PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Lupus eritematosus Sistemik adalah suatu sindrom yang melibatkan banyak
organ dan memberikan gejala klinis yang beragam. Perjalanan penyakit ini dapat ringan
atau berat, secara terus-menerus, dengan kekambuhan yang menimbulkan kerusakan
jaringan akibat proses radang yang ditimbulkannya. Gejala utama Lupus Eritmatosus
Sistemik (LES) adalah kelemahan umum, anoreksia, rasa mual, demam dan kehilangan
berat badan. Sekitar 80% kelainan melibatkan jaringan persendian, kulit, dan darah 30-
50% menyebabkan kelainan ginjal, jantung dan sistem saraf, serta 10-30%
menyebabkan trombosis arteri dan vena yang berhubungan dengan antibodi
antikardiolipin.
Manifestasi klinis LES pada sistem saraf dapat berupa neuropsikiartik psikiosis,
kejang, stroke, kelumpuhan saraf kranial, maupun mielopati. Angka kejadian mielopati
transversa pada LES sekitar 1-2%, sedangkan insiden kejadian mielopati transversa
pada populasi umum 1,34/satu juta. Prevalensi LES diantara etnik adalah wanita kulit
hitam 1:250, wanita kulit putih 1:4300, dan wanita cina 1:1000.
2. Tujuan
1
BAB II
KONSEP TEORITIS PENYAKIT
2.1. Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik adalah suatu penyakit autoimun menahun yang
menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai organ tubuh, termasuk kulit,
persendian dan organ dalam.
Lupus eritmatosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang terjadi karena
produksi antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri yang berkaitan dengan
manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai
oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi
episode remisi.
Lupus eritmatosus sistemik (LES) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik
dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa
bermacam-macam, bersifat sementara dan sulit untuk didiognisis.
Lupus eritmatosus sistemik (LES) adalah penyakit radang multisistem yang
sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan
fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi, disertai oleh terdapatnya berbagai macam
autoantibodi dalam tubuh.
2.2 Etiologi
Sampai saat penyebab LES (Lupus eritematsus sistemik) belum diketahui,
Diduga ada beberapa paktor yang terlibat seperti paktor genetic,inpeksi dan lingkungan
ikut berperan pada patofisiologi LES (Lupus eritmatosus sistemik).
Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel
dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi imunologi ini dapat
menghasilkananti bodi secara terus menerus. Anti bodi ini juga berperan dalam
komplek imun sehingga mencetuskan penyakit implamasi imun sistemik dengan
kerusakan multiorgan dalam fatogenesis melibatkan gangguan
2
Mendasar dalam pemeliharaan self tolerance bersama aktifitas selbe.hal ini
dapat terjadi sekunder
Terhadap beberapa factor :
1. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B
2. Hiperaktivitas sel T helper
3. Kerusakan pada fungsi sel T supresor
Antibiotik
Sinar ultraviolet
Hormon
Lupus seringkali disebut penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria.
Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-15
kali sering ditemukan pada wanita. Faktor hormonal yang menyebabkan wanita sering
terserang penyakit lupus daripada pria. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa
sebelum menstruasi atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon
(terutama esterogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit ini. Kadang-kadang
obat jantung tertentu dapat menyebabkan sindrom mirip lupus, yang akan menghilang
bila pemakaian obat dihentikan
3. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan
oleh kombinasi antara factor-faktor genetic, hormonal (sebagaimana terbukti oleh
awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduksi) dan lingkungan (cahaya
matahari, luka bakar termal). Obat-obatan tertentu seperti hidralazin, prokainamid,
isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan
seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau
obat-obatan. Pda SLE, peningkatan produksi autoantibody diperkirakan terjadi akibat
funsi sel T supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan
kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang
antibody tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
4. Manifestasi Klinis
Perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak
disertai dengan tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga
menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala yang
terkenanya sistem imun. Pada tipe menahun terdapt remisi dan eksaserbsi. Remisinya
mungkin berlangsung bertahun-tahun.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti
kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat. Setiap serangan biasanya
disertai gejala umum yang jelas seperti demam, nafsu makan berkurang, kelemahan,
berat badan menurun, dan iritabilitasi. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-
kadang disertai menggigil.
Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala muskuloskeletal, berupa
artritis (93%). Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal proksimal didikuti
oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Selain
pembekakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi. Artritis biasanya simetris,
tanpa menyebabkan deformitas, kontraktur atau ankilosis. Adakala terdapat nodul
reumatoid. Nekrosis vaskular dapat terjadi pada berbagai tempat, dan ditemukan pada
pasien yang mendapatkan pengobatan dengan streroid dosis tinggi. Tempat yang
paling sering terkena ialah kaput femoris.
Gejala Mukokutan
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus SLE. Lesi
kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lasi kulit akut, subakut, diskoid, dan
livido retikularis.
Ruam kulit berbentuk kupu-kupu berupa eritema yang agak edamatus pada
hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh
tanpa bekas luka. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam
kulit yang terjadi karena hipersensitivitas. Lesi ini termasuk lesi kulit akut.Lesi kulit
subakut yang khas berbentuk anular.
Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan atrofi.
Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin
disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan berbentuk
silikatriks.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai
yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.Livido retikularis
suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat sering ditemui pada SLE.
Ginjal
Kelainan ginjal ditemukan pada 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah
proteinuria atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik kegagalan ginjal jarang terjadi,
hanya terdapat pada 25% kasus SLE yang urinnya menunjukkan kelainan.
Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis lupus difus dan nefritis
lupus membranosa. Nefritis lupus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis
biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi ginjal
sedang sampai berat. Nefritis lupus membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai
dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang
mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.
Kelainan ginjal yang lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis
kronik, tuberkulosis ginjal. Gagal ginjal merupakan salah satu penyebab kematian SLE
kronik.
Susunan Saraf Pusat
Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu psikosis
organik dan kejang-kejang.
Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE
pada sistem lain-lainnya. Pasien menunjukkan gejala halusinasi disamping gejala khas
organik otak seperti sukar menghitung dan tidak snggup mengingat kembali gambar-
gambar yang pernah dilihat.
Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara klinis tak dapat
dibedakan dengan psikosis lupus. Perbedaan antara keduanya baru dapat diketahui
dengan menurunkan atau menaikkan dosis steroid yang dipakai. Psikosis lupus
membaik jika dosis steroid dinaikkan dan sebaliknya.
Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang
mungkin ditemukan ialah afasia, hemiplegia.
Mata
Kelainan mata dapat berupa konjungtivitas, perdarahan subkonjungtival dan
adanya badan sitoid di retina
Jantung
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis,
endokarditis maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat
keadaan tersebut.
Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pluera
(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari kejadian tersebut
sering timbul nyeri dada dan sesak napas.
Saluran Pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25% kasus SLE, mungkin disertai mual dan diare.
Gejalanya menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya mendapat pengobatan
adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis
pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus.
Arteritis dapat juga menimbulkan pankreatitis.
Hemik-Limfatik
Kelenjar getah bening yang sering terkena adalah aksila dan sevikal, dengan
karakteristik tidak nyeri tekan dan lunak. Organ limfoid lain adalah splenomegali yang
biasanya disertai oleh pembesaran hati. Kerusakan lien berupa infark atau trombosis
berkaitan dengan adanya lupus antikoagulan. Anemia dapat dijumpai pada periode
perkembangan penyakit LES, yang diperantai oleh proses imun dan non-imun.
5. WOC
faktor genetik Factor lingkungan faktor hormonal Obat-obatan
(sinar ultraviolet) (Hidration)
Keterlibatan gen
Hormon proklatin
Gangguan kulit
Obat
Gen membawa terakumulasi
SLE pada Merangsang dalam tubuh
keturunan infeksi system imun
selanjutnya
Obat berikatan
Obat-obatan Pembentukan dengan kompleks
Faktor pemicu tidak cocok kompleks imun anti bodi
(mengikat
komplemen)
Kulit akut
artritis Efusi pleura kelelahann
Ruam kulit
berbentuk Sendi Pneumonitis lupus Meningkatnya
kupu-kupu interfalngeal beban ker a
proksimal
Kompleks
imun pada Merangsang
Eritema system imun
dan purpura alveolus
Efusi sendi
Reaksi inflamasi
nyeri
Gangguan
mobilitas Anemia
pembekakan sesak
MK : gg.
Integritas kulit MK : intoleransi
nyeri nyeri aktivitas
6. Penatalaksanaan
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis
gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ
yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan
serologis. Monotoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter laboratorium yang
dihubungkan dengan aktivitas penyakit.
a.Pendidikan terhadap Pasien
Pasien diberikan penjelasan mengenai penyakit yang dideritanya (perjalanan
penyakit, komplikasi, prognosis), sehingga dapat bersikap positif terhadap
penanggulangan penyakit.
b. Beberapa Prinsip Dasar Tindakan Pencegahan pada SLE
1. Monitoring yang teratur 2.
Penghematan enersi
Pada kebanyakan pasien kelelahan merupakan keluhan yang menonjol. Diperlukan
waktu istirahat yang terjadwal setiap hari dan perlu ditekankan pentingnya tidur yang
cukup.
3.Fotoproteksi
Kontak dengan sinar matahari harus dikurangi atau dihindarkan. Dapat juga
digunakan lotion tertentu untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari langsung.
4.Mengatasi infeksi
Pasien SLE rentan terhadap infeksi. Jika ada demam yang tak jelas sebabnya,
pasien harus memeriksanya.
5.Merencanakan kehamilan
Kehamilan harus dihindarkan jika penyakit aktif atau jika pasien sedang mendapatkan
pengobatan dengan obat imunosupresif.
c. pengobatannya
Lupus diskoid
Terapi standar adalah fotoproteksi, anti-malaria dan steroid topikal. Krim
luocinonid 5% lebih efektif dibandingkan krim hidrokrortison 1%. Terapi dengan
hidroksiklorokuin efektif pada 48% pasien dan acitrenin efektif terhadap 50% pasien.
Serositis lupus (plueritis, perikarditis)
Standar terapi adalah NSAIDs (dengan pengawasan ketat terhadap gangguan
ginjal), anti-malaria dan kadang-kadang diperlukan steroid dosis rendah.
Arthritis lupus
Untuk keluhan muskuloskeletal, standar terapi adalah NSAIDs dengan
pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal dan ati-malaria. Sedangkan untuk keluhan
myalgia dan gejala depresi diberikan serotonin reuptake inhibitor antidepresan
(amitriptilin)
Miositis lupus
Standar terapi adalah kortikosteroid dosis tinggi (dimulai dengan prednison dosis
1-2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi, bila kadar komplemen meningkat mencapai dosis
efektif terendah. Metode lain yang digunakan untuk mencegah efek samping pemberian
harian adalah dengan cara pemberian prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5
mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg) metrotreksat atau azathioprine.
Fenomena Raynaud
Standar terapinya adalah calcium channel blockers, misalnya nifedipin dan nitrat,
misalnya isosorbid mononitrat.
Lupus nefritis
Lupus nefritis kelas II mempunyai prognosis yang baik dan membutuhkan terapi
minimal. Peningkatan proteinuria harus diwaspadai karna menggambarkan perubahan
status penyakit menjadi lebih parah. Lupus nefritis III memerlukan terapi yang sama
agresifnya dengan DPGN. Pada lupus nefritis IV kombinasi kortikosteroid dengan
siklofosfamid intravena. Siklofosfamid intravena diberikan setiap bulan, setelah 10-14
hari pemberian, diperiksa kadar leukositnya. Dosis siklofosfamid selanjutnya akan
dinaikkan atau diturunkan tergantung pada jumlah leukositnya (normalnya 3.000-
4.0000/ml). Pada lupus nefritis V regimen terapi yang di berikan adalah (1) monoterapi
dengan kortikosteroid. (2) terapi kombinasi kortikosteroid dengan siklosporin A. (3)
sikofosfamid, azathioprine atau klorambusil. Pada lupus nefritis V tahap lanjut, pilihan
terapinya adalah dialisis dan transplantasi renal.
Gangguan hematologis
Untuk trombositopeni, terapi yang dipertimbangkan pada kelainan ini adalah
kortikosteroid, imunoglobulin intravena. Sedangkan untuk anemi hemolitik, terapi yang
dipertimangkan adalah kortikosteroid, danazol, dan spelenektomi.
Pneumonitis intersititialis lupus
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid
intravena.
Vaskulitis lupus dengan keterlibatan organ penting
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid
intravena
7. Komplikasi
Komplikasi LES meliputi :
Hipertensi (41%)
8. Pemeriksaaan Diagnostik
a.Pemeriksaan Laboratorim
Pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksaan :
1. Hematologi
Ditemukan anemia, leukopenia, trombosittopenia
2. Kelainan Imunologis
Ditemuka sel LE, antibodi antinuklir, komplemen serum menurun, anti DNA,
faktor reumatitoid, krioglobulin, dan uji lues yang positif semu.
b. Histopatologi
• Umum :
Lesi yang dianggap karakteristik untuk SLE ialah badan hematoksilin, lesi onion-
skin pada pembuluh darah limpa dan endokarditis verukosa Libman-Sacks.
• Ginjal :
2 bentuk utama ialah glomerulus proliferatif difus dan nefritis lupus membranosa
• Kulit
Pemeriksaan imunofluoresensi direk menunjukkan deposit igG granular pada
dermo-epidermal junction, baik pada lesi kulit yang aktif (90%) maupun pada kulit
yang tak terkena (70%). Yang paling karakteristik untuk SLE ialah jika ditemukan
pada kulit yang tidak terkena dan terpanjan.
BAB III
KONSEP ASKEP
1. Pengkajian
1.Identitas Klien
Nama, jenis kelamin, umur, status perkawianan, pekerjaan, pendidikan terakhir,
alamat
2.Riwayat kesehatan
• Riwayat kesehatan sekarang seperti demam, kelemahan, nafsu makan
berkurang dan berat badan menurun.
• Riwayat kesehatan dahulu
Apakah pernah mengalami Hipertensi, gangguan pada mata, nyeri sendi.
• Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada di antara keluarga pasien ada yang mengalami penyakit yang sama
dengan penyakit yang dialami pasien.
3.Kebiasaan sehari-hari
• Pola makan : frekuensi, jumlah porsi yang habis, cara makan, makanan yang
disukai dan tidak disukai
• Pola minum : frekuensi
• Pola tidur : jumlah jam tidur, kesulitan dalam tidur
• Pola eliminasi (BAK dan BAB) ; frekuensi
• Aktivitas sehari-hari : kegiatan yang dilakukan dari bangun tidur sampai mau
tidur kembali
• Rekreasi : rekreasi yang pernah dilakukan, bersama siapa, frekuensinya.
4.Pemeriksaan Fisik
• Keadaan umum : klien tampak lemah, gelisah, cemas dan kesakitan
• TTV :
- TD : 140/90 mmHg
- ND : 100 x/i
- RR : 18 x /i
- S : 40 C
• BB : 58 kg (turun 2 kg dari 60 kg)
• Kulit : adanya ruam kupu-kupu pada wajah
• Mulut : Terdapat luka
• Paru ; adanya cairan di sekitar paru-paru
• Sendi : adanya artritis
• Darah :
- Anemia
- Leukosit < 4000 sel/mm
- Limfosit < 1500 sel/mm
- Trombosit < 100.000 sel/mm
5. Pemeriksaan Penunjang
• Rontgen dada : menunjukkan pleuritis
• Pemeriksaan dada dengan bantuan stestokop menunjukkan adanya gesekan
pleura
• Pada kulit terdapat ruam kulit atau lesi yang khas
• Hitung jenis darah : menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah
• Pada sendi adanya pembekakan dan rasa nyeri bila digerakkan
13.pemeriksaan diagnostik
• Ig (Ig M dan Ig G) : peningkatan besar menunjukkan proses autoimun sebab
penyebab AR
• Sinar x dari sendi yang sakit : menunjukkan pembekuan pada jaringan lunak,
erosi sendi, memperkecil jarak sendi
• Kerapuhan erirosit : menurun
• Jumlah trombosit : menurun
• JDL : memungkinkan berkembangannya pneumonia bakterial
3. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
Keperawatan
1 DO :
• Klien tampak lemah
• Klien tampak gelisah dan
cemas
• TTV :
- TD : 140/90 mmHg
- ND : 100 x/i
- RR : 18 x/i
- S : 40 C
• Terdapat ruam kupu-kupu
pada tulang pipi dan pangkal
hidung
• Ruam pada kulit memburuk
karena terkena sinar matahari
• Ruam tersebar di bagian
tubuh yang terkena/terpapar
Gangguan mobilitas Gangguan integritas pada kulit
sinar matahari
2 DO : Adanya efusi sendi Gangguan rasa
• Klien tampak merasa dan sesak nyaman (nyeri
kesakitan kronik)
• Kilen tampak kesulitan
bernapas
• Klien tampak gelisah
• Adanya Artritis dan efusi
sendi
• TTV :
- TD : 140/90 mmHg
- ND : 100 x /i
- RR : 18 x /i
• Pernapasan dangkal
• Hasil rontgen menunjukkan
pleuritis
• Pemeriksaan dada dengan
bantuan stestokop
menunjukkan adanya gesekan
pleura
2. Setelah
dilakukan
Ganggu
intervensi
an rasa
keperawatan
nyaman
selama 3x24
(nyeri
jam,
kronik)
diharapkan
berhubu
rasa nyeri
ngan
dengan
efusi
sendi
dan
sesak
5. Gunakan mbatan n tekanan
sesudah an energi
aktivitas. 5. Anjurka
3. Rencan n pasien
aktivitas dada,
dengan kelemahan
termasuk terjadi
aktivitas Kolaborasi :
pandang oksigen
perlu tambahan
4. Gunaka
oksigen adekuat ke
jaringan
3. Mening katkan secara bertahap tingkat
aktivitas sampai normal dan memperbail ai
tonus otot tanpa kelemahan.
4. Mendor
ong pasien melakukan banyak dengan
membatasi penyimpan gan energi dan
mencegah kelemahan
5. Sters berlebihan dapat menimbulk an
kegagalan.
6.Memak simalkan sediaan oksigen untuk kebutuhan
seluler
PENUTUP
1. Kesimpulan
Lupus eritematosus Sistemik adalah suatu sindrom yang melibatkan banyak
organ dan memberikan gejala klinis yang beragam. Perjalanan penyakit ini dapat ringan
atau berat, secara terus-menerus, dengan kekambuhan yang menimbulkan kerusakan
jaringan akibat proses radang yang ditimbulkannya. Gejala utama Lupus Eritmatosus
Sistemik (LES) adalah kelemahan umum, anoreksia, rasa mual, demam dan kehilangan
berat badan. Penyebab dari penyakit lupus meliputi pengaruh faktor genetik, lingkungan
dan hormonal terhadap respons imun.
penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis gangguan
organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ yang sudah
terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan serologis.
2. Saran
• Perawat bisa mengenal dengan cepat ciri-ciri dari Lupus Erimatosus Sistemik.
• Perawat bisa menangani pasien dengan penyakit Lupus Erimatosus Sistemik
dengan cepat, teliti dan terampil.
• Perawat dapat bekerjasama dengan baik dengan tim kesehatan lain maupun
pasien dalam tahap pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arif, dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Jakarta : FKUI
Price, Sylvia. A dan Wilson, lorraince. M. 2004. Patofisiologi . Edisi 4. Volume 2. Jakarta:
EGC
Price, Sylvia. A dan Wilson, lorraince. M. 2006. Patofisiologi Edisi 6. Volume 2 Jakarta :
EGC
Albar, Zuljasri. 2004. Ilmu Penyakit dalam. Edisi 3. Jakarta : FKUI
Dongoes, Marilynn E, dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.