Anda di halaman 1dari 41

KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM

Oleh

kelompok 4

Citra Ningrum Yasin

Dika Kartika

Fatma

I Gede Ngurah Saputra

Ismail Djafar

Rizaldi Mokodompit

PRODI S1 PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2020
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................................................i

Daftar Isi..................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.....................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Konsep keanekargaman hayati............................................................................

2.2 Krisis keanekaragaman hayati.............................................................................

2.3 Karakteristik hewan yang dilindungi...................................................................

2.4 Prinsip inventarisasi satwa liar.............................................................................

2.5 Dinamika populasi...............................................................................................

2.6 Pembinaan populasi dan satwa liar......................................................................

BAB III PENUTUP

3.1 kesimpulan
....................................................................................................................................
6

Daftar pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Segala kehidupan makhluk hidup baik mikroorganisme maupun
makroorganisme tidak lepas dari sebuah asosiasi atau interaksi baik antar spesies
maupun antar populasi tertentu. Tanpa adanya asosiasi maka dapat di pastikan
keeksistensian suatu makhluk hidup tersebut akan rendah. Di dalam asosiasi atau
interaksi tersebut akan memunculkan suatu pola baik antar spesies maupun
populasi yang khas dan beragam. melalui pola tersebut kita dapat mengetahui
apakah suau spesies atau populasi tersebut mengalami permasalahan atau tidak
dan apakah keksistensian spesies maupun populasi organisme yang lain.
Saat ini, banyak sekali permasalahan dalam ruang lingkup konservasi biologi
salah satunya adalah permasalahan persebaran pola spesies dan populasi. Lahan
hutan yang semakin sedikit dan aktivitas manusia menjadi salah sau penyebab
terbesar yang mempengaruhi persebaran pola spesies dan populasi suatu makhluk
hidup. Adapun pihak yang harus membantu dalam pelestarian flora dan fauna
bukan hanya pihak lembaga-lembaga konservatif saja namun kita sebagai
mahasiswa turut serta dalam mencapai tujuan pelestarian flora dan fauna.
Konservasi sumberdaya alam hayati berdasarkan UU No. 5 tahun 1990
tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya merupakan
pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara
bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediannya dengan tetap memelihara
dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Biologi konservasi
adalah ilmu yang berorientasi pada tujuan yang mencari penyelesaian untuk
menghadapi krisis keanekaragaman biologis, penurunan yang sangat cepat dalam
keanekaragaman kehidupan bumi pada saat ini (Campbell et all, 2007).

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep keanekaragaman hayati pada tingkat gen, spesies dan


ekosistem?
2. Bagaimana krisis keanekaragaman hayati?
3. Bagaimana karakteristik spesies yang dilindungi?
4. Bagaimana prinsip inventarisasi satwa liar?
5. Bagaimana dinamika populasi?
6. Bagaimana pembinaan populasi dan satwa liar?
1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui konsep keanekaragaman hayati pada tingkat gen,


spesies dan ekosistem.
2. Untuk mengetahui krisis keanekaragaman hayati.
3. Untuk mengetahui karakteristik spesies yang dilindungi.
4. Untuk mengetahui prinsip inventarisasi satwa liar.
5. Untuk mengetahui dinamika populasi.
6. Untuk mengetahui pembinaan populasi dan satwa liar.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Keanekaragaman Hayati (Gen, Spesies dan Ekosistem)
Menurut Kusmana (2015), keanekaragaman hayati (biological-diversity atau
biodiversity) adalah semua makhluk hidup di bumi (tumbuhan, hewan, dan
mikroorganisme) termasuk keanekaragaman genetik yang dikandungnya dan
keanekaragaman ekosistem yang dibentuknya. Keanekaragaman hayati itu sendiri
terdiri atas tiga tingkatan, yaitu:
1. Keanekaragaman spesies, yaitu keanekaragaman semua spesies makhluk
hidup di bumi, termasuk bakteri dan protista serta spesies dari kingdom bersel
banyak (tumbuhan, jamur, hewan yang bersel banyak atau multiseluler).
2. Keanekaragaman genetik, yaitu variasi genetik dalam satu spesies, baik di
antara populasi-populasi yang terpisah secara geografis, maupun di antara
individuindividu dalam satu populasi.

3. Keanekaragaman ekosistem, yaitu komunitas biologi yang berbeda serta


asosiasinya dengan lingkungan fisik (ekosistem) masing-masing.

Menurut Supriatna (2018), ada 3 komponen biodiversitas, yaitu :


1) Keanekaragaman Genetik
Gen adalah unit dasar biodiversitas. Gen adalah materi genetik yang terdapat
di dalam kromosom makhluk hidup yang mengendalikan sifat/ciri dari
organisme. Perbedaan gen pada makhluk hidup (variasi gen) pada setiap
makhluk hidup menyebabkan sifat yang tidak tampak (sifat genotip) dan sifat
yang dapat diamati (sifat fenotipe) pada setiap makhluk hidup menjadi berbeda.
Tak mengherankan jika perlindungan keanekaragaman genetik adalah tujuan
penting biologi konservasi.
2) Keanekaragaman tingkat populasi
Populasi adalah sebuah kelompok individu-individu dari spesies tertentu yang
hidup di daerah tertentu pada waktu yang sama. Perbedaan genetik diantara
individu-individu sebuah populasi dan diantara populasi dalam sebuah spesies
merefleksikan sejarah evolusi populasi tersebut serta menentukan potensi
adaptasi ke depan. Populasi tertentu dapat mempunyai nilai konservasi besar
karena kemampuannya beradaptasi dengan lingkungan habitat tertentu yang bisa
memiliki berbagai jenis karakter (genetic based plasticity). Kehilangan suatu
populasi lokal mengurangi kemampuan ekosistem untuk menghasilkan barang
dan jasa terhadap manusia dan spesies yang hidup disana. Itulah penurunan
tajam dari kelimpahan dan keberadaan dari banyak spesies yang menjadi
perhatian konservasi.
3) Keanekaragaman Spesies
Spesies adalah unit dasar evolusi dan target utama undang-undang
konservasi. Walaupun keragaman populasi kadang sama dan lebih penting untuk
konservasi. Spesies adalah sekelompok populasi alami yang nyata dan secara
potensial dapat berkembang biak dan beradasarkan reproduksinya terisolasi dari
grup lain. Namun, kadang informasi tentang reproduksinya tidak tersedia baik
karena spesiesnya bereproduksi aseksual atau belum diketahui. Alhasil, banyak
spesies diidentifikasi dari morfologinya.
Menurut Samedi (2015), Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara
dengan kekayaan SDA hayati terbesar di dunia selain Brazil dan Zaire atau
Republik Demokratik Kongo. Namun, keanekaragaman hayati baik di tingkat
genetik, spesies maupun ekosistem merupakan SDA yang sangat kompleks,
karena SDA ini terdapat dalam jumlah yang terbatas sekalipun
keanekaragamannya sangat tinggi. Selain itu, walaupun mempunyai sifat yang
dapat memperbaharui diri atau dapat diperbaharui (renewable), sumberdaya alam
hayati mempunyai sifat yang tidak dapat kembali seperti asalnya (irreversible)
apabila dimanfaatkan secara berlebihan sampai pada tingkat yang melampaui
kemampuannya. Permasalahan tersebut tercermin dari tinggginya tingkat
keterancaman keanekaragaman hayati dari kepunahan. Keterancaman tersebut
terutama disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu
a. Pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berlebihan, termasuk secara
ilegal;
b. Kerusakan habitat yang disebabkan oleh konversi dan penggunaan bahan-
bahan berbahaya dalam pemanfaatan sumberdaya alam.
Menurut Kusmana (2015), keanekaragaman hayati (biodiversity) merupakan
dasar dari munculnya beragam jasa ekosistem (ecosystem services), baik dalam
bentuk barang/produk maupun dalam bentuk jasa lingkungan yang sangat
diperlukan oleh perikehidupan makhluk hidup, khususnya manusia. Sejalan
dengan pertambahan jumlah penduduk dan perkembangan pembangunan di
berbagai sektor yang cukup pesat beberapa dekade terakhir ini, banyak ekosistem
alam penyedia berbagai jasa lingkungan dan produk tersebut di atas mengalami
kerusakan karena berbagai faktor seperti ditunjukkan pada Tabel 1.
.

Gambar 2.5. Skema konservasi biodiversity (Kusmana, 2015)


Menurut Tilman,et.al (2014), keanekaragaman spesies merupakan penentu
utama produktivitas ekosistem, stabilitas, kemampuan invasif, dan dinamika
nutrisi. Ratusan penelitian yang mencakup ekosistem darat, perairan, dan laut
menunjukkan bahwa campuran dengan keanekaragaman tinggi kira-kira dua kali
lebih produktif daripada monokultur dari spesies yang sama dan perbedaan ini
meningkat seiring berjalannya waktu. Dampak keanekaragaman yang lebih tinggi
ini memiliki banyak penyebab, termasuk saling melengkapi antarspesies,
penggunaan sumber daya pembatas yang lebih besar, penurunan herbivori dan
penyakit, dan umpan balik siklus nutrisi yang meningkatkan simpanan nutrisi dan
tingkat pasokan dalam jangka panjang.
Efek keanekaragaman yang diamati secara eksperimental ini konsisten
dengan prediksi yang didasarkan pada berbagai teori yang memiliki kesamaan
fitur: Semua memiliki mekanisme trade-off-based yang memungkinkan
koeksistensi jangka panjang dari banyak spesies yang bersaing. Kehilangan
keanekaragaman memiliki efek sebesar, atau lebih besar dari, efek herbivori,
kebakaran, kekeringan, penambahan nitrogen, peningkatan CO2, dan pendorong
perubahan lingkungan lainnya. Pelestarian, konservasi, dan pemulihan
keanekaragaman hayati harus menjadi prioritas global yang tinggi (Tilman,et.al
2014).
Konservasi terhadap biodiversitas (keanekaragaman hayati) memerlukan
adanya tata kelola (kelembagaan: sumberdaya manusia, peraturan perundangan,
struktur organisasi, mekanisme kerja) yang memadai untuk melindungi,
melestarikan, dan memanfaatkan produk dan/atau jasa lingkungan yang diberikan
oleh ekosistem dimana beragam jenis flora dan fauna hidup. Pengendalian
kerusakan terhadap keanekaragaman hayati dapat dilakukan melalui tindakan
pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan (Kusmana, 2015).
2.1. Krisis keanekaragaman hayati
Saat ini banyak ekosistem yang terganggu akibat perusakan habitat sehingga
dapat mengancam kehidupan berbagai spesies. Exploitasi spesies flora dan fauna
berlebihan akan menimbulkan kelangkaan dan kepunahan spesies. Selain itu,
penyeragaman varietas tanaman maupun ras hewan budidaya menimbulkan erosi
genetik. Hal ini semua dapat menimbulkan krisis keanekaragaman hayati
(Kuswanto 2006, Dalam Sutoyo 2010)
Angka kepunahan spesies diperkirakan seperempat dari 30 juta spesies hewan
dan tumbuhan telah punah pada tahun 2000. Kepunahan varietas suatu tanaman
atau ras hewan lebih sukar diperkirakan. The Red Data Books of IUCN dan ICBP
menyatakan bahwa 126 burung, 63 mamalia, 21 reptilia dan 65 spesies hewan
Indonesia lainnya kini terancam punah. Data lain menyebutkan bahwa yang
tersisa 187 jenis mamalia endemik (37,4%) dari 500 jenis, 144 jenis reptilia
endemik (7,2%) dari 200 jenis, 121 jenis kupu-kupu endemis (44%) dari 53 j3nis
dan 162 jenis burung endemis (10,8%) dari 1500 jenis (Hoffman et.al.,2008
dalam Sutoyo,2010).
Buah lokal seperti kepel,duwet,gandaria,kecapi,dan yang lain sudah jarang
kita lihat sementara pasar kita dibanjiri buah-buahan impor. di sektor pertanian
ribuan varietas padi kini digantikan dengan hanya beberapa puluh varietas padi
unggul. Penyeragaman dianggap penting dari segi ekonomi dan efisiensi.
Penyeragaman akan menimbulkan dampak negatif bagi keanekaragaman hayati.
Akibat penyeragaman akan menggusur varietas tradisional yang digunakan
sebagai bahan baku pemuliaan hewan maupun tanaman sehingga menjadi langka.
Tanaman rentan pada hama dan penyakit.
Tahun 1966, intrnational Rice Recearch Institute (IRRI) memperkenalkan
sebuah varietas padi IR-8 yang dengan cepat ditanam di seluruh asia. Padi ini
ternyata mudah terserang oleh berbagai serangga dan penyakit. Pada tahun 1969,
padi ini diserang panyakit bakteri. Pada tahun 1970 dan 1971 jenis padi tersebut
diserang wabah penyakit tropik lainnya yang disebut TUNDRO. Pada tahun 1977
IR-36 dikembangkan agar resisten terhadap 8jenis serangga dan penyakit
(Kuswanto,2006 dalam Sutoyo,2010).
Erosi keragaman hayati secara terus-menerus akan menimbulkan damak sosial
dan ekologi cukup serius.keragaman sebagai dasar stabilitas sosila dan ekologi.
Sistem sosila dan ekologi tanpa keragaman akan mudah rusak dan runtuh.
Ancaman lain dari keanekaragaman hayati adalah pemanasan global.
Pemanasan global bisa menjadi ancaman yang lebih besar bagi mahluk hidup
daripada penebangan hutan di abad ini. hasil penelitian menyatakan peningkatan
suhu bumi sebesar 2•C dalam waktu 50 tahun dapat memsnahkan puluhan ribu
spesies hewan dan tumbuhan di bumi bahkan di tempat-tempat terpencil yang
jauh dari aktivitas manusia. Sehingga iklim yang tidak menentu akhir-akhir ini
mengancam keanekaragaman hayati yang akan terdampak pada usaha konservasi
jangka panjang (Anonymous,2006 dalam Sutoyo,2010)
2.2.1 Upaya pelestarian keanekaragaman hayati
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati
yang tinggi termasuk kenekaragaman plasma nuftah atau sumberdaya genetik
pada taraf di dalam spesies. Sumberdaya ini sebagian telah dimanfaatkan secara
nyata namun perhatian manusia pada keberadaannya masih sangat terbatas.
Plasma nuftah merupakan bahan dasar untuk merakit varietas unggul yang
mempunyai sifat-sifat diantaranya produktivitas tinggi,tahan hama dan
penyakit,dan mutu yang sesuai dengan selera masyarakat. Untuk merakit
varietas unggul diperluka keanekaragaman plasma nuftah oleh karena itu harus
mempertahankan kelestariannya (irwanto,2006 dalam Sutoyo,2010)
Upaya pelestarian plasma nuftah terus dilakukan. Erosi keanekaragaman
pada beih baru mengakibatkan penyebaran serangga upaya yang dpat dilakukan
ialah rotasi tanaman, rotasi tanaman pertanian dapat membantu mengendalikan
serangga karena banyak serangga bersifat spesifik pada pada tanaman tertentu,
selain itu menanam tanman pertanian pada musim yang berbeda dan tahun yang
berbeda memyebabkan populasi serangga menurun. Penanaman berdasarkan
keragaman telah menciptakan sistem perlindugan sendiri. Varietas asli atau
tradisional lebih tanah pada penyakit dan serangga lokal.kemungkinan beberapa
galur terjangkit penyakit tertentu, namun yang lainnya mempunyai ketahanan
untuk tetap hidup.
Tujuh bidang yang dapat digunakan untuk melestarikan keanekaragaman
hayati yaitu:
1. mengurangi laju kenerosotan komponen keragaman hayati
2. pemanfaatan sumberdaya harus secara berkelanjutan
3. memberikan perhatian pada gangguan dari spesies asing yang menggeser
spesies asli,iklim ysng tidak menentu,pencemaran,dan perunbahan peruntukan
habitat
4. integritas ekosistem dan penyediaan barang dan jasa dari keanekaragaman
hayati dalam ekosistem harus dipertahankan
5. melindungi pengetahuan,inovasi,dan praktek-praktek tradisional
6. menjamin pembagian keuntungan secara adil dan merata dihasilakn dari
pemanfaatan sumberdaya genetik
7. memobilisasi sumber-sumber dana dan teknis untuk pelaksanaan konvensi
keanekaragaman hayati.
Indonesia dan negara-negara selatanharus melindungi hak-hak rakyat dan
hak semua makhluk hidup dari pengikisan oleh industri yang ,menginginkan
adanya hak pribadi atas kepemilikan mahkluk hidup. Hak atas keanekargaman
hayati adalah hak kedaulatan setiap negara.
Pemerintah,industri dn ilmuwan indonesia menghargai pengetahuan
masyarakat asli dari berbagai suku serta mengakui sumbangan mereka terhadap
pelestarian plasma nuftah. Pengawasan dan penerapan hukum oleh aparat
pemerintah harud lebih kuat sehingga penjarahan plasma nuftah tidak
tejadi.menurut Herwarsono soeditjo,koleksi plasma nuftah mangga indonesiaa
justru beada di puerto rico,tampa diketahui bagaimana hal itu bisa terjadi. Hal ini
belum mencakup kasus penjaahamn lain yangbelum terungkap atau bahkan
belum diketahui pihak yang berwenang.
Keragaman hayati yangharus terus-menerus mengalami kemerosotan
menunjukkan kerugian yang sangat besar jika banyak spesies tak tergantikan
mulai punah dengan snagat cepat. Upaya penyelamata keragaman hayati sudah
banyak dilakukan tetapi masih banyak hmabtan yang perlu dikaji kembali antara
lain:
1. kesadaran masyarakat akan kegunaan keanekaragaman hayati sangat
terbatas
2. pemerintah daerah masih belum menyadari pentignya keanekaragaman
hayati di daerahnya bagi penngkatan pendapatan daerah
Beberpa hal praktis yang dapat memperbesar hambatan dalam
penyelamatan keanekaragaman hayati Indonesia. insentid bagi peneliti dibidang
keanekaragaman hayati masih sangat rendah, sehingga para peneliti lebih
memilih bidang lain. Untuk keberhasilan penelitian dibidang keanekaragaman
hayati diperlukan jangka panjang sehingga tidak menarik bagi peneliti.
Upaya-upaya agar kepunahan keanekaragaman hayati dspat dicegah secara
sistemastis para pakar di international conservation membuat daftar merah sebai
acuan dalam menetukan data dasar untuk mendapatkan target capaian konservasi
serta memfokuskan prioritas aksi penyelamatan keanekaragaman hayati. IUCN
telah mencatumkan data pada setiap spesies distribusi dan informasi ekologinya.
Pemanfaatan data tersebut sangat membantu dan tebukti sngat efektif untuk
mendeterminasikan dimana prioritas yang dilakukan untuk melakukan
konservasi baik pada skala global hingga pada tingkat individual (Hoffman
et,al.,2008).
2.3 Karakteristik Spesies yang di Lindungi

Kekayaan Indonesia akan keanekaragaman hayati dengan komponen


komponennya merupakan masa depan umat manusia sebagai sumber ketahanan
pangan, kesehatan dan bahkan energi. Dengan potensi ini, Indonesia wajib
melakukan upaya konservasi beserta legislasi yang efektif untuk mengatasi laju
kerusakan dan kehilangan keaneragaman hayati yang telah mencapai tingkat yang
sangat mengkhawatirkan. Di sinilah pentingnya konservasi, karena dengan
konservasi manusia dituntut untuk menjadi bijaksana dalam menggunakan SDA
yang jumlahnya terbatas (Kurniasih, 2018).

Dunia kehilangan puluhan spesies setiap hari dalam apa yang disebut para
ilmuan sebagai “kepunahan masal keenam” dalam sejarah Bumi. Sebanyak 30%-
50% dari semua spesies di dunia beregerak menuju kepunahan pada pertengahan
abad ini, dan tak ada yang bisa disalahkan kecuali kita sendiri.

Perdagangan ilegal satwa telah menjadi ancaman nyata bagi upaya konservasi
satwa-satwa yang di lindungi. Perdagangan satwa liar adalah industri bernilai
sekitar $10 miliar pertahun atau berada di urutan perdagangan ilegal terbesar
kelima di dunia setelah perdagangan narkoba. Permintaan satwa meningkat
sebagai hewan peliharaan, hadiah, bahan pengobatan, makanan, fashion, dan
produk lainnya.

Perlu kita ketahui, meskipun daratan indonesia hanya menutupi 1.3% dari
permukaan planet Bumi, secara global negara kita merupakan rumah bagi 12%
mamalia, 16% reptil dan amfibi, 17% burung, 10% tanaman berbunga, serta 25%
spesies ikan. Beberapa ketentuan internasional terkait perlindungan dan
perdagangan spesies yang dilindungi telah diatur dalam beberapa konvensi seperti
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora (“CITES”) tahun 19733 dan dalam Daftar Merah Spesies yang Terancam
Punah (Red List of Threatened Species) IUCN.4 Dalam kedua ketentuan
internasional tersebut, satwa liar dikategorikan ke dalam beberapa jenis, dari yang
tertinggi yaitu kategori terancam punah hingga kategori yang dipantau
populasinya. Indonesia adalah salah satu negara yang menandatangani konvensi
CITES.

Sementara, di tingkat nasional, perlindungan dan pengelolaan kawasan


konservasi serta perlindungan dan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar diatur
dalam UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (selanjutnya dalam tulisan ini ditulis “UU Konservasi”)6 beserta
Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa7 yang memuat lampiran daftar jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi
di Indonesia. Pemanfaatannya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun
1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar8 yang mengatur tata
cara memanfaatan jenis yang dilindungi untuk beberapa kegiatan tertentu dengan
kondisi dan prasyaratan yang di izinkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (Subagiyo,2015).

Menurut WWF Indonesia atau World Wide Fund Nature adalah sebuah
organisasi non-pemerintah internasional yang menangani masalah-masalah
tentang konservasi, penelitian dan restorasi lingkungan, berupaya melindungi
spesies terancam punah yang penting bagi ekosistem, dan juga merupakan:

- Spesies yang berperan penting dalam rantai makanan


- Spesies yang berkontribusi menjaga stabilitas eosistem dan regenerasi
habitat
- Spesies yang mewakili kebutuhan konservasi dalam skala luas
- Spesies endemik
Selain juga bernilai penting bagi manusia, seperti:
- Spesies yang mempunyai nilai budaya bagi masyarakat
- Spesies yang di eksploitasi berlebihan secara komersil.
Keanekaragaman spesies dalam ekosistem hutan menghasilkan berbagai
macam flora dan fauna yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan, tempat
tinggal, obatobatan dan kebutuhan hidup yang lain (Indrawan, 2012). Indonesia
merupakan salah satu pusat biodiversitas di bumi yang dikenal sebagai negara
mega-biodiversitas. Menurut Supriatna (2008), Indonesia menempati papan atas
dalam hal keanekaragaman hayati, yaitu urutan kedua dunia untuk mamalia,
pertama dunia untuk tumbuhan palmae, kelima dunia untuk burung, keempat
dunia untuk reptil, keenam untuk amfibi, keempat dunia untuk dunia tumbuhan,
ketiga dunia untuk ikan air tawar setelah Brazil dan Columbia. Indonesia sebagai
negara mega-biodiversity juga merupakan salah satu negara dengan laju
kepunahan spesies terbesar. Penyebabnya antara lain adalah kerusakan hutan,
perburuan dan perdagangan satwa langka di pasar gelap. Ketidaktahuan dan
ketidakpedulian menyebabkan lemahnya kontrol masyarakat yang memperparah
kondisi tersebut. Ironisnya pada saat ini sebagian besar masyarakat sudah tidak
memperdulikan lagi manfaat fundamental dari biodiversitas untuk hidupnya, demi
masa lalu, sekarang dan masa depan budaya dan ekonomi (Krutschinna & Streit,
2009). Pendidikan konservasi merupakan salah satu upaya dalam mengatasi
permasalahan tersebut. Konservasi Keanekaragaman Hayati merupakan salah satu
mata kuliah yang wajib ditempuh oleh mahasiswa Prodi Pendidikan IPA IKIP
Veteran Jawa Tengah. Salah satu tujuan mata kuliah ini adalah menumbuhkan
karakter peduli terhadap kekayaan keanekaragaman hayati yang ada (Aristides
dkk, 2016).

Berikut adalah spesies langka yang hampir punah dan di lindungi menurut WWF
Indonesia:

a. Harimau Sumatera (Panthera tigris)


Merupakan satu dari enam sub-spesies harimau yang masih bertahan hidup
hingga saat ini dan termasuk dalam klasifikasi satwa kritis yang terancam
punah (critically endangered)

Ancaman
Harimau Sumatera berada di ujung kepunahan karena hilangnya habitat
secara tak terkendali, berkurangnya jumlah spesies mangsa, dan perburuan.
Laporan tahun 2008 yang dikeluarkan oleh TRAFFIC – program kerja sama
WWF dan lembaga Konservasi Dunia, IUCN, untuk monitoring perdagangan
satwa liar – menemukan adanya pasar ilegal yang berkembang subur dan menjadi
pasar domestik terbuka di Sumatera yang memperdagangkan bagian-bagian tubuh
harimau. Dalam studi tersebut TRAFFIC mengungkapkan bahwa paling sedikit 50
Harimau Sumatera telah diburu setiap tahunnya dalam kurun waktu 1998- 2002.
Penindakan tegas untuk menghentikan perburuan dan perdagangan harimau harus
segera dilakukan di Sumatera.
Upaya yang Dilakukan WWF
WWF Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia, industri yang
mengancam habitat harimau, organisasi konservasi lainnya serta masyarakat lokal
untuk menyelamatkan Harimau Sumatera dari kepunahan. Pada tahun 2004,
Pemerintah Indonesia mendeklarasikan kawasan penting, Tesso Nilo, sebagai
Taman Nasional untuk memastikan masa depan yang aman bagi keberadaan
Harimau Sumatera. Tahun 2010, pada KTT Harimau di St. Petersburg, Indonesia
dan 12 negara lainnya yang melindungi harimau berkomitmen dalam sebuah
tujuan konservasi spesies ambisius dan visioner yang pernah dibuat: TX2 – untuk
menambah kelipatan jumlah harimau sampai pada akhir tahun 2022, tahun
Harimau selanjutnya.
Program Nasional Pemulihan Harimau Indonesia sekarang merupakan
bagian dari tujuan global dan meliputi enam lansekap prioritas Harimau Sumatera
ini: Ulumasen, Kampar-Kerumutan, Bukit Tigapuluh, Kerinci Seblat, Bukit Balai
Rejang Selatan, dan Bukit Barisan Selatan.
WWF saat ini tengah melakukan terobosan penelitian tentang Harimau
Sumatera di Sumatera Tengah, menggunakan perangkap kamera untuk
memperkirakan jumlah populasi, habitat dan distribusi untuk mengidentifikasi
koridor satwa liar yang membutuhkan perlindungan. WWF juga menurunkan tim
patroli anti-perburuan dan unit yang bekerja untuk mengurangi konflik manusia-
harimau di masyarakat lokal (Sulistyadi,2016).
b. Rafflesia arnoldii
Rafflesia arnoldii atau padma raksasa merupakan tumbuhan parasit obligat
yang tumbuh pada batang liana (tumbuhan merambat) dari genus Tetrastigma.
Spesies Raflesia yang lainnya juga memiliki inang yang sama. Rafflesia
arnoldii pertama kali ditemukan pada tahun 1818 di hutan tropis Sumatera oleh
seorang pemandu yang bekerja pada Dr. Joseph Arnold yang sedang mengikuti
ekspedisi Thomas Stanford Raffles, sehingga tumbuhan ini diberi nama sesuai
sejarah penemunya yakni penggabungan antara Raffles dan Arnold.

Rafflesia arnoldii tidak memiliki daun sehingga tidak mampu melakukan


fotosintesis sendiri dan mengambil nutrisi dari pohon inangnya. Bentuk yang
terlihat dari bunga Raflesia ini hanya bunganya saja yang berkembang dalam
kurun waktu tertentu. Keberadaannya seakan tersembunyi selama berbulan-
bulan di dalam tubuh inangnya hingga akhirnya tumbuh bunga yang hanya
mekar seminggu. Bunga Raflesia adalah identitas provinsi Bengkulu dan
sebagai salah satu puspa langka dari tiga bunga nasional Indonesia
mendampingi puspa bangsa (melati putih atau Jasminum sambac) dan puspa
pesona (anggrek bulan atau Phalaenopsis amabilis) berdasarkan Kepres No 4
Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional.

Ancaman
Tingginya laju deforestasi, kebakaran hutan, serta makin menurunnya luas
hutan alam Sumatera menjadi ancaman serius bagi kelestarian Rafflesia
arnoldii. Selain itu, ancaman juga datang dari masyarakat yang merusak dan
mengambil putik bunga raflesia untuk dimanfaatkan sebagai obat tradisional.
Upaya WWF dalam Konservasi Habitat
Meskipun tidak secara langsung melakukan konservasi terhadap Rafflessia
arnoldii, upaya konservasi habitat yang dilakukan WWF Indonesia di Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS ) di Lampung dan Bengkulu,
diharapkan dapat mendukung kelestarian fauna langka ini. Bekerjasama
dengan berbagai mitra terkait, WWF juga terus membangun kesadaran dan
kepedulian masyarakat untuk menjaga dan melestarikan tumbuhan khas
Indonesia ini.
2.4 Prinsip Inventarisasi Satwa Liar

Dalam perkembangan metode inventarisaasi satwaliar dibutuhkan suatu metode


yang dapat memberikan hasil dengan cepat. Metode-metode dengan rapid
assessment (penilaian cepat) dikembangkan untuk menilai keanekaragaman hayati
dalam suatu kawasan. Selain itu pendugaan populasi satwaliar dalam rangka
pengelolaan atau monitoring dapat mengunakan bermacam-macam metode
inventarisasi. Salah satunya yaitu dengan menggunakan jalur.

Pembuatan jalur inventarisasi satwaliar di lapangan, bisa dilakukan dengan


berbegai metode yang menggunakan jalur. Metode-metode inventarisasi satwaliar
yang menggunakan jalur adalah metode IPA (Index Point of Aboudance), metode
Transek dengan Lebar Tetap (Transect with Fixed Width), metode Transek
dengan Lebar Tidak Tetap (Transect with Variable Width), Metode Penghitungan
Suara (Call Count), Metode Penghitungan Populasi Berdasarkan Adanya Sarang
(Nest Count), Triangle Call Count Method, dan lainnya.

Penempatan jalur ini dapat dilakukan dengan cara acak melalui petak atau
ditempatkan pada daerah-daerah yang merupakan tempat berkumpulnya satwa
yang akan diinventarisasi (hasil survey pendahuluan atau hasil studi pustaka).
Namun dalam penerapan di lapangan pembuatan jalur ini mendapat berbagai
macam kendala seperti kondisi topografi, keadaan vegetasi yang rapat, dan
lainnya.

Masalah topografi yang menghambat dalam pembuatan jalur inventarisasi


satwaliar diantaranya adalah jurang, sungai yang besar yang memotong jalur,
tanjakan dengan kelerangan yang cukup curam, dan lainnya. Pada vegetasi yang
rapat sulit untuk dilewati dan juga sulit untuk membuat jalur.
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut dapat dilakukan dengan cara
membelokkan jalur untuk menghindari kondisi-kondisi yang sulit tersebut. Selain
itu pembuatan jalur juga tidak mutlak harus lurus karena kondisi lapangan yang
dinamis (berubah-ubah).

Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah dengan mengikuti atau memakai jalur
setapak yang sudah ada. Hal ini dilakukan karena biasanya jalan setapak tersebut
bisa dikatakan cukup lurus. Jadi dalam penentuan metode inventarisasi dengan
jalur, hal perlu ditekankan adalah bahwa jalur yang dibuat tidak mutlak harus
lurus, jalur yang dibuat dapat dibuat dengan menyesuaikan dengan kondisi alam.
Hal ini dilakukan untuk mempermudah inventarisasi satwaliar yang dilakukan,
selain itu juga untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti
kecelakaan.

Secara umum metode jalur inventarisasi satwaliar merupakan metode


inventarisasi yang cepat dan mudah untuk dilakukan karena hanya tinggal
mengikuti jalur yang ada dan mencatat satwaliar yang ditemui baik itu dari
samping jalur, belakang jalur, maupun didepan jalur. Walaupun metode jalur ini
juga memiliki kekurangan, tetapi metode jalur inventarisasi satwaliar ini sering
dipakai untuk inventarisasi satwaliar.

 Satwaliar  merupakan  komponen  yang  sangat  penting  dalam  suatu  sistem


ekosistem.  Komponen  yang  satu  akan  saling  terkait  dengan  komponen 
lainnya sehingga  akan  saling  mempengaruhi.  Hilangnya  salah  satu 
komponen  akan  sangat berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem tersebut.
Berbagai  usaha  dilakukan  untuk  melindungi  satwa  liar  karena  satwa  liar 
memiliki banyak manfaat. Salah satu jenis satwa liar adalah rusa totol (Axis axis).
Pemanfaatan rusa tersebut berupa tanduk, kulit, dan dagingnya. Istana Bogor
merupakan salah satu tempat yang memiliki peliharaan rusa totol dengan jumlah
yang sangat banyak. Rusa totol berkeliaran di halaman Istana Bogor  dengan
maksud dan tujuan yang lain yaitu  untuk memperindah halaman istana. Jumlah
awal rusa totol di halaman Istana Bogor adalah  enam  pasang  dan  berfungsi 
sebagai  sarana  keindahan  istana  (Trubus  1996). Rusa totol tersebut
didatangkan ke Indonesia oleh Pemerintah Inggris pada tahun 1811 dari India. 

Kegiatan inventarisasi satwa liar merupakan kegiatan pengumpulan data /


informasi tentang suatu jenissatwa liar. Data dan inventarisasi minimal yang
harusdihasilkan mencakup jumlah jenis dan individu, ukuran dan struktur
populasi,serta penyebaran dan pergerakan (Bibby, dkk., 1998).

Parameter populasi merupakan besaran/ukuran yang dapat dijadikan bahan untuk


ditindak lanjuti pada aktivitas manajemen terhadap populasi. Dimana
jumlahmerupakan variabel yang menggambarkan banyaknya individu dalam
populasi. Sedangkan kelimpahan (abundance) merupakan variabel yang
menggambarkanukuran/banyaknya populasi secara relatif. Berdasarkan hasil
populasi maka dapat ditentukan kepadatan suatu spesies, dimana kepadatan
(density) merupakan besaran populasi yang berkaitan dengan jumlah setiap unit
luas atau ruang(Bibby, dkk., 1998).

Jumlah satwa liar pada habitatnya di alam bebas (hutan), merupakan salah satu
bentuk kekayaan dan keanekaragaman (biodiversity) sumberdaya alam hayati,
karena itu perlu dilakukan perlindungan. Untuk dapat melakukan perlindungan
perlu diketahui jumlah dan sebarannya pada habitat satwa liar. Penentuan jumlah
satwa liar tersebut dapat dilakukan berbagai metode sensus yang memudahkan
kita untuk melakukan estimasi. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui jumlah
kepadatan dan jenis satwa di Intitut Pertanian Bogor, Dramaga. Di samping itu
juga untuk mengetahui berbagai index keragaman jenis (Bibby, dkk., 1998).

Dalam perkembangan metode inventarisaasi satwa liar dibutuhkan suatu metode


yang dapat memberikan hasil dengan cepat. Metode-metode dengan rapid
assessment (penilaian cepat) dikembangkan untuk menilai keanekaragaman hayati
dalam suatu kawasan. Selain itu pendugaan populasi satwa liar dalam rangka
pengelolaan atau monitoring dapat mengunakan bermacam-macam metode
inventarisasi. Salah satunya dengan menggunakan jalur (Agusryansah, 2010).

Pembuatan jalur inventarisasi satwa liar di lapangan, bisa dilakukan dengan


berbegai metode yang menggunakan jalur. Metode-metode inventarisasi satwa liar
yang menggunakan jalur adalah metode IPA (Index Point of Aboudance), metode
Transek dengan Lebar Tetap (Transect with Fixed Width), metode Transek
dengan Lebar Tidak Tetap (Transect with Variable Width), Metode Penghitungan
Suara (Call Count), Metode Penghitungan Populasi Berdasarkan Adanya Sarang
(Nest Count), Triangle Call Count Method, dan lainnya (Agusryansah,2010).

Penempatan jalur ini dapat dilakukan dengan cara acak melalui petak atau
ditempatkan pada daerah-daerah yang merupakan tempat berkumpulnya satwa
yang akan diinventarisasi (hasil survey pendahuluan atau hasil studi pustaka).
Namun dalam penerapan di lapangan pembuatan jalur ini mendapat berbagai
macam kendala seperti kondisi topografi, keadaan vegetasi yang rapat, dan
lainnya (Agusryansah, 2010).

Masalah topografi yang menghambat dalam pembuatan jalur inventarisasi satwa


liar diantaranya adalah jurang, sungai yang besar yang memotong jalur, tanjakan
dengan kelerangan yang cukup curam, dan lainnya. Pada vegetasi yang rapat sulit
untuk dilewati dan juga sulit untuk membuat jalur.
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut dapat dilakukan dengan cara
membelokkan jalur untuk menghindari kondisi-kondisi yang sulit tersebut. Selain
itu pembuatan jalur juga tidak mutlak harus lurus (Tobing, 2008). 

Dalam penentuan metode inventarisasi dengan jalur, hal perlu ditekankan adalah
bahwa jalur yang dibuat tidak mutlak harus lurus, jalur yang dibuat dapat dibuat
dengan menyesuaikan dengan kondisi alam. Hal ini dilakukan untuk
mempermudah inventarisasi satwa liar yang dilakukan, selain itu juga untuk
menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti kecelakaan.

Secara umum metode jalur inventarisasi satwa liar merupakan metode


inventarisasi yang cepat dan mudah untuk dilakukan karena hanya tinggal
mengikuti jalur yang ada dan mencatat satwa liar yang ditemui baik itu dari
samping jalur, belakang jalur, maupun didepan jalur. Walaupun metode jalur ini
juga memiliki kekurangan, tetapi metode jalur inventarisasi satwa liar ini sering
dipakai untuk inventarisasi satwa liar (Kuswanda, 2010).

Inventarisasi satwa liar sangat penting untuk mengetahui potensi dan strategi
pengelolaan yang baik dalam mengelola satwa liar dengan memperhatikan aspek
kelestarian, ekologi, dan aspek ekonomi dari satwa tersebut. Metode sensus
merupakan metode yang memiliki karakteristik menyeluruh dan memerlukan
banyak sumberdaya untuk melekukan proses penghitungannya. Ada beberapa
metode turunan dari metode sensus yaitu metode pengamatan bergerak, metode
pengamatan diam, driving count, concentration count, dan metode penjagalan.
Metode pengamatan diam, metode pengamatan bergerak, dan metode pengamatan
penentuan waktu optimum dilakukan di Kebun Raya Bogor. Waktu optimum
digunakan untuk mengetahui peluang terjadinya perjumpaan paling banyak.
Pengamat diam (silent detection) adalah menghitung satwa ketika satwa tidak
dalam keadaan terganggu dan metode pengamatan dimana pengamat mendekati
satwa setenang mungkin (as silent as possible) (Mustari 2007). Pengamat
bergerak adalah metode yang dilakukan dengan cara pengamat melakukan
penghitungan sambil bergerak dimana pengamat bebas bergerak selama masih
berada di dalam luasan areal yang ditentukan. Tujuan praktikum ini untuk
menghitung waktu optimum pengunjung yang keluar dan masuk Kebun Raya
Bogor, mengetahui jumlah populasi, struktur umur dan jenis kelamin dan mampu
membandingkan ketiga metode tersebut yang digunakan.

2.5 Pengertian dinamika populasi


Dinamika populasi adalah untuk membahas cara populasi atau spesies
tertentu berkembang dan menyusut serta sebab-sebab peningkatan dan penurunan
jumlah populasi tersebut. adapun faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika
populasi adalah :
Faktor dalam

a. kemampuan berkembangbiak
b. sifat mempertahan diri
c. umur
Faktor luar

a. iklim
b. suhu
2.5.1 Dinamika populasi ikan kepek, Mystacoleucus obtusirostris
Indonesia menempati rangking pertama di Asia Tenggara dalam hal
kepemilikan jenis ikan air tawar dengan jumlah sebanyak 1210 jenis. Wilayah
DIY bagian timur memiliki dae-rah aliran sungai (DAS) Opak-Oyo yang hulu
Sungai Opak berada di lereng Gunung Merapi, sedangkan hulu Sungai Oyo
berada di perbukitan Gunungkidul. Perairan Sungai Opak memiliki berbagai jenis
biota air yang sebarannya sangat beragam, namun belum banyak penelitian atau
publikasi tentang sebaran jenis ikan dan tingkat eksplotasinya. Beberapa peneliti
sebelumnya telah melakukan penelitian tentang keragaman iktioplankton di
Sungai Opak bagian hulu, Beberapa peneliti sebelumnya menemukan domi-nansi
jenis ikan yang berbeda pada kawasan sungai yang berbeda, misalnya di sungai
Gendol yang merupakan anak Sungai Opak bagian hulu didominasi oleh ikan
wader cakul, sedangkan bagian hilir Sungai Opak didominasi oleh ikan kepek
yang ditemukan di setiap stasiun pengamatan.
Ikan kepek (M. obtusirostris) merupakan salah satu jenis ikan yang hidup
di sungai daerah tropis terutama di Asia Tenggara. Ikan ini memiliki postur tubuh
yang pipih, tinggi dan memanjang, bersisik besar dan bewarna putih atau perak
mengilap terdapat warna kuning pada ekor, sirip dorsal, sirip anal dan sirip perut,
serta terdapat duri kecil yang mengarah ke depan di muka sirip punggung.

Gambar 1. Ikan kepek,


Mystacoleucus
Jumlah ikan kepek obtusirostris
yang pada bulan Mei dan Juni 2012 masing-masing
(Djumanto 2014)
sebanyak 242 ekor dan 259 ekor, sedangkan pada bulan Februari, Maret dan April
2013 masing-masing sebanyak 33 ekor, 130 ekor, dan 46 ekor.

Struktur populasi ikan kepek di Sungai Opak dipengaruhi oleh mortalitas


alami dan penangkapan. Mortalitas alami disebabkan pemangsaan, penyakit dan
kondisi lingkungan, sedangkan mortalitas penangkapan disebabkan oleh aktivitas
nelayan dan para pemancing yang tergabung dalam paguyuban pemancing ikan
kepek Sungai Opak. Jumlah populasi ikan pemangsa di Sungai Opak sedikit
sehingga populasi ikan kepek berumur muda sa-ngat dominan. Laju penangkapan
ikan kepek yang dilakukan oleh para pemancing ikan kepek sangat tinggi. Ikan
kepek hidup menggerombol dan sangat mudah dipancing dengan umpan ra-muan
berbagai jenis bahan, sehingga populasi ikan tua sedikit (Djumanto 2014).

Beberapa jenis ikan predator yang jumlah-nya melimpah ditemukan pada


semua stasiun di Sungai Opak adalah ikan palung (Hampala mac-rolepidota),
ikan gabus (Channa striata) dan lele (Clarias batrachus). Ikan predator tersebut
diduga mengendalikan populasi ikan kepek sebagai mangsa.

2.6 Dinamika populasi sapi potong dikecamatan pamona utara kabupaten poso.
Seiring meningkatnya jumlah penduduk serta kesadaran akan pentingnya
gizi dan kesehatan masyarakat, maka permintaan daging yang bersumber dari
ternak setiap tahunnya terus meningkat. Potensi permintaan daging sapi di
Indonesia sangat besar, dengan jumlah penduduk lebih dari 220 juta dan tingkat
pertumbuhan sekitar 1,5% per tahun serta elastisitas permintaan daging yang
tinggi maka peningkatan pendapatan dan pertambahan penduduk akan
meningkatkan jumlah permintaan daging setiap tahunnya.
Struktur populasi sapi di Kecamatan Pamona Utara terdiri atas : jantan
dewasa 22%, betina dewasa 48% (1: 2,18), jantan muda 7%, betina muda 8% (1 :
1,14), pedet jantan 6% dan pedet betina 9% (1 : 1,5), atau dapat diperhitungkan dari
total populasi diperoleh komposisi sapi jantan 34,7% dan betina 65,3% (1 : 1,53).
Pelaksanaan perkawinan sapi potong di Kecamatan Pamona Utara masih bersifat
alami, oleh karenannya jumlah perkawinan per kebuntingan masih tinggi yakni
sekitar 2,36 kali.
a. Mortalitas ternak
Kematian sapi potong di Kecamatan Pamona Utara rata-rata 2,7% per tahun,
yang terdiri atas kematian ternak sapi muda dan dewasa terhadap populasinya
sebesar 0,9% atau 0,6% terhadap populasi dan persentase kematian pedet terhadap
kelahiran sebesar 10,09% dan terhadap populasi sebesar 3%. Hasil yang diperoleh
di Kecamatan Lore Peore adalah kematian sapi potong dewasa 4,19%, sapi muda
2,16 % dan pedet sebesar 11,84%. Atau rata-rata 5,04%. Jika dibandingkan dengan
Kecamatan Lore Peore maka rata-rata tingkat kematian ternak sapi potong di
Kecamatan Pamona Utara masih relatif lebih rendah.
b. Pertambahan alami
Natural increase diperoleh dengan mengurangkan tingkat kelahiran dengan
tingkat kematian dalam suatu wilayah tertentu dan waktu tertentu, yang biasanya
diukur dalam jangka waktu satu tahun. Kelahiran pedet terhadap betina dewasa
diperoleh 30,89% dan terhadap populasi sebesar 14,83%. Nilai tersebut jauh dari
rata-rata kelahiran di Kecamatan Lore Peore yakni sebesar 62,81% dari jumlah
induk (Mobius, 2015).

2.7 Dinamika populasi sumber daya ikan layur Lepturacanthus savala di perairan
selat sunda.
Ikan layur merupakan salah satu ikan demersal yang didaratkan di PPP
Labuan Banten dengan fishing ground dari perairan Selat Sunda. Ikan layur
ditangkap dengan banyak alat tangkap diantaranya alat tangkap payang, pukat
cincin, pukat pantai, jaring arad, dan jaring insang. Tujuan dari penelitian ini
adalah mengkaji dinamika populasi sumber daya ikan layur (Lepturachantus
savala) di Perairan Selat Sunda

Kabupaten Pandeglang merupakan kabupaten dengan produksi perikanan


yang tinggi di Provinsi Banten. Tempat pendaratan ikan (TPI) yang terdapat di
Kabupaten Pandeglang ada 14 TPI dengan volume produksi tertinggi (70%)
adalah di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan. Potensi sumber daya ikan di
Kabupaten Pandeglang terdiri dari ikan pelagis, ikan demersal, ikan karang,
kerang-kerangan, cumi-cumi dan udang

Kegiatan penangkapan yang cenderung meningkat dapat menyebabkan


kondisi tangkap lebih (overfishing). Untuk menjamin kelestarian sumber daya
ikan layur, maka diperlukan suatu strategi pengelolaan dari berbagai aspek ekolo-
gi bagi para pelaku perikanan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji
dinamika popula-si sumber daya ikan layur (Lepturachantus savala) di perairan
Selat Sunda. Informasi ter-sebut dapat dijadikan sebagai dasar dalam penentuan
pengelolaan perikanan layur yang tepat dan berkelanjutan.

Mortalitas dan laju eksploitasi ikan layur, Berdasarkan parameter


pertumbuhan von Bertalanffy ikan layur diperoleh tingkat mortalitas alami (M)
betina sebesar 0.27/tahun dan jantan 0.22/tahun, mortalitas penangkapan (F)
betina sebesar 0.97/tahun dan jantan 1.38/tahun, sehingga mortalitas total (Z)
betina sebesar 1.25/tahun dan jantan 1.60/tahun. Berdasarkan hubungan antara F
dan Z maka dapat diketahui nilai eksploitasinya. Laju eks-ploitasi adalah tingkat
atau laju pemanfaatan sumber daya ikan oleh kegiatan penangkapan. Lanju
eksploitasi ikan layur betina sebesar 72% dan ikan layur jantan sebesar 83%
(Siska 2015).

2.6 Pembinaan Populasi

Aspek Kelembagaan Dalam Pengendalian Populasi Nyamuk. Kegiatan dan usaha


mencegah perkembangan populasi nyamuk sudah tentu membutuhkan wadah atau
kelembagaan yang jelas untuk meningkatkan partisipasi semua stakeholder dalam
mengendalikan populasi nyamuk. Oleh sebab itu, makalah ini ditujukan untuk
mendiskusikan hal-hal yang berhubungan dengan “pembentukan, pembinaan dan
pemberdayaan kelembagaan sebagai unsur strategi terpadu pengendalian populasi
nyamuk”.

Permasalahan utama dalam usaha pengendalian populasi nyamuk yang berfungsi


sebagai vektor penyakit menular, seperti penyakit Demam Malaria, penyakit
Demam Berdarah Dengue, dan Filariasis, masih berjalan secara terpisah dan
sendiri-sendiri. Pengertian terpisah dan sendiri-sendiri ini baik dalam bentuk
”politis maupun tekhnis”.

Bentuk ”politis” diperlihatkan dengan keberadaan beberapa program/ wadah/


organisasi/ lembaga yang secara eksplisit ditujukan untuk satu penyakit saja
dengan ”mengabaikan secara tidak sengaja” penyakit lain yang juga ditularkan
oleh nyamuk, sebagai contoh antara lain Program pemberantasan malaria
nasional, program gerakan berantas kembali malaria (gebrak malaria) dan pos
malaria desa, yang kesemuanya didirikan, dibiayai, atau difasilitasi oleh
pemerintah, swasta, dunia usaha, badan-badan internasional serta penyandang
dana lainnya.

Kompleksitas dan kesulitan itu diperlihatkan oleh fakta bahwa kita belum berhasil
dalam menekan dan mengurangi kejadian wabah penyakit Demam Malaria,
Demam Berdarah, & Filariasis di Indonesia. Bahkan terjadi peningkatan kejadian
wabah ketiga penyakit menular itu yang sangat luar biasa (terutama Demam
Malaria dan Demam Berdarah) dari tahun ke tahun.

Fakta tersebut di atas lebih diperparah lagi oleh kondisi Indonesia yang terletak di
daerah tropis, dimana penyakit Demam Malaria memiliki prevalensi yang tinggi
di daerah tropis dan subtropis. Kondisi ini lebih diperparah lagi oleh kenyataan
bahwa nyamuk Anopheles sebagai vektor penyakit Demam Malaria dapat
menyebar dan hidup serta berkembang biak dengan subur di daerah tropis
(Indonesia) sepanjang waktu.

Badan Kesehatan Dunia (WHO/World Health Organisation) pun mengakui


tentang sulit dan rumitnya permasalahan penyakit Demam Malaria ini. Bahkan
WHO pada tahun 1998 mengeluarkan pernyataan ”penyakit Demam Malaria
sebagai musuh publik nomor satu di Dunia”.

Penyakit Demam Berdarah juga meningkat dengan pesat di Indonesia. Ada


sesuatu yang cukup unik dengan kejadian wabah penyakit Demam Berdarah ini
yaitu tentang lokasi kejadian wabah bila dibanding dengan Demam Malaria.
Wabah penyakit Demam Berdarah yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti
dan Aedes albopictus ini justru lebih banyak terjadi di daerah perkotaan bila
dibandingkan dengan kejadian di daerah perdesaan (Slamet, 1996).

Filariasis, walaupun jumlah penderitanya belum sebanyak penderita penyakit


Demam Malaria dan Demam Berdarah, berkembang dengan cukup signifikan.
Karena penyakit ini juga ditularkan oleh nyamuk, maka bisa saja penyakit ini
berpotensi untuk menyebar dengan cepat di Indonesia, apabila tidak diambil
langkah pencegahan dan pengobatan dengan cepat dan tepat.

Nama kelembagaan tidak menjadi permasalahan, baik secara akademis, politis dan
tekhnis memperlihatkan ”kesatuan yang terpadu dalam penangangan dan
pengendalian penyakit dan vektor penularnya”. Ini sangat penting karena kesan
politis yang terjadi sekarang adalah pengutamaan pada program pengobatan dan
pencegahan Penyakit Demam Malaria. Ini ditunjukan oleh program dan lembaga
yang hanya ditujukan secara khusus untuk Demam Malaria dan (seakan-akan)
mengabaikan dua penyakit menular yang lainnya. Hal yang penting adalah
Program dan atau lembaga baru tersebut bersifat terpadu untuk memayungi
program untuk ketiga penyakit tersebut.

Makalah ini mengajukan sebuah lembaga atau program yang bersifat lebih
generik untuk kegiatan yang berhubungan dengan pengobatan & pencegahan
penyakit dan pengendalaian vektor penularnya yaitu Lembaga Pemberantasan dan
Pencegahan Penyakit Tular Nyamuk Nasional (LP3TN2) atau Program
Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit Tular Nyamuk Nasional (P4TN2).

Status Lembaga atau Program ini adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang
bebas dari pengaruh partai politik dan golongan lainnya dan berunsurkan tokoh
masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, pemuda, karang taruna dan unsur lainnya
yang sangat berperan dan berpengaruh dalam masyarakat. Basis kegiatan lembaga
dan program ini adalah Desa dengan tingkatan organisasi di Kecamatan,
Kabupaten, Propinsi dan Nasional.

Fungsi dan tugas utama dari Lembaga atau program ini adalah sebagai berikut :
• Sebagai perantara dan penghubung antara masyarakat dengan stakeholder
lainnya seperti pemerintah, dunia usaha, perguruan tinggi & lembaga pendidikan
lainnya, dan organisasi kemasyarakatan lokal, nasional dan internasional

• Sebagai perencana dan pelaksana kegiatan yang berhubungan dengan


pengobatan dan pencegahan penyakit tular nyamuk dengan basis kegiatan
kemasyarakatan.

• Sebagai tenaga penyuluh yang dibina oleh Kementerian Kesehatan (Pusat),


Dinas Kesehatan (propinsi dan kabupaten/kota), dan Pusat Kesehatan Masyarakat
(PUSKESMAS).

• Sebagai pengelola kegiatan peningkatan Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku


masyarakat terhadap pengobatan dan pencegahan penyakit tular nyamuk dengan
landasan nilainilai sosial dan budaya lokal

• Sebagai perencana dan pengelola sumber keuangan untuk kegiatan yang mandiri
dengan pengelolaan keuangan yang terbuka, trasparan, dan akuntabel

• Merencanakan dan melaksanakan semua bentuk program pencegahan penyakit


tular nyamuk dengan binaan tekhnis dari Puskesmas, Dinas Kesehatan,
Kementerian kesehatan.

• Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk pengobatan penyakit tular nyamuk.

• Sebagai penghimpun dana masyarakat untuk kegiatan pengobatan dan


pencegahan penyakit tular nyamuk dan sekaligus untuk pemberdayaan ekonomi
keluarga tidak/kurang mampu.

• Sistem organisasi dan pengelolaannya mengacu kepada manajemen yang telah


diterapkan oleh Palang Merah Indonesia.

Lembaga dan program yang dimaksudkan di atas harus dibentuk, dibina dan
diberdayakan oleh pemerintah dengan basis nilai-nilai sosial dan budaya
masyarakat lokal serta di danai dengan APBN, APBD serta diberi kewenangan
untuk menghimpun dana masyarakat dengan prinsip pengelolaan yang jujur,
terbuka dan akuntabel.

Dengan lembaga dan program ini dapat diharapkan agar kita mampu untuk
mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan oleh Indonesia untuk eliminasi penyakit
tular nyamuk di Indonesia dengan kekuatan masyarakat. Sebagai contoh adalah
untuk mencapai (program Indonesia melalui Kementerian Kesehatan RI) target
eliminasi penyakit Demam Malaria di Indonesia dengan rincian sebagai berikut :

• Eliminasi penyakit demam Malaria pada tahun 2010 di Jawa, Bali dan Batam

• Eliminasi penyakit demam Malaria pada tahun 2015 di Jawa, Nangroe Aceh
Darussalam

• Eliminasi penyakit demam Malaria pada tahun 2020 di Sumatera, Kalimantan,


Sulawesi, dan NTB

• Eliminasi penyakit demam Malaria pada tahun 2030 di Papua, Papua Barat,
Maluku, Maluku Utara, dan NTT

Dengan adanya desentralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah dalam bentuk


otonomi daerah, sudah selayaknya pemerintah memberdayakan masyarakat
daerah dalam segala hal. Peranan pemerintah disini hanya sebagai fasilitator,
termasuk dalam perencanaan dan pelaksanaan program yang berhubungan dengan
pengobatan dan pencegahan penyakit tular nyamuk di tengah masyarakat kita
dengan basis nilai-nilai sosial budaya masyakarat lokal.

A. Pembinaan Satwa Liar

Perdagangan satwa menjadi suatu hal yang menarik bagi dunia internasional
karena perdagangan ini menjual satwa atau bagian tubuhnya untuk kebutuhan
manusia. Permasalahan perdagangan satwa menjadi suatu hal yang menarik bagi
dunia internasional karena perdagangan ini menjual satwa atau bagian tubuhnya
seperti kulit, gading, dan organ tubuh lainnya untuk kebutuhan manusia. Selama
tiga puluh tahun terakhir, konsumsi akan sumber daya alam dari keanekaragaman
hayati telah meningkat. Contohnya, 10 dari 25 perusahaan obat besar di dunia
pada tahun 1997 memperoleh bahan-bahannya dari sumber keanekaragaman
hayati termasuk dari satwa dan derivatnya.

Untuk melindungi agar tidak terjadi kepunahan, perjanjian yang bersifat mutlak
diperlukan. Rejim Internasional pengaturan perdagangan satwa atau yang dikenal
dengan Convention on International Trade in Endangreed Species of wild Fauna
and Flora (CITES) adalah suatu perjanjian multilateral untuk menjawab salah satu
faktor ancaman dari kepunahan spesies. CITES terbentuk pada tahun 1973 dan
mulai berlaku 1975. Karena kegiatan perdagangan satwa liar ini melintasi batas
negara atau paling tidak melibatkan dua negara, usaha untuk membuat perjanjian
internasional adalah jalan terbaik dengan terbentuknya CITES untuk melindungi
spesies tertentu dari eksploitasi yang berlebihan.

Perdagangan satwa ini merupakan aktivitas ekonomi pada tingkat lokal, nasional
dan internasional. Dengan conntoh kasus bahwa ada ribuan satwa yang dilindungi
dan satwa biasa diselundupkan keluar negeri setiap bulannya, caranya para
pedagang satwa tersebut bekerjasama dengan sejumlah oknum petugas sehingga
mudah untuk meloloskan hewan-hewan yang hendak di jual tersebut. Pembeli
satwa tersebut diantaranya berasal dari Jepang, Pakistan, Malaysia, Kuwait, dan
Iran. Untuk melindungi spesies ini agar tidak punah perjanjian yang bersifat
multilateral mutlak diperlukan. Maka dengan ada Rezim internasional Pengaturan
perdagangan satwa atau yang dikenal dengan Convention onInternational Trade in
Endangered Spesies of Wild fauna and Flora (CITES) adalah perjanjian mutlak
yang seharusnya bisa untuk menjawab salah satu faktor ancaman dari kepunahan
spesies. CITES ini telah terbentuk pada tahun 1973 dan mulai berlaku 1975.
karena kegiatan perdagangan satwa ini melintasi batas Negara atau paling tidak
melibatkan dua Negara, usaha untuk membuat perjanjian internasional adalah
jalan terbaik dengan terbentuknya CITES ini untuk mengontrol eksploitasi yang
berlebihan.
Para ilmuwan telah menunjukkan dengan penelitian intensif bahwa planet bumi
telah terancam. Selain itu akibat perubahan iklim dan kehilangan habitat dan
ekspansi yang dilakukan oleh manusia, kepunahan spesies semakin bertambah
tinggi. Sedikitnya 15 spesies telah punah dalam waktu 20 tahun terakhir,, 12
spesies dapat bertahan hidup karena dipelihara dan ditangkarkan oleh manusia.
Namun, diyakini bahwa sebenarnya spesies yang mengalami kepunahan jumlahny
ajauh lebih besar. Lebih dari itu menurut penelitian Global Species Assessment
(GSA) dalam siaran pers bulan November 2004, sekitar 15.589 spesies yang
terdiri dari 7.266 spesies satwa dan 8.323 spesies tumbuhan dan lumut kerak,
diperkirakan berada dalam kepunahan. Jadi terbukti bahwa nyatanya segala
konvensi dan peraturan saja tidaklah mengikat dan dapat mengambil langkah
untuk menurunkan tingkat kerusakan dan kepunahan spesies di muka bumi ini.

Berdasarkan kenyataan ini, maka efektifitas dari rejim ini mulai dipertanyakan.
Tulisan ini akan membahas mengenai sejauh mana negara-negara anggota CITES
tersebut memberikan komitmen dan kontribusinya terhadap perjanjian yang telah
disepakati, sehingga rezim internasional bisa dikatakan efektif atau tidak efektif.

Didalam CITES mekanisme pengendalian perdagangan satwa yang digunakan


adalah dengan menggunakan mekanisme regulasi apendiks. Ada 3 macam
Apendik:

1. Apendik I merupakan yang tertinggi dimana spesies tersebut terancam punah


dan perdagangan spesies hanya diinginkan dalam kondisi tertentu.

2. Apendiks II adalah spesies yang tidak terancam punah tetapi akan mengalami
kepunahan apabila tidak dikontrol dan dimonitor secara ketat.

3. Apendiks III adalah kategori spesies yang dimasukkan dalam daftar oleh
negara-negara anggota CITES dimana, suatu negara merasa suatu spesies tertentu
sedang atau harus dilindungi di bawah hukum nasionalnya dan perlu adanya
kerjasama lebih lanjut dengan sesame negara anggota CITES untuk mengontrol
perdagangan internasional terhadap spesies tersebut.
Upaya keberhasilan pengaturan perdagangan satwa akan dilihat dari bagaimana
negara-negara anggota CITES mengadopsi aturan-auturan yang digariskan oleh
CITES, dan sejauh mana aturan-aturan tersebut mempengaruhi perilkau kelompok
yang Jurnal Transnasional, Vol. 4, No. 1, Juli 2012 795 berkepentingan dalam isu
ini. Dengan menggunakan mekanisme apendiks, CITES berupaya melakukan
pencegahan eksploitasi terhadap satwa sehingga tidak terjadi kepunahan. Akan
tetapi, bukti-bukti yang berkembang menunjukan bahwa banyak undangundang
nasional dan kebijakan lingkungan hidup yang terkait dengan perdagangan satwa
liar sering kali justru tidak dapat diimplementasikan akibatnya adalah
meningkatnya lalu lintas perdagangan illegal (International illegal trafficking)
terhadap satwa. Kegiatan lalu lintas perdagangan ini menjadi salah satu faktor
pendorong utama bagi kepunahan beberapa satwa.

Analisis (Terperinci) Efektivitas Rezim

a. Output
Dalam hal dependent variable salah satunya dapat dilihat dengan menjelaskan
outputnya yaitu keluaran yang muncul dari proses pembentukan, biasanya
tertulis tetapi bisa juga tidak tertulis seperti misalnya konvensi, rules of law,
treaty, deklarasi, bisa juga norma, prinsip dan lainnya. Dan untuk masalah
konvensi CITES ini yang berkaitan dengan perdangangan satwa liar ini yang
di outputnya adalah Conference of Parties (CoP).
b. Outcome
Dengan melihat permasalahan ini, maka dalam konteks ini collective
optimumnya atau nilai yang dapat dicapai secara realistis dari outcome dalam
CITES ialah seharusnya telah ada perubahan perilaku, yakni negara-negara
anggota memiliki dan membuat perangkat hukum nasional untuk
melaksanakan peraturan CITES. Misalnya di AS, terdapat endangered species
act. Setidaknya Aturan-aturan yang dibuat CITES bisa mempengaruhi
perilaku kelompok yang berkepentingan dalam isu ini. Dengan menggunakan
Apendiks, CITES berupaya melakukan pencegahan eksploitasi terhadap
satwa sehingga tidak terjadi kepunahan, akan tetapi bukti-bukti yang
berkembang meunujukan bahwa banyak undangundang nasional dan
kebijakan lingkungan hidup yang terkait dengan perdagangan satwa liar
sering kali justru tidak dapat diimplementasikan, akibatnya adalah
meningkatnya lalu lintas perdagangan illegal (international Illlegal
Trafficking) terhadap satwa.
c. Impact
Dalam hal ini setelah dianalisis, maka untuk melihat impactnya yaitu
perubahan tingkah laku memunculkan sesuatu yang di design institusi. Dalam
hal ini institusi yang dimaksud adalah UNEP (United Nations Environmental
Program) yang secara khusus isu lingkungan hidup mulai menjadi
pembicaraan pada Hubungan Internasional semenjak dilangsungkannya
konfrensi PBB, pertama mengenai lingkungan hidup di Stocklom, Swedia
pada tahun 1972 yang diikuti oleh 133 negara yang turut melahirkan badan
khusus PBB di bidang lingkungan hidup yang telah menghasilkan badan
khusus yang salah satu di antaranya yakni CITES (Convention on
International Trade in Endagered Spesies) yang merupakan perjanjian
internasional yang bertujuan untuk membantu pelestarian populasihabitat
alamnya melalui pengendalian perdagangan internasional untuk spesies satwa
liar. Dengan terbentuknya CITES dunia internasional mulai sadar akan
seriusnya ancaman lingkungan lintas batas dan ancaman ekologi global. Hal
ini terbukti dengan meningkatnya jumlah perjanjian internasional mengenai
isu ini. perubahan yang mempengaruhi perilaku negara-negara yang peduli
akan keberlangsungan hidup satwa-satwa, terlihat dari semakin menurun atau
berkurangnya tingkat penyelundupan satwa liar tersebut, walaupun tidak
significant karena perubahan yang terjadi belum perfect tetapi dapat
dikatakan almost perfect, jadi sudah ada perubahan perilaku yang terjadi.
Sebagai institusi lingkungan hidup, untuk melihat apakah aturan-aturan tertulisnya
telah diimplementasikan secara efektif atau tidak, menurut Juan Carlos Vaquue,
CITES tersebut harus melakukan tiga tahap yaitu6 :
1. Implementasi (implementation) Suatu negara mengimplementasikan
kewajiban-kewajiban CITES melalaui tiga Fase yang berbeda pertama; dengan
mengadopsi tindakan-tindakan implementasi nasional termasuk tindakan-tindakan
legislative dan ekonomi, system informasi, rencana menejement, dan unit
pelaksana hukumnya, kedua; memastikan tindakan-tindakan nasional telah
terpenuhi sesuai dengan yang ada di dalam wilayah yuridiksi dan kendali, ketiga;
memenuhi kewajiban-kewajiban secretariat CITES seperti, melaporkan volume
perdagangan dan tindakantindakan (measure) yang dapat berpengaruh terhadap
kewajiban internasionalnya.

2. Pemenuhan Kewajiban (compliance) Tahap ini memiliki dua dimensi, pada


tingkat internasional berkaitan dengan apa yang telah dilakukan Negara anggota
untuk memenuhi kewajibannya dengan obligasi yang ada di konvensi, dan pada
tingkat nasional mengacu kelangkahlangkah yang diambil oleh individu atau
entitas legal seperti korporasi dan agenagen pemerintah untuk memenuhi
kewajiban undang-undang domestiknya.

3. Pelaksanaan hukum (enforcement) Dalam konteks CITES, pelaksanaan hokum


adalah tindakan-tindakan yang diambil oleh Negara anggota untuk menghentikan
atau menghambat perdagangan legal ini termasuk inspeksi untuk menentukan
status dari pemenuhan kewajiban undang-undang dan mendeteksi legal yang
diperlukan untuk memenuhi kewajiban dan menjatuhkan sanksi bagi yang
melanggar aturan konvensi atau aturan nasional.

Hampir semua rezim internasional lingkungan hidup mempunyai permasalahan


yang sama. Kesulitan pertama bagi setiap rezim lingkungan hidup adalah
bagaimana menerapkan permasalahan yang sifatnya global dan lintas batas
dengan pengimplementasiannya yang bersifat nasional. Kesulitan kedua adalah
pola hubungan dalam sistem internasional dalam membahas permasalahan
lingkungan hidup yang bersifat utara-selatan, dimana negara-negara utara
kebanyakan adalah negara maju dan selatan sebagian besar merupakan negara
berkembang yang mempunyai kemampuan dan kapabilitas yang berbeda dalam
menangani masalah lingkungan hidup, dan kepentingan dari negara selatan yang
masih banyak bergantung pada sumber daya alamnya sebagai pemasukan utama
devisanya.

Selain masalah kesulitan penerapanya dan adanya hubungan Utara-Selatan,


sistem internasional saat ini masih banyak didominasi oleh pendekatan yang
sifatnya state centric. Persfektif-perspektif yang bersifat yang lebih ramah
masalah lingkungan hidup seperti ekologis yang banyak digunakan oleh Non-
Govermental Organization (NGO’s) harus bayak dikedepankan sehingga dalam
diplomasi lingkungan, output yang keluar adalah dengan melihat daripada hanya
untuk kepentingan ekonomis semata yang hasilnya akan menguras sumber daya
alam dan tidak dapat dinikmati oleh generasi selanjutnya. Atau dengan kata lain,
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan berkelanjutan (Sustainable).

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Biologi konservasi merupakan ilmu terapan yang berorientasi pada kajian
mengenai penyelesaian krisis keanekaragaman hayati. Biologi konservasi sendiri
bertujuan untuk menjaga kelansungan makhluk hidup yang ada dibumi.
Konservasi pada tingkat awal adalah konservasi pada spesies dan populasi.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, kajian biologi konservasi pada
spesies dan populasi tersebut. Permasalahan tersebut dapat disebabkan tekanan
dari luar maupun berasal dari diri makhluk hidup tersebut. Bilamana membahas
tentang populasi, dapat dibayangkan seperti apa permasalahan yang dapat terjadi
pada populasi yang kecil maupun tinggi. Populasi kecil dihadapkan pada
kemampuan populasi tersebut dalam menghadapi tekanan dari luar dan dalam.
Sedangkan populasi yang tinggi di hadapkan pada bagaimana populasi tersebut
dapat terkontrol sehingga tidak mengganggu keseimbangan ekosistem.

DAFTAR PUSTAKA

Aristide Yoshu, dkk. 2016. Perlindungan Satwa Langka Di Indonesia Dari


Perspektif Convention On International Trade In Endangered Species Of
Flora And Fauna (CITES). Vol 5. No 4
Astri, MIP dkk (2007). Studi Faktor Risiko Filariasis di Desa Samborejo,
Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Kumpulan Ringkasan
Eksekutif Laporan Penelitian : Riset Pembinaan Kesehatan (Risbinkes) Periode
Tahun 2006. DepKes RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2007.

Campbell, Neil A., Jane B. Reece, dan Jatna Supriatna. 2012. Biologi edisi 5.
Erlangga. Jakarta
Diane, mahony, “The Convention on Interntional Trade Endangered Species of
Flora and Fauna: Adressing Problems in Global Wildlife Trade Enforcement”,
dalam New England international and Comparative law Annual, Vol 3.

Djumanto, dkk. 2014. Kajian dinamika populasi ikan kepek, Mystacoleucus


obtusirostris di Sungai Opak Yogyakarta. Jurnal iktiologi
Indonesia. Vol. 14 No. 145-156

Fathi Hanif, S.H., M.H.1. 2015. UPaya PerlindUngan satwa liar indonesia
melalUi instrUmen HUKUm dan PerUndang-Undangan. Jurnal Hukum
Lingkungan Indonesia. Vol 2. No 2.
Juan carlos Vasques, “Complience and Enforcement Mechanism of CITES”,
dalam Sara Oldfield (ed), The Trade in Wlidlife, Regulating for Conservation,
(London:Earthscan, 2003)

Kusmana, Cecep. 2015. Makalah Utama: Keanekaragaman hayati (biodiversitas)


sebagai elemen kunci ekosistem kota hijau. Pros Sem Nas Masy Biodiv
Indon. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Vol. 1(8) : 1747-
1755.
Mobius, dkk. 2015. Dinamika populasi sapi potong dikecamatan Pamona utara
kabupaten poso. Jurnal Agrisains. Vol 12. No 24-19

Mustari AH. Metode Survey dan Inventarisasi Mamalia. Bogor (ID) : Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekwisata, Fakultas Kehutanan IPB.

Samedi. 2015. Konservasi Keanekaragaman Hayati Di Indonesia Rekomendasi


Perbaikan Undang-Undang Konservasi. Jurnal Hukum Lingkungan.
Vol.2 (2) : (1-28).
Siska, dkk. 2015. Dinamika populasi sumber daya ikan layur (lepturacanthus
savala) di perairan selat sunda. Jurnal marine fisheries. Vol 6. No 1

Slamet, JS (1996). Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta. Gadjah Mada University


Press.

Sulistyadi Eko, 2016. Karakteristik Komunitas Mamalia Besar Di Taman


Nasional Bali Barat (TNBB). Zoo Indonesia. Vol 25. No. 2
Supriatna, Jatna. 2018. Konservasi Biodiversitas : Teori dan Praktik Di Indonesia.
Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Tilman, David., Forest Isbell., and Jane M. Cowles. 2014. Biodiversity and
Ecosystem Functioning. Annual Review of Ecology, Evolution, and
Systematics. Vol.45 (471-493).

Anda mungkin juga menyukai