Anda di halaman 1dari 14

PRODUK-PRODUK PERBANKAN SYARI’AH

BERDASARKAN PRINSIP JUAL-BELI


Oleh : M. Arif Hakim el-Hakam, M.Ag
Pendahuluan
Dalam beberapa hal, bank konvensional dan perbankan syari’ah memiliki
persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer,
teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh
pembiayaan, proposal, laporan keuangan dan sebagainya. Akan tetapi, terdapat
banyak perbedaan mendasar di antara keduanya. Perbedaan itu menyangkut aspek
legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai dan lingkungan kerja.[1] Di samping
itu, paradigma yang dipakai juga berbeda. Bank konvensional hanya sebagai
lembaga perantara keuangan (intermediary financial institution), sehingga tidak
boleh berdagang. Sedangkan perbankan syari’ah, di samping sebagai lembaga
perantara keuangan, juga melakukan perdagangan misalnya melalui jual-beli
murabahah.
Landasan syari’ah perbankan syari’ah adalah ketentuan-ketentuan hukum
mu’amalat, khususnya menyangkut hukum perjanjian (akad). Ada sejumlah akad
yang dijadikan landasan bagi operasionalisasi perbankan syari’ah, seperti jual-beli
(al-bai’) dengan berbagai jenisnya, sewa-menyewa (al-ijarah), perkonsian (al-
musyarakah), bagi hasil (al-mudarabah), gadai (al-rahn), hutang-piutang (al-
qard), pemindahan hutang (al-hiwalah), penanggungan hutang (al-kafalah), dan
pemberian kuasa (perwakilan, al-wakalah).
Bentuk-bentuk akad jual-beli yang telah dibahas para
ulama dalam fiqih mu’amalah terbilang sangat banyak.
Jumlahnya bisa mencapai belasan jika tidak puluhan.
Sungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada tiga
jenis jual-beli yang telah banyak dikembangkan sebagai
sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan
investasi dalam perbankan syari’ah, yaitu bai’ al-
murabahah, bai’ al-salam, dan bai’ al-istisna.[2] Dan
secara khusus, produk yang dihasilkan dari sistem jual-
beli dan margin keuntungan adalah bai’ al-murabahah
dan al-bai’ bi saman ajil.[3]
Batasan dan Rumusan Masalah
Makalah ini tidak berusaha membahas sejarah perbankan Islam (syari’ah)
di dunia (Islam) secara komprehensif dan luas tetapi hanya memfokuskan pada
sejarah perbankan syari’ah di Indonesia. Di samping itu, makalah ini hanya
membahas produk-produk yang ditawarkan oleh perbankan syari’ah di Indonesia
berdasarkan prinsip jual-beli.
Berdasarkan uraian dalam pendahuluan dan batasan masalah di atas, maka makalah
ini diusahakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini :
1. Bagaimana sejarah perbankan syari’ah di Indonesia ?
2. Produk-produk apa yang ditawarkan oleh perbankan syari’ah berdasarkan
prinsip jual-beli ?
3. Apa yang harus dilakukan untuk pengembangannya pada masa yang akan
datang ?

Metode Penulisan
Tulisan dalam makalah ini bersifat literer (library research), sehingga
pengumpulan datanya lebih banyak dilakukan di perpustakaan. Kemudian data
tersebut diolah dengan metode deskriptif-analitis,[4] yaitu dengan berusaha
memaparkan data-data tentang suatu hal/masalah dengan analisa dan interpretasi
yang tepat untuk memberikan gambaran konsepsional mengenai sejarah perbankan
syari’ah di Indonesia khususnya produk-produk yang ditawarkan berdasarkan
prinsip jual-beli.
Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis, dan teknik
pengumpulan data yang tepat adalah teknik penelusuran naskah. Metode deduktif
dan induktif digunakan untuk menganalisis beberapa data yang diperoleh pada
tahap-tahap penelitian.

Sejarah Perbankan Syari’ah di Indonesia


Istilah bank Islam atau bank syari’ah merupakan fenomena baru dalam dunia
ekonomi modern, kemunculannya seiring dengan upaya gencar yang dilakukan
oleh para pakar Islam dalam mendukung ekonomi Islam yang diyakini akan
mampu mengganti dan memperbaiki sistem ekonomi konvensional yang berbasis
pada bunga. Karena itulah sistem bank Islam menerapkan sistem bebas bunga
(interest free) dalam opersionalnya, dan karena itu rumusan yang paling lazim
untuk mendefinisikan bank Islam adalah “bank yang beroperasi sesuai prinsip-
prinsip syari’ah Islam dengan mengacu kepada al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai
landasan dasar hukum dan operasional”.[5] Definisi bank Islam dengan melihat
fungsinya sebagai suatu lembaga atau badan keuangan adalah : “lembaga keuangan
yang usaha pokoknya memberi kredit dan jasa-jasa dalam lalu-lintas pembayaran
serta peredaran uang yang sistem operasionalnya disesuaikan dengan prinsip-
prinsip syari’ah Islam”.[6]
Berkembangnya bank-bank syari’ah di negara-negara Islam berpengaruh ke
Indonesia. Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syari’ah sebagai
pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian
tersebut adalah Karnaen A. Perwataatmadja, M. Dawam Rahardjo, A. M.
Saefuddin, M. Amien Aziz, dan lain-lain.[7] Beberapa uji coba pada skala yang
reelatif terbatas telah diwujudkan. Di antaranya adalah Bait al-Tamwil Salman,
Bandung, yang sempat tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga
serupa dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti.
Akan tetapi, prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru
dilakukan pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20
Agustus 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di
Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada
Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jakarta, 22-25
Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas IV MUI, dibentuk kelompok kerja
untuk mendirikan bank Islam di Indonesia.[8]
Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut di
atas. Akte Pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1
Nopember 1991. Pada saat penandatanganan akte pendirian ini, terkumpul
komitmen pembelian saham sebanyak Rp. 84 miliar. Pada tanggal 3 Nopember
1991, dalam acara silaturrahim Presiden di Istana Bogor, dapat dipenuhi dengan
total komitmen modal disetor awal sebesar Rp. 106.126.382.000,00. Dengan modal
awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, BMI mulai beroperasi.[9]
Indonesia sebagai negara Islam yang terbesar mulai mengoperasikan bank Islam di
awal 90-an. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang membuat negara kita
terlambat dalam pengembangan perbankan Islam, yaitu :
1. Adanya kendala dasar hukum yang belum memungkinkan pengembangan
perbankan syari’ah dilakukan, dimana dalam UU No. 14 tahun 1967 tentang
pokok-pokok perbankan tidak mengenal Bank Syari’ah. Hal ini tentunya
dalam kenyaatan menjadi kendala bagi perbankan syari’ah sebagai salah satu
instrumen ekonomi.[10]
2. Adanya perbedaan di kalangan ulama mengenai bunga.
3. Indonesia mempunyai kondisi sosial politik yang kurang kondusif, yaitu
belum adanya political will dari pemerintah, tingkat heterogenitas masyarakat
Indonesia yang cukup tinggi dan komitmen serta tanggungjawab yang harus
dipikul karena mencantumkan label syari’ah.[11]
Bank syari’ah dalam sistem perbankan Indonesia secara formal telah
dikembangkan sejak tahun 1992 dengan diberlakukannya UU No. 7 tahun 1992
tentang perbankan. Namun demikian, UU tersebut belum memberi landasan
hukum yang kuat terhadap pengembangan bank Islam/syari’ah karena belum
secara tegas mengatur keberadaan bank berdasarkan prinsip syari’ah melainkan
bank bagi hasil. Pengertian bank bagi hasil yang dimaksudkan dalam UU
Perbankan No. 7 tahun 1992 belum mecakup secara tetap pengertian bank Islam
yang memiliki cakupan lebih luas dari bank bagi hasil. Demikian pula dengan
ketentuan operasional yang lengkap yang secara khusus mengatur kegiatan bank
Islam. Pada awal pendirian BMI, keberadaan bank syari’ah ini belum mendapat
perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional. Hal ini sangat
jelas tercermin dari UU No. 7 tahun 1992, di mana pembahasan perbankan dengan
sistem bagi hasil diuraikan hanya sepintas lalu dan merupakan “sisipan” belaka.
Pemberlakuan UU perbankan No. 10 tahun 1998 yang mengubah UU No. 7 tahun
1992 yang diikuti dengan dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanaan dalam
bentuk SK Direksi BI/Peraturan Bank Indonesia telah memberi landasan hukum
yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas bagi pengembangan perbankan
syari’ah di Indonesia. Perundang-undangan tersebut memberi kesempatan yang
luas untuk pengembangan jaringan perbankan Islam antara lain melalui izin
pembukaan kantor cabang syari’ah (KCS) oleh bank konvensional. Dengan kata
lain, bank umum dimungkinkan untuk menjalankan kegiatan usahanya secara
konvensional dan sekaligus dapat melakukannya berdasarkan prinsip syari’ah.[12]
Selain itu, UU No. 13 tahun 1999 tentang Bank Indonesia juga mengizinkan BI
mempersiapkan perangkat peraturan atau fasilitas-fasilitas penunjang yang
mendukung operasional bank Islam. Kedua UU tersebut di atas menjadi dasar
hukum penerapan Dual Banking System di Indonesia. DBS yang dimaksud adalah
terselenggaranya dua sistem perbankan (konvensional dan syari’ah) secara
berdampingan dalam melayani perekonomian nasional yang pelaksanaannya diatur
dalam berbagai peraturan yang berlaku.[13]

Produk-produk Perbankan Syari’ah Berdasarkan Prinsip Jual-Beli


1. Bai’ al-Murabahah dan Bai’ bi Saman Ajil
Terdapat beberapa istilah yang kadang-kadang dicampurbaurkan satu sama lain
atau bahkan dikacaukan pemakaiannya dan bukan hanya sekedar sinonim, yaitu
bai’ al-muajjal, bai’ al-murabahah dan bai’ bi saman ajil. Di Indonesia digunakan
istilah bai’ al-murabahah dan bai’ bi saman ajil. Kedua istilah ini dibedakan di
mana yang pertama dimaksudkan pembiayaan dalam bentuk jual-beli berdasarkan
harga pokok ditambah margin keuntungan dengan pembayaran dibelakang
sekaligus. Sedangkan yang kedua dimaksudkan pembiayaan dalam bentuk jual-beli
berdasarkan harga pokok ditambah margin keuntungan dengan pembayaran di
belakang juga, tetapi secara mencicil dan tidak sekaligus.[14]
Kedua macam transaksi tersebut disebut dengan nama bai’ al-muajjal (jual beli
dengan pembayaran di belakang), sehingga dengan demikian bai’ al-muajjal
mencakup bai’ al-murabahah dan bai’ bi saman ajil. Hal ini karena kedua jenis
pembiayaan tersebut, menurut yang berlaku di Indonesia, pembayarannya di
belakang. Perbedaannya hanya pada secara sekaligus atau mencicil. Jadi, bai’ bi
saman ajil merupakan second derivation/pengembangan dari murabahah. Hal ini
tampak jelas dari unsur waktu pembayarannya.[15]
Akad bai’ al-murabahah juga mirip (tidak sama) dengan akad Kredit Modal Kerja
yang biasa diberikan oleh bank konvensional, dan karenanya pembiayaan al-
murabahah berjangka waktu di bawah satu tahun (short run financing).[16]
Dasar hukum yang dijadikan sebagai landasan murabahah adalah merujuk pada
dasar hukum jual-beli :
[17]” ‫”وأحل اللة البيع وحرم الربا‬
Dalam hadis Rasulullah juga ditegaskan :
” ‫ البيع إلى أجل والمقارضة وخلط البر بالشعير للبيت ال للبيع‬:‫“ ثالث فيهن البركة‬
Operasionalisasi produk ini di Indonesia didasarkan atas fatwa DPS BMI No.
BMI-16/FAT-DPS/XI/96 tentang pembiayaan murabahah, tertanggal 27
Nopember 1996 M atau bertepatan 16 Rajab 1417 H. Fatwa ini ditandatangani oleh
DPS BMI, terdiri atas KH. Hasan Basri (ketua merangkap anggota), KH. Ali Yafie
(anggota), Drs. KH. Ahmad Azhar Basyir, MA. (anggota), Prof. KH. Ibrahim
Hossen (anggota) dan Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab (anggota). Pertimbangan
ekonomis yang dipakai adalah bahwa masyarakat pengusaha banyak yang
memerlukan bantuan penyaluran dana dari bank berdasarkan pada prinsip jual-beli
untuk mendukung modal kerja yang diperlukan guna melangsungkan dan
meningkatkan produksi. Adapun pertimbangan legal-yuridisnya adalah UU No. 7
tahun 1992 tentang perbankan dan PP No. 72 tahun 1992 tentang bank bagi hasil.
Secara teknis, akad bai’ al-murabahah tersebut terlaksana dengan kedatangan
nasabah ke bank syari’ah dan mengajukan permohonan Pembiayaan al-
Murabahah untuk pembelian suatu barang dan menyatakan kesanggupan untuk
membeli barang tersebut. Setelah melihat kelayakan nasabah untuk menerima
fasilitas pembiayaan tersebut, maka bank menyetujui permohonannya. Bank
kemudian membelikan atau menunjuk nasabah sebagai agen bank untuk membeli
barang yang diperlukannya atas nama bank dan menyelesaikan pembayaran harga
barang dari biaya bank. Bank seketika itu juga menjual barang tersebut kepada
nasabah pada tingkat harga yang disetujui bersama (yang terdiri dari harga
pembelian ditambah mark-up atau margin keuntungan) untuk dibayar dalam jangka
waktu yang telah disetujui bersama. Dan pada waktu jatuh tempo, nasabah
membayar harga jual barang yang telah disetujui tersebut kepada bank.[18]
Adapun rukun bai’ al-murabahah di dalam perbankan sama dengan rukun jual-beli
dalam kitab fiqih dan hanya dianalogkan dalam praktek perbankan, yaitu:
1. Penjual (al-bai’) dianalogkan sebagai bank;
2. Pembeli (al-musytari) dianalogkan sebagai nasabah;
3. Barang yang akan diperjual belikan (al-mabi’), yaitu jenis barang
pembiayaan;
4. Harga (al-saman) dianalogkan sebagai pricing atau plafond pembiayaan;
5. Ijab dan qabul dianalogkan sebagai akad atau perjanjian, yaitu pernyataan
persetujuan yang dituangkan dalam akad perjanjian.[19]
Sedangkan syarat-syaratnya disesuaikan dengan kebijakan bank syari’ah yang
bersangkutan, yang pada umumnya persyaratan menyangkut barang yang
diperjual-belikan, harga dan ijab-qabul.[20]
Bai’ al-murabahah dapat dilakukan secara pemesanan dengan cara janji untuk
melakukan pembelian (al-wa’d bi al-bai’). Janji pemesan untuk membeli barang
dalam bai’ al-murabahah bisa merupakan janji yang mengikat, bisa juga tidak.
Para ulama klasik bersepakat bahwa pemesan tidak boleh diikat untuk memenuhi
kewajiban membeli barang yang telah dipesan itu disertai alasan secara rinci
mengenai pelarangan tersebut. Akan tetapi beberapa ulama kontemporer
berpendapat bahwa janji untuk membeli barang tersebut bisa mengikat pemesan.
Hal ini demi menghindari “kemadharatan”. Terlebih lagi bila nasabah bisa “pergi”
begitu saja akan sangat merugikan pihak bank atau penyedia barang.[21]
Dalam hal ini, pembeli dibolehkan meminta pemesan membayar uang muka atau
tanda jadi (arboun dalam istilah beberapa bank Islam) saat menandatangani
kesepakatan awal pemesanan. Uang muka adalah jumlah yang dibayar oleh
pemesan yang menunjukkan bahwa ia bersungguh-sungguh atas pesanannya
tersebut. Adapun uang muka akan diperhitungkan sesuai besar kerugian aktual
pembeli. Bila kemudian pemesan menolak untuk membeli aset tersebut, biaya riil
pembeli harus dibayar dari uang muka. Bila nilai uang muka tersebut lebih sedikit
dari kerugian yang harus ditanggung pembeli, pembeli dapat meminta kembali sisa
kerugiannya pada pemesan. Sedangkan bila uang muka melebihi kerugian, pembeli
(penerima pesanan) harus mengembalikan kelebihan itu kepada pemesan.
Untuk menjaga agar pemesan tidak main-main dengan pesanan maka
diperbolehkan meminta jaminan. Si pembeli (penyedia pembiayaan/bank) dapat
meminta pemesan (pemohon/nasabah) suatu jaminan (rahn) untuk dipegangnya.
Dalam teknis operasionalnya, barang-barang yang dipesan dapat menjadi salah satu
jaminan yang bisa diterima untuk pembayaran hutang.[22]
Murabahah dengan pemesanan umumnya dapat diterapkan pada produk
pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi, baik domestik maupun luar
negeri, seperti melalui letter of credit (L/C). Skema ini paling banyak digunakan
karena sederhana dan tidak terlalu asing bagi yang sudah biasa bertransaksi dengan
dunia perbankan pada umumnya. Kalangan perbankan syari’ah di Indonesia
banyak menggunakan al-murabahah secara berkelanjutan (roll over/evergreen)
seperti untuk modal kerja. Padahal sebenarnya, al-murabahah adalah kontrak
jangka pendek dengan sekali akad (one short deal). Al-murabahah tidak tepat
diterapkan untuk skema modal kerja. Tetapi mudarabah lebih sesuai untuk skema
tersebut. Hal ini mengingat prinsip mudarabah memiliki fleksibilitas yang sangat
tinggi.[23]
Sesuai dengan sifat bisnis (tijarah), transaksi bai’ al-murabahah memiliki
beberapa manfaat, demikian juga resiko yang harus diantisipasi. Bai’ al-
murabahah memberi banyak manfaat kepada bank syari’ah. Salah satunya adalah
adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga
jual kepada nasabah. Selain itu, sistem bai’ al-murabahah juga sangat sederhana.
Hal tersebut memudahkan penanganan administrasinya di bank syari’ah.[24] Di
antara kemungkinan resiko yang harus diantisipasi antara lain adalah default atau
kelalaian, fluktuasi harga komparatif, penolakan nasabah, dijual nasabah.[25]
2. Bai’ as-Salam
Adalah pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan
pembayaran dilakukan di muka.
Landasan syari’ah transaksi bai’ al-salam adalah :
1. “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”.[26]
2. “Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan
takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang
diketahui”.[27]
3. Berkata Ibn Mudhir bahwa semua pakar ilmu yang saya ketahui telah
berkonsensus keabsahan al-salam karena kebutuhan manusia terhadapnya.[28]
Pelaksanaan bai’ al-salam harus memenuhi sejumlah rukun berikut ini :
a) Muslam atau pembeli;
b) Muslam ilaih atau penjual;
c) Modal atau uang;
d) Muslam fih atau barang;
e) Sighat atau ucapan.[29]
Di samping segenap rukun harus terpenuhi, bai’ al-salam juga mengharuskan
tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun. Dan yang terpenting
adalah tentang modal dan barang. Syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam modal
bai’ al-salam adalah barang yang akan disuplai harus diketahui jenis, kualitas dan
jumlahnya dan pembayaran harus dilakukan di tempat kontrak.[30]
Sedangkan di antara syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam muslam fih atau
barang yang ditransaksikan adalah harus spesifik dan dapat diketahui sebagai
utang, harus bisa diidentifikasikan secara jelas, penyerahan dilakukan di kemudian
hari, tempat penyerahan barang harus disepakati, dan sebagainya.[31]
Bai al-salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka
waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Juga dapat diaplikasikan pada
pembiayaan barang industri, misalnya produk garmen (pakaian jadi) yang ukuran
barang tersebut sudah dikenal umum. Bai’ al-salam juga bisa terjadi secara pararel,
yaitu melaksanakan dua transaksi antara bank dan nasabah, dan antara bank dan
pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya secara simultan.[32]
Manfaat bai’al-salam adalah selisih harga yang didapat dari nasabah dengan harga
jual kepada pembeli.
3. Bai’ al-Istishna’
Merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak
ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu
berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut
spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua
belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran; apakah pembayaran
dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada
masa yang akan datang. Menurut jumhur fuqaha –Malikiah, Syi’ah dan
Hanbaliah–, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari akad bai’ al-
salam. Biasanya, jenis ini dipergunakan di bidang manufaktur. Dengan demikian,
ketentuan bai’ al-istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’ al-salam.[33]
Secara umum, landasan syari’ah yang berlaku pada bai’ al-salam juga berlaku
pada bai’ al-istishna’. Sungguhpun demikian, para ulama membahas lebih lanjut
“keabsahan” bai’ al-istishna’. Menurut mazhab Hanafi, bai’ al-istishna’ termasuk
akad yang dilarang karena bertentangan dengan semangat bai’ secara qiyas.
Mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada
dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istishna’, pokok kontrak itu belum ada
atau tidak dimiliki penjual. Meskipun demikian, mazhab Hanafi menyetujui
kontrak istishna’ atas dasar istihsan.[34]
Sebagian fuqaha kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-istishna’ adalah sah atas
dasar qiyas dan aturan umum syari’ah karena itu memang jual-beli biasa dan si
penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Demikian
juga kemungkinan terjadi perselisihan atas jenis dan kualitas barang dapat
diminimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan
material pembuatan barang tersebut.
Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat
menggunakan subkontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan
demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi
kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak baru ini dikenal sebagai istishna’
paralel.[35]
Bai’ al-istishna’ dapat diterapkan dalam (1) pengadaan barang dan (2) pembiayaan
impor. Hal ini hampir serupa dengan murabahah, hanya saja dalam istishna’, bank
memesan suatu barang tertentu dari produsen atas nama nasabah, manakala
murabahah bank membeli atas pesanan nasabah.[36]

Analisa Terhadap Perkembangan Perbankan Syari’ah dan Aplikasi Produk-produk Berdasarkan Prinsip
Jual-Beli

Perbankan syari’ah yang telah diperkenalkan kepada masyarakat sejak tahun 1992
hingga saat ini belum menunjukkan pertumbuhan sebagaimana yang diharapkan.
Perkembangan perbankan syari’ah di Indonesia masih pada tahap awal. Hal ini
ditunjukkan dengan populasi yang masih kecil, yaitu satu bank umum syari’ah dan
77 bank perkreditan rakyat syari’ah (BPRS) dibandingkan dengan populasi bank
konvensional sejumlah 208 bank umum dan 2.231 bank perkreditan rakyat (BPR).
Dari jumlah 77 BPRS tersebut, diperkirakan sekitar 30 % dalam kondisi baik,
selebihnya memerlukan perhatian dan penanganan yang serius untuk
kelangsungannya.[37] Sedangkan bait al-mal wa al-tamwil (BMT) menunjukkan
pertumbuhan yang cukup baik, dari mulai hanya satu BMT di tahun 1992, kini
BMT telah mencapai jumlah 1.957 BMT yang tersebar di hampir seluruh propinsi
di Indonesia.
Hadirnya bank syari’ah dewasa ini menunjukkan kecenderungan yang semakin
baik. Produk-produk yang dikeluarkan bank syari’ah cukup bervariatif sehingga
mampu memberikan pilihan/alternatif bagi calon nasabah untuk memanfaatkannya.
Berdasarkan survey yang pernah dilakukan, kebanyakan bank syari’ah masih
mengedepankan produk dengan akad jual-beli, di antaranya adalah murabahah
dan bai’ bi saman ajil (murabahah investasi). Bahkan produk murabahah
merupakan produk yang paling banyak digunakan selama ini. Hal ini, mungkin,
karena pertimbangan resiko dan keuntungan yang akan diperoleh bank syari’ah.
Dengan murabahah, resiko yang mungkin dialami bank syari’ah sangat kecil dan
bank juga tidak tahu tentang untung dan rugi nasabah. Sedangkan bila
menggunakan produk mudarabah (sistem bagi hasil), maka resiko yang mungkin
dialami bank syari’ah sangat tinggi dan rentan terhadap kemungkinan bahaya
moral. Karena bank syari’ah berasumsi bahwa semua orang adalah jujur sehingga
bank rawan berhadapan dengan orang yang beri’tikad kurang baik. Di samping itu,
perhitungan-perhitungan dalam produk mudarabah (sistem bagi hasil) lebih rumit
bila dibandingkan perhitungan dalam bank konvensional, sehingga dibutuhkan
tenaga profesional yang betul-betul handal. Padahal, selama ini kebanyakan tenaga
profesional yang dimiliki bank syari’ah diambil dari bank konvensional yang
masih terkonstruk perhitungan dengan sistem bunga.[38]
Dalam dunia modern, istilah bai’ al-murabahah sudah merupakan perluasan dari
pengertiannya yang klasik.[39] Istilah murabahah digunakan untuk mengacu pada
suatu kesepakatan yang di dalamnya pembelian barang oleh bank dikehendaki
konsumennya yang membutuhkan barang tersebut dan kemudian menjual barang
tersebut kepada konsumen dengan harga yang disepakati dengan memberikan
keuntungan tertentu kepada bank. Pembayaran dilakukan oleh konsumen dalam
kurun waktu yang ditentukan dengan cara kredit/tunai. Perjanjian semacam ini oleh
Sami Hamud disebut bai’ al-murabahah li al-amir bi al-syira’ (penjualan dengan
keuntungan marginal yang disepakati kepada seseorang yang memesan barang
tersebut). Belakangan ini lebih dikenal dengan sebutan murabahah.[40]
Dalam praktek/realisasi produk bai’ al-murabahah –pembayaran tempo dengan
sekaligus/langsung lunas— di lapangan/perbankan syari’ah tidak ada. Yang ada
adalah murabahah yang pembayarannya dilakukan secara kredit/cicilan
(murabahah yang bai’ bi saman ajil). Atau, murabahah yang dimodifikasi dalam
istilah Sami Hamud. Jadi, dalam prakteknya, murabahah disamakan dengan bai’
bi saman ajil yang notabenenya kurang banyak diminati. Di samping itu, dalam
prakteknya, tenaga pelaksana di lapangan biasanya enggan menerangkan seluk-
beluk dan landasan fiqh murabahah atau bisa jadi menganggap calon nasabah telah
paham. Karena itu, murabahah disimplikasi dalam satu rangkaian kalimat pendek,
“margin kami 20 % per tahun”.[41] Dan dalam prakteknya, sistem perhitungan
dalam penetapan jasa bank masih mengacu dan disesuaikan dengan standar bunga
pada bank konvensional dan belum memiliki standard perhitungan baku yang
otonom dan mandiri. Tentu saja banyak masyarakat yang mengira bank syari’ah
sekedar mengganti istilah bunga dengan margin. Atau dengan kata lain, siasat
bunga bank yang dibungkus dengan prinsip-prinsip syari’ah.
Sedangkan untuk meminimalisir –bahkan menghilangkan– kesenjangan antara
konsep dan praktek dalam realitas, khususnya dalam produk murabahah, maka
perbankan syari’ah harus benar-benar istiqamah dalam menerapkan/merealisasikan
produk-produk yang ditawarkan kepada para nasabah sesuai dengan konsep-
konsep yang ada. Di samping itu sosialisasi produk-produk yang ada lebih
ditingkatkan, misalnya dengan promosi. Dalam hal ini, peran ulama dan
cendekiawan muslim juga sangat diperlukan dalam memberikan wawasan dan
pemahaman tentang produk-produk tersebut kepada masyarakat luas yang masih
awam tentang operasionalisasi dan mekanisme perbankan syari’ah.
Dan yang tidak kalah penting, perbankan syari’ah harus memiliki standar sistem
perhitungan dalam penetapan jasa bank tanpa harus bergantung pada standar dalam
perhitungan bunga. Oleh karena itu, penentuan besarnya mark-up dalam
murabahah harus mengacu pada perhitungan besarnya keuntungan yang diperoleh
nasabah yang menjalankan transaksi murabahah, bukan mengacu pada suku bunga
dalam bank konvensional.
Banyak orang yang menyamakan bai’ al-salam dengan ijon, padahal terdapat
perbedaan besar di antara keduanya. Dalam ijon, barang yang dibeli tidak diukur
atau ditimbang secara jelas dan spesifik. Demikian juga penetapan harga beli
sangat bergantung kepada keputusan sepihak si tengkulak yang seringkali sangat
dominan dan menekan petani yang posisinya lebih lemah. Adapun transaksi bai’
al-salam mengharuskan adanya pengukuran dan spesifikasi barang yang jelas dan
adanya keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak.[42] Di sisi lain, banyak pula
yang salah dalam membedakan bai’ al-salam dengan bai’ al-istishna’, padahal
keduanya mempunyai perbedaan yang jelas.[43]
Penutup
Demikianlah pembahasan makalah yang dapat penulis lakukan. Saran yang solutif
dan kritik yang konstruktif sangat diperlukan dalam rangka perbaikan dan
penyempurnaan makalah ini. Wa Allah al-Muwaffiq ila Aqwam ath-Thariq.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Amrullah dkk., Hukum Islam di Indonesia : perspektif Muhammadiyyah
dan NU (Jakarta : Universitas Yarsi, 1999).

A. Karim, Adiwarman, Ekonomi Islam : Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta :


Gema Insani Press, 2001), cet. I.

Antonio, M. Syafi’i Bank Syari’ah : Dari Teori Ke Praktik (Jakarta : Gema Insani
Press, 2001), cet. III.

Arifin, Zainul, Memahami Bank Syari’ah : Lingkup, Peluang, Tantangan dan


Prospek (Jakarta : Alvabet, 1999).

Aziz, M. Amin, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia (Jakarta : Bangkit,


1992).

Bank Indonesia, Perbankan Syari’ah Nasional dan Pengembangan.

Basyaib, Hamid & Mursyidi Prihantono (Ed.), Bank Tanpa Bunga (Yogyakarta :
Mitra Gama Widya, 1993), cet. I.

Chapra, M. Umer, Al-Qur’an Menuju Sistem Moneter Yang Adil, terj. Lukman
Hakim (Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1997).

Hendry, Arrison, Perbankan Syari’ah : Perspektif Praktisi (Jakarta : Mu’amalat


Institute, 1999).

Karim, M. Rusli (Ed.), Berbagai Aspek Ekonomi Islam (Yogyakarta : Tiara


Wacana Yogya, 1992), cet. I.

al-Kasani, ‘Ala’ al-Din Abu Bakr Ibn Mas’ud, Badai’ al-Sanai’ fi Tartib al-
Syarai’ (Beirut : Dar al-Fikr, 1996), cet. I, juz V.
Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Islam (Yogyakarta : UII
Press, 2000), cet. I.

Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Bank Bagi Hasil (Jakarta : Biro Penelitian
dan Pengembangan Perbankan Islam Bank Indonesia, 1992), cet. II.

Perwataatmadja, Karnaen A., ”Peluang dan Strategi Bank Tanpa Bunga Dengan
Sistem Bagi Hasil (BTBSBH) Dalam Bisnis Perbankan di Indonesia”, dalam
Hamid Basyaib & Mursyidi Prihantono (Ed.), Bank Tanpa Bunga (Yogyakarta :
Mitra Gama Widya, 1993), cet. I.
———————————–, “Peluang dan Strategi Operasional Bank Muamalat
Indonesia”, dalam M. Rusli Karim (Ed.), Berbagai Aspek Ekonomi Islam
(Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1992), cet. I.

Sambutan Menteri Keuangan dengan disetujuinya rancangan UU tentang


perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, dalam UU perbankan
(Jakarta : Sinar Grafika, 1999), cet. 2.

al-San’ani, Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam : Syarh Bulug al-
Maram min Adillat al-Ahkam (Beirut: Dar al-Fikr, t. t.), juz III.

Sumitro, Warkum, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait


(BMUI & Takaful) di Indonesia (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1996), cet. I.

Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah : Dasar, Metoda dan Teknik


(Bandung : Tarsito, 1990).

al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh (Damaskus : Dar al-Fikr, 1997),


cet. IV, h. 3604.

[1] M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori Ke Praktik (Jakarta : Gema
Insani Press, 2001), cet. III, h. 29-34.
[2] Ibid., h. 101.
[3] Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait
(BMUI & Takaful) di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), cet. I, h. 81
dan 112.
[4] Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metoda dan Teknik
(Bandung: Tarsito, 1990), h. 139.
[5] Karnaen A. Perwataatmadja dan M. Syafi’i Antonio, Apa dan. Bagaimana
Bank Islam (Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1999), cet. III, h. 1-2.
[6] Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan…, h. 5.
[7] M. Amin Aziz, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia (Jakarta : Bangkit,
1992).
[8] M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah…, h. 25.
[9] Ibid.
[10] Zainul Arifin, Memahami Bank Syari’ah : Lingkup, Peluang, Tantangan dan
Prospek (Jakarta : Alvabet, 1999), h. 10.
[11] Amrullah Ahmed dkk., Hukum Islam di Indonesia : Perspektif
Muhammadiyyah dan NU (Jakarta : Universitas Yarsi, 1999), h. 188-189.
[12] Lihat Sambutan Menteri Keuangan dengan disetujuinya rancangan UU
tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, dalam UU perbankan
(Jakarta : Sinar Grafika, 1999), cet. 2, h. 2-3.
[13] Bank Indonesia, Perbankan Syari’ah Nasional dan Pengembangan, h. 1-2.
[14] Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Bank Bagi Hasil (Jakarta : Biro
Penelitian dan Pengembangan Perbankan Islam Bank Indonesia, 1992), cet. II, h.
4-5 dan 12-13; Karnaen Perwataatmadja dan M. Syafi’i Antonio, Apa dan…, h. 25-
28 dan 106.
[15] Karnaen A. Perwataatmadja dan M. Syafi’i Antonio, Apa dan…, h. 28.
[16] Ibid., h. 25 dan Warkum Sumitro, Asas-asas…, h. 93.
[17] Q. S. al-Baqarah: 275.
[18] Karnaen Perwataatmadja & M. Syafi’i Antonio, Apa dan…, h. 25-26.
[19] Lihat Arrison Hendry, Perbankan Syari’ah: Perspektif Praktisi (Jakarta :
Mu’amalat Institute, 1999), h. 43.
[20] Ibid.
[21] M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah…, h. 103-104.
[22] Ibid., h. 104-105.
[23] Ibid., h. 106.
[24] Ibid., h. 106-107.
[25] Ibid.
[26] Q. S. al-Baqarah : 282.
[27] H. R. al-Sittah dari Ibn ‘Abbas.
[28] Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Islam (Yogyakarta : UII
Press, 2000), cet. I, h. 32.
[29] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh (Damaskus : Dar al-Fikr,
1997), cet. IV, h. 3604.
[30] M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah…, h. 109.
[31] Ibid., h. 109-110.
[32] Ibid., h. 110-112.
[33] ‘Ala’ al-Din Abu Bakr Ibn Mas’ud al-Kasani, Badai’ al-Sanai’ fi Tartib al-
Syarai’ (Beirut : Dar al-Fikr, 1996), cet. I, juz V, h. 335.

[34] Ibid., h. 114 dan Muhammad, Sistem…, h. 33.


[35] Ibid., h. 115.
[36] Muhammad, Sistem…, h. 33-34.
[37] Zainul Arifin, Memahami…, h. 133.
[38] Karnaen A. Perwataatmadja,” Peluang dan Strategi Bank Tanpa Bunga
Dengan Sistem Bagi Hasil (BTBSBH) Dalam Bisnis Perbankan di Indonesia”,
dalam Hamid Basyaib & Mursyidi Prihantono (Ed.), Bank Tanpa Bunga
(Yogyakarta: Mitra Gama Widya, 1993), cet. I, h. 20-21 dan Karnaen A.
Perwataatmadja, “Peluang dan Strategi Operasional Bank Muamalat Indonesia”,
dalam M. Rusli Karim (Ed.), Berbagai Aspek Ekonomi Islam (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1992), cet. I, h. 143-145.
[39] Arrison Hendry, Perbankan…, h. 43.
[40] M. Umer Chapra, Al-Qur’an Menuju Sistem Moneter Yang Adil, terj. Lukman
Hakim (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), h. 148.
[41] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam : Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta :
Gema Insani Press, 2001), cet. I, h. 90.
[42] Ibid., h. 92-94 dan M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah…, h. 111.
[43] M. Syafi’i Antonio, Ibid.

Anda mungkin juga menyukai