Anda di halaman 1dari 2

Patofisiologi lupus eritematosis sistemik atau systemic lupus eritematosus (SLE) didasari oleh

autoantibodi dan kompleks imun yang berikatan ke jaringan dan menyebabkan inflamasi
multisistem. Penyebab spesifik SLE hingga saat ini belum diketahui, namun berbagai faktor
seperti faktor genetik, sistem imun, hormonal serta lingkungan berhubungan dengan
perkembangan penyakit ini.

Sistem imun bawaan maupun didapat memberikan respon imun yang tidak seharusnya kepada
partikel sel tubuh. Salah satunya adalah pembentukan autoantibodi terhadap asam nukleat yang
disebut antinuclear antibodies (ANA). Pada umumnya ANA dapat ditemukan pada populasi
umum, namun tidak seluruh orang yang memiliki ANA mengalami SLE, oleh karena itu terdapat
mekanisme lain yang menyebabkan progresi kondisi autoimun ini menjadi penyakit. Selain
ANA, terdapat dua autoantibodi yang spesifik ditemukan pada pasien SLE dibandingkan dengan
penyakit autoimun lainnya yaitu antibodi anti-Smith (Sm) dan antibodi anti-double-stranded
DNA (dsDNA).[1,4,5]

Patofisiologi SLE disebabkan oleh respon imun yang abnormal berupa:

 aktivasi sistem imun bawaan (sel dendritik, monosit/makrofag) oleh DNA dari kompleks
imun, DNA atau RNA virus dan RNA dari protein self-antigen
 ambang batas aktivasi sel imun adaptif (limfosit T dan limfosit B) yang lebih rendah dan
jaras aktivasi yang abnormal
 regulasi sel T CD4+ dan CD8+, sel B dan sel supresor yang tidak efektif,
 penurunan pembersihan kompleks imun dan sel yang mengalami apoptosis[8]

Autoantibodi mengenali self-antigen yang ada di permukaan sel yang apoptosis dan membentuk
kompleks imun. Oleh karena proses pembersihan debris sel terganggu maka autoantigen,
autoantibodi dan kompleks imun tersedia dalam waktu yang lama, memicu terjadinya proses
inflamasi dan menyebabkan timbulnya gejala.

Aktivasi sel imun juga disertai dengan peningkatan sekresi interferon tipe 1 dan 2 (IFN), tumor
necrosis factors α (TNF- α), interleukin (IL) 17, stimulator maturasi sel B, dan IL-10 yang
seluruhnya mendukung reaksi inflamasi. Pada kondisi SLE juga terjadi penurunan produksi
berbagai sitokin seperti sel natural killer yang gagal memproduksi IL-2 dan transforming growth
factor beta (TGF-β) yang berfungsi untuk meregulasi sel T CD4+ dan CD8+, akibatnya produksi
autoantibodi dan kompleks imun tidak terkendali dan tetap berlanjut.[4,5,8]

Autoantibodi dan kompleks ini kemudian berikatan dengan jaringan target, menyebabkan
aktivasi sistem komplemen dan menyebabkan pelepasan sitokin, kemokin dan peptida vasoaktif,
oksidan dan enzim proteolitik. Kondisi tersebut menyebabkan aktivasi sel endothelial, makrofag
jaringan, sel mesangial, podosit yang ada di jaringan serta mengakibatkan sel B, sel T, sel
dendritik dan makrofag mendatangi jaringan target tersebut dan menyebabkan terjadinya proses
inflamasi. Inflamasi kronis ini menyebabkan kerusakan jaringan yang irevesibel di glomerulus
ginjal, arteri, paru dan jaringan lainnya.[4,5,7-9]

Aktivasi Sistem Imun Bawaan


Debris sel menjadi pemicu langsung aktivasi sistem imun bawaan. Asam nukleat yang berikatan
kompleks imun menjadi stimulus yang potensial untuk aktivasi sel endosom. Dalam endosom,
asam nukleat mengaktivasi TLR (khususnya TLR7 dan TLR9). Selanjutnya kondisi ini memicu
produksi IFN tipe I. Aktivasi TLR7 juga memicu produksi antibodi anti-Sm. IFN tipe I memiliki
peran penting dalan disfungsi imun pada SLE. Kondisi ini dibuktikan dengan ditemukannya
ekspresi berbagai tipe IFN tipe I di sel darah perifer dan jaringan yang terkena pada pasien
dengan SLE.[4-6]

Aktivasi Sistem Imun Didapat

Pasien dengan SLE mengalami gangguan fungsi sel T, berupa defisiensi pembentukan sinyal sel
T, produksi sitokin, proliferasi serta pengaturan fungsi sel. Salah satu penyebab gangguan
aktivasi sel T adalah akibat perubahan reseptor sel T. Perubahan ini mengakibatkan augmentasi
sinyal kalsium intraselular dan hiperpolarisasi mitokondria sehingga membuat sel T lebih peka
pada nekrosis. Sel T dari pasien SLE juga mengekspresikan ligan CD40 aktif yang lebih lama
dari pada sel T pada kontrol sehat, akibatnya ligan ini menstimulasi aktivasi dan diferensiasi sel
B lebih lama. Populasi sel T helper folikular yang meningkat menyebabkan peningkatan sel B
yang memproduksi autoantibodi, sedangkan sel T regulator mengalami penurunan dan sel T
helper-17 mengalami peningkatan, akibatnya produksi IL-17 meningkat, dan produksi IL-2
menurun. Padahal IL-2 penting dalam proses regulasi sel T. Selain gangguan pada regulasi sel T,
juga terjadi gangguan regulasi sel B. Kondisi ini menyebabkan produksi autoantibodi, dan
sitokin inflamasi serta perlambatan presentasi antigen ke sel T.[4-6]

Anda mungkin juga menyukai