Metode Penulisan
Tulisan dalam makalah ini bersifat literer (library research), sehingga
pengumpulan datanya lebih banyak dilakukan di perpustakaan. Kemudian data
tersebut diolah dengan metode deskriptif-analitis,[4] yaitu dengan berusaha
memaparkan data-data tentang suatu hal/masalah dengan analisa dan interpretasi
yang tepat untuk memberikan gambaran konsepsional mengenai sejarah perbankan
syari’ah di Indonesia khususnya produk-produk yang ditawarkan berdasarkan
prinsip jual-beli.
Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis, dan teknik
pengumpulan data yang tepat adalah teknik penelusuran naskah. Metode deduktif
dan induktif digunakan untuk menganalisis beberapa data yang diperoleh pada
tahap-tahap penelitian.
Analisa Terhadap Perkembangan Perbankan Syari’ah dan Aplikasi Produk-produk Berdasarkan Prinsip
Jual-Beli
Perbankan syari’ah yang telah diperkenalkan kepada masyarakat sejak tahun 1992
hingga saat ini belum menunjukkan pertumbuhan sebagaimana yang diharapkan.
Perkembangan perbankan syari’ah di Indonesia masih pada tahap awal. Hal ini
ditunjukkan dengan populasi yang masih kecil, yaitu satu bank umum syari’ah dan
77 bank perkreditan rakyat syari’ah (BPRS) dibandingkan dengan populasi bank
konvensional sejumlah 208 bank umum dan 2.231 bank perkreditan rakyat (BPR).
Dari jumlah 77 BPRS tersebut, diperkirakan sekitar 30 % dalam kondisi baik,
selebihnya memerlukan perhatian dan penanganan yang serius untuk
kelangsungannya.[37] Sedangkan bait al-mal wa al-tamwil (BMT) menunjukkan
pertumbuhan yang cukup baik, dari mulai hanya satu BMT di tahun 1992, kini
BMT telah mencapai jumlah 1.957 BMT yang tersebar di hampir seluruh propinsi
di Indonesia.
Hadirnya bank syari’ah dewasa ini menunjukkan kecenderungan yang semakin
baik. Produk-produk yang dikeluarkan bank syari’ah cukup bervariatif sehingga
mampu memberikan pilihan/alternatif bagi calon nasabah untuk memanfaatkannya.
Berdasarkan survey yang pernah dilakukan, kebanyakan bank syari’ah masih
mengedepankan produk dengan akad jual-beli, di antaranya adalah murabahah
dan bai’ bi saman ajil (murabahah investasi). Bahkan produk murabahah
merupakan produk yang paling banyak digunakan selama ini. Hal ini, mungkin,
karena pertimbangan resiko dan keuntungan yang akan diperoleh bank syari’ah.
Dengan murabahah, resiko yang mungkin dialami bank syari’ah sangat kecil dan
bank juga tidak tahu tentang untung dan rugi nasabah. Sedangkan bila
menggunakan produk mudarabah (sistem bagi hasil), maka resiko yang mungkin
dialami bank syari’ah sangat tinggi dan rentan terhadap kemungkinan bahaya
moral. Karena bank syari’ah berasumsi bahwa semua orang adalah jujur sehingga
bank rawan berhadapan dengan orang yang beri’tikad kurang baik. Di samping itu,
perhitungan-perhitungan dalam produk mudarabah (sistem bagi hasil) lebih rumit
bila dibandingkan perhitungan dalam bank konvensional, sehingga dibutuhkan
tenaga profesional yang betul-betul handal. Padahal, selama ini kebanyakan tenaga
profesional yang dimiliki bank syari’ah diambil dari bank konvensional yang
masih terkonstruk perhitungan dengan sistem bunga.[38]
Dalam dunia modern, istilah bai’ al-murabahah sudah merupakan perluasan dari
pengertiannya yang klasik.[39] Istilah murabahah digunakan untuk mengacu pada
suatu kesepakatan yang di dalamnya pembelian barang oleh bank dikehendaki
konsumennya yang membutuhkan barang tersebut dan kemudian menjual barang
tersebut kepada konsumen dengan harga yang disepakati dengan memberikan
keuntungan tertentu kepada bank. Pembayaran dilakukan oleh konsumen dalam
kurun waktu yang ditentukan dengan cara kredit/tunai. Perjanjian semacam ini oleh
Sami Hamud disebut bai’ al-murabahah li al-amir bi al-syira’ (penjualan dengan
keuntungan marginal yang disepakati kepada seseorang yang memesan barang
tersebut). Belakangan ini lebih dikenal dengan sebutan murabahah.[40]
Dalam praktek/realisasi produk bai’ al-murabahah –pembayaran tempo dengan
sekaligus/langsung lunas— di lapangan/perbankan syari’ah tidak ada. Yang ada
adalah murabahah yang pembayarannya dilakukan secara kredit/cicilan
(murabahah yang bai’ bi saman ajil). Atau, murabahah yang dimodifikasi dalam
istilah Sami Hamud. Jadi, dalam prakteknya, murabahah disamakan dengan bai’
bi saman ajil yang notabenenya kurang banyak diminati. Di samping itu, dalam
prakteknya, tenaga pelaksana di lapangan biasanya enggan menerangkan seluk-
beluk dan landasan fiqh murabahah atau bisa jadi menganggap calon nasabah telah
paham. Karena itu, murabahah disimplikasi dalam satu rangkaian kalimat pendek,
“margin kami 20 % per tahun”.[41] Dan dalam prakteknya, sistem perhitungan
dalam penetapan jasa bank masih mengacu dan disesuaikan dengan standar bunga
pada bank konvensional dan belum memiliki standard perhitungan baku yang
otonom dan mandiri. Tentu saja banyak masyarakat yang mengira bank syari’ah
sekedar mengganti istilah bunga dengan margin. Atau dengan kata lain, siasat
bunga bank yang dibungkus dengan prinsip-prinsip syari’ah.
Sedangkan untuk meminimalisir –bahkan menghilangkan– kesenjangan antara
konsep dan praktek dalam realitas, khususnya dalam produk murabahah, maka
perbankan syari’ah harus benar-benar istiqamah dalam menerapkan/merealisasikan
produk-produk yang ditawarkan kepada para nasabah sesuai dengan konsep-
konsep yang ada. Di samping itu sosialisasi produk-produk yang ada lebih
ditingkatkan, misalnya dengan promosi. Dalam hal ini, peran ulama dan
cendekiawan muslim juga sangat diperlukan dalam memberikan wawasan dan
pemahaman tentang produk-produk tersebut kepada masyarakat luas yang masih
awam tentang operasionalisasi dan mekanisme perbankan syari’ah.
Dan yang tidak kalah penting, perbankan syari’ah harus memiliki standar sistem
perhitungan dalam penetapan jasa bank tanpa harus bergantung pada standar dalam
perhitungan bunga. Oleh karena itu, penentuan besarnya mark-up dalam
murabahah harus mengacu pada perhitungan besarnya keuntungan yang diperoleh
nasabah yang menjalankan transaksi murabahah, bukan mengacu pada suku bunga
dalam bank konvensional.
Banyak orang yang menyamakan bai’ al-salam dengan ijon, padahal terdapat
perbedaan besar di antara keduanya. Dalam ijon, barang yang dibeli tidak diukur
atau ditimbang secara jelas dan spesifik. Demikian juga penetapan harga beli
sangat bergantung kepada keputusan sepihak si tengkulak yang seringkali sangat
dominan dan menekan petani yang posisinya lebih lemah. Adapun transaksi bai’
al-salam mengharuskan adanya pengukuran dan spesifikasi barang yang jelas dan
adanya keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak.[42] Di sisi lain, banyak pula
yang salah dalam membedakan bai’ al-salam dengan bai’ al-istishna’, padahal
keduanya mempunyai perbedaan yang jelas.[43]
Penutup
Demikianlah pembahasan makalah yang dapat penulis lakukan. Saran yang solutif
dan kritik yang konstruktif sangat diperlukan dalam rangka perbaikan dan
penyempurnaan makalah ini. Wa Allah al-Muwaffiq ila Aqwam ath-Thariq.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Amrullah dkk., Hukum Islam di Indonesia : perspektif Muhammadiyyah
dan NU (Jakarta : Universitas Yarsi, 1999).
Antonio, M. Syafi’i Bank Syari’ah : Dari Teori Ke Praktik (Jakarta : Gema Insani
Press, 2001), cet. III.
Basyaib, Hamid & Mursyidi Prihantono (Ed.), Bank Tanpa Bunga (Yogyakarta :
Mitra Gama Widya, 1993), cet. I.
Chapra, M. Umer, Al-Qur’an Menuju Sistem Moneter Yang Adil, terj. Lukman
Hakim (Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1997).
al-Kasani, ‘Ala’ al-Din Abu Bakr Ibn Mas’ud, Badai’ al-Sanai’ fi Tartib al-
Syarai’ (Beirut : Dar al-Fikr, 1996), cet. I, juz V.
Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Islam (Yogyakarta : UII
Press, 2000), cet. I.
Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Bank Bagi Hasil (Jakarta : Biro Penelitian
dan Pengembangan Perbankan Islam Bank Indonesia, 1992), cet. II.
Perwataatmadja, Karnaen A., ”Peluang dan Strategi Bank Tanpa Bunga Dengan
Sistem Bagi Hasil (BTBSBH) Dalam Bisnis Perbankan di Indonesia”, dalam
Hamid Basyaib & Mursyidi Prihantono (Ed.), Bank Tanpa Bunga (Yogyakarta :
Mitra Gama Widya, 1993), cet. I.
———————————–, “Peluang dan Strategi Operasional Bank Muamalat
Indonesia”, dalam M. Rusli Karim (Ed.), Berbagai Aspek Ekonomi Islam
(Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1992), cet. I.
al-San’ani, Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam : Syarh Bulug al-
Maram min Adillat al-Ahkam (Beirut: Dar al-Fikr, t. t.), juz III.
[1] M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori Ke Praktik (Jakarta : Gema
Insani Press, 2001), cet. III, h. 29-34.
[2] Ibid., h. 101.
[3] Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait
(BMUI & Takaful) di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), cet. I, h. 81
dan 112.
[4] Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metoda dan Teknik
(Bandung: Tarsito, 1990), h. 139.
[5] Karnaen A. Perwataatmadja dan M. Syafi’i Antonio, Apa dan. Bagaimana
Bank Islam (Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1999), cet. III, h. 1-2.
[6] Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan…, h. 5.
[7] M. Amin Aziz, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia (Jakarta : Bangkit,
1992).
[8] M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah…, h. 25.
[9] Ibid.
[10] Zainul Arifin, Memahami Bank Syari’ah : Lingkup, Peluang, Tantangan dan
Prospek (Jakarta : Alvabet, 1999), h. 10.
[11] Amrullah Ahmed dkk., Hukum Islam di Indonesia : Perspektif
Muhammadiyyah dan NU (Jakarta : Universitas Yarsi, 1999), h. 188-189.
[12] Lihat Sambutan Menteri Keuangan dengan disetujuinya rancangan UU
tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, dalam UU perbankan
(Jakarta : Sinar Grafika, 1999), cet. 2, h. 2-3.
[13] Bank Indonesia, Perbankan Syari’ah Nasional dan Pengembangan, h. 1-2.
[14] Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Bank Bagi Hasil (Jakarta : Biro
Penelitian dan Pengembangan Perbankan Islam Bank Indonesia, 1992), cet. II, h.
4-5 dan 12-13; Karnaen Perwataatmadja dan M. Syafi’i Antonio, Apa dan…, h. 25-
28 dan 106.
[15] Karnaen A. Perwataatmadja dan M. Syafi’i Antonio, Apa dan…, h. 28.
[16] Ibid., h. 25 dan Warkum Sumitro, Asas-asas…, h. 93.
[17] Q. S. al-Baqarah: 275.
[18] Karnaen Perwataatmadja & M. Syafi’i Antonio, Apa dan…, h. 25-26.
[19] Lihat Arrison Hendry, Perbankan Syari’ah: Perspektif Praktisi (Jakarta :
Mu’amalat Institute, 1999), h. 43.
[20] Ibid.
[21] M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah…, h. 103-104.
[22] Ibid., h. 104-105.
[23] Ibid., h. 106.
[24] Ibid., h. 106-107.
[25] Ibid.
[26] Q. S. al-Baqarah : 282.
[27] H. R. al-Sittah dari Ibn ‘Abbas.
[28] Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Islam (Yogyakarta : UII
Press, 2000), cet. I, h. 32.
[29] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh (Damaskus : Dar al-Fikr,
1997), cet. IV, h. 3604.
[30] M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah…, h. 109.
[31] Ibid., h. 109-110.
[32] Ibid., h. 110-112.
[33] ‘Ala’ al-Din Abu Bakr Ibn Mas’ud al-Kasani, Badai’ al-Sanai’ fi Tartib al-
Syarai’ (Beirut : Dar al-Fikr, 1996), cet. I, juz V, h. 335.