Dalam kedua ketentuan
internasional tersebut, satwa liar dikategorikan ke dalam beberapa jenis, dari yang
tertinggi yaitu kategori terancam punah hingga kategori yang dipantau
populasinya. Indonesia adalah salah satu negara yang menandatangani konvensi
CITES.
Menurut WWF Indonesia atau World Wide Fund Nature adalah sebuah
organisasi non-pemerintah internasional yang menangani masalah-masalah
tentang konservasi, penelitian dan restorasi lingkungan, berupaya melindungi
spesies terancam punah yang penting bagi ekosistem, dan juga merupakan:
Berikut adalah spesies langka yang hampir punah dan di lindungi menurut WWF
Indonesia:
Ancaman
Harimau Sumatera berada di ujung kepunahan karena hilangnya habitat
secara tak terkendali, berkurangnya jumlah spesies mangsa, dan perburuan.
Laporan tahun 2008 yang dikeluarkan oleh TRAFFIC – program kerja sama
WWF dan lembaga Konservasi Dunia, IUCN, untuk monitoring perdagangan
satwa liar – menemukan adanya pasar ilegal yang berkembang subur dan menjadi
pasar domestik terbuka di Sumatera yang memperdagangkan bagian-bagian tubuh
harimau. Dalam studi tersebut TRAFFIC mengungkapkan bahwa paling sedikit 50
Harimau Sumatera telah diburu setiap tahunnya dalam kurun waktu 1998- 2002.
Penindakan tegas untuk menghentikan perburuan dan perdagangan harimau harus
segera dilakukan di Sumatera.
Upaya yang Dilakukan WWF
WWF Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia, industri yang
mengancam habitat harimau, organisasi konservasi lainnya serta masyarakat lokal
untuk menyelamatkan Harimau Sumatera dari kepunahan. Pada tahun 2004,
Pemerintah Indonesia mendeklarasikan kawasan penting, Tesso Nilo, sebagai
Taman Nasional untuk memastikan masa depan yang aman bagi keberadaan
Harimau Sumatera. Tahun 2010, pada KTT Harimau di St. Petersburg, Indonesia
dan 12 negara lainnya yang melindungi harimau berkomitmen dalam sebuah
tujuan konservasi spesies ambisius dan visioner yang pernah dibuat: TX2 – untuk
menambah kelipatan jumlah harimau sampai pada akhir tahun 2022, tahun
Harimau selanjutnya.
Program Nasional Pemulihan Harimau Indonesia sekarang merupakan
bagian dari tujuan global dan meliputi enam lansekap prioritas Harimau Sumatera
ini: Ulumasen, Kampar-Kerumutan, Bukit Tigapuluh, Kerinci Seblat, Bukit Balai
Rejang Selatan, dan Bukit Barisan Selatan.
WWF saat ini tengah melakukan terobosan penelitian tentang Harimau
Sumatera di Sumatera Tengah, menggunakan perangkap kamera untuk
memperkirakan jumlah populasi, habitat dan distribusi untuk mengidentifikasi
koridor satwa liar yang membutuhkan perlindungan. WWF juga menurunkan tim
patroli anti-perburuan dan unit yang bekerja untuk mengurangi konflik manusia-
harimau di masyarakat lokal (Sulistyadi,2016).
b. Rafflesia arnoldii
Rafflesia arnoldii atau padma raksasa merupakan tumbuhan parasit obligat
yang tumbuh pada batang liana (tumbuhan merambat) dari genus Tetrastigma.
Spesies Raflesia yang lainnya juga memiliki inang yang sama. Rafflesia
arnoldii pertama kali ditemukan pada tahun 1818 di hutan tropis Sumatera oleh
seorang pemandu yang bekerja pada Dr. Joseph Arnold yang sedang mengikuti
ekspedisi Thomas Stanford Raffles, sehingga tumbuhan ini diberi nama sesuai
sejarah penemunya yakni penggabungan antara Raffles dan Arnold.
Ancaman
Tingginya laju deforestasi, kebakaran hutan, serta makin menurunnya luas
hutan alam Sumatera menjadi ancaman serius bagi kelestarian Rafflesia
arnoldii. Selain itu, ancaman juga datang dari masyarakat yang merusak dan
mengambil putik bunga raflesia untuk dimanfaatkan sebagai obat tradisional.
Upaya WWF dalam Konservasi Habitat
Meskipun tidak secara langsung melakukan konservasi terhadap Rafflessia
arnoldii, upaya konservasi habitat yang dilakukan WWF Indonesia di Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS ) di Lampung dan Bengkulu,
diharapkan dapat mendukung kelestarian fauna langka ini. Bekerjasama
dengan berbagai mitra terkait, WWF juga terus membangun kesadaran dan
kepedulian masyarakat untuk menjaga dan melestarikan tumbuhan khas
Indonesia ini.
2.4 Prinsip Inventarisasi Satwa Liar
Penempatan jalur ini dapat dilakukan dengan cara acak melalui petak atau
ditempatkan pada daerah-daerah yang merupakan tempat berkumpulnya satwa
yang akan diinventarisasi (hasil survey pendahuluan atau hasil studi pustaka).
Namun dalam penerapan di lapangan pembuatan jalur ini mendapat berbagai
macam kendala seperti kondisi topografi, keadaan vegetasi yang rapat, dan
lainnya.
Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah dengan mengikuti atau memakai jalur
setapak yang sudah ada. Hal ini dilakukan karena biasanya jalan setapak tersebut
bisa dikatakan cukup lurus. Jadi dalam penentuan metode inventarisasi dengan
jalur, hal perlu ditekankan adalah bahwa jalur yang dibuat tidak mutlak harus
lurus, jalur yang dibuat dapat dibuat dengan menyesuaikan dengan kondisi alam.
Hal ini dilakukan untuk mempermudah inventarisasi satwaliar yang dilakukan,
selain itu juga untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti
kecelakaan.
Jumlah satwa liar pada habitatnya di alam bebas (hutan), merupakan salah satu
bentuk kekayaan dan keanekaragaman (biodiversity) sumberdaya alam hayati,
karena itu perlu dilakukan perlindungan. Untuk dapat melakukan perlindungan
perlu diketahui jumlah dan sebarannya pada habitat satwa liar. Penentuan jumlah
satwa liar tersebut dapat dilakukan berbagai metode sensus yang memudahkan
kita untuk melakukan estimasi. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui jumlah
kepadatan dan jenis satwa di Intitut Pertanian Bogor, Dramaga. Di samping itu
juga untuk mengetahui berbagai index keragaman jenis (Bibby, dkk., 1998).
Penempatan jalur ini dapat dilakukan dengan cara acak melalui petak atau
ditempatkan pada daerah-daerah yang merupakan tempat berkumpulnya satwa
yang akan diinventarisasi (hasil survey pendahuluan atau hasil studi pustaka).
Namun dalam penerapan di lapangan pembuatan jalur ini mendapat berbagai
macam kendala seperti kondisi topografi, keadaan vegetasi yang rapat, dan
lainnya (Agusryansah, 2010).
Dalam penentuan metode inventarisasi dengan jalur, hal perlu ditekankan adalah
bahwa jalur yang dibuat tidak mutlak harus lurus, jalur yang dibuat dapat dibuat
dengan menyesuaikan dengan kondisi alam. Hal ini dilakukan untuk
mempermudah inventarisasi satwa liar yang dilakukan, selain itu juga untuk
menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti kecelakaan.
Inventarisasi satwa liar sangat penting untuk mengetahui potensi dan strategi
pengelolaan yang baik dalam mengelola satwa liar dengan memperhatikan aspek
kelestarian, ekologi, dan aspek ekonomi dari satwa tersebut. Metode sensus
merupakan metode yang memiliki karakteristik menyeluruh dan memerlukan
banyak sumberdaya untuk melekukan proses penghitungannya. Ada beberapa
metode turunan dari metode sensus yaitu metode pengamatan bergerak, metode
pengamatan diam, driving count, concentration count, dan metode penjagalan.
Metode pengamatan diam, metode pengamatan bergerak, dan metode pengamatan
penentuan waktu optimum dilakukan di Kebun Raya Bogor. Waktu optimum
digunakan untuk mengetahui peluang terjadinya perjumpaan paling banyak.
Pengamat diam (silent detection) adalah menghitung satwa ketika satwa tidak
dalam keadaan terganggu dan metode pengamatan dimana pengamat mendekati
satwa setenang mungkin (as silent as possible) (Mustari 2007). Pengamat
bergerak adalah metode yang dilakukan dengan cara pengamat melakukan
penghitungan sambil bergerak dimana pengamat bebas bergerak selama masih
berada di dalam luasan areal yang ditentukan. Tujuan praktikum ini untuk
menghitung waktu optimum pengunjung yang keluar dan masuk Kebun Raya
Bogor, mengetahui jumlah populasi, struktur umur dan jenis kelamin dan mampu
membandingkan ketiga metode tersebut yang digunakan.
a. kemampuan berkembangbiak
b. sifat mempertahan diri
c. umur
Faktor luar
a. iklim
b. suhu
2.5.1 Dinamika populasi ikan kepek, Mystacoleucus obtusirostris
Indonesia menempati rangking pertama di Asia Tenggara dalam hal
kepemilikan jenis ikan air tawar dengan jumlah sebanyak 1210 jenis. Wilayah
DIY bagian timur memiliki dae-rah aliran sungai (DAS) Opak-Oyo yang hulu
Sungai Opak berada di lereng Gunung Merapi, sedangkan hulu Sungai Oyo
berada di perbukitan Gunungkidul. Perairan Sungai Opak memiliki berbagai jenis
biota air yang sebarannya sangat beragam, namun belum banyak penelitian atau
publikasi tentang sebaran jenis ikan dan tingkat eksplotasinya. Beberapa peneliti
sebelumnya telah melakukan penelitian tentang keragaman iktioplankton di
Sungai Opak bagian hulu, Beberapa peneliti sebelumnya menemukan domi-nansi
jenis ikan yang berbeda pada kawasan sungai yang berbeda, misalnya di sungai
Gendol yang merupakan anak Sungai Opak bagian hulu didominasi oleh ikan
wader cakul, sedangkan bagian hilir Sungai Opak didominasi oleh ikan kepek
yang ditemukan di setiap stasiun pengamatan.
Ikan kepek (M. obtusirostris) merupakan salah satu jenis ikan yang hidup
di sungai daerah tropis terutama di Asia Tenggara. Ikan ini memiliki postur tubuh
yang pipih, tinggi dan memanjang, bersisik besar dan bewarna putih atau perak
mengilap terdapat warna kuning pada ekor, sirip dorsal, sirip anal dan sirip perut,
serta terdapat duri kecil yang mengarah ke depan di muka sirip punggung.
2.6 Dinamika populasi sapi potong dikecamatan pamona utara kabupaten poso.
Seiring meningkatnya jumlah penduduk serta kesadaran akan pentingnya
gizi dan kesehatan masyarakat, maka permintaan daging yang bersumber dari
ternak setiap tahunnya terus meningkat. Potensi permintaan daging sapi di
Indonesia sangat besar, dengan jumlah penduduk lebih dari 220 juta dan tingkat
pertumbuhan sekitar 1,5% per tahun serta elastisitas permintaan daging yang
tinggi maka peningkatan pendapatan dan pertambahan penduduk akan
meningkatkan jumlah permintaan daging setiap tahunnya.
Struktur populasi sapi di Kecamatan Pamona Utara terdiri atas : jantan
dewasa 22%, betina dewasa 48% (1: 2,18), jantan muda 7%, betina muda 8% (1 :
1,14), pedet jantan 6% dan pedet betina 9% (1 : 1,5), atau dapat diperhitungkan dari
total populasi diperoleh komposisi sapi jantan 34,7% dan betina 65,3% (1 : 1,53).
Pelaksanaan perkawinan sapi potong di Kecamatan Pamona Utara masih bersifat
alami, oleh karenannya jumlah perkawinan per kebuntingan masih tinggi yakni
sekitar 2,36 kali.
a. Mortalitas ternak
Kematian sapi potong di Kecamatan Pamona Utara rata-rata 2,7% per tahun,
yang terdiri atas kematian ternak sapi muda dan dewasa terhadap populasinya
sebesar 0,9% atau 0,6% terhadap populasi dan persentase kematian pedet terhadap
kelahiran sebesar 10,09% dan terhadap populasi sebesar 3%. Hasil yang diperoleh
di Kecamatan Lore Peore adalah kematian sapi potong dewasa 4,19%, sapi muda
2,16 % dan pedet sebesar 11,84%. Atau rata-rata 5,04%. Jika dibandingkan dengan
Kecamatan Lore Peore maka rata-rata tingkat kematian ternak sapi potong di
Kecamatan Pamona Utara masih relatif lebih rendah.
b. Pertambahan alami
Natural increase diperoleh dengan mengurangkan tingkat kelahiran dengan
tingkat kematian dalam suatu wilayah tertentu dan waktu tertentu, yang biasanya
diukur dalam jangka waktu satu tahun. Kelahiran pedet terhadap betina dewasa
diperoleh 30,89% dan terhadap populasi sebesar 14,83%. Nilai tersebut jauh dari
rata-rata kelahiran di Kecamatan Lore Peore yakni sebesar 62,81% dari jumlah
induk (Mobius, 2015).
2.7 Dinamika populasi sumber daya ikan layur Lepturacanthus savala di perairan
selat sunda.
Ikan layur merupakan salah satu ikan demersal yang didaratkan di PPP
Labuan Banten dengan fishing ground dari perairan Selat Sunda. Ikan layur
ditangkap dengan banyak alat tangkap diantaranya alat tangkap payang, pukat
cincin, pukat pantai, jaring arad, dan jaring insang. Tujuan dari penelitian ini
adalah mengkaji dinamika populasi sumber daya ikan layur (Lepturachantus
savala) di Perairan Selat Sunda
Kompleksitas dan kesulitan itu diperlihatkan oleh fakta bahwa kita belum berhasil
dalam menekan dan mengurangi kejadian wabah penyakit Demam Malaria,
Demam Berdarah, & Filariasis di Indonesia. Bahkan terjadi peningkatan kejadian
wabah ketiga penyakit menular itu yang sangat luar biasa (terutama Demam
Malaria dan Demam Berdarah) dari tahun ke tahun.
Fakta tersebut di atas lebih diperparah lagi oleh kondisi Indonesia yang terletak di
daerah tropis, dimana penyakit Demam Malaria memiliki prevalensi yang tinggi
di daerah tropis dan subtropis. Kondisi ini lebih diperparah lagi oleh kenyataan
bahwa nyamuk Anopheles sebagai vektor penyakit Demam Malaria dapat
menyebar dan hidup serta berkembang biak dengan subur di daerah tropis
(Indonesia) sepanjang waktu.
Nama kelembagaan tidak menjadi permasalahan, baik secara akademis, politis dan
tekhnis memperlihatkan ”kesatuan yang terpadu dalam penangangan dan
pengendalian penyakit dan vektor penularnya”. Ini sangat penting karena kesan
politis yang terjadi sekarang adalah pengutamaan pada program pengobatan dan
pencegahan Penyakit Demam Malaria. Ini ditunjukan oleh program dan lembaga
yang hanya ditujukan secara khusus untuk Demam Malaria dan (seakan-akan)
mengabaikan dua penyakit menular yang lainnya. Hal yang penting adalah
Program dan atau lembaga baru tersebut bersifat terpadu untuk memayungi
program untuk ketiga penyakit tersebut.
Makalah ini mengajukan sebuah lembaga atau program yang bersifat lebih
generik untuk kegiatan yang berhubungan dengan pengobatan & pencegahan
penyakit dan pengendalaian vektor penularnya yaitu Lembaga Pemberantasan dan
Pencegahan Penyakit Tular Nyamuk Nasional (LP3TN2) atau Program
Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit Tular Nyamuk Nasional (P4TN2).
Status Lembaga atau Program ini adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang
bebas dari pengaruh partai politik dan golongan lainnya dan berunsurkan tokoh
masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, pemuda, karang taruna dan unsur lainnya
yang sangat berperan dan berpengaruh dalam masyarakat. Basis kegiatan lembaga
dan program ini adalah Desa dengan tingkatan organisasi di Kecamatan,
Kabupaten, Propinsi dan Nasional.
Fungsi dan tugas utama dari Lembaga atau program ini adalah sebagai berikut :
• Sebagai perantara dan penghubung antara masyarakat dengan stakeholder
lainnya seperti pemerintah, dunia usaha, perguruan tinggi & lembaga pendidikan
lainnya, dan organisasi kemasyarakatan lokal, nasional dan internasional
• Sebagai perencana dan pengelola sumber keuangan untuk kegiatan yang mandiri
dengan pengelolaan keuangan yang terbuka, trasparan, dan akuntabel
Lembaga dan program yang dimaksudkan di atas harus dibentuk, dibina dan
diberdayakan oleh pemerintah dengan basis nilai-nilai sosial dan budaya
masyarakat lokal serta di danai dengan APBN, APBD serta diberi kewenangan
untuk menghimpun dana masyarakat dengan prinsip pengelolaan yang jujur,
terbuka dan akuntabel.
Dengan lembaga dan program ini dapat diharapkan agar kita mampu untuk
mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan oleh Indonesia untuk eliminasi penyakit
tular nyamuk di Indonesia dengan kekuatan masyarakat. Sebagai contoh adalah
untuk mencapai (program Indonesia melalui Kementerian Kesehatan RI) target
eliminasi penyakit Demam Malaria di Indonesia dengan rincian sebagai berikut :
• Eliminasi penyakit demam Malaria pada tahun 2010 di Jawa, Bali dan Batam
• Eliminasi penyakit demam Malaria pada tahun 2015 di Jawa, Nangroe Aceh
Darussalam
• Eliminasi penyakit demam Malaria pada tahun 2030 di Papua, Papua Barat,
Maluku, Maluku Utara, dan NTT
Perdagangan satwa menjadi suatu hal yang menarik bagi dunia internasional
karena perdagangan ini menjual satwa atau bagian tubuhnya untuk kebutuhan
manusia. Permasalahan perdagangan satwa menjadi suatu hal yang menarik bagi
dunia internasional karena perdagangan ini menjual satwa atau bagian tubuhnya
seperti kulit, gading, dan organ tubuh lainnya untuk kebutuhan manusia. Selama
tiga puluh tahun terakhir, konsumsi akan sumber daya alam dari keanekaragaman
hayati telah meningkat. Contohnya, 10 dari 25 perusahaan obat besar di dunia
pada tahun 1997 memperoleh bahan-bahannya dari sumber keanekaragaman
hayati termasuk dari satwa dan derivatnya.
Untuk melindungi agar tidak terjadi kepunahan, perjanjian yang bersifat mutlak
diperlukan. Rejim Internasional pengaturan perdagangan satwa atau yang dikenal
dengan Convention on International Trade in Endangreed Species of wild Fauna
and Flora (CITES) adalah suatu perjanjian multilateral untuk menjawab salah satu
faktor ancaman dari kepunahan spesies. CITES terbentuk pada tahun 1973 dan
mulai berlaku 1975. Karena kegiatan perdagangan satwa liar ini melintasi batas
negara atau paling tidak melibatkan dua negara, usaha untuk membuat perjanjian
internasional adalah jalan terbaik dengan terbentuknya CITES untuk melindungi
spesies tertentu dari eksploitasi yang berlebihan.
Perdagangan satwa ini merupakan aktivitas ekonomi pada tingkat lokal, nasional
dan internasional. Dengan conntoh kasus bahwa ada ribuan satwa yang dilindungi
dan satwa biasa diselundupkan keluar negeri setiap bulannya, caranya para
pedagang satwa tersebut bekerjasama dengan sejumlah oknum petugas sehingga
mudah untuk meloloskan hewan-hewan yang hendak di jual tersebut. Pembeli
satwa tersebut diantaranya berasal dari Jepang, Pakistan, Malaysia, Kuwait, dan
Iran. Untuk melindungi spesies ini agar tidak punah perjanjian yang bersifat
multilateral mutlak diperlukan. Maka dengan ada Rezim internasional Pengaturan
perdagangan satwa atau yang dikenal dengan Convention onInternational Trade in
Endangered Spesies of Wild fauna and Flora (CITES) adalah perjanjian mutlak
yang seharusnya bisa untuk menjawab salah satu faktor ancaman dari kepunahan
spesies. CITES ini telah terbentuk pada tahun 1973 dan mulai berlaku 1975.
karena kegiatan perdagangan satwa ini melintasi batas Negara atau paling tidak
melibatkan dua Negara, usaha untuk membuat perjanjian internasional adalah
jalan terbaik dengan terbentuknya CITES ini untuk mengontrol eksploitasi yang
berlebihan.
Para ilmuwan telah menunjukkan dengan penelitian intensif bahwa planet bumi
telah terancam. Selain itu akibat perubahan iklim dan kehilangan habitat dan
ekspansi yang dilakukan oleh manusia, kepunahan spesies semakin bertambah
tinggi. Sedikitnya 15 spesies telah punah dalam waktu 20 tahun terakhir,, 12
spesies dapat bertahan hidup karena dipelihara dan ditangkarkan oleh manusia.
Namun, diyakini bahwa sebenarnya spesies yang mengalami kepunahan jumlahny
ajauh lebih besar. Lebih dari itu menurut penelitian Global Species Assessment
(GSA) dalam siaran pers bulan November 2004, sekitar 15.589 spesies yang
terdiri dari 7.266 spesies satwa dan 8.323 spesies tumbuhan dan lumut kerak,
diperkirakan berada dalam kepunahan. Jadi terbukti bahwa nyatanya segala
konvensi dan peraturan saja tidaklah mengikat dan dapat mengambil langkah
untuk menurunkan tingkat kerusakan dan kepunahan spesies di muka bumi ini.
Berdasarkan kenyataan ini, maka efektifitas dari rejim ini mulai dipertanyakan.
Tulisan ini akan membahas mengenai sejauh mana negara-negara anggota CITES
tersebut memberikan komitmen dan kontribusinya terhadap perjanjian yang telah
disepakati, sehingga rezim internasional bisa dikatakan efektif atau tidak efektif.
2. Apendiks II adalah spesies yang tidak terancam punah tetapi akan mengalami
kepunahan apabila tidak dikontrol dan dimonitor secara ketat.
3. Apendiks III adalah kategori spesies yang dimasukkan dalam daftar oleh
negara-negara anggota CITES dimana, suatu negara merasa suatu spesies tertentu
sedang atau harus dilindungi di bawah hukum nasionalnya dan perlu adanya
kerjasama lebih lanjut dengan sesame negara anggota CITES untuk mengontrol
perdagangan internasional terhadap spesies tersebut.
Upaya keberhasilan pengaturan perdagangan satwa akan dilihat dari bagaimana
negara-negara anggota CITES mengadopsi aturan-auturan yang digariskan oleh
CITES, dan sejauh mana aturan-aturan tersebut mempengaruhi perilkau kelompok
yang Jurnal Transnasional, Vol. 4, No. 1, Juli 2012 795 berkepentingan dalam isu
ini. Dengan menggunakan mekanisme apendiks, CITES berupaya melakukan
pencegahan eksploitasi terhadap satwa sehingga tidak terjadi kepunahan. Akan
tetapi, bukti-bukti yang berkembang menunjukan bahwa banyak undangundang
nasional dan kebijakan lingkungan hidup yang terkait dengan perdagangan satwa
liar sering kali justru tidak dapat diimplementasikan akibatnya adalah
meningkatnya lalu lintas perdagangan illegal (International illegal trafficking)
terhadap satwa. Kegiatan lalu lintas perdagangan ini menjadi salah satu faktor
pendorong utama bagi kepunahan beberapa satwa.
a. Output
Dalam hal dependent variable salah satunya dapat dilihat dengan menjelaskan
outputnya yaitu keluaran yang muncul dari proses pembentukan, biasanya
tertulis tetapi bisa juga tidak tertulis seperti misalnya konvensi, rules of law,
treaty, deklarasi, bisa juga norma, prinsip dan lainnya. Dan untuk masalah
konvensi CITES ini yang berkaitan dengan perdangangan satwa liar ini yang
di outputnya adalah Conference of Parties (CoP).
b. Outcome
Dengan melihat permasalahan ini, maka dalam konteks ini collective
optimumnya atau nilai yang dapat dicapai secara realistis dari outcome dalam
CITES ialah seharusnya telah ada perubahan perilaku, yakni negara-negara
anggota memiliki dan membuat perangkat hukum nasional untuk
melaksanakan peraturan CITES. Misalnya di AS, terdapat endangered species
act. Setidaknya Aturan-aturan yang dibuat CITES bisa mempengaruhi
perilaku kelompok yang berkepentingan dalam isu ini. Dengan menggunakan
Apendiks, CITES berupaya melakukan pencegahan eksploitasi terhadap
satwa sehingga tidak terjadi kepunahan, akan tetapi bukti-bukti yang
berkembang meunujukan bahwa banyak undangundang nasional dan
kebijakan lingkungan hidup yang terkait dengan perdagangan satwa liar
sering kali justru tidak dapat diimplementasikan, akibatnya adalah
meningkatnya lalu lintas perdagangan illegal (international Illlegal
Trafficking) terhadap satwa.
c. Impact
Dalam hal ini setelah dianalisis, maka untuk melihat impactnya yaitu
perubahan tingkah laku memunculkan sesuatu yang di design institusi. Dalam
hal ini institusi yang dimaksud adalah UNEP (United Nations Environmental
Program) yang secara khusus isu lingkungan hidup mulai menjadi
pembicaraan pada Hubungan Internasional semenjak dilangsungkannya
konfrensi PBB, pertama mengenai lingkungan hidup di Stocklom, Swedia
pada tahun 1972 yang diikuti oleh 133 negara yang turut melahirkan badan
khusus PBB di bidang lingkungan hidup yang telah menghasilkan badan
khusus yang salah satu di antaranya yakni CITES (Convention on
International Trade in Endagered Spesies) yang merupakan perjanjian
internasional yang bertujuan untuk membantu pelestarian populasihabitat
alamnya melalui pengendalian perdagangan internasional untuk spesies satwa
liar. Dengan terbentuknya CITES dunia internasional mulai sadar akan
seriusnya ancaman lingkungan lintas batas dan ancaman ekologi global. Hal
ini terbukti dengan meningkatnya jumlah perjanjian internasional mengenai
isu ini. perubahan yang mempengaruhi perilaku negara-negara yang peduli
akan keberlangsungan hidup satwa-satwa, terlihat dari semakin menurun atau
berkurangnya tingkat penyelundupan satwa liar tersebut, walaupun tidak
significant karena perubahan yang terjadi belum perfect tetapi dapat
dikatakan almost perfect, jadi sudah ada perubahan perilaku yang terjadi.
Sebagai institusi lingkungan hidup, untuk melihat apakah aturan-aturan tertulisnya
telah diimplementasikan secara efektif atau tidak, menurut Juan Carlos Vaquue,
CITES tersebut harus melakukan tiga tahap yaitu6 :
1. Implementasi (implementation) Suatu negara mengimplementasikan
kewajiban-kewajiban CITES melalaui tiga Fase yang berbeda pertama; dengan
mengadopsi tindakan-tindakan implementasi nasional termasuk tindakan-tindakan
legislative dan ekonomi, system informasi, rencana menejement, dan unit
pelaksana hukumnya, kedua; memastikan tindakan-tindakan nasional telah
terpenuhi sesuai dengan yang ada di dalam wilayah yuridiksi dan kendali, ketiga;
memenuhi kewajiban-kewajiban secretariat CITES seperti, melaporkan volume
perdagangan dan tindakantindakan (measure) yang dapat berpengaruh terhadap
kewajiban internasionalnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Biologi konservasi merupakan ilmu terapan yang berorientasi pada kajian
mengenai penyelesaian krisis keanekaragaman hayati. Biologi konservasi sendiri
bertujuan untuk menjaga kelansungan makhluk hidup yang ada dibumi.
Konservasi pada tingkat awal adalah konservasi pada spesies dan populasi.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, kajian biologi konservasi pada
spesies dan populasi tersebut. Permasalahan tersebut dapat disebabkan tekanan
dari luar maupun berasal dari diri makhluk hidup tersebut. Bilamana membahas
tentang populasi, dapat dibayangkan seperti apa permasalahan yang dapat terjadi
pada populasi yang kecil maupun tinggi. Populasi kecil dihadapkan pada
kemampuan populasi tersebut dalam menghadapi tekanan dari luar dan dalam.
Sedangkan populasi yang tinggi di hadapkan pada bagaimana populasi tersebut
dapat terkontrol sehingga tidak mengganggu keseimbangan ekosistem.
DAFTAR PUSTAKA
Campbell, Neil A., Jane B. Reece, dan Jatna Supriatna. 2012. Biologi edisi 5.
Erlangga. Jakarta
Diane, mahony, “The Convention on Interntional Trade Endangered Species of
Flora and Fauna: Adressing Problems in Global Wildlife Trade Enforcement”,
dalam New England international and Comparative law Annual, Vol 3.
Fathi Hanif, S.H., M.H.1. 2015. UPaya PerlindUngan satwa liar indonesia
melalUi instrUmen HUKUm dan PerUndang-Undangan. Jurnal Hukum
Lingkungan Indonesia. Vol 2. No 2.
Juan carlos Vasques, “Complience and Enforcement Mechanism of CITES”,
dalam Sara Oldfield (ed), The Trade in Wlidlife, Regulating for Conservation,
(London:Earthscan, 2003)
Mustari AH. Metode Survey dan Inventarisasi Mamalia. Bogor (ID) : Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekwisata, Fakultas Kehutanan IPB.