Anggota kelompok :
Tivany rakasetti (1810105116)
Nanda pramuditya p k p (1810105122)
Hanindhita Hutami (1810105124)
Siti Nurjanah (1810105120)
1. Latar belakang
Spina bifida adalah salah satu gangguan penutupan neural tubeyang menyebabkan terjadinya
malformasi kongenital dan mempengaruhi sistem saraf. Spina bifida paling mungkin disebabkan
oleh multifaktorial, yang berarti bahwa beberapa penyebab (termasuk faktor genetik, gizi, dan/atau
lingkungan) memberikan kontribusi pada munculnya gangguan ini. Menurut beberapa studi,
kekurangan asam folat yang dikonsumsi ibu selama kehamilan merupakan salah satu faktor yang
mengontribusi munculnya spina bifida.3
Spina bifida mielomeningokel atau meningokel sangat umum ditemukan di regio
lumbosakral.Berdasarkan tingkat keparahan spina bifida dan keterlibatan saraf tepi dan saraf tulang
belakang, dapat terjadi kelemahan ekstremitas bawah, dislokasi panggul, gangguan buang air kecil
dan buang air besar karena gangguan saraf yang menyebabkan retensi pada kandung kencing dan
ususyang disebut neurogenic bladder dan neurogenic bowel. Permasalahan lanjutan yang dapat
muncul adalah infeksi saluran kemih (ISK) berulang, refluks vesikoureter dan
hidronefrosis.4,5Sebuah penelitian cohort menyebutkan pasien dengan spina bifida tipe
mielomeningokel menghadapi konsekuensi fisik dan sosial yang serius sepanjang hidupnya dari
kecil hingga dewasa, meliputi paralisis, kurangnya sensasi kulit, kemungkinan pengucilan sosial
karena adanya gangguan BAK dan BAB serta banyak
dikaitkan dengan gangguan kognitif.6,7Dari 84 anak yang diikuti sampai minimal usia 20 tahun, 56%
pasien tidak mendapatkan pekerjaan pada usia produktif, 30% hidup sendiri (tidak menikah) dan
bergantung pada orang tua sampai meninggal, 31% harus selalu menggunakan kursi roda dalam
beraktivitas (pasien yang lesinya di L1-L3), 45% pasien mengalami dekubitus dan 4 orang di
antaranya harus diamputasi pada ekstremitasnya. 5 Hal ini tentu saja menimbulkan beban tersendiri
bagi pasien, orang tua dan negara karena seringnya kunjungan bahkan rawat inap di RS selama
hidup. Tindakan bedah penutupan meningokel dan mielomeningokel sedini mungkin sangat
diindikasikan. Manajemen suportif secara terintegrasi dan berkesinambungan sangat penting dalam
mencegah abnormalitas pada saluran kencing, kelainan ortopedi seperti kifosis dan skoliosis serta
kelemahan pada anggota gerak bawah.
Alasan diambilnya kasus ini sebagai kasus longitudinal adalah sebagai berikut:
- Pasien Anak APW yang terdiagnosis dengan spina bifida (tipe mielomeningokel),
penanganan morbiditas yang sudah terjadi saat ini juga kemungkinan morbiditas yang
b. Laporan kasus
Anak perempuan APW datang pertama kali ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP)
DR. Sardjito pada tanggal 14 November 2013 dengan keluhan nyeri saat buang air kecil, dan
merupakan pasien rujukan RSUD Wates dengan diagnosisISK berulang, anemia
mikrositikhipokromik. Pasien membawa hasil ultrasonografi (USG) yang menunjukkan
hidronefrosis ginjal kiri grade II-III dan sistitis (Gambar 1).
Gambar 1. Hasil USG traktus urinarius di RSUD Wates tanggal 13 November 2013
Riwayat penyakit keluarga dengan keluhan serupa yaitu keluhan demam disertai nyeri saat buang air
kecil pernah dialami oleh ibu pada tahun 2010, didiagnosis ISK dan mendapat terapi sampai
dinyatakan sembuh. Riwayat penyakit ginjal dan keganasan pada keluarga disangkal. Nenek dari ibu
terdiagnosis darah tinggi dan diabetes sejak 1 tahun terakhir.
Anak pernah dirawat di RSUD Wates beberapa kali dengan keluhan yang hampir sama yaitu demam
disertai dengan nyeri saat buang air kecil, didiagnosis dengan ISK dan anemia. Sejak 2 bulan
terakhir ibu mengamati anak cenderung bertambah kurus dan berat badan turun.
Gambar 4. Pemantauan berat badan anak pada KMS
Saat ini anak tinggal bersama kedua orang tua, kakek dan nenek dari ayah, buyut dari ayah dan
seorang paman dari ayah di rumah berukuran 10x7 m2, dengan 4 kamar tidur, ruang makan sekaligus
ruang keluarga di dalam rumah, dapur dan 1 kamar mandi di luar rumah. Pencahayaan dan ventilasi
cukup baik. Sumber air dengan sumur. Septik tank berada pada jarak >5 meter dari tempat
pembuangan. Tempat tinggal belum memenuhi kriteria rumah sehat. Ayah bekerja sebagai buruh
dan mendapat penghasilan Rp 700.000,00-Rp 900.000,00 per bulan untuk menghidupi satu keluarga.
Pemeriksaan fisik pada saat pasien diambil menjadi kasus adalah sebagai berikut. Keadaan umum
anak tidak tampak sakit berat, tampak kurus dan sadar penuh. Tanda vital dalam batas normal.
Pemeriksaan leher, dada, perut, ekstremitas dalam batas normal. Pada punggung bawah setinggi
sakrum terlihat bekas luka operasi untethered cord procedure, tidak ada tanda infeksi dan tidak nyeri.
Massa lunak mielomeningokel sudah tidak didapatkan. Pemeriksaan neurologis gerakan bebas di
ekstremitas atas dan bebas terbatas di ekstremitas bawah, kekuatan 5 di ekstremias atas dan 4 di
kedua ekstremitas bawah, tonus, trofi, reflex fisiologis positif, reflex patologis negatif di semua
ekstremitas. Pada mata ditemukan konjungtiva anemis, lidah tampak pucat dan terdapat atrofi papil.
Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan selama perawatan adalah:
2) Pemeriksaan urin rutin, menunjukkan hasil ISK (dengan adanya nitrit, leukosit esterase)
Tabel 1. Pemeriksaan darah rutin selama perawatan
Tanggal pemeriksaan
Parameter
14/11/13
Jumlah leukosit (/mmk) 7.970
Jumlah eritrosit (/uL) 4.590.000
Hemoglobin (g/dL) 7,3
Hematokrit (%) 25,3
Mean Corpuscular Volume (fl) 55,1
Mean Corpuscular Hemoglobin (pg) 15,9
Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (g/dL) 28,9
Jumlah trombosit (/mmk) 606.000
Neutrofil (%) 66,3
Limfosit (%) 20,1
Monosit (%) 13,2
hidronefrosis grade I-II dengan ureteractasis proksimal serta sistitis (gambar 5).
ureteractasis kiri, kecurigaan sistitis dengan filling defect di VU karena bekuan darah
grade IV-V (gambar 7). Hal ini menyokong adanya temuan kinis neurogenic bladderdan
lumbosakral bilateral.
Gambar 8. CT Scan lumbosacral
Selama perawatan di Sardjito dilakukan penanganan bersama antara bagian anak (sub divisi
neurologi, nefrologi, gizi dan penyakit metabolik, tumbuh kembang) dengan bagian terkait yaitu
bedah saraf dan bedah urologi. Pada tanggal 18 Desember 2013 dilakukan prosedur untethered cord
dan tutup defek spina bifida oleh bagian bedah saraf. Intervensi neurogenic bladder dari bedah
urologi masih dengan pemasangan kateter urin permanen, belum direncanakan tindakan pembedahan
untuk memasang DJ stent karena justru akan memperparah kondisi refluks pada anak. Anak
mendapatkan terapi antibiotik untuk ISK, besi elemental untuk ADB, manajemen nutrisi dan
fisioterapi.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, penunjang, dan diskusi dengan bagian bedah saraf serta
bagian urologi, diagnosis kerja anak saat akan dilakukan pemantauan adalah:
- spina bifida regio lumbosakral dengan tethered cord syndromepost unthethered cord
procedure
- infeksi saluran kemih(ISK) kompleks dengan hidronefrosis grade I-II dan neurogenic
3. Tujuan
Untuk memperdalam pengetahuan tentang spina bifida dan permasalahanpermasalahan multiorgan
yang mungkin timbul terkait dengan spina bifida serta memperoleh pengalaman dalam pengelolaan
spina bifida secara berkesinambungan dan terintegrasi dengan bagian yang terkait.
4. Manfaat
Manfaat untuk pasien adalah dengan adanya pemantauan secara berkesinambungan, permasalahan
yang mungkin timbul terkait dengan spina bifida dapat terdeteksi sedini mungkin, sehingga
intervensi dapat dilakukan seawal mungkin dan diharapkan dapat mencegah terjadinya morbiditas
lebih lanjut serta memberikan prognosis yang lebih baik.Manfaat untuk keluarga dan lingkungan
adalah mendapatkan informasi dan pemahaman secara menyeluruh tentang spina bifida dan kondisi
yang menyertai dan permasalahan yang mungkin terjadi pada anak, kewaspadaan dini terhadap
permasalahan yang mungkin timbul, tatalaksana dan prognosis anak sehingga dapat berperan aktif
(bersama dengan petugas kesehatan) dalam memantau pertumbuhan dan perkembangan anak di
semua aspek. Kasus ini diangkat sebagai kasus longitudinal, adalah merupakan bentuk kerjasama
antara petugas kesehatan dengan keluarga dalam melakukan pemantauan terhadap pertumbuhan,
perkembangan dan permasalahan yang mungkin timbul pada anak dengan spina bifida dan dalam
tatalaksananya.
Manfaat untuk peserta PPDS antara lain menambah pengetahuan tentang spina bifida dan kondisi
atau permasalahan yang sudah muncul pada pasien, kewaspadaan dini terhadap permasalahan yang
mungkin akan timbul pada pasien dengan spina bifida, bagaimana manajemen yang benar,
terintegrasi dan berkesinambungan serta bagaimana melakukan pemantauan terhadap petumbuhan
dan perkembangan pasien dengan spina bifida agar terhindar dari morbiditas dan mortalitas lebih
lanjut dan memiliki kualitas hidup yang lebih baik.
Manfaat bagi rumah sakit antara lain dengan melakukan pemantauan dan tatalaksana yang
terintegrasi dan berkesinambungan pada pasien spina bifida akan dapat meningkatkan mutu
pelayanan pasien di RSUP DR Sardjito. Penatalaksanaan yang terintegrasi dalam hal ini bagian anak
(sub divisi neurologi, nefrologi, gizi dan penyakit metabolik dan tumbuh kembang) dengan bagian
bedah saraf, bedah urologi dan tidak menutup kemungkinan bagian lain yang terkait akan menjadi
titik awal terbentuknya sebuah tim yang khusus bergerak dalam penatalaksanaan pasien dengan
spina bifida di RSUP DR Sardjito.