Anda di halaman 1dari 3

Fachrizi Wira Utama

11000117130157
Selasa, 14 April 2020
Hukum Acara Pidana Khusus – Kelas F

KEADILAN RESTORATIF SEBAGAI TUJUAN PELAKSANAAN DIVERSI PADA


SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Sistem Hukum Pidana Indonesia memasuki babak baru dalam perkembangannya. Salah
satu bentuk pembaharuan yang ada dalam Hukum Pidana Indonesia adalah pengaturan tentang
hukum pidana dalam perspektif dan pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan
keadaan setelah peristiwa dan proses peradilan pidana yang dikenal dengan keadilan restoratif
(restoratif justice) yang berbeda dengan keadilan retributif (menekankan keadilan pada
pembalasan) dan keadilan restitutif (menekankan keadilan pada ganti rugi).

Perlindungan hukum bagi anak dapat dilakukan sebagai upaya perlindungan hukum
terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak. Perlindungan terhadap anak ini juga mencakup
kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Perlindungan anak-anak yang
berhadapan dengan hukum (ABH), merupakan tanggung jawab bersama aparat penegak hukum.
Tidak hanya anak sebagai pelaku, namun mencakup juga anak yang sebagai korban dan saksi.
Aparat penegak hukum yang terlibat dalam penanganan ABH agar tidak hanya mengacu pada
Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Sistem Peradilan Pidana Anak atau
peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penanganan ABH, namun lebih
mengutamakan perdamaian daripada proses hukum formal yang mulai diberlakukan 2 tahun
setelah UU SPPA diundangkan atau 1 Agustus 2014 (Pasal 108 UU No. 11 Tahun 2012).

Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan segala unsur sistem peradilan pidana yang
terkait di dalam penanganan kasus-kasus ABH. Polisi, Kejaksaan dan Pengadilan serta
Pembimbing Kemasyarakatan atau Balai Pemasyarakatan, Advokat atau pemberi bantuan,
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) dan
Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) sebagai institusi atau lembaga yang
menagani ABH mulai dari anak bersentuhan dengan sistem peradilan, menentukan apakah anak
akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak hingga tahapan ketika anak akan ditempatkan
dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman
dalam koridor keadilan restoratif. Dalam PERMA 4 tahun 2014 dijelaskan bahwa Diversi
diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun atau telah berumur 12 (dua belas) tahun meskipun pernah kawin tetapi
belum berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana (pasal 2).
PERMA ini juga mengatur tahapan musyawarah diversi, dimana fasilitor yang ditunjuk Ketua
Pengadilan wajib memberikan kesempatan kepada :
 Anak untuk didengar keterangan perihal dakwaan
 Orang tua/Wali untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan anak dan
bentuk penyelesaian yang diharapkan
 Korban / Anak Korban / Orang tua / Wali untuk memberikan tanggapan dan bentuk
penyelesaian yang diharapkan.

Sumber: https://www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/2613/keadilan-restoratif-sebagai-tujuan-
pelaksanaan-diversi-pada-sistem-peradilan-pidana-anak

Tanggapan dan Komentar:


Dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum, kita harus dengan senantiasa
memperhatikan kondisi anak yang berbeda dari orang dewasa. Sifat dasar anak sebagai pribadi
yang masih labil, masa depan anak sebagai aset bangsa, dan kedudukan anak di masyarakat yang
masih membutuhkan perlindungan dapat dijadikan dasar untuk mencari suatu solusi alternatif
bagaimana menghindarkan anak dari suatu sistem peradilan pidana formal.
Seperti kita ketahui, bahwa untuk mengatasi masalah anak pelaku tindak pidana telah
diatur sebelumnya secara khusus dalam undang-undang Nomor. 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pengadilan anak juga belum dapat
memberikan tujuan yang sebenarnya seperti yang diharapkan baik untuk kesejahteraan anak atau
untuk melindungi kepentingan anak, dalam prakteknya cenderung membekaskan stigma / cap
atas diri anak. Stigmatisasi ini berlangsung di tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan
hingga ditempat pembinaan. Stigma tersebut yaitu adanya ketentuan bagi narapidana anak
keharusan untuk dibina dan dimasukkan kepada lembaga pemasyarakatan, ini merupakan
pengaruh proses yang buruk bagi si anak dan mendapatkan trauma akibat perlakuan aparat
penegak hukum sehingga si anak tersebut selalu dikhawatirkan akan berbuat jahat.
Sebagai perubahan dan pembaharuan Undang-Undang Pengadilan Anak tersebut
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak yang selanjutnya disingkat SPPA. Salah satu substansi yang diatur
dalam UU SPPA adalah ini pengaturan tentang Diversi.
Pasal 1 angka 6 UU SPPA menentukan keadilan restoratif sebagai suatu penyelesaian
pekara tindak pidana anak dengan menitikberatkan pada pengakuan pelaku dengan
membebankan kewajiban untuk bertanggung jawab guna memulihkan keadaan yang terganggu.
Keadilan restoratif dilakukan dengan cara melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku / korban,
dan pihak lain yang berkaitan, yang bertujuan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang
sesuai dengan kehendak para pihak, dengan menekankan pemulihan kembali kepada keadaan
semula dan bukan pembalasan. Pendekatan keadilan restoratif wajib dilakukan dalam
penyelesaian perkara anak sebagaimana ditentukan Pasal 5 ayat (1) UU SPPA. Hal ini guna
menjamin perlindungan atas kepentingan anak, sehingga anak terhindar dari segala efek buruk
pemidanaan yang mengedepankan keadilan distributif. Diversi wajib dilaksanakan dalam hal
tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun, bukan
merupakan pengulangan tindak pidana, dan dilakukan terhadap anak yang berusia 12 tahun
keatas menurut Pasal 7 UU SPPA.
Dengan pembaharuan pengaturan tentang diversi yang merupakan proses peradilan di
luar peradilan yang formal, maka kebijakan yang berkaitan dengan kewenangan para penegak
hukum dalam proses penyidikan, proses penuntutan, proses pemeriksaan di pengadilan dalam
melakukan diversi perlu dimasukkan dalam pembaharuan hukum pidana formal secara umum.
Kemudian dampak dari pengaturan diversi juga berpengaruh pada pembaharuan sistem hukum
pelaksanaan pidana bagi anak.
Implikasi yang diharapkan dalam pengaturan Diversi adalah berkurangnya jumlah anak
yang masuk dalam proses peradilan pidana; peningkatan penyelesaian kasus anak dengan
mengutamakan Keadilan restoratif dalam diversi meningkatnya partisipasi publik dalam
penanganan anak yang berkonflik dengan hukum; dan meningkatnya peran advokat dalam kasus-
kasus anak di pengadilan

Anda mungkin juga menyukai