Anda di halaman 1dari 5

BAB XIII

PERJANJIAN INTERNASIONAL
HARD LAW OR SOFT LAW

Perjanjian di dalam hukum internasional memainkan peran yang sangat penting.selain sebagai
sumber hukum formil, perjanjian juga mencantumkan hak dan kewajiban masing-masing subyek
hukum. Oleh karena itu, untuk meneguhkan komitmen dalam sebuah hubungan ataupun relasi
antar subyek hukum internasional, maka saat ini negara-negara lebih banyak untuk
memformulasikanya dalam bentuk perjanjian internasional. Komitmen negara menjadi pihak
dalam perjanjian diekspresikan tidak hanya dilakukan dengan ratifikasi ( bentuk instrumen
hukum pengikatan negara terhadap perjanjian) tapi juga ketersediaan untuk mengimplentasikan
ataupun mengadopsi norma, kaedah yang ada dalam perjanjian ke dalam hukum nasionalnya
sekaligus menegakkan ketentuan hukum tersebut di wilayah teritorialnya. Komitmen negara
terhadap perjanjian internasional dihadapkan pada pilihan bentuk perjanjian internasional hard
law dan soft law.

1. Memahami Hard Law dan Soft Law


Secara etimolgis hard law dan soft law dapat diartikan sebagai hukum keras dan hukum lunak.
Di dalam literatur hukum internasional pengertian hard law (HL) dan soft law (SL) selama ini
masih menjadi perdebatan. Menurut Shaffer and Pollack1 ketidak sepahaman diantara para ahli
hukum internasional maupun hubungan internasional dalam memberikan pengertihan Hard law
and Soft Law terutama dari pandangan positivis, kostruktivis dan institusionalis rasional.
Pandangan positivis hukumyang mengaitkan perbedaan hard law dan soft law. dengan dikhotomi
daya mengikat secara hukum, pandangan konstruktivis yang menganggap soft law dan hard law
dengan melihat hukum merupakan bagian dari interaksi sosial, dan institusionalis rasional
mengambil pandangan multidimensi dan berkesinambungan terhadap soft law dan hard law.

Pandangan Sarjana hukum positivis umumnya mengadopsi secara sederhana dengan melihat
daya mengikat atau tidak mengikat suatu perjanjian internasional untuk membedakan hukum

1
Shaffer, Gregory and Pollack, Mark A., Hard and Soft Law: What Have We Learned? (April 23, 2012). in
International Law and International Relations: Insights from Interdisciplinary Scholarship, Jeffrey L. Dunoff and
Mark A. Pollack (eds.),(New York: Cambridge University Press, 2012); Minnesota Legal Studies Research Paper
No. 12-17.Page 1-2 , Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=2044800 or
http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.2044800 . , diakses tanggal 10 Mei 2014
keras dari hukum lunak . Menurut pandangan ini ,karakter khas hukum adalah sekumpulan
norma yang mempunyai sanksi yang mengikat para actor dengan penekanan pada kewajiban
hukum. Perbedaan mendasar antara hukum keras dan lemah adalah perbedaan antara komitmen
hukum para actor atau subyek hukum untuk terikat atau tidak terikat terhadap perjanjian
internasional.2 Secara umum hard law diartikan sebagai perjanjian yang memiliki kekuatan
mengikat secara hukum (legally binding) sedangkan soft law hanya mengikat secara moral atau
non-legally binding. Identifikasi terhadap kedua bentuk perjanjian, biasanya dapat dikenali dari
penggunaan nama perjanjian itu. Hard law umumnya akan menggunakan istilah konvensi,
konvenan, protokol dan treaty, sedangkan soft law menggunakan istilah deklarasi, rekomendasi,
code of conduct serta rencana aksi (action of plan).

Para sarjana kontruktivis sebaliknya, kurang fokus pada ketentuan formal hukum sebagai
dipahami pada satu titik waktu , seperti tahap berlakunya , dan lebih pada hukum sebagai bagian
dari proses interaksi sosial yang dapat membentuk pemahaman bersama sosial
perilaku yang sesuai. Pandangan para konstuktivis mengatakan bahwa terlalu sempit
memandang sot law dan hard law dengan hanya melihat implementasi dan penegakan perjanjian
oleh pengadilan tanpa melihat bagaimana hukum beroperasi secara normatif sebagai bagian dari
proses interaksional dari waktu ke waktu. Konstruktivissecara eksplisit membahas bagaimana
hukum internasional dapat menyebabkan negara untuk mengubah persepsi mereka tentang
kepentingan mereka melalui proses interaksi transnasional , musyawarah , persuasi , atau
akulturasi. Sehingga penciptaan hukum lunak ataupun hukum keras mungkin tidak
mencerminkan pilihan sama sekali, tapi akumulasi dan bertahap efek transformatif pemahaman
bersama dan praktek negara dari waktu ke waktu.3

Pendekatan institusionalis rasional yang paling berpengaruh untuk menjelaskan konsep hard law
dan sotf adalah Kennet Abbot dan Duncal Snidal dengan teori legalisasi. Legalisasi adalah
bentuk khusus dari institusional atau pelembagaan kerjasama. Legalisasi menggambarkan
bagaimana keputusan bersama dari negara-negara yang terlibat didalamnya dapat membentuk
perjanjian kerjasama internasional. Konsep legalisasi selanjutnya melihat konsekuensi terhadap

2
Ibid, halaman 2
3
Brunnée, Jutta and Stephen J. Toope (2012). “Constructivism and International Law,” in Jeffrey L. Dunoff and
Mark A. Pollack (eds.), International Law and International Relations: Synthesizing Insights from Interdisciplinary
Scholarship(New York: Cambridge University Press), pp. xx-xx.Dalam Shafer Pollack, ibid halaman 3-4
aktor-aktor yang terlibat dari bentuk atau tingkatan derajat legalilasasi yang dipilih.yaitu soft law
dan hard law. Sebagai parameter dalam mengukur tingkat legalisasi dari sebuah perjanjian atau
kerjasama internasional, terdapat 3 dimensi yang harus dilihat antara lainObligasi, Delegasi dan
Presisi.4

Kewajiban (obligation) diartikan bahwa keterikatan suatu negara untuk memenuhi


kewajiban atau komitmen yang tertera dalam sebuah perjanjian. Dengan demikian perilaku
negara dibatasi oleh seperangkat aturan atau komitmen. Ada 6 indikator obligasi: (6)
Unconditional obligation; language an other indicia of interest to be legally bound (5)Political
treaty: implicit conditions on obligation; (4) National reservation on specific obligation;
contingent obligations and escape clauses; (3) Hortatory obligations; (2)Norms adopted without
law-making authority; recommendations and guidelines; dan (1) Explicit negation of intent to be
legally bound

Presisi aturan-aturan itu tertulis secara jelas dan tidak ambigu, menjadi acuan bagi
tingkah laku aktor-aktor yang terikat oelh hukum tersebut. Dengan kata lain presisi memberi
batasan yang baku dalam melakukan interprestasi pada pasal-pasal sebuah perjanjian.
Indikatornya (4) Unconditional obligation; (3) language an other indicia of interest to be legally
bound; dan (2) Substantial but limited issues of interpretation; dan (1) Broad areas of discretion

Delegasi adalah sejauh mana Negara atau aktor hubungan internasional lain memberikan
otoritas kepada pihak ketiga (termasuk disini pengadilan internasioanl, lembaga arbitrasi, dan
organisasi administratif) untuk menjalakan sebuah perjanjian. Yang dimaksud otoritas disini
adalah adanya jaminan kekuasaan bagi pihak ketiga untuk mengimpletasikan, menafsirkan, dan
mengaplikasikan aturan-aturan; penyelesaian sengketa atau membuat aturan selanjutnya
(Implementing legislation), Indikatornya Dispute resolution : (7)Courts; binding third-party
decisions; general jurisdiction; direct private access; can interpret and supplement rules;
domestic courts have jurisdiction; (6)Courts; jurisdiction, access or normative authority limited
or consensual ;(5) Binding arbitration; (4)Non-binding arbritation; (3)Concilitation, mediation;
(2)Institutionalized bargaining; dan (1)Pure political bargaining. Indikator Rule making and

4
Abbot w Kennet, R OKeohane, Andrew Moravcsik, Anne-Marie Slaughter and Duncal Snidal, “The Concept of
Legalization”dalam International Organization Journal: Legalization and World Politics. Vol. 54 No.3. Summer
2000, hal 401-419
implementation; (8) Binding regulations; centralized enforcement; (7)Binding regulations with
consent or opt-out; (6)Binding internal policies; (5)legitimation of decentralized enforcement;
(4)Coordination standards; (3)Draft convention; monitoring and publicity; (2)Recommendation;
confidential monitoring; (1)Normative statements; Forum for negotiation.

Semakin tinggi tingkat dimensi obligasi, presisi dan delegasi maka semakin tinggi pula
legalisasi suatu hukum internasional.Begitupun sebaliknya, semakin rendah tingkat ketiganya,
maka semakin rendah pula tingakt legalisasinya.Ketiga diimensi ini tidak bisa dilihat sebagai
factor tunggal yang menentukan bentuk legalisasi. Masing-masing aspek tersebut bisa memiliki
tingkatan atau derajat yang rendah atau tinggi secara tunggal, namun untuk melihat tingkat
legalisasi sebuah hukum internasional dipahami sebagai suatu proses yang meliputi rangkaian
kesatuan yang multidimensional. Disebut hard law yang ideal jika ketiga disebut tersebut tinggi5
.Dalam konteks ini hukum keras dan hukum lunakdapat didefinisikandengan melihat isi pada
kualitas instrumen diberikan bersamatiga dimensi tersebut.6

Abbott dan Snidal mendefinisikan hukum lunak sebagai kategori residual. Pada ranah Soft law
pengaturan hukum melemah sepanjang satu atau lebih dimensi kewajiban , presisi , dan
delegasi . " Jadi, jika kesepakatan tidak mengikat secara formal , itu adalah lemah sepanjang satu
dimensi .Demikian pula, jika kesepakatan yang mengikat secara formal , tetapi isinya tidak jelas
sehingga kemungkinan timbul diskresi di tingkat implementsinya oleh para pihak, maka
perjanjian lemah sepanjang dimensi kedua . Akhirnya , jika kesepakatan tidak mendelegasikan
otoritas apapun kepada pihak ketiga untuk memantau pelaksanaannya atau untuk menafsirkan
dan menegakkannya , maka perjanjian lagi bisa lemah ( sepanjang dimensi ketiga ).7

Gradasi penilaian atas perjanjian itulah maka kemudian akan dilihat motif negara dalam memilih
salah satu format perjanjian itu. Pada titik itulah ditentukan analisis untung-rugi (cost-benefit
analysis) yang dipinjam dari pendekatan rasional dalam studi hubungan internasional.

5
Abbott, Kenneth W., and Duncan Snidal (2000). “Hard and Soft Law in International Governance,” International
Organization, Vol. 54, No. 3, pp. 421 di akses
6
Boyle, Alan E. (1999). “Some Reflections on the Relationship of Treaties and Soft Law,” International Law
Quarterly, Vol. 48, No. 4, pp. 901
7
Abbott, Kenneth W., and Duncan Snidal (2004). “Pathways to Cooperation,” in Eyal Benvenisti and Moshe Hirsch,
eds.,The Impact of International Law on International Cooperation: Theoretical Perspectives (New York: Cambridge
University Press), pp.38.
Keuntungan negara dalam membuat instrumen hukum yang bersifat hard law adalah
menghindari biaya yang tinggi (transactional cost), menguatkan kredibilitas komitmen negara,
memperluas jangkauan politik. Sedangkan kelemahannya adalah akan mengikis kedaulatan
negara serta tidak mudah adaptasi terhadap perubahan.Instrumen hukum yang berbentuk soft law
akan memberikan keuntungan berupa teguhnya kedaulatan negara, mudahnya mencapai
kesepakatan, lebih fleksibel menghadapi perubahan dan adaptasi norma. Sedangkan
kelemahannya adalah sulit untuk menerapkan ketentuan tersebut karena bersifat normatif.

Konsep legalisasi ini sudah barang tentu akan menambah penganyaan para penstudi hukum
internasional sebab analisis kita terhadap sebuah perjanjian internasional akan lebih
komprehensif.

Anda mungkin juga menyukai