ATRIAL FIBRILASI
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Jantung dan Pembuluh Darah Rumah Sakit Umum Daerah
Disusun Oleh:
Muhammad Rusdi
Pembimbing:
Atrial fibrilasi (AF) merupakan aritmia yang paling sering ditemui dalam praktik
sehari-hari. Prevalensi AF mencapai 1-2% dan akan terus meningkat dalam 50 tahun
mendatang.[ CITATION Eur13 \l 1057 ] Framingham Heart Study yang merupakan suatu
studi kohort yang melibatkan 5209 subjek penelitian yang sehat menunjukkan bahwa
dalam periode 20 tahun, angka kejadian AF adalah 2,1% pada laki-laki dan 1,7% pada
perempuan. Sementara itu data dari studi observasional (MONICA: multinational
monitoring of trend and determinant in cardiovascular disease) pada populasi urban di
Jakarta menemukan angka kejadian FA sebesar 0,2% dengan rasio laki-laki dan
perempuan 3:2. Selain itu, berdasarkan estimasi WHO (world health organization)
terjadinya peningkatan persentase populasi usia lanjut di Indonesia yang signifikan
yaitu dari 7,74% menjadi 28,68% sehingga akan meningkat kejadian AF secara
signifikan juga.[ CITATION PER14 \l 1057 ]
Atrial Fibrilasi menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas seperti
stroke, gagal jantung dan penurunan kualitas hidup. Pasien dengan AF memiliki risiko
stroke 5 kali lebih tinggi dan risiko gagal jantung 3 kali lebih tinggi dibanding pasien
tanpa FA. Stroke merupakan salah satu komplikasi AF yang paling dikhawatirkan,
karena stroke yang diakibatkan oleh AF mempunyai risiko kekambuhan yang lebih
tinggi. Selain itu, stroke akibat AF ini mengakibatkan kematian dua kali lipat dan biaya
perawatan 1,5 kali lipat.[ CITATION Cam12 \l 1057 ]
Atrial Fibrilasi juga berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular lain seperti
hipertensi, gagal jantung, penyakit jantung koroner, hipertiroid, diabetes melitus,
obesitas, penyakit jantung bawaan seperti defek septum atrium, kardiomiopati, penyakit
ginjal kronis maupun penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Gagal jantung
simtomatik dengan kelas fungsional New York Heart Association (NYHA) II sampai IV
dapat terjadi pada 30% pasien AF, namun sebaliknya AF dapat terjadi pada 30-40%
pasien dengan gagal jantung tergantung dari penyebab dari gagal jantung itu sendiri.
Atrial Fibrilasi dapat menyebabkan gagal jantung melalui mekanisme peningkatan
tekanan atrium, peningkatan beban volume jantung, disfungsi katup dan stimulasi
neurohormonal yang kronis. Distensi pada atrium kiri dapat menyebabkan FA seperti
1
yang terjadi pada pasien penyakit katup jantung dengan prevalensi sebesar 30% dan 10-
15 % pada defek septal atrium. Sekitar 20% populasi pasien FA mengalami penyakit
jantung koroner meskipun keterkaitan antara FA itu sendiri dengan perfusi koroner
masih belum jelas.[ CITATION Iss12 \l 1057 ]
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
sel itu sendiri hingga threshold voltage dalam sifat yang ritmis dan berulang sehingga
potensial aksi spontan terbentuk. Walaupun sel atrium dan ventrikel tidak memiliki
kemampuan tersebut dalam kondisi normal, beberapa sel dalam sistem konduksi khusus
memiliki automatisasi alami dan sehingga dinamakan sebagai pacemaker cells. Sistem
konduksi tersebut meliputi nodus sinoatrial (SA), nodus atrioventricular (AV) dan
sistem konduksi ventrikel yang terdiri dari bundle of His, bundle branches dan serabut
Purkinje. Pada keadaan patologis, sel jantung diluar sistem konduksi menjadi dapat
memiliki kemampuan automatisasi tersebut. Berikut adalah kurva yang menunjukkan
terjadinya potensial aksi pada sel pacemaker.[ CITATION Rei16 \l 1057 ]
Gambar 2.2 Potensial Aksi dari Sel Pacemaker.[ CITATION Lil11 \l 1057 ]
4
Gambar 2.3 Efek Stimulasi β-adrenergik dan Kolinergik pada Pergerakan Ion
Kalsium dalam Sel Miokard.[ CITATION Kha16 \l 1057 ]
5
pembentukan impuls, faktor lain yang mempergaruhi takiaritmia adalah perubahan
konduksi impuls yang meliputi peristiwa reentry. Pada irama reentry impuls listrik
bersirkulasi berulang-ulang kali pada jalur reentry dan kembali mendepolarisasi area
jantung tersebut. [ CITATION Kha16 \l 1057 \m Bos18]
Gambar 1.5 di atas menjelaskan bahwa jika konduksi yang melalui jalur
retrograde bersifat lambat maka impuls akan mencapai point x setelah jalur α
recovered. Pada kondisi tersebut impuls dapat mengeksitasi kembali jalur α dan
lingkaran reentry terbentuk. Pada kondisi normal impuls yang melewati lintasan multipe
α dan β akan saling menetralkan. Bila terdapat unidirectional block impuls tidak akan
melewati lintasan β dari arah anterograde tapi bisa melewati lintasan α dari arah
retrograde dengan kecepatan yang lebih rendah akibatnya lintasan α telah
menyelesaikan repolarisasinya sehingga impuls dari lintasan β dapat melalui lintasan α
yang disebut dengan sirkuit reentry. Selain reentry, perubahan konduksi impuls dapat
6
berupa conduction block. Conduction block pada sistem konduksi meliputi nosud AV
atau sistem His-Purkinje menyebabkan hantaran impuls normal dari nodus SA ke
daerah distal tidak normal.[ CITATION Lil11 \l 1057 ] Pada makalah ini hanya dibahas
mengenai Atrial Fibrillasi yang merupakan salah satu gangguan irama jantung cepat
yang disebabkan oleh peningkatan automatisitas dan/atau peristiwa reentry. Gangguan
irama jantung lainnya tidak dibahas dalam makalah ini.
7
Gambar 2.6 Gambaran Elektrokardiogram Atrial Fibrilasi.[ CITATION Lil11 \l 1057 ]
Ciri-ciri AF pada gambaran EKG umumnya sebagai berikut:[ CITATION Eur12 \l 1057 ]
1. EKG permukaan menunjukkan pola interval RR yang ireguler,
2. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas pada EKG permukaan. Kadang-
kadang dapat terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada beberapa sadapan
EKG, paling sering pada sadapan V1,
3. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya bervariasi,
umumnya kecepatannya melebihi 450x/ menit.
2.2.2 Klasifikasi
Secara klinis FA dapat dibedakan menjadi lima jenis menurut waktu presentasi
dan durasinya, yaitu:[ CITATION The14 \l 1057 ]
1. AF yang pertama kali terdiagnosis. Jenis ini berlaku untuk pasien yang pertama
kali datang dengan manifestasi klinis AF, tanpa memandang durasi atau berat
ringannya gejala yang muncul,
2. AF paroksismal adalah AF yang mengalami terminasi spontan dalam 48 jam,
namun dapat berlanjut hingga 7 hari,
3. AF persisten adalah AF dengan episode menetap hingga lebih dari 7 hari atau
AF yang memerlukan kardioversi dengan obat atau listrik,
4. AF persisten lama (long standing persistent) adalah AF yang bertahan hingga ≥1
tahun, dan strategi kendali irama masih akan diterapkan,
8
5. AF permanen merupakan AF yang ditetapkan sebagai permanen oleh dokter
(dan pasien) sehingga strategi kendali irama sudah tidak digunakan lagi. Apabila
strategi kendali irama masih digunakan maka AF masuk ke kategori AF
persisten lama.
Selain dari 5 kategori yang disebutkan diatas, yang terutama ditentukan oleh
awitan dan durasi episodenya, terdapat beberapa kategori FA tambahan menurut ciri-ciri
dari pasien:
1. AF sorangan (lone): AF tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular lainnya,
termasuk hipertensi, penyakit paru terkait atau abnormalitas anatomi jantung
seperti pembesaran atrium kiri, dan usia di bawah 60 tahun,
2. AF non-valvular: AF yang tidak terkait dengan penyakit rematik mitral, katup
jantung protese atau operasi perbaikan katup mitral,
3. AF sekunder: AF yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi pemicu AF,
seperti infark miokard akut, bedah jantung, perikarditis, miokarditis,
hipertiroidisme, emboli paru, pneumonia atau penyakit paru akut lainnya.
Sedangkan AF sekunder yang berkaitan dengan penyakit katup disebut AF
valvular.
9
Gambar 2.7 Klasifikasi dan Definisi Atrial Fibrilasi.[ CITATION The14 \l 1057 ]
Respon ventrikel terhadap AF, sangat tergantung pada sifat elektrofisiologi dari
NAV dan jaringan konduksi lainnya, derajat tonus vagal serta simpatis, ada atau
tiadanya jaras konduksi tambahan dan reaksi obat. Berdasarkan kecepatan laju respon
ventrikel (interval RR) maka AF dapat dibedakan menjadi:[ CITATION Wan11 \l 1057 ]
1. FA dengan respon ventrikel cepat: Laju ventrikel >100x/ menit,
2. FA dengan respon ventrikel normal: Laju ventrikel 60 -100x/menit,
3. FA dengan respon ventrikel lambat: Laju ventrikel <60x/menit.
10
B
C
Gambar 2.8 Rekaman Elektrokardiogram dengan Respon Ventrikel Normal (A),
Respon Ventrikel Cepat (B) dan Respon Ventrikel Lambat (C).[ CITATION PER14 \l 1057 ]
2.2.3 Epidemiologi
Studi dari The Global Burden of Disease (GBD) memperkirakan jumlah
penderita AF di seluruh dunia sebanyak 0,5% yang merefleksikan sebanyak 33,5 juta
individu.[ CITATION Chu14 \l 1057 ] Penderita terbanyak adalah ras Kaukasian yang
tersebar di Eropa dan Amerika Utara. Dari studi tersebut risiko AF meningkat 2% pada
populasi dewasa dan sekitar 10% pada kelompok usia > 80 tahun. Populasi AF terus
bertambah terutama di Eropa seiring waktu yang didapatkan dari studi Firminham dan
studi Copenhagen City, namun perubahan tersebut tidak terjadi pada jenis kelamin
wanita. Di Amerika Serikat terdapat 6 juta individu yang menderita AF pada tahun 2010
bertambah menjadi 12 juta individu pada tahun 2030, sedangkan di Eropa dari 8 juta
individu akan bertambah menjadi 18 juta individu pada tahun 2060.[ CITATION Fri12 \l
1057 \m Ben17]
11
Data AF dari wilayah Asia Pasifik secara umum tidak memiliki dasar literatur
yang kuat. Sangat diperlukan studi statistik AF lebih lanjut pada wilayah ini karena
wilayah tersebut memiliki sebab yang kompleks dan heterogen dalam mencetuskan AF
pada individunya. Negara-negara di wilayah tersebut terdiri dari negara dengan
pendapatan yang beragam yang membuat perbedaan sebaran usia populasi dan faktor
risiko AF yang beragam.[ CITATION Rod15 \l 1057 ] Secara garis besar prevalensi AF di
Asia sebesar 1% yaitu sekitar setengah junlah dari prevalensi AF yang dilaporkan oleh
negara-negara barat, meskipun demikian biaya medis AF yang dikeluarkan di Asia jauh
lebih besar karena sifat AF di Asia Pasifik yang terus meningkat seiring pertambahan
usia. Berdasarkan laporan rasio prevalensi dari United Nations medium variant
projected population pada tahun 2050 di Asia terdapat 49 juta individu laki-laki dan 23
juta individu wanita yang akan menderita AF sehingga menjadi 12 kali lebih banyak
dari penderita AF di Amerika Serikat pada tahun yang sama.[ CITATION Gou15 \l 1057 ]
12
gen kausatif dari lokus tersebut belum diketahui secara pasti. Mutasi multipel
ditemukan pada kanal kalium dan natrium, protein gap junction dan jalur molekul pada
penderita AF. Penelitian AF berbasis genetik terus dilakukan seperti The application of
genome-wide association studies (GWAS) berhasil mengidentifikasi sebanyak 14 lokus
gen yang menyebabkan potensial terjadinya aritmia seperti lokus 1 pada kromososm
4q25 pada gen PITX2. Gen tersebut berperan penting dalam formasi listik di septum
atrial, jalur konduksi dan nodus SA. Meskipun demikian penelitian lebih baru
menegaskan bahwa kontribusi faktor genetik pada AF hanya bersifat minimal sehingga
perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut dan mendalam. [ CITATION Kha16 \l 1057 \m
Mag11]
2.2.6 Patofisiologi
Teori yang melandasi terjadinya AF mencakup proses peningkatan automatisitas
pada satu atau beberapa foci yang terdepolarisasi cepat dan reentry yang melibatkan
satu atau beberapa sirkuit. Foci yang tercetus secara cepat dan terlokasi pada satu atau
lebih tempat pada vena pulmonalis superior dapat menimbulkan AF pada pasien
tertentu. Foci juga bisa terdapat pada atrium kanan dan jarang sekali pada vena cava
superior atau sinus coronarius. Ablasi pada foci tersebut dapat menjadi tindakan kuratif
pada beberapa pasien.[ CITATION Kha16 \l 1057 ]
Proses yang abnormal tersebut dapat disebabkan oleh berbagai macam hal
mencakup kelainan struktural maupun elektrikal (fungsional), seperti yang digambarkan
dalam bagan tersebut dibawah. Kelainan struktural dapat diakibatkan oleh proses
fibrosis (atrial remodelling), iskemia, infiltrasi pada atrial myocard (pada amyloidosis,
sarcoidosis, atau hemochromatosis), dilatasi atrium, dan hipertrofi atrium. Sementara
itu kelainan fungsional salah satunya adalah akibat dari peningkatan automatisitas
ataupun kondisi dimana aliran kation pada sel jantung abnormal. [ CITATION Man01 \l
1057 ]
AV nodal merupakan suatu faktor yang dapat membatasi konduksi selama AF.
AV nodal terlokasi pada anterior dari trigonum Koch yang dikelilingi oleh sel
transisional. Terdapat dua jalur impuls dari atrium ke AV nodal yaitu dari posterior
melalui crista terminalis dan dari anterior melalui septum interatrial. Pada suatu kasus
bisa jadi terdapat jalur aksesori (contohnya pada sindroma WPW) yang merupakan
serabut otot yang menghubungkan atrium dan ventrikel dan mempunyai kapasitas untuk
13
konduksi cepat. Konduksi melalui jalur aksesori selama AF berlangsung dapat
menyebabkan very rapid ventricular response dan dapat berakibat fatal. Obat-obatan
seperti digitalis, calcium channel antagonist dan beta-blocker umumnya diberikan
untuk memperlambat konduksi pada AV nodal selama AF, namun tidak menghentikan
aliran impuls yang melalui jalur aksesori sehingga dapat meningkatkan konduksi dan
menyebabkan hipotensi ataupun cardiac arrest.[ CITATION The14 \l 1057 \m Gor15]
Gambar 2.9 Mekanisme Terjadinya AF. AF: Atrial Fibrilasi; Ca++: Ion Kalsium dan
RAAS: Renin Angiotensin Aldosterone System.[ CITATION The14 \l 1057 ]
Pada AF ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi fungsi hemodinamik yaitu:
hilangnya aktivitas mekanik atrial yang sinkron, respon ventrikular yang irregular dan
nadi yang sangat cepat. Respon ventrikular yang cepat dapat menurunkan output,
sehingga dapat terjadi hipotensi dan kongesti pulmo. Hilangnya aktivitas mekanik atrial
yang sinkron dapat menyebabkan darah menjadi stasis di atrium, sehingga
meningkatkan risiko trombus yang merupakan penyebab penting dari kejadian stroke.
Trombus yang terkait dengan AF seringkali berasal dari left atrial appendage (LAA).
Namun karena patofisiologi dari tromboembolisme pada pasien AF belum dapat
14
dijelaskan secara pasti maka mekanisme yang menghubungkan faktor risiko stroke
iskemik pada AF juga belum dapat secara lengkap dijabarkan. Oleh karena itu fokus
tatalaksana pada AF adalah pada tiga aspek, yaitu: (1) ventricular rate control, (2)
mengembalikan ke irama sinus dan (3) penilaian kebutuhan antikoagulan untuk
mencegah tromboembolisme.[ CITATION Lil11 \l 1057 ]
2.2.6 Diagnosis
a. Anamnesis dan Manifestasi klinis
Presentasi klinis dari AF tidak selalu simptomatik bisa jadi asimptomatik,
walaupun pada satu pasien yang sama. Gejala bervariasi dari ventricular rate, status
fungsional jantung, durasi AF maupun persepsi individual pasien. Disritmia dapat
terjadi pada pertama kali dengan komplikasi emboli ataupun eksaserbasi dari gagal
jantung. Seringkali pasien dijumpai datang dengan keluhan palpitasi, nyeri dada, sesak
napas, kelelahan/fatigue ataupun lightheadedness. Sinkop merupakan komplikasi yang
sangat jarang namun serius yang umumnya mengindikasikan disfungsi sinus nodal,
valvular aortic stenosis, HCM, cerebrovascular disease atau adanya jalur aksesori pada
nodus AV.[ CITATION Hea13 \l 1057 ]
15
Selain mencari gejala-gejala tersebut diatas, anamnesis dari setiap pasien yang
dicurigai mengalami FA harus meliputi pertanyaanpertanyaan yang relevan seperti:
[ CITATION Ros17 \l 1057 ]
1. Penilaian klasifikasi FA berdasarkan waktu presentasi, durasi, dan frekuensi
gejala,
2. Penilaian faktor-faktor presipitasi (misalnya aktivitas, tiduralkohol). Peran
kafein sebagai faktor pemicu masih kontradiktif,
3. Penilaian cara terminasi (misalnya manuver vagal),
4. Riwayat penggunaan obat antiaritmia dan kendali laju sebelumnya,
5. Penilaian adakah penyakit jantung struktural yang mendasarinya,
6. Riwayat prosedur ablasi AF secara pembedahan (operasi Maze) atau perkutan
(dengan kateter),
7. Evaluasi penyakit-penyakit komorbiditas yang memiliki potensi untuk
berkontribusi terhadap inisiasi AF (misalnya hipertensi, penyakit jantung
koroner, diabetes melitus, hipertiroid, penyakit jantung valvular, dan PPOK).
3) Paru
Pemeriksaan paru dapat mengungkap tanda-tanda gagal jantung (misalnya
ronki, efusi pleura). Mengi atau pemanjangan ekspirasi mengindikasikan adanya
16
penyakit paru kronik yang mungkin mendasari terjadinya AF (misalnya PPOK,
asma).
4) Jantung
Pemeriksaan jantung sangat penting dalam pemeriksaan fisis pada pasien FA.
Palpasi dan auskultasi yang menyeluruh sangat penting untuk mengevaluasi
penyakit jantung katup ataukardiomiopati. Pergeseran dari punctum maximum atau
adanya bunyi jantung tambahan (S3) mengindikasikan pembesaran ventrikel dan
peningkatan tekanan ventrikel kiri. Bunyi II (P2) yang mengeras dapat menandakan
adanya hipertensi pulmonal. Pulsus defisit, dimana terdapat selisih jumlah nadi
yang teraba dengan auskultasi laju jantung dapat ditemukan pada pasien FA.
5) Abdomen
Adanya asites, hepatomegali atau kapsul hepar yang teraba mengencang
dapat mengindikasikan gagal jantung kanan atau penyakit hati intrinsik. Nyeri
kuadran kiri atas mungkin disebabkan infark limpa akibat embolisasi perifer.
6) Ekstremitas bawah
Pada pemeriksaan ekstremitas bawah dapat ditemukan sianosis, jari tabuh atau
edema. Ekstremitas yang dingin dan tanpa nadi mungkin mengindikasikan
embolisasi perifer. Melemahnya nadi perifer dapat mengindikasikan penyakit
arterial perifer atau curah jantung yang menurun.
7) Neurologis
Tanda-tanda Transient Ischemic Attack (TIA) atau kejadian serebrovaskular
terkadang dapat ditemukan pada pasien AF. Peningkatan refleks dapat ditemukan
pada hipertiroidisme.
c. Elektrokardiogram
Temuan EKG biasanya dapat mengkonfirmasi diagnosis FA dan biasanya
mencakup laju ventrikel bersifat ireguler dan tidak terdapat gelombang P yang jelas,
digantikan oleh gelombang F yang ireguler dan acak yang diikuti oleh kompleks QRS
yang ireguler pula. Manifestasi EKG lainnya yang dapat menyertai FA antara lain:
[ CITATION PER14 \l 1057 ]
1) Laju jantung umumnya berkisar 110-140x/menit, tetapi jarang melebihi 160-
170x/menit,
17
2) Dapat ditemukan denyut dengan konduksi aberan (QRS lebar) setelah siklus
interval R-R panjang-pendek (fenomena Ashman),
3) Preeksitasi,
4) Hipertrofi ventrikel kiri,
5) Blok berkas cabang, dan
6) Tanda infark akut/lama.
Elektrokardiogram juga diperlukan untuk memonitor interval QT dan QRS dari
pasien yang mendapatkan terapi antiaritmia untuk FA.
e. Foto Toraks
18
Pemeriksaan foto toraks biasanya normal, tetapi kadangkadang dapat ditemukan
bukti gagal jantung atau tanda-tanda patologi parenkim atau vaskular paru (misalnya
emboli paru, pneumonia).[ CITATION PER14 \l 1057 ]
19
i. Monitor Holter atau Event Recording
Monitor Holter dan event recording dapat berguna untuk menegakkan diagnosis
AF paroksismal, dimana pada saat presentasi, AF tidak terekam pada EKG. Selain itu,
alat ini juga dapat digunakan untuk mengevaluasi dosis obat dalam kendali laju atau
kendali irama.[ CITATION Kow05 \l 1057 ]
20
Pharmacological cardioversion paling efektif diberikan pada 7 hari setelah
onset AF. Kebanyakan pasien mengalami paroksismal AF, dan sebagian besar
mengalami spontaneous cardioversion dalam 24 – 48 jam. Namun hal tersebut kecil
kemungkinan terjadi pada AF yang telah berlangsung lebih dari 7 hari. Dosis, rute, dan
kecepatan pemberian obat antiaritmia mempengaruhi efikasi. Kardioversi secara
farmakologis meliputi pemberian antiaritmia kelas IA, IC, atau III.[ CITATION
Hoh01 \l 1057 ]
Obat antiaritmia merupakan salah satu golongan obat yang berbahaya karena
potensial efek sampingnya yang serius. Dengan demikian pemahaman menyeluruh
mengenai mekanisme aksi, indikasi dan toksisitas sangat penting.Obat antiaritmia
terbagi menjadi 4 kelompok besar berdasarkan mekanisme aksinya, yaitu:
[ CITATION Pic16 \l 1057 ]
1. Kelas I: menghambat kanal sodium cepat yang bertanggung jawab pada fase 0
depolarisasi. Class I dibagi menjadi 3 subtipe berdasarkan derajat kemampuan
memblokade kanal sodium dan efeknya terhadap durasi potensial aksi,
2. Kelas II: beta-adrenergic receptor antagonist (beta-blocker),
3. Kelas III : menghambat kanal potassium yang bertanggungjawab pada fase
repolarisasi, sehingga memperpanjang potensial aksi dengan sedikit efek pada
peningkatan fase 0 depolarisasi, dan
4. Kelas IV : menghambat L-type kanal kalsium.
21
Gambar 2.11 Klasifikasi Obat Antiaritmia.[ CITATION Lil11 \l 1057 ]
22
menghentikan konduksi impuls pada aliran balik jalur lambat dan memutuskan aliran
sirkuit reentry.[ CITATION Lil11 \l 1057 \m Nuo14]
Eliminasi tipe ketiga dari takiaritmia, triggered activity, adalah dengan menekan
early dan delayed afterdepolarization. Agen antiaritmia yang ideal adalah yang dapat
menekan foci ektopik dan menghambat sirkuit reentrant tanpa mempengaruhi jalur
konduksi normal. Namun yang disayangkan adalah ketika konsentrasi obat antiaritmia
melebihi rentang terapeutiknya yang sempit, bahkan aktivitas listrik normal dapat
tersupresi. Beberapa obat antiaritmia memang memiliki potensi untuk memicu
gangguan irama (dinamakan efek proaritmik). Contohnya adalah, ketika obat antiaritmia
memperpanjang potensial aksi dan menginduksi early after depolarization,
menghasilkan triggered-type aritmia, seperti torsade de pointes. Drug induced
proaritmia seringkali muncul pada pasien dengan disfungsi LV atau pada pasien dengan
pemanjangan interval QT (suatu tanda bahwa potensial aksi sudah prolonged
sebelumnya).[ CITATION PER14 \l 1057 \m Kha16]
Electrical cardioversion meliputi pemberian electrical shock yang tersinkronasi
dengan aktivitas intrinsik jantung sehingga stimulasi listrik tidak terjadi pada fase
vulnerable dari siklus jantung. Keberhasilan Kardioversi pada AF bergantung pada
penyakit jantung yang mendasari dan densitas arus listrik yang diberikan. Densitas arus
23
listrik tersebut tergantung kepada voltase defibrillator, output waveform, ukuran dan
posisi electrode paddles serta impedansi transtorakal. Kebutuhan energi lebih rendah
dan tingkat keberhasilan lebih tinggi pada posisi paddle anterior-posterior (sternum dan
skapular kiri), dibandingkan dengan anterior-lateral (apeks ventricular dan
infrklavikular kanan).[ CITATION Kha16 \l 1057 \m The14]
Kardioversi dilakukan pada pasien yang dipuasakan dan dalam pemberian
anestesia jangka pendek yang adekuat. Inisial shock 100 J seringkali terlalu rendah dan
inisial energi 200 J atau lebih direkomendasikan untuk electrical cardioversion pada
pasien AF. Energi yang lebih kecil juga dapat diberikan pada arus listrik dengan
biphasic waveform dibandingkan dengan monophasic waveform. Irama sinus dapat
dikembalikan dengan direct-current cardioversion, namun tingkat relaps tinggi kecuali
obat antiaritmia diberikan bersamaan. Risiko electrical cardioversion adalah kejadian
emboli dan aritmia.[ CITATION The14 \l 1057 ]
24
Gambar 2.13 Agen Antiaritmia untuk Mempertahankan Irama Sinus.[ CITATION The14 \l
1057 ]
25
Gambar 2.14 Terapi Frmakologis untuk Rate Control pada AF.[ CITATION
The14 \l 1057 ]
c. Pencegahan Tromboembolisme
Faktor risiko independen terjadinya tromboembolisme pada nonvalvular AF
termasuk gagal jantung, hipertensi, usia tua dan diabetes mellitus. Pada pemeriksaan
penunjang transthoracic echocardiography (TTE) kita dapat menghitung diameter
atrium kiri (LA) serta menilai adanya disfungsi ventrikel kiri (LV) sebagai prediktor
dari kejadian iskemia. Pemeriksaan transesophageal echocardiography (TEE) lebih
sensitif dan spesifik untuk mendeteksi thrombus pada LA dan LAA dibandingkan
dengan TTE. Adanya thrombus pada LA/LAA merupakan kontraindikasi dari tindakan
elective cardioversion pada AF. Tidak terdeteksinya thrombus tidak menjamin tidak
terjadinya thromboembolisme setelah cardioversi jika pasien tidak diberikan terapi
antikoagulan.[ CITATION Abh16 \l 1057 ]
26
Target dari pemberian antikoagulan mempertimbangkan keseimbangan dari
pencegahan stroke iskemik dan menghindari komplikasi perdarahan. Sangat penting
untuk memberikan antikoagulan dgn target adekuasi terendah untuk meminimalisasi
risiko perdarahan, terutama pada pasien usia tua pada AF. Proteksi maksimum untuk
stroke iskemia pada AF dapat dicapai pada international normalized ratio (INR) 2
sampai 3. Pasien dengan nonvalvular AF, direkomendasikan untuk dilakukan penilaian
CHA2DS2-VASc score, seperti pada tabel di bawah.[ CITATION Kha16 \l
1057 ]
Pada pasien nonvalvular AF dengan riwayat stroke, transient ischemic attack
(TIA), atau skor CHA2DS2-VASc ≥ 2, pemberian oral antikoagulan direkomendasikan,
dengan pilihannya adalah warfarin (INR 2 hingga 3) (Level of Evidence: A). Pada
pasien yang diberikan warfarin, INR harus dipantau setiap minggu selama inisiasi terapi
antitrombotik dan minimal setiap bulan jika INR terpantau stabil. Pada pasien
nonvalvular AF dengan INR tak terkontrol walaupun dengan pemberian warfarin,
direkomendasikan untuk pemberian direct thrombin atau factor Xa inhibitor
(dabigatran, rivaroxaban, atau apixaban) dengan evaluasi fungsi ginjal sebelumnya dan
dilakukan evaluasi ulang berikutnya. Pada pasien nonvalvular AF dengan skor
CHA2DS2-VASc ≥ 2 dan terdapat end-stage chronic kidney disease (CKD) (creatinine
clearance <15mL/min) atau dalam pengobatan dengan hemodialisa warfarin tetap
diberikan sebagai oral antikoagulan (INR 2 hingga 3).[ CITATION The14 \l
1057 ]
27
Gambar 2.15 Penilaian Faktor Risiko Terjadinya Stroke pada AF.[ CITATION
Lil11 \l 1057 ]
Gambar 2.16 Pilihan dan Dosis Antikogulan pada Non Vulvular AF.[ CITATION
The14 \l 1057 ]
28
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan Utama
Jantung berdebar-debar sejak 2 bulan SMRS
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien rujukan RS Telaga Bunda Bireuen datang dengan keluhan berdebar-debar
sejak 2 bulan SMRS yang dirasakan semakin memberat intesitasnya dengan
puncaknya sekitar 4 hari SMRS. Selain itu pasien juga merasakan sesak napas
yang memberat saat aktivitas berat dan tidur terlentang, sesak telah dirasakan
sejak 1 bulan SMRS secara kontinus. Keluhan sesak membaik jika pasien tidur
disangga bantal di punggung. Sesak tidak dipengaruhi oleh suhu dan debu.
Badan bengkak-bengkak tidak dikeluhkan, BAK dan BAB dalam batas normal.
3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Diabetes mellitus, alergi dan asma disangkal.
Riwayat hipertensi sejak 10 tahun yang lalu, terkontrol sejak 3 tahun yang lalu.
Riwayat penyakit jantung sejak 3 tahun yang lalu.
Riwayat diabetes mellitus terkontrol sejak 4 tahun yang lalu.
3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Diabetes mellitus, hipertensi, riwayat penyakit jantung, alergi dan asma disangkal
ada di keluarga pasien.
29
3.3 Pemeriksaan Fisik
3.3.1 Vital Sign
Kesadaran : Compos Mentis
Keadaan umum : Baik
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Laju Nadi : 162 x/menit, irreguler
Pernapasan : 26 x/menit
SuhuTubuh : 36.70 C
3.3.2 Pemeriksaan Fisik
1. Kepala dan leher: anemis (-/-), dan sklera (-/-), Pembesaran KGB (-/-)
2. Paru: simetris, stem fremitus kanan=stem fremitus kiri, sonor pada kedua
lapangan paru, vesikuler (+/+), ronki (+/+) di 1/3 lapang bawah paru dan
wheezing (-/-).
3. Jantung: bunyi jantung I > bunyi jantung II, regular, murmur tidak ada.
4. Abdomen: distensi (-), defense muscular (-), nyeri tekan (+), nyeri lepas (-),
Peristaltik usus (+).
5. Ekstremitas: edema (-/-), pucat (-/-)
6. Genetalia dan anus: tidak dilakukan pemeriksaan.
30
Gambar 3.1 EKG Pasien Pada Tanggal 03 Juli 2018.
31
Gambar 3.2. EKG Serial Pasien.
3. Laboratorium 03 Juli 2018
Pemeriksaan Laboratorium Hasil Nilai Normal
Darah Rutin
Hb 16,4 gr/dl 12-15 gr/dl
Ht 49 % 37-47 %
Leukosit 9200 /mm3 4.500-10.500/mm3
Eritrosit 5,9 x 106 /µL 4,2-5,4 jt/ µL
Trombosit 180.000 / mm3 150.000-450.000/mm3
MCV 82 fL 80-100 fL
MCH 28 pg 27-31 pg
MCHC 34 % 32-36 %
RDW 12,8 % 11,5-14,5 %
MPV 10,6 fL 7,2-11,1 fL
Hitung Jenis
Eosinofil 1% 0-6 %
32
Basofil 0% 0-2 %
Netrofil Batang 0% 2-6%
Netrofil segmen 61 % 50-70 %
Limfosit 27% 20-40 %
Monosit 11 % 2.8 %
Elektrolit
Natrium (Na) 147 mmol/L 132-146 mmol/L
Kalium (K) 3,1 mmol/L 3,7-5,4 mmol/L
Klorida (Cl) 104 mmol/L 98-106 mmol/L
Diabetes
Glukosa darah sewaktu 205 mg/dl <200 mg/dl
Ginjal- Hipertensi
Ureum 11 mg/dl 13-43 mg/dl
Kreatinin 0,63 mg/dl 0,51-0,95 mg/dl
33
3.4 Diagnosis
a. Atrial fibrilasi RVR
b. CHF Fc NYHA II – III ec
1) CAD
2) HHD
3) DCM
c. DM tipe II normoweight
BAB III
PEMBAHASAN
34
Ny. I.S.A, 58 tahun, masuk rumah sakit pada tanggal 03 Juli 2018, datang dengan
keluhan berdebar-debar sejak 2 bulan SMRS yang dirasakan semakin memberat
intesitasnya dengan puncaknya sekitar 4 hari SMRS.
Berdasarkan anamnesis keluhan pasien berupa palpitasi persisten yang telah
dirasakan selama 2 bulan, palpitasi adalah suatu keadaan yang dideskripsikan dengan
perasaan meningkatnya detak jantung oleh penderitanya. [ CITATION Tay13 \l 1057 ]
Etiologi tersering palpitasi tanpa gejala penyerta lainnya adalah aritmia dan ansietas
yaitu sekitar 74% dari kasus palpitasi. Meskipun demikian dalam praktik sehari-hari
palpitasi jarang berdiri sendiri dan muncul bersamaan dengan banyak gejal-gejala
lainnya seperti sinkop atau sesak napas, sinkop tdan pre-sinkop erbukti bisa
membedakan etiologi palpitasi berupa etiologi aritmia atau non aritmia sebelum
dilakukannya pemeriksaan standar berupa elektrokardiografi.[ CITATION Gia18 \l 1057 ]
Setelah dilakukan pemeriksaan tanda vital didapatkan nadi 162 x/menit, irreguler. Pada
kasus takiaritmia dengan pulsus defisit sering terjadi pada takikardia atrial khususnya
atrial fibrilasi.[ CITATION Tay13 \l 1057 ]
Gambar 3.1 Tipe, Karakteristik dan Etiologi Palpitasi.[ CITATION Gia18 \l 1057 ]
35
awal timbul pada usia yang tua, gejala yang timbul timbul lebih nyata dan berat
daripada gejala AF pada laki-laki. Keadaan tersebut membuat wanita dengan AF lebih
sering dirawat secara intensif dibandingkan dengan laki-laki.[ CITATION And17 \l 1057 ]
Peningkatan usia terbukti berbanding lurus dengan peningkatan insidensi AF pada
beberapa studi yang telah dilakukan seperti Andrande, dkk menyebutkan bahwa AF
meningkat sebesar 1-4% pada usia > 60 tahun dan 6-15% pada usia > 80 tahun.
[ CITATION Kha14 \l 1057 ]
Pasien juga merasakan sesak napas yang memberat saat aktivitas berat dan tidur
terlentang, sesak telah dirasakan sejak 1 bulan SMRS secara kontinus. Keluhan sesak
membaik jika pasien tidur disangga bantal di punggung. Kemudian dilakukan
pemeriksaan fisik ronki (+/+) di 1/3 lapang bawah paru. Pasien mengeluhkan dyspnea
on exertion dan orthopnea, tipe dispnea dengan adanya ronki pada bagian basal paru
tersebut khas pada congestive heart failure (CHF) yang dapat didiagnosis banding
dengan emboli paru namun dispnea emboli paru khas nyeri dada plueritik dan terkadang
diiringi dengan batuk dengan intensitas yang kuat. Selaian itu dyspnea on exertion juga
bisa muncul pada pasien coronary artery disease (CAD) dan penyakit paru obastruktif
kronik (PPOK), pada CAD pasien lebih mengeluhkan nyeri dada diikuti sesak napas
setelah melalukan aktivitas berat dan gejala CAD yang lebih ringan dibandingkan
dengan CHF. PPOK sulit dibedakan dari gejala klinis dyspnea on exertion dengan CHF,
pada PPOK pasien juga mengeluhkan orthopnea, nyeri dada, batuk dengan intensitas
yang berat dan cemas, riwayat merokok dalam jangka waktu yang lama merupakan
faktor risiko utama PPOK.[ CITATION Cad06 \l 1057 ]
Pada pemeriksaan elektrokardigrafi didapatkan HR 162x/menit, AF, LAD, LVH
dan iskemia anteroseptal. Temuan EKG biasanya dapat mengkonfirmasi diagnosis FA
dan biasanya mencakup laju ventrikel bersifat ireguler dan tidak terdapat gelombang P
yang jelas, digantikan oleh gelombang F yang ireguler dan acak yang diikuti oleh
kompleks QRS yang ireguler pula. Manifestasi EKG lainnya yang dapat menyertai FA
antara lain: (1) laju jantung umumnya berkisar 110-140x/menit, tetapi jarang melebihi
160-170x/menit; (2) dapat ditemukan denyut dengan konduksi aberan (QRS lebar)
setelah siklus interval R-R panjang-pendek (fenomena Ashman); (3) preeksitasi; (4)
hipertrofi ventrikel kiri; (5) blok berkas cabang, dan (6) tanda infark akut/lama.
[ CITATION PER14 \l 1057 ]
36
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hiperglikemia yang didasarkan pada
pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu 205 mg/dl dan kadar glukosa darah puasa
171 mg/dl. Pada pasien juga dijumpai dislipidemia dengan kadar HDL sebesar 34
mg/dL. Sehingga pasien sebelum telah menderita CHF, hipertensi, CAD dan diabetes
tipe II normoweight. Ada beberapa faktor risiko yang secara spesifik meningkatkan
kejadian AF seperti pertambahan usia, hipertensi arterial, penyakit jangtung kongestif
termasuk gagal jantung atau menurunnya fungsi sistolik ventrikel kiri, infark miokard,
penyakit katup jantung, kardiomiopati, miokarditis dan diabetes mellitus. [ CITATION
Sho10 \l 1057 ] Secara teori keadaan lain yang berasosiasi dengan timbulnya AF antara
lain seperti hipertiroid subklinis, emboli pulmonal, obesitas, penyakit gingal kronik,
osbtructive sleep apnea, alkoholik berat dan latihan beban berat.[ CITATION Gor15 \l
1057 ]
Atrial Fibrilasi dapat disebabkan oleh berbagai macam hal mencakup kelainan
struktural maupun elektrikal. Kelainan struktural dapat diakibatkan oleh proses fibrosis
(atrial remodelling), iskemia, infiltrasi pada atrial myocard (pada amyloidosis,
sarcoidosis, atau hemochromatosis), dilatasi atrium, dan hipertrofi atrium.[ CITATION
Man01 \l 1057 ] Keadaan tersebut meningkatan automatisitas pada satu atau beberapa
foci yang terdepolarisasi cepat dan reentry yang melibatkan satu atau beberapa sirkuit.
Foci yang tercetus secara cepat dan terlokasi pada satu atau lebih tempat pada vena
pulmonalis superior dapat menimbulkan AF pada pasien tertentu. Foci juga bisa
terdapat pada atrium kanan dan jarang sekali pada vena cava superior atau sinus
coronarius.[ CITATION Kha16 \l 1057 ]
Penatalaksanaan pasien ini secara umum adalah dengan pemberian injeksi
digoksin 1 ampul, digoksin merupakan antiaritmia dengan mekanisme menurunkan laju
kontrol detak jantung secara konotropik negatif sehingga diharapkan laju ventrikel di
nodus AV bisa menjadi 60-80 x/menit saat istirahat; Mikardis 1 x 80 mg, mikardis
merupakan antihipertensi golongan penyekat ACE yang berisiskan telmisartan.
Bertujuan untuk meregulasi tekanan darah agar tetap sesuai target sesuai dengan JNC 8
target tekanan darah pasien hipertensi dengan penyakit jantung adalah < 150/90 mmHg
dan golongan tersebut dipilih sebagai antihipertensi pada pasien dengan hipertrofi
ventrikel dan aterosklerosis; Xarelto 1 x 20 mg berisikan rivaroxaban yang merupaka
37
antikoagulan golongan inhibitor faktor Xa, golongan obat ini diberikan pada pasien AF
nonvalvular dengan evaluasi fungsi ginjal normal sebelum diberikan pada pasien.
Tujuan dari terapi ini mencegah terjadinya stoke tromboembolus pada pasien AF
dengan indikasi dari skor CHA2DS2-VASc ≥ 2 atau adanya riwayat TIA; Spironolakton 1 x
25 mg merupakan diuretik hemat kalium yang diberikan untuk menurunkan beban
jantung dan juga diindikasikan pada pemberian digoksin pada pasien aritmia untuk
mencegah terjadinya deplesi kalium; Simvastatin 1 x 20 mg diberikan sebagai terapi
dislipidemia yang diderita oleh pasien.[CITATION Lil11 \l 1057 \m Kha16 \m The14 \m
Roy09]
38
BAB V
KESIMPULAN
Atrial fibrilasi adalah takiaritmia atrial yang ditandai dengan tidak terkontrolnya
aktivasi atrium dengan konsekuensi gangguan fungsi mekanis atrium. Klasifikasi dari
atrial fibrilasi dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu AF deteksi pertama, paroksismal AF,
persisten AF dan kronik/permanen AF.
Mekanisme AF terdiri dari proses yaitu peningkatan automatisitas dan reentry.
Mekanisme ini sangat berhubungan dengan bentuk klinis AF, lokasi pencetus, dan
kelainan fungsional, struktur, dan otonom yang mendasari progresivitas AF.
Terjadinya AF menimbulkan disfungsi hemodinamik jantung yaitu hilangnya
koordinasi aktivitas mekanik jantung, ketidak teraturan respon ventrikel dan
ketidakteraturan denyut jantung serta komplikasi tromboemboli yang berhubungan
dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas.
Diagnosis AF ditegakkan dari klinis dan EKG. Sasaran utama pada
penatalaksanaan AF adalah mengontrol ketidakteraturan irama jantung, menurunkan
peningkatan denyut jantung dan menghindari/mencegah adanya komplikasi
tromboembolisme.
39
DAFTAR PUSTAKA
x
2. PERKI. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium Yuniadi Y, editor. Jakarta: Centra
Communications; 2014.->3
3. Camm A, Lip G, De Caterina R. focused update of the ESC Guidelines for the
management of atrial fibrillation: an update of the 2010 ESC Guidelines for the
management of atrial fibrillation--developed with the special contribution of the
European Heart Rhythm Association. Europace. 2012; 14(13).
5. Goralnick E, Bontempo LJ. Atrial Fibrillation. Emerg Med Clin N Am. 2015; 33(5).
9. Bosch NA, Cimini JB, Walkey AJ. Contemporary Reviews in Critical Care
Medicine: Atrial Fibrillation in the Intensive Care Uni. CHEST. 2018; 1(1).
10. The American Heart Association , The American College of Cardiology Foundation
, The Heart Rhythm Society. 2014 AHA/ACC/HRS Guideline for the Management
of Patients With Atrial Fibrillation: Executive Summary A Report of the American
College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines and the Heart Rhythm Society. Circulation. 2014; 130(20).->4
40
11. European Heart Rhythm A , European Association for Cardio-Thoracic S , Camm
A. Guidelines for the management of atrial fibrillation: the Task Force for the
Management of Atrial Fibrillation of the European Society of Cardiology (ESC).
Europace : European pacing, arrhythmias, and cardiac electrophysiology.
Cardiology. 2012; 12(136).->7
15. Benjamin E, Blaha M, Chiuve S. Heart Disease and Stroke Statistics-2017 Update:
A Report From the American Heart Association. Circulation. 2017; 135(14).
16. Rodriguez C, Soliman E, Alonso A. Atrial fibrillation incidence and risk factors in
relation to race-ethnicity and the population attributable fraction of atrial fibrillation
risk factors: the Multi-Ethnic Study of Atherosclerosis. Ann Epidemiol. 2015;
25(71).
17. Gou Y, Tian Y, Wang H. Prevalence, incidence, and lifetime risk of atrial
fibrillation in China: new insights into the global burden of atrial fibrillation. Chest.
2015; 147(10).
21. Heart Rhythm Society..; 2013 [cited 2018 July Thusday. Available from:
https://www.hrsonline.org/News/Atrial-Fibrillation-AFib-Awareness.
22. Rosenthal , Rottman N. [Atrial Fibrillation Clinical Presentation].; 2017 [cited 2018
41
July Thursday. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/151066-
clinical.
23. van den Bos E, Constantinescu A, van Domburg R, Akin S, Jordaens L, Kofflard
M. Minor elevations in troponin I are associated with mortality and adverse cardiac
events in patients with atrial fibrillation. European heart journal. 2011; 32(6).
28. Piccini JP, Fauchier. Atrial fi brillation: Rhythm control in atrial fi brillation. The
Lancet. 2016; 388(1).
29. Nuotio I, Hartikainen J. Time to cardioversion for acute atrial fibrillation. JAMA.
2014; 312(64).
30. Roy D, Talajic M, Nattel S. Rhythm control versus rate control for atrial fibrillation
and heart failure. N Engl J Med. 2009; 358(2).
35. Khairy P, ANdrade J, Dobrev D. The clinical profile and pathophysiology of atrial
fibrillation: relationships among clinical features, epidemiology, and mechanisms.
Circ Res. 2014; 114(14).
42
Essential Family Medicine. Boston: Elsevier Ltd; 2006. p. 300-14.
43